Moderasi Hindu

Akar Serabut Filosofi

I Wayan Sukarma

Hindu murni, baik agama maupun kebudayaan tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Orang Indonesia tidak meninggalkan penghayatan paham aslinya untuk menjadi Hindu sehingga agama Hindu tetap asing baginya. Agama Hindu hanya menghiasi paham asli Indonesia. Agama Hindu-Bali, juga merupakan campuran haluan pemikiran dan paham asli Bali yang telah mewarnai Hinduisme. Orang Bali tetap mempertahankan pemikiran dan paham asli Bali. Orang Bali tidak menerima begitu saja agama Hindu, baik dari Jawa maupun India, tetapi mengadaptasikannya sesuai dengan tradisi Bali (Subagya, 1981:13—14). Menurut Magetsari (Ayatrohaedi, 1986:64) bangsa Indonesia dalam menganut agama mengolahnya kembali sehingga menjadi sesuatu yang lebih sesuai dengan kebudayaannya.   
Kemampuan mengolah kembali menyebabkan masyarakat Hindu Indonesia tidak mudah meninggalkan penghayatan pemikiran dan paham asli Indonesia. Orang Indonesia mengalami kesulitan meninggalkan penghayatan agama aslinya karena orang Indonesia memiliki bakat sinkretisme yang besar dan agama asli sudah mendarah daging menjadi adat istiadat setempat sehingga sulit memisahkan ajaran agama asli dari unsur-unsur kebudayaan yang lainnya (Siagian, 1987:26). Apalagi agama Hindu bersifat fleksibel dan adaptif sehingga masyarakat pemeluknya lebih mudah mengolahnya kembali sesuai dengan kondisi alam, situasi sosial, dan suasana budaya setempat. Seperti diungkapkan Ghazali (1994:14), agama Hindu menyerap tatanan sosial dan budaya masyarakat yang dilewati, baik menjadi hukum, peraturan, dan undang-undang, maupun falsafah negara. 
Beragamnya tatanan sosial dan budaya yang diserapnya sehingga menimbulkan kesulitan mendefinisikan agama Hindu. Setidaknya Honig (1993) merumuskan bahwa agama Hindu merupakan akulturasi dari kebudayaan, adat istiadat atau tradisi, filsafat, dan ajaran agama. Artinya, beradaan agama Hindu tergantung pada budaya, falsafah hidup, dan ajaran agama masyarakat pemeluknya. Barangkali dari rumusan tersebut Subagya (1981:7 dan 10) menyimpulkan bahwa agama Hindu hanya menyempurnakan dan mempermulia penghayatan pemikiran dan paham asli Indonesia. Apalagi menurutnya, “Kriterium iman sejati adalah kebenaran, bukan keaslian”. Bersyukur pemuka-pumka agama Hindu sanggup mengatasi kesulitan tersebut dengan merumuskan kebenaran agama Hindu meliputi ajaran Tattwa, Susila, dan Acara. Dalam Swastikarana (2013) dijelaskan ketiga ajaran itu adalah tri jnana sandhi, yaitu kesatuan holistik dan komprehensif, baik struktur maupun sumber ajarannya.       
Tattwa sebagai esensi agama Hindu berisi ajaran ketuhanan, baik dogma maupun doktrin tentang Sang Hyang Widhi beserta manifestasiNya. Susila sebagai aktivitas agama Hindu berisi ajaran tingkah laku, baik berlaku internal keberagamaan maupun eksternal kemasyarakatan. Acara sebagai eksistensi agama Hindu berisi ajaran peribadatan dan ritual beserta pengalaman upacara dan upakara. Sederhananya, agama Hindu adalah ajaran dan praktik keagamaan meliputi upaya membina ikatan dengan Tuhan, membangun hubungan dengan sesama, dan menata jalinan dengan alam (Sukarma, 2015:27). Dalam adat istiadat dan tradisi ketiganya menjadi tri hita karana, tiga penyebab kesejahteraan sebagai sumber kebahagiaan, berupa pola interaksi, baik vertikal maupun horizontal.       
Interaksi vertikal bertujuan membina hubungan dan menguatkan kembali ikatan dengan Sang Hyang Widhi merupakan fokus utama Tattwa. Ajarannya menurut Kemenuh (1964) bersumber pada penghayatan paham asli Bali disempurnakan dengan agama Hindu dari Jawa dan India. Penetapan nama agama Hindu Bali diputuskan dalam suatu rapat pada 1952 di Tampaksiring, Bali. Begitu juga Hadiwijono (1987:106) mengungkapkan, agama Hindu merupakan campuran religi Bali asli dengan agama Hindu-Jawa. Kaum bangsawan berkeyakinan Hindu-Jawa yang bercampur dengan religi Bali asli, sedangkan rakyat berkeyakinan religi Bali asli yang bercampur dengan agama Hindu-Jawa. Begitulah hitam-putih agama Hindu serta hitam-keputih-putihan dan putih-kehitam-hitamannya. 
Pergulatan pemikiran dan paham yang membangun kerangka ajaran agama Hindu memang menarik dipahami dari segi filsafat karena filsafat merupakan aspek rasional dari agama. Kebiasaan filsafat memasuki objeknya hingga mengakar barangkali memadai untuk memahami landasan filosofis Tattwa. Kesulitannya, Tattwa merangkum hampir seluruh pemikiran filosofis, teologis, dan pengetahuan ketuhanan lainnya, bahkan kosmologis dan antropologis, sebagaimana perbincangan tentang Tuhan, Manusia, dan Alam dalam Darsana dan Brahmawidya. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang landasan filosofis Tattwa itulah tujuan dari ‘akar serabut filosofi Tattwa’. 
Widhisraddha dan Widhitattwa
 Tuhan agama Hindu adalah Sang Hyang Widhi. Percaya adanya Sang Hyang Widhi disebut Widhisraddha dan ajaran tentang Sang Hyang Widhi disebut Widhitattwa. Penjelasan tentang widhitattwa dalam kesatuan panca sraddha dimulai dari monoteisme bahwa Sang Hyang Widhi adalah Maha Esa. Pembuktiannya diawali dengan merujuk pada Chandogya Upanisad, IV.21, “Ekam evam advityam brahman”, ‘Hanya satu (ekam evam) tidak ada duanya (advityam) Sang Hyang Widhi (Brahman) itu’. Pada Puja Tri Sandhya, “Eko narayana na dvityo ‘sti kascit”, ‘Hanya satu Sang Hyang Widhi sama sekali tidak ada duanya’. Pada Rg. Veda 1.164.46, “Ekam sat viprah bahuda wadanti”, ‘Hanya satu (ekam) hakikat Sang Hyang Widhi (Sat) hanya orang bijaksana (viprah) menyebutNya (wadanti) dengan banyak nama (bahuda)’ (Upadeca, 2017:6).
Menurut Sukarma (2015:38) Widhisraddha dan Widhitatwa itulah yang menyusun sistem ketuhanan agama Hindu. Widhisraddha mengungkapkan pengakuan mengenai keberadaan dan kehendak Sang Hyang Widhi. Pengakuan inilah yang menjadi andalan hidup untuk menentukan dasar dan tujuan hidup. Untuk memastikan arah dan jalan hidup sudah sejalur dengan kehendak Sang Hyang Widhi dibutuhkan widhitattwa. Widhitattwa mengungkapkan ajaran tentang Sang Hyang Widhi, seperti esensi, eksistensi, aktivitas, dan kehendakNya untuk manusia dan alam semesta. Pada akhirnya agama Hindu menjadi cara hidup berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mengenai kehadiran Sang Hyang Widhi karena mustahil beragama tanpa sraddha dan bhakti.     
Ajaran tentang Sang Hyang Widhi merujuk dan mengafirmasi ide-ide Upanisad tentang Brahman berarti Sang Hyang Widhi adalah nirguna sekaligus saguna. Sang Hyang Widhi adalah Tuhan personal sekaligus tidak personal. Lazimnya, Tuhan personal menjadi pembahasan teologi yang cenderung deduktif, sedangkan Tuhan tidak personal menjadi pembahasan filsafat agama yang cenderung induktif. Artinya, widhitattwa meliputi teologi dan filsafat agama Hindu. Meskipun merujuk Upanisad, tetapi penjelasan tentang Sang Hyang Widhi tidak personal atau transenden yang lebih komprehensif berdasarkan filsafat Wedanta dan Upanisad masih terbatas. Barangkali karena Upanisad dan Wedanta sebagai bagian paling akhir dan intisari filosofi Weda yang memerlukan kematangan intelektual dan kedewasaan berpikir sehingga kurang menarik bagi praktisi. Biasanya bagi praktisi aspek rasional dari agama kurang menarik daripada aspek praktis dari filsafat.
Padahal filsafat agama menurut Bakhtiar (2007:21--22) menyediakan pengetahuan kodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dijiwai oleh kritik rasional. Filsafat agama membahas ketuhanan berdasarkan pedekatan induktif, karena itu terbatas hanya pada Tuhan yang tidak mempribadi (impersonal god). Artinya, filsafat agama hanya bertugas mempertegas keberadaan Tuhan sebagai konsekuensi logis dari keberadaan alam semesta. Sebaliknya, tugas teologi mempertegas keberadaan Tuhan dan ajaranNya. Ajaran Tuhan dalam bentuk dogma dan doktrin agama biasanya terdapat dalam kitab suci. Hanya saja ajaran tentang Sang Hyang Widhi yang terdapat dalam widhitattwa melingkupi seluruh kitab-kitab Weda, baik teologi maupun filsafat. 
Upadeca misalnya, merangkum pemikiran dan ajaran tentang Sang Hyang Widhi, seperti keberadaan, manifestasi, pengalaman, dewa dan bhatara, penciptaan, kekuasaan, dan sarana pengetahuan. Pengetahuan ketuhanan merupakan aspek penting dalam sraddha karena berkaitan erat dengan pengetahuan tentang suatu doktrin ketuhanan yang bersifat spesifik. Sraddha mendorong orang mencari dalam meditasi dan kontemplasi eksklusif pada brahman, realitas utama sebagai tujuan tertinggi aktivitas keagamaan (Rao, 2006:67). Selanjutnya, pengetahuan tentang Sang Hyang Widhi lebih banyak bersumber pada lontar-lontar Siwatattwa, seperti Wrhaspatitattwa, Sang Hyang Mahajnana,Tattwajnana, Jnana Siddhanta, Ganapatitattwa, dan Bhuwana Kosa. Dalam lontar-lontar tersebut Sang Hyang Widhi diseru Bhatara Siwa, seperti ditegaskan Tim Penyusun berikut.       
“Siwatattwa mengajarkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa Esa adanya, dipuja orang dalam berbagai perwujudannya dengan berbagai-bagai cara pada berbagai-bagai tempat. Ia dipuja sebagai Saraswati, Brahma, Wisnu, Iswara, Kala, dan sebagainya. Demikianlah Bhatara Siwa yang Esa dalam yang banyak dan yang banyak itu dalam yang Esa” (Tim Penyusun, 2003:iii).

Sang Hyang Widhi yang Satu disebut dengan banyak nama sesuai dengan struktur dan kultur kehidupan umat Hindu. Dalam keberagamaan Sang Hyang Widhi dikenal dan dipanggil sebagai Bhatara Siwa dengan berbagai manifestasiNya. Kehendak Bhatara Siwa untuk manusia dan alam semesta dapat dipahami melalui tiga tahapan kesadaran, yaitu paramasiswatattwa, sadasiwatattwa, dan siwatmatattwa. Pada tataran paramasiwatattwa Bhatara Siwa itu kekal, tidak bergerak, tidak berkembang, tidak berjalan, tidak mengalir, tanpa sebab, tanpa tujuan, tanpa awal, dan tanpa akhir. Pada tataran sadasiwatattwa Bhatara Siwa bersifat gaib, suci nirmala, dan jiwa segala yang bernyawa. Pada tataran siwatmatattwa Bhatara Siwa dalam badan lupa (Maya) menciptakan banyak tattwa, seperti purusatattwa dan pancamahabhutatattwa. Dari ciptaan tersebut Bhatara Siwa memiliki kekuasaan menjadi dewa pangider bhuwana dan dapat bersemayam dalam tubuh manusia, bahkan memiliki gelar berdasarkan tempat dan fungsiNya (Djelantik, 1984/1985; Sukarma, 2015:45).
Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjunawiwaha melukiskan sraddhanya dengan indah, seperti berikut. “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh”, ‘Lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tidak ada yang lainnya’. Kakawin ini menegaskan bahwa umat Hindu menyembah Sang Hyang Widhi Maha Esa, mahasatu dan hanya satu. Akan tetapi, melalui orang bijaksana kemudian, umat Hindu mengenalNya dengan banyak sebutan dan gelar. Orang bijaksana dalam pandangan agama adalah orang suci. Orang suci dalam agama Hindu disebut Rsi atau Maharsi. Kesuciannya terbukti pada teladan pikiran, ucapan, dan tingkah lakunya yang disampaikan melalui karyanya, berupa kitab suci. Kitab sucilah sumber ajaran ketuhanan, Sastrayoniwat (Brahmasutra, 1.1.3).
Apabila setiap orang suci menulis satu kitab suci, maka kitab suci agama Hindu berjumlah sebanyak orang suci. Artinya, agama Hindu menerima dan mengakui batasan manusiawi orang suci dalam mengungkap keberadaan dan ajaran Sang Hyang Widhi yang sesungguhnya tidak terbatas. Apalagi orang suci sudah memberikan teladan, berupa sikap rendah hati karena tidak satupun kitab suci menyatakan penulisnya adalah wakil ataupun utusan, apalagi Sang Hyang Widhi sendiri. Orang suci mengenalkan Sang Hyang Widhi yang tidak terbatas hanya sebatas esensi, eksistensi, dan aktivitasNya. Dari sinilah dapat dipahami munculnya banyak sebutan Sang Hyang Widhi yang sesungguhnya adalah Maha Esa. Bukan hanya dengan nama-nama yang berbeda dan berlainan, bahkan dengan nama-nama yang karaternya berlawanan dan bertentangan.
Beberapa paradoks dan kontradiktif dalam agama ataupun setidaknya hal-hal yang kelihatan bertentangan menurut Trueblood (1965:11) lazim dalam suatu agama sehingga menimbulkan tata cara pemujaan dan persembahan yang berbeda-beda. Misalnya, ajaran tri murti (Dharma Shastra Agama Hindu Bali, 1960; Swastikarana, 2013; dan Upadeca, 2017) menjelaskan, Sang Hyang Widhi bermanifestasi sebagai Brahma, pencipta; Wisnu, pemelihara; dan Siwa, penghancur. Ketiga dewa itu memiliki sifat berlawanan dan karakter bertentangan berdasarkan kedudukan dan fungsi kedewataan dalam hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Ketiga dewa manifestasi Sang Hyang Widhi tersebut menurut  Bagus (2002:196) merupakan Tuhan personal, sebagaimana lazim terdapat dalam agama-agama. Konsep Tuhan dalam agama memang memiliki kejelasan identitas diriNya, aktif, dan sifat-sifat kesempurnaan. Personifikasi Tuhan tercantum dalam kitab-kitab suci bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta sekaligus pemelihara dan penghancur. 
Implikasinya, muncul banyak aliran kepercayaan dalam suatu agama dengan dewa pujaannya masing-masing. Melalui disiplin pemujaan dan pesembahan kemudian, aliran kepercayaan mengangungkan dan memuliakan dewanya sebagai teladan dan andalan hidup. Kepercayaan kepada dewa yang paling agung dan mulia tidak disadari menciptakan permusuhan antaraliran kepercayaan, bahkan antardewa. Penganut aliran kepercayaan bertengkar karena mengganggap dewa pujaannya lebih tinggi daripada dewa-dewa pujaan aliran kepercayaan lainnya. Keberadaan aliran kepercayaan seperti itu menurut Saraswati (1967:57) berawal dari kitab-kitab Purana. Siva Purana mengangungkan Dewa Siva dan Visnu Purana mengangungkan Dewa Visnu. Padahal pengagungan dan pemuliaan itu harus diartikan dalam hubungannya sendiri dan tidak sebagai sesuatu yang mutlak. Apalagi tidak mungkin ada dewa lebih tinggi atau dewa lebih rendah, dewa lebih agung atau dewa lebih kecil, dan dewa lebih mulia atau dewa lebih hina, bila dewa-dewa adalah manifestasi Sang Hyang Widhi.     
Kedudukan dewa-dewa diilustrasikannya, seperti “jembatan di atas sungai dengan sejumlah tiang”. Bagi seseorang yang berdiri di bawah satu tiang, semua tiang jembatan lainnya kelihatan lebih kecil. Demikian juga bagi seseorang penganut yang menyembah dewa tertentu, semua dewa lainnya kelihatan lebih rendah. Padahal semua tiang dibangun sama, baik ukuran maupun dimensinya. Sesungguhnya semua dewa adalah manifestasi Sang Hyang Widhi (Swastikarana, 2013; dan Upadeca, 2017) dan karenanya semua dewa adalah sama. Kalau semua dewa adalah manifestasi Sang Hyang Widhi, dan semua manifestasi Sang Hyang Widhi adalah sama, maka dengan cara yang sama, juga dewa-dewa yang dipuja aliran kepercayaan, dan dewa-dewa yang dipuja di pura adalah sama. Artinya, bertengkar dan bermusuhan karena anggapan tentang dewa paling tinggi atau dewa paling rendah merupakan tindakan yang anti produktif terhadap keberagamaan, baik diri sendiri, orang lain, maupun bersama.   
Merendahkan suatu aliran kepercayaan, apalagi menghina dewa pujaannya adalah perbuatan dosa. Perbuatan tersebut sama dengan melecehkan agama Hindu dan menghina Sang Hyang Widhi. Sesungguhnya seseorang yang melakukan perbuatan tersebut sudah kehilangan sraddha dan bhakti. Tanpa sraddha dan bhakti, orang tersebut bukanlah umat (agama) Hindu. Mengingat beragama tanpa sraddha adalah mustahil dan beragama tanpa bhakti adalah omong kosong. Begitulah sesungguhnya orang yang menghina sraddha dan bhakti adalah orang hina yang sesungguhnya. Seseorang menjadi hina karena menghina, bukan karena dihina orang lain. Untuk menghindarkan diri menjadi orang hina, barangkali pesan Saraswati (1967:58) berikut menarik disimak. “Tidaklah perlu meninggalkan bentuk sembahyang yang satu untuk pergi ke bentuk sembahyang yang lain. Demikian pula tidaklah perlu meninggalkan agama di mana dilahirkan dan pergi ke agama lain”.   
Pesan tersebut dikuatkan kembali oleh Sivananda (1997:3) bahwa “Hinduisme adalah agama pembebasan”. Agama Hindu tidak secara dogmatik menyatakan pembebasan akhir dimungkinkan hanya melalui caranya sendiri dan tidak mungkin dengan cara yang lainnya. Sebaliknya, agama Hindu memperkenankan kemerdekaan pikiran dan perasaan, penerimaan dogma dan doktrin, bentuk ritual dan pemujaan, serta tradisi yang berbeda. Kemerdekaan serupa, juga disampaikan dalam Chandogya Upanisad. III.14.1 (Sura, dkk. 1990:4), “Sesungguhnya semua ini adalah brahman, darinya seseorang muncul, dan tanpanya ia akan lenyap. Sesungguhnya, seseorang itu terdiri atas suatu tujuan. Sesuai dengan tujuan yang dimilikinya di dunia ini, demikianlah jadinya ia ketika berangkat dari sini. Oleh sebab itu, maka biarkanlah seseorang menyusun suatu tujuan untuk dirinya sendiri”.
Seseorang diperkenankan menyusun tujuan hidupnya sendiri menuju brahman, seperti rumusan purusa artha: “Atmanam mokshartam arthani jagadhitaya iti dharma”.  Menurut Zimmer (2003:69—81) brahman adalah kekuasaan suci yang menjadi konsep penting dalam agama dan filsafat Hindu sejak zaman Weda. Brahman adalah penerima persembahan suci sekaligus pemberi anugerah mewujudkan tujuan manusia. Brahman adalah kekuasaan yang menghidupkan dan mengubah alam semesta – Jiwa Universal – yang identik dengan Diri (Atman) sebagai jiwa individu. Brahman, juga identik dengan Shakti dalam sekta Tantra atau Sakta berarti energi, kekuatan, potensi, dan kekuasaan. Brahman adalah kekuasaan kosmis tertinggi menjadi esensi alam semesta dan semua pengetahuan. Konsep Brahman pun menjiwai widhitattwa, seperti sudah dijelaskan dalam Upadeca (2017) dan Swastikarana (2013).     
Artinya, apabila mempercayai segalanya adalah brahman, maka segala perbedaan adalah kewajaran sebab mengalir dari brahman sendiri. Kenyataannya, manusia adalah makhluk berbeda: unik dan khas. Setiap orang lahir dengan takdir dan nasibnya sendiri. Seseorang tidak mungkin mengusahakan ataupun menolak kematiannya dan tidak mungkin pula mengajak orang lain mati bersamanya. Sekalipun dibayar dengan seluruh kekayaan duniawi barangkali orang beragama tidak mau ikut mati bersamanya. Dalam hal ini, agama Hindu sebagai aspek praktis dari filsafat Hindu sesungguhnya melalui widhitattwa sudah memberikan tujuan hidup, yaitu Sang Hyang Widhi. Kemerdekaan menyusun tujuan untuk diri sendiri mencerminkan dorongan menciptakan kebebasan pada semua masa dan bagian kehidupan. Kebebasan tidak hanya sebagai tujuan akhir hidup, berupa moksa, tetapi juga kebebasan menjadi tujuan proses hidup, berupa jiwanmukta.   
Begitulah Tattwa sesungguhnya merupakan spiritualisasi kehidupan dan menguasai religiusitas semua bagian kehidupan. Bukan karena ambisi menguasai semua jalan menuju kebebasan, melainkan karena keharusan mewujudkan kebebasan jiwa pada semua masa dan bagian kehidupan. Kebebasan sempurna hanya terwujud melalui widhitattwa karena widhitattwa memenuhi widhisraddha dengan memberikan wawasan paling mulia sebagai pengetahuan pembebasan. Ketekunan dan kesabaran memperoleh pengetahuan ditekankan dalam Svetasvatara Upanisad, I.13 (Sura, Dkk, 1990:5) berikut. “Seperti wujud api sembunyi pada sumbunya, tidak dapat dilihat dan benihnya tidak dapat dimusnahkan, namun dapat diperoleh secara berulang-ulang dari sumbunya dengan jalan menggosoknya. Demikianlah Sang Diri dapat ditemukan dalam diri sendiri dengan suku kata AUM”. 
Artinya, sang ilahi dalam diri sendiri dapat dikenali melalui sraddha dan bhakti  kepada manifestasi Sang Hyang Widhi melalui dan dengan simbol AUM, sebagaimana ajaran ketuhanan tri murti. Upaya menggosok suka kata AUM misalnya, Sukarma (2018) memahaminya melalui formulasi Kena Upanisad sebagai berikut.
“Siwa adalah pamralina yang sudah menaklukkan kematian. Siwa itulah penakluk ke-mati-an Dan ke-hidup-an. Dialah Inverval Di antara Brahma yang-tanpa-manisfestasi dan Wisnu yang-dengan-manifestasi. Interval itulah Ruang, Spasi antara yang-tanpa-manifestasi tidak ada dan yang-dengan-manifestasi belum tiba. Dalam Interval yang ditaklukkan Siwa itulah Brahman datang – karena ‘Brahman datang kepada pikiran, tetapi Dia tidak dapat dicapai oleh pikiran’. Tibanya yang-tanpa-manifestasi disampaikan oleh Siwa dalam Kegelapan Malam, Malam Hening, Uma. Kepada-Nya kesadaran mesti dan harus teguh ketika hendak menemukan sifat Brahman secara langsung. Pertemuan itu pun sekilas Keajaiban, seperti disebutkan dalam Kena Upanisad, ‘Brahman terlihat dalam keajaiban sekilas halilintar – Dia datang kepada Suksma dalam keajaiban visi. Kilasan ini hendak menyatakan Brahman tanpa waktu’ (Sukarma dan Nanang Sutrisno, 2018:139).

Begitulah Sang Diri menyampaikan permakluman kehadirannya di antara yang tidak ada dan yang belum tiba, yaitu diri-sederhana, yang tanpa pemikiran dan yang tanpa kinerja. Frase “Sang Diri” pun dimaksudkan tidak semata-mata sebagai kedirian individu, tetapi juga kedirian kolektif masyarakat. Sang Hyang Widhi adalah pribadi tanpa pribadi dengan kepribadian yang dicirikan oleh kesempurnaan dan kekuasaanNya, entah pencipta, pemelihara, ataupun pelebur. Dengan cara yang sama, juga ajaran tri murti tidak semata-mata hanya berlaku untuk pribadi-invidual, tetapi juga pribadi-kolektif, seperti diterapkan (masyarakat) desa pakraman di Bali. Begitulah widhitattwa bermanfaat untuk membangun landasan hidup dan menyusun tujuan hidup, baik individu maupun kolektif. Manfaat itulah nilai guna dari Tattwa, kegunaan yang membuat agama Hindu langgeng hingga sekarang.   

Dewa dan Kedewataan
Menyusun tujuan hidup dan upaya mencapainya memang terikat pada pencapaian masa lalu dan tergantung pada pandangan masa depan, seperti tradisi atau simbol-simbol pencapaian masa lalu beserta pandangan dunia dan orientasi masa depan. Pertumbuhan dan perkembangan tujuan hidup sesungguhnya seperti lingkaran perubahan yang digambarkan ajaran tri murti bahwa segalanya datang, bertahan, dan kembali kepada asalnya sehingga segalanya menemukan diri dalam setiap tujuan baru. Tujuan hidup pula yang mendorong dinamika dan dialektika yang menimbulkan perubahan agama Hindu. Perubahannya dapat ditelusuri melalui hubungan antara kebudayaan Pra-Hindu dan kebudayaan Hindu India. Hubungan kedua kebudayaan ini menurut Atmodjo (Ayatrohaedi (ed), 1986:47--48) dapat dilihat dari konsep atau pengertian atita-nagata-warttamana, desa-kala-patra, dan tri-hita-karana. Artinya, terdapat jalinan erat antara masa lampau, masa yang akan datang, dan masa sekarang sehingga perubahan kebudayaan Pra-Hindu tidak meninggalkan bentuk aslinya. Perubahan pun disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan setempat sehingga kebudayaan Hindu India hanya sebagai penyempurna kepercayaan setempat (lokal), seperti mempermulia hubungan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan.       
Kepercayaan setempat yang mampu mentransformasikan kebudayaan Hindu India dan mengintegrasikannya sesuai dengan karakter manusia Indonesia ditunjukkan Sumardjo (2002) sebagai berikut.
“Pertama, kepercayaan terhadap adanya alam kehidupan setelah mati. Kedua, kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu keyakinan terhadap adanya daya-daya gaib pada benda-benda yang ada di alam. Kepercayaan ini menjadi bibit lahirnya tindakan-tindakan magis dan mistis, yakni saat manusia ingin mendapatkan daya-daya gaib tersebut. Ketiga, konsep tentang pola ruang kosmis (keblat papat lima pancer) bahwa ruang dibagi atas empat dimensi dan satu di tengah sebagai pusat. Pola ruang primordial ini dapat berkembang menjadi pola delapan (Hindu: Astadala) dalam wilayah yang lebih luas. Keempat, kepercayaan terhadap ruang dan waktu relatif yang bersifat dualistik (binary oposition), seperti sakral-profan, gunung-laut, siang-malam, absolut-relatif, dan sebagainya. Melalui perkawinan kosmis kedua polarisasi ini diharmoniskan, direkonsiliasi, disatukan sehingga semuanya kembali ke Yang Tunggal, Yang Absolut” (Sumardjo (2002:10-16).

Kepercayaan terhadap kehidupan setelah mati terpelihara melalui upacara ngaben dan mamukur yang harapannya disampaikan melalui kidung Aji Kembang. Selanjutnya, melahirkan tradisi keagamaan, berupa pemujaan kepada leluhur di sanggah atau merajan. Leluhur terdiri atas tiga kategori, yaitu pirata belum disucikan melalui upacara ngaben, pitara sudah disucikan melalui upacara ngaben, dan dewata atau dewati sudah disucikan secara sempurna melalui upacara mamukur. Kategori yang ketiga biasanya dipandang setara dan sejajar dengan dewa atau dewi karena sudah menyatu dan larut ke alam niskala, alam yang tidak terbagi-bagi. Keterangan tentang pemujaan kepada leluhur dalam Rg. Weda, X.15 disebutkan sebagai berikut. “Leluhur pergi ke surga atau neraka berdasarkan yajna (karma), leluhur tinggal bersama para dewa, leluhur ikut minum soma bersama para dewa, leluhur ikut menikmati persembahan (swada), dan kedudukan leluhur sama dengan para dewa”.
Kepercayaan animisme dan dinamisme terpelihara melalui tindakan magis dan mistis, seperti kesetiaan merawat pusaka leluhur dan kecintaan kepada lingkungan. Upaya mewarisi pusaka leluhur tampak melalui pemuliaan benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, pratima, tugu, dan monumen lainnya. Perhatikanlah upaya pemuliaan lingkungan, antara lain menghaturkan canang sari sekitar batu dan pohon besar, ujung jembatan dan perempatan desa. Di campuhan dua aliran sungai dan tempat-tempat yang dipandang sakral dibangun tugu, sejenis palinggih untuk makhluk gaib. Di samping itu, juga terpeliharanya kepercayaan bahwa gunung, danau, sungai, dan laut adalah kawasan suci, selain dipandang mistis dihuni makhluk-makhluk gaib. Dalam bentuk tradisi rerahinan misalnya, tumpek landep, pemuliaan peralatan hidup; tumpek wariga, pemuliaan tumbuh-tumbuhan; tumpek kuningan, pemuliaan lahir-batin; tumpek klurut, pemuliaan benda seni; tumpek kandang, pemuliaan hewan; dan tumpek wayang, pemuliaan wayang.     
Konsep pola ruang kosmis terpelihara melalui pandangan dunia, berupa pola ruang primordial, baik mikro maupun makro, seperti diwarisi melalui kanda pat, panugerahan dalem, padma bhuwana, dan pangider-ider. Kepercayaan terhadap ruang dan waktu relatif yang bersifat dualistik masih terpelihara, bahkan disempurnakan dengan sankhya-yoga. Misalnya, pandangan tentang kaja-kelod atau kangin-kauh sebagai bagian-bagian yang menyusun kosmos sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana kesatuan jiwa-raga mewujudkan makhluk atau kesatuan ide-materi dalam wujud segalanya. Selain pola duaan, juga kosmos dipandang berdasarkan pola tigaan, alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Manusia pun terdiri atas tiga alam, yaitu kepala termasuk alam atas karena ubun-ubun (jalan kelar-masuknya sinar suci dewata) berada di kepala; badan termasuk alam tengah karena hati (tempat Bhatara Siwa bersemayam) berada di badan; dan kaki termasuk alam bawah karena kaki (kekuatan bhuta) berada di bawah menunjang dan mendukung keberadaan badan dan kepala. Pola ruang sebagai pandangan dunia, berupa pemosisian Manusia di antara Tuhan dan Alam masih terpelihara melalui konsep tentang dewa sebagai sinar suci dan kedewataan sebagai sifat-sifat sinar suci misalnya, dewa nawasanga sebagai personifikasi Bhatara Siwa.               
Bhatara Siwa dipersonalisasi sebagai dewa beserta kedewataannya dalam pangider-bhuwana dijelaskan oleh Kusuma (1954:13) dan Rawi (1962:6) sebagai berikut. Iswara di penjuru Timur bercahaya Putih bersenjata Bajera terletak di Jantung disimbolkan aksara SA. Brahma di penjuru Selatan bercahaya Merah bersenjata Danda/Gada terletak di Hati disimbolkan aksara BA. Mahadewa di penjuru Barat bercahaya Kuning bersenjata Nagapasah terletak di Lambung disimbolkan aksara TA. Wisnu di penjuru Utara bercahaya Hitam bersenjata Cakra terletak di Jantung disimbolkan aksara HA. Siwa di Tengah bercahaya Pancawarna bersenjata Padma terletak di Pangkal Jantung disimbolkan aksara HI. Maheswara di Tenggara bercahaya Dadu/Pink bersenjata Dupa terletak di Paru-paru disimbolkan aksara NA. Rudra di penjuru Barat Daya bercahaya Jingga/Ungu bersenjata Mboksala terletak di Usus Halus disimbolkan aksara MA. Sangkara di penjuru Barat Laut bercahaya Hijau bersenjata Angkus terletak di Limpa disimbolkan aksara SI. Sambu di Timur Laut bercahaya Biru/ Abu-abu bersenjata Tri Sula terletak di Kerongkongan disimbolkan dengan aksara WA. Kemudian, Kusuma (1954:13) menambahkan Dewa Siwa di Tengah terletak di Ujung Jantung disimbolkan dengan aksara YA.
Personifikasi itu menunjukkan bahwa Bhatara Siwa adalah penuntun, pelindung, dan kekuatan tertinggi. Seperti diungkapkan Hadiwijno (1987:112) bahwa Bhatara Siwa adalah kesatuan kuasa dewa. Bhatara Siwa adalah sumber hidup, kesatuan segala kuasa yang menciptakan dan yang melahirkan di alam semesta. Di dalam Dirinya jenis kelamin laki-laki dan perempuan dipersatukan. Penjelmaannya sebagai unsur laki-laki Dia dipuja sebagai lingga, pasupati, matahari, dan gunung. Penjelmaannya sebagai unsur perempuan Dia dipuja sebagai yoni, giri putri, ibu alam semesta, dan samudera. Jnanin memandang penjelmaanNya sebagai unsur laki-laki dan perempuan adalah azas Bhatara Siwa yang kekal. Selain sebagai laki-laki dan perempuan, juga Bhatara Siwa dapat dijelmakan sebagai roh dan benda, purusa dan prakrti, yaitu azas segala keberadaan. Begitulah sesungguhnya segala tokoh ilahi sesungguhnya penjelmaan Bhatara Siwa, baik dewa-dewa yang bersinar maupun bhatara yang melindungi. Kemudian, Bhatara Siwa sebagai dewa tertinggi, juga dipuja sebagai Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Titah, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Tunggal, dan pada akhirnya Dialah Sang Hyang Widhi.         
Dalam puja Tri Sandya Sang Hyang Widhi diseru dengan nama Narayana, Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Rudra, dan Purusa. Dalam Kramaning Sembah, Sang Hyang Widhi diseru dengan Sang Hyang Adiya dan sebagai istadewata diseru dengan nama Brahma, Wisnu, Iswara, Saraswati, Gana, Siwa, dan Ardhanareswari sesuai dengan tempat persembahyangan (Seksi Bimas Hindu Kantor Departemen Agama Kotamadya Denpasar, 1995). Dalam lontar Gong Besi (Simpen, 1986:18) Sang Hyang Widhi diberikan gelar yang berbeda menurut tempatnya seperti berikut. Sang Hyang Tri Sakti Purusengkara di Pura Dalem. Sang Hyang Triyodasasaksi di Pura Puseh. Sang Hyang Tri Upasadana di Pura Desa. Sang Hyang Bhagawati di Pura Bale Agung. Sang Hyang Catur Bhuwana di Perempatan Agung. Sang Hyang Sapuh Jagat di Marga Pahteluan. Sang Hyang Bhatari Durga di Setra Agung. Sang Bharawi di Pamuhunan. Sang Hyang Prajapati di Huluning Setra. Sang Hyang Mutering Bhuwana di Segara. Sang Hyang Taskarapati di Akasa. Sang Hyang Giri Putri di Gunung Agung. Sang Hyang Bhatari Danuh di Gunung Batur (Lebah). Sang Hyang Gayatri di Pancaka Tritha. Sang Hyang Bhatari Seri di Jineng (Klumpu). Sang Hyang Seri Suci di Pulu Beras. Sang Hyang Pawitra Saraswati di Dapur. Berikutnya, Sang Hyang Tri Mrtta di Kumba Payuk.
Banyaknya nama dan gelar Sang Hyang Widhi sesungguhnya untuk memudahkan pemujaan dan memperbanyak persembahan. Melalui semangat pemujaan dan persembahan orang akan terhindar dari egonya sendiri karena egonya sudah cair ke dalam sadar Tuhan. Saraswati (1967:73) memandang kemudahan melakukan pemujaan dan persembahan dapat mendorong seseorang mengabdikan kepada Tuhan segala yang dapat dipersembahkan dan akhirnya, jiwanya sendiri. Artinya, agama Hindu mengakui dan memperhatikan batas-batas psikologis karena tidak semua orang mampu-sanggup merenungkan Sang Hyang Widhi yang abstrak, tanpa bentuk. Untuk mengarahkan pikiran dan perasaan menuju Sang Hyang Widhi dan memusatkan pikiran dan perasaan selama pemujaan dan persembahan sehingga nama-nama dewa yang dekat dengan keseharian menjadi bantuan yang berguna. Kerja pikiran memang bergerak dari yang dekat dan nyata menuju yang jauh dan abstrak. Demi pemujaan dan persembahan kemudian, Sang Hyang Widhi yang nirguna dibayangkan saguna, bahkan dalam manifestasNya, berupa dewa-dewa dengan gelar kedewataannya. Apalagi dalam pengertiannya yang terakhir bahwa Sang Hyang Widhi adalah segala-galanya dan berada di mana-mana, imanen dan transenden.   

Landasan Filosofi Tattwa                       
Dari keterangan dan penjelasan tersebut tampaklah Tattwa melalui widhitattwa mengadopsi dan mengafirmasi politisme, memuja dan menyembah banyak Tuhan; dan henoteisme, menyatakan Tuhan tunggal sekaligus mengakui tuhan-tuhan lainnya. Selain itu, juga widhitattwa tampaknya menerima monoteisme dan monisme sekaligus panteisme, seperti penjelasan Upanisad tentang alam, atman, dan brahman. Monoteisme menyatakan Sang Hyang Widhi itu hanya satu, Esa, dan tunggal. Monisme menyatakan Sang Hyang Widhi adalah Realitas Tunggal, tidak ada di luar Sang Hyang Widhi, yang bukan Sang Hyang Widhi adalah realitas semu (maya). Panteisme menyatakan semuanya adalah Sang Hyang Widhi – Sang Hyang Widhi ada dalam segala-galanya dan semua ciptaanNya. Pada akhirnya tampaklah widhitattwa menerima dan menyetujui hampir semua paham ketuhanan yang berkembang dalam sistem filsafat dan teologi agama-agama. Walaupun widhitattwa menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan, Tuhan Maha Esa, Sang Hyang Widhi, tetapi tidak menyatakan dirinya sebagai satu-satunya ajaran pembebasan. Ibaratnya, Sang Hyang Widhi, seperti air tanpa bentuk. Air mengambil bentuk dan warna dari batasan-batasan wadahnya. Sang Hyang Widhi tidak mungkin mempunyai bentuk, tetapi pikiran terbatas yang menjadi media merenungiNya telah membatasiNya. Pikiran terbatas memegang dan menggambarkan Sang Hyang Widhi menurut kemampuan dan caranya sendiri, karena itu muncullah beragam ide tentang Sang Hyang Widhi beserta tata cara pemujaan dan persembahan. 
Pengandaian Sang Hyang Widhi itu sekaligus menunjukkan bahwa widhitatwa tidak menyatakan dirinya berseberangan dengan teologi agama-agama. Untuk pemeluk agama Hindu sendiri pun disediakan empat jalan pembebasan, yaitu jnana-marga, jalan pengetahuan; karma-marga, jalan perbuatan; bhakti-marga, jalan pelayanan; dan raja-marga, jalan mengasingan diri. Keempat jalan ini merupakan disiplin-diri untuk teguh pada kode moral-keagamaan karena seluruh bagian kehidupan berdimensi spiritual dan religius. Untuk itu pemeluk agama Hindu memerlukan dharma, bahkan dalam kesatuannya dengan pengertian catur purusa artha, yaitu kama, artha,dan moksa. Dalam konteks ini sekiranya, perlu disimak pesan Bhagawadgita, XIV berikut. “Biarlah kibat-kitab sastra, menjadi petunjukmu untuk menentukan, yang harus dikerjakan dan tidak patut dikerjakan, dan mengetahui apa yang terumuskan dalam ajaran-ajaran kitab sastra ini, kerjakanlah tugas kewajibanmu di dunia ini”.                                 
Begitulah sesungguhnya widhitattwa merupakan konstruksi dari ajaran filosofis Weda, Upanisad, Sad Darsana, Tantrayana, dan Shiwa Siddhanta menjadi Siwatattwa. Konsep nirguna brahman (Upanisad dan Adwaita Wedanta) ditransformasikan menjadi konsep Paramasiwa yang bersifat nirguna. Paramasiwa kemudian, beremanasi menjadi Sadasiwa dengan empat kemahakuasaan (cadhu shakti) dan dalam penciptaan berevolusi kembali menjadi Siwa. Evolusi penciptaan dalam Siwatattwa mengadopsi prinsip-prinsip Sankhya, sedangkan involusinya mengadopsi sistem yoga, ajaran Yogasutra Patanjali. Konsep shakti yang menjadi inti ajaran Tantrayana, juga diadopsi dan diadaptasi dalam Siwatattwa, seperti munculnya konsep dewa-dewi dan bhatara-bhatari. Artinya, puncak-puncak pemikiran filosofis dalam Hinduisme disistematisasi dan disusun kembali menjadi Siwatattwa untuk membangun widhitattwa, yaitu Tattwa agama Hindu Indonesia. Bersama Susila dan Acara kemudian, Tattwa sekaligus menjadi identitas agama Hindu Indonesia yang membedakannya dengan agama Hindu di India dan negara lainnya di dunia.

Daftar Kepustakaan
Ayatrohaedi (Penyunting). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ghazali, M. Bahri. 1994. Studi Agama Agama Dunia: Bagian Agama Non Semitik. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
Hadiwijono, Harun. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Honig, AG. Jr. 1993. Ilmu Agama (terjemahan: M.D Koesoemosoesastro dan Soegiarto). Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Djelantik, Ida Ketut. 1984/1985. Aji Sangkhya. Jakarta: Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama R.I.
Kemenuh, Ida Padanda Made Singaradja. 1964. Kerangka Agama Hindu Bali. Singaradja: tanpa penerbit.
Kusuma, I Gusti Ananda. 1954. Dharma Shastra Agama Hindu Bali (Cetakan Pertama). Denpasar: Pustaka Balimas.
____________________. 1960. Dharma Shastra Agama Hindu Bali (Cetakan Kedua). Denpasar: Pustaka Balimas. 
Parisada Hindu Dharma. 2017. Upadeca: Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: ESBE Buku.
Putra, Ida Bagus Rai, Dkk. 2013. Swastikarana: Pedoman Ajaran Hindu Dharma. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Rao, K. L Seshagiri. 2006. Konsep Panca Sraddha: Dalam Kitab Brahmana, Upanisad, dan Gita (Terjemahan: I Wayan Punia). Surabaya: Paramita.
Rawi, I Kt. Bangbang Gde. 1962. Buku-Sutji Prama Tatwa Suksema Agama Hindu Bali. Denpasar: Pustaka Balimas.
Saraswati, Sri Chandrasekharendra. 1967. Aspek-Aspek Agama Kita (Terjemahan: Njoman S. Pendit). Jakarta: Sub-Projek Penerangan Agama Hindu dan Buddha Direktorat Djendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha Departemen Agama RI. 
Seksi Bimas Hindu Kantor Departemen Agama Kotamadya Denpasar. 1995. Tri Sandhya dan Kramaning Sembah. Denpasar: Tanpa Penerbit.
Siagian, Seno Harbangan. 1987. Agama-Agama di Indonesia. Semarang: Satya Wacana.
Simpen, I Wayan A.B. 1986. Penuntun Dewa Yadnya dan Kahyangan/Palinggih Batara-Batara. Denpasar: Tanpa Penebit. 
Sivananda, Sri Svami. 1997. Intisari Ajaran Hindu (Terjemahan: Yayasan Sanatana Dharma Surabaya). Surabaya: Paramita.
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka.
Sugriwa, I Gusti Bagus. 1960. Peladjaran Hindu Bali I. Denpasar: Pustaka Balimas.
________________. Tt. Smreti Budaya Hindu Bali. Denpasar: Pustaka Balimas.
Sukarma, I Wayan. 2015. “Sistem Ketuhanan Agama Hindu”. Jnana Budaya. Media Informasi Sejarah, Sosial, dan Budaya. Denpasar: Vol. 20. Pebruari 2015. Hal. 27—46. 
________________ dan Nanang Sutrisno. 2018. Nibandha Rasa. Denpasar: Esbe Buku.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia (Pelacakan Hermenutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan). Yogyakarta: Qalam.
Sura, I Gde, Dkk. 1990. Sumber Acuan Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Bidang Pendidikan Agama Hindu pada Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali. 
Tim Penyusun. 2003. Siwatattwa. Denpaasar: Milik Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Koordinasi Terhadap Umat Hindu di Luar Daerah. 
Treublood, David. 1965. Filsafat Agama (Terjemahan: Dr. H. M Rasjidi). Jakarta: Bulan Bintang.
Viresvarananda, Svami. 2002. Brahmasutra (Terjemahan: Agus S. Mantik). Surabaya: Paramita. 
Zimmer, Henrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


             


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...