PESAN MORAL DALAM GEGURITAN
SARACAMUSCAYA
KARYA I WAYAN DJAPA[1]
I Wayan Suka Yasa &; W.A. Sindhu Gitananda
Abstrak
Ada dua arus yang dialirkan oleh Djapa
dalam kerja kreatifnya, yaitu arus mempertahankan tradisi nyastra dan arus mentransformasikan nilai teks Jawa Kuno ke dalam
ranah sastra Bali tradisional. Dalam rangka mempertahankan tradisi nyastra, Djapa menjadikan dirinya guru
tradisi tersebut. Di situ terjadi proses pembelajaran bahasa-sastra Jawa Kuno
dan Bali. Di sisi lain, dalam konteks mengelirkan teks, terjadi proses kreatif
merebut makna dan membahasakan kembali teks itu dengan bahasa Bali. Geguritan
Saracamuscaya adalah salah satu karya kreatifnya yang kaya pesan moral.
Tindakan bermoral, seperti bersyukur, melaksanakan kewajiban hidup,
mengendalikan perilaku, mematuhi janji diri, dan membebaskan diri dari
keterikatan duniawi adalah perilaku dharma
’bajik’. Sebab, tanpa berperilaku bajik tidak mungkin hidup bahagia.
Kata kunci: Anak nyastra, dharma.
PENDAHULUAN
Bagi anak
nyastra ‘para pencinta sastra Bali’,
geguritan adalah media utama
untuk mengabadikan dan menyebarluaskan gagasan kreatif. Salah satu dari sekian
banyak anak nyastra yang produktif adalah I Wayan Djapa. Ia adalah seorang
guru. Lahir di Tabanan Bali tahun 1939. Orang tuanya petani perantau yang
berasal dari Singaraja, Bali. Dari sejak kecil Djapa memiliki hobi nyastra ’olah sastra Bali tradisional’.
Kerja kreatifnya adalah kerja persembahan yang karena itu laku hidupnya adalah
sebuah keteladanan. Karena baginya, kerja kreatif adalah proses menuju
kelepasan. Dalam rangka itu, belajar, bekerja, meladeni masyarakat, dan
bersyukur adalah sebuah yadnya
’kurban suci’. Kerja yang benar dan bermanfaat adalah kerja profesional yang
ikhlas atas dasar bakti untuk pencerahan diri dan masyarakat.
Djapa
bersama sang istri, Luh Sucika, memiliki rasa cinta yang demikian mendalam pada
nilai-nilai luhur sastra Jawa Kuno. Baginya, Dharma adalah pesan moral yang bernilai universal. Itulah nilai
sastra Jawa Kuno yang menjadi daya spiritual yang jika dibatinkan tentu dapat
menjadikan orang berdaya dan berjaya dalam melakoni hidup (Yasa, 2010:124).
Tetapi sayang, proses pewarisan nilai itu ”terputus”. Hal itu disebabkan,
antara lain, oleh kesenjangan bahasa, bahwa bahasa Jawa Kuno yang menjadi media
karya-karya para kawi Jawa Kuno yang diwarisi di Bali tidak lagi diminati oleh
generasi Bali di abad modern ini. Oleh karena itu, dan mengingat tradisi macapat di Bali masih eksis, maka Djapa
dengan senang hati mengurbankan dirinya sebagai media transpormasi dengan jalan
mem-Bali-kan nilai-nilai teks sastra Jawa Kuno dimaksud ke dalam bentuk geguritan berbahasa Bali. Salah satu
karya Djapa yang kaya pesan dharma
yang kali ini dibicarakan adalah Geguritan
Saracamuscaya. Bagaimanakah unsur-unsur dharma
itu diwacanakan kembali oleh Djapa?
PEMBAHASAN
Saracamuscaya Sebagai
Nyanyian Dharma
Bagi Djapa, karya sastra adalah sarana
pembelajaran sosial-religius. Dalam epilog Geguritan
Saracamuscaya (XXXVII, Pangkur:30)
ia menyatakan pendiriannya: “Boya saking
titiang uning, melede ngawinang purun, madàna-puóya amàtra, maúaraóa antuk
geóðing, mogi ratu, wénten pikenohnya”. ‘Bukan karena saya berpengetahuan.
Tetapi, karena saking ingin (berbuat baik) maka saya memberanikan diri untuk
mempersembahkan sedikit dana dalam bentuk nyanyian. Semogalah Tuan, nyanyian
ini ada manfaatnya’.
Geguritan adalah gending,
yaitu karya seni untuk dinyanyikan. Tanpa dinyanyikan geguritan itu mati. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, secara
tersamar Djapa berharap: “Mogi ratu wenten pikenohnya”. ‘(Bacalah)
Tuan, semoga ada manfaatnya’. Adapun yang bermanfaat itu, di samping aspek
estetik irama dan kekhasan bahasanya, tentu adalah pesan moral yang terkandung
di dalam gending itu. Gending tanpa pesan moral tidak banyak
gunanya. Oleh karena itu, atas argumen keyakinan religius Djapa mengimbau:
Widyà
Sàrasamuúcaya, sàrin-sàrin Sang Hyang Aji, jroning Mahàbhàrata,
Mahàbhàratane raris, Itihàsa kawastanin, jalaran molih kaweruh, sakàjaring
Catur Weda, awinan ya sareng, patùt cumpu, ngwacen Sàrasamuúcaya (GSS, XXXVII, Pangkur:31)
‘Pengetahuan Saracamuúcaya adalah sari-sarinya ilmu pengetahuan suci yang
terdapat dalam Mahàbhàrata. Mahàbhàrata adalah kitab Itihàsa ‘epos’, yaitu media untuk
memperoleh pengetahuan sebagaimana yang diajarkan oleh empat kitab Weda. Oleh
karena itu, kita sepatutnya ikut membaca Sàrasamuúcaya
dengan penuh keyakinan’.
Sàracamuúcaya yang digubah kembali oleh
Djapa ke dalam bentuk sastra geguritan
adalah salah satu kitab suci agama Hindu di Indonesia yang pa-ling populer di
antara kitab etik lainnya. Isinya adalah kearifan hidup dengan penekanan ajaran
pada aspek susila ‘ajaran moral
religius’ yang disarikan dari itihàsa
‘epos’ Mahàbhàrata oleh Bhagawan
Wararuci. Sebagaimana halnya kitab Hindu di Indonesia umumnya, teksnya dibangun
atas dalam bentuk sloka ‘syair suci’.
Jumlah sloka-nya 517 bait.
Masing-masing sloka itu
diterjemahterangkan dalam bahasa Kawi. Sejak Indonesia merdeka, kitab itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang populer antara lain oleh, I Gusti
Bagus Sugriwa dengan judul Kitab Sutji
Saracsamustjaja (1962); I Nyoman Kajeng dengan judul Sarasamuscaya dengan teks
Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna (1979); I Gde Pudja dengan judul Sarasamuúcaya (?). Diterjemahkan ke
dalam bahasa Bali oleh I Made Menaka dengan judul Saracamuccaya (1985). Disadur ke dalam bentuk Geguritan oleh I
Ketut Repet dengan judul Geguritan
Saracamuscaya (1964) dan oleh I Wayan Djapa dengan judul Geguritan Sarasamuúcaya (2009).
Karena merupakan karya seorang bhagawan ‘guru suci’, maka kitab Sarasamuscaya bukanlah karya biasa,
tetapi karya yang mijil saking buddhi
sang kawi kajanaloka ‘lahir dari batin seorang pengarang yang sudah terkenal
kesuciannya’(GSS, I, Sinom:6). Oleh
karena itu, tan mari dados penuntun,
úàstràgama maring jagat ‘selalu menjadi tuntunan hidup di dunia, yaitu
sebagai úàstràgama ‘kitab
agama’. Artinya, tema dan amanat karya
seorang maharsi, yaitu orang yang
mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, akan selalu relevan
sebagai suluh dan katarsis ‘menyucikan’
hidup pembacanya. Atas dasar pemahaman, pengalaman, dan keyakinan seperti
itulah, maka Djapa mengimbau bahwa dalam menyanyikan Geguritan Sarasamuúcaya pembaca patut
cumpu ‘sebaiknya menyanyikannya dengan penuh keyakinan’. Tujuannya agar
pembaca memperoleh pencerahan dan pibrasi aura mistis yang maksimal dari teks
suci yang dicerap.
Dalam
tradisi nyastra atau aguron-guron ‘sistem belajar dalam
tradisi religius Bali’, gending atau
lebih luas karya sastra adalah sarana pendidikan yang efektif. Karena sastra dapat sekaligus
mengasahhaluskan dua kecerdasan, yaitu memperhalus kecerdasan emosional dan
mengasah kecerdasan intelektual. Artinya, tujuan pendidikan dalam tradisi nyastra adalah menjadikan orang bermoral
dan sekaligus memiliki wawasan yang luas dan dalam. Maka dalam tradisi nyastra, moral itulah yang menjadi
tujuan pendidikan yang pertama, tidak sebaliknya. Keyakinan para guru tradisi
ini adalah tanpa moral yang baik, tanpa keluhuran budi ilmu pengetahuan yang
dipelajari dapat menjadi bumerang, baik bagi sang pemiliki ilmu maupun bagi
masyarakat.
Bersyukurlah
Atas Karunia Hidup Sebagai Manusia
Moral pertama-tama bersangkutan dengan keadaan
mental seseorang, yaitu perasaan. Kenyataan hidup yang dirasakan oleh sebagian
besar manusia yang waras adalah merasakan diri sebagai makhluk malang. Malang
karena hidup mengalami dan dihadang oleh berbagai macam tekanan. Misalnya,
tertekan karena mengalami krisis kesehatan, cinta, usia tua, kematian, sosial,
ekonomi, ekologi, dan yang lainnya. Artinya, secara psikologis manusia
seringkali merasakan dirinya stres. Menyadari hal itu, setelah menyimpulkan
hasil kontemplasinya tentang hidup, anak
nyastra melakukan tindakan didaktis dengan pertama-tama menyasar kondisi
psikologis masyarakat (pembaca). Asumsi mereka bahwa sebagaian besar anggota
masyarakat tidak memahami dasar, cara, dan tujuan hidup yang sejati. Oleh
karena itu, mereka ada dalam kondisi
stres. Untuk menolong mereka agar tidak stres, maka langkah pertama yang
dilakukan oleh anak nyastra adalah menghiburtenangkan
emosi masyarakat (pembaca). Ajakan mereka: “Ngiring
magending sambilang malajahang dewek”
‘Mari bernyanyi sambil mengajar diri’ agar dapat memahami, menikmati, dan
mensyukuri hidup ini. Dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya hidup ini adalah sebuah karunia.
Awinannya sampunang juwa sungkawa, padé dados anak miskin,
dumadi dados manusa, agetang pesan ring manah, duaning dahat ketil, si janma
manusa, yadyastun candala yoni (GSS,
I, Durma:4).
‘Oleh karena itu, janganlah bersedih
walaupun menjadi orang miskin sekali pun. Sebab, dapat menjelma menjadi manusia
adalah kesempatan yang sangat langka, walau pun berkewangsaan hina sekali pun’.
Mengapa?
Wireh indik manumadi dados manusa, jati dahat mahotami,
mawinan sapunika, sida ruwat saking sangsara, úubha karma maka titi, lintang
sadia, sang dumadi dados jadmi
(GSS, I, Sinom:5).
‘Sebab, prihal menjelma menjadi manusia
sungguhlah sangat utama. Dikatakan demikian, karena dengan menjelma menjadi
manusia, kita dapat ruwat dari kesengsaraan. Jalannya adalah dengan
melaksanakan úubha karma ‘perbuatan
baik’. Itulah keutamaan dari jiwa yang dapat menjelma menjadi manusia’.
Dalam
sistem keyakinan Hindu, hidup sebagai manusia ini adalah bagian dari sebuah
proses kehidupan yang panjang. Hidup ini adalah sebuah evolusi. Makhluk
mengalami tumimbal lahir berulang kali yang disebut punar-bhawa. Setiap kelahiran mendapat wujud yang berbeda
tergantung dari bekas akibat perbuatnya di masa lalu: “Tùt phala karma wasàna, wasàna ngaran sangskàra, ambun laad kardine
nguni” ‘yaitu mengikuti pahala karma wasàna. Karma wasàna adalah sangskara,
yaitu bekas perbuatan dahulu’ (GSS, I, Durma:9).
Perbuatan baik berpahala sorga. Manakala masa memetik pahala baik itu habis,
tinggallah wasana ‘bekasnya’. Bekas karma yang membungkus roh itulah yang
menyebabkannya kembali lahir ke dunia. Kelahiran sorga inilah yang disebut dewai sampad. Tanda orang kelahiran
sorga adalah nasib baik. Sebaliknya, hidup dalam nasib buruk adalah tanda
kelahiran asuri sampad ‘dari neraka’. Lahir sebagai manusia, walaupun bernasib
buruk adalah tanda keberuntungan. Jauh lebih beruntung ketimbang lahir sebagai
binatang. Oleh karena itu, Bhagawan Wararuci menasehati pembacanya:
Matangnyan haywa juga wwang manastapa, an tan paribhàwa,
si dadi wwang ta pwa kagöngakêna ri ambêk, apayapan paramadhurlabha i-king si
janma mànuûa ngaranya, yadyapi caóðàla yoni tuwi (SS:3).
‘Oleh karena itu jangan sekali-kali
bersedih, sekalipun hidupmu tidak makmur. Kelahiran sebagai manusia sepatutnya
menjadikanmu berbangga. Sebab, amatlah sukarnya dapat lahir sebagai manusia,
walaupun lahir sebagai orang hina sekalipun’. Mengapa?
Laksanakanlah Dharma
Dalam
sistem keyakinan Hindu di Indonesia, Karma-phala
adalah sebuah kepastian, yaitu hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, karma phala adalah sraddha ‘iman’ yang ketiga dari lima iman yang disebut panca sraddha ‘percaya bahwa ada
Tuhan, roh, hukum sebab-akibat, evolusi,
pembebasan’. Tidak ada akibat tanpa sebab. Tidak ada sesuatu apapun yang
tercipta dapat terhindar dari hukum ini. Karma
dengan demikian, adalah salah satu aspek ontologis ajaran susila ‘moral’ yang menjawab permasalahan mengapa orang dihimbau
untuk selalu berusaha untuk berbuat baik dan menghindarkan diri untuk berbuat
buruk.
Manusia
tidak dapat duduk diam tanpa melakukan karma.
Tidak seorang pun dapat menghindari keadaan yang sulit ini. Oleh karena itu,
setiap orang harus memahami sejelas-jelasnya jenis karma apa yang harus dilakukannya. Hanya ada dua jenis karma: (1) karma yang berhubungan dengan panca indera atau karma yang mengikat. Dalam bahasa
Sanskerta disebut vishaya karma. (2)
karma yang membebaskan atau sreyo karma
(Narayana,1991:1). Bhagawan Wararuci mengistilahkan dua karma itu menurut akibat yang ditimbulkannya: aúubha karma ‘perbuatan yang berakibat buruk’ dan úubha karma ‘perbuatan yang berakibat
baik’(SS:7).
Keberuntungan
lahir sebagai manusia adalah karena manusia wenang
tumulung awaknya sangkeng sangsàra, maka sàdhanang úubhakarma (SS:4).
‘dapat menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan dengan cara berbuat bajik’.
Pernyataan SS sloka 4 selengkapnya dibahasabalikan oleh Djapa sebagai berikut.
Wireh indik numadi dados manusa, jati
dahat mahottami, mawinan asapunika, sida ruwat saking sangsara, úubha karma
maka titi, lintang sadia, sang dumadi jadmi (GSS, II, Durma:5).
‘Sebab,
prihal menjadi manusia sungguh sangat utama. Mengapa demikian, karena manusia
dapat meruwat dirinya dari sangsara dengan jalan úubha karma. Maka itu, sungguh beruntunglah ia menjelma menjadi
manusia’.
Walaupun
sejak purwakala orang-orang arif telah menginformasikan kepastian seperti itu,
toh fenomena hidup, terlebih-lebih di zaman modern ini, menunjukkan bahwa orang
lebih cenderung melakoni hidup dengan melakukan vishaya karma ‘perbuatan untuk memuaskan hasrat duniawi’ secara tak
terkendali. Amir Piliang (2004) bahkan sampai pada simpulan bahwa kini dunia
telah dilipat melampaui batas-batas kebudayaan sehingga terjadilah berbagai
musibah seperti banjir Nabi Nuh. Pemicunya adalah manusia dibanjiri oleh
tawaran-tawaran instan yang merangsang ambisinya untuk mendapatkan sesuatu yang
lebih. Inilah keadaan yang disebut sebagai fenomena globalisasi hasrat yang
justeru berpacu menuju ekstrimitas. Dan inilah persoalan kemanusiaan yang
memprihatinkan anak nyastra di
sepanjang jaman. Wacana keprihatianan Bha-gawan Wararuci dibahasabalikan oleh
Djapa sebagai berikut.
Awanan kadi titiang, mangulapin kauk-kauk mapakeling,
sajroning mangaruruh, artha kàmané punika, wantah dharma maka titi mangaruruh,
sampunang miwalin dharma, sapunika titiang makeling.
Sakewanten arang pisan, mangarungu réhning kocap dahat
ketil, manyolahang dharma sàdhu, napi minab ne mangawinang, sujatinnya
sajeroning mangaruruh artha kamané punika dharmané margiang rihin (GSS, III, Pangkur: 1-2).
‘Mengingat hal yang memprihatinkan itu,
maka saya memanggil-manggil mengimbau. Di dalam mencari harta dan nikmat
duniawi, hanya dharma itulah jalan
untuk mendapatkannya. Jangan sekali-kali meninggalkan dharma. Demikianlah saya mengimbau.
Tetapi sayang, jarang sekali orang mau
mendengarkan panggilanku. Sebab, kata mereka, sangat sulit berbuat arif menurut
dharma. Heran, apakah kira-kira yang
menyebabkan mereka berkata demikian? Padahal telah dipastikan, dalam mencari
harta dan kesenangan, dharma itulah
yang patut dilaksanakan terlebih dahulu’.
Dibanding dengan menjalankan wiûaya karma ‘bersuka ria’: mendapatkan
harta dan nikmat sensual melalui jalan pintas memang jauh lebih sulit sreya karma ‘berbuat baik’.
Terlebih-lebih lagi, hasil berbuat baik itu tidak diperoleh seketika. Jadi,
berbanding terbalik dengan hasil instan yang dirasakan ketika orang
melaksanakan aúubha karma. Akan tetapi, orang nyastra mengatakan: “Tan
pasari iku artha kàma punika, yan kakeniyang antuk dasar tan rahayu” (GSS,
III, Pangkur:3) ‘Tidak ada gunanya
harta dan kenimatan yang diperoleh dengan cara tidak bajik’. Karena, harta dan
kesukaan yang diperoleh dengan jalan pintas berakibat tidak baik di kemudian
hari. Oleh karena itu, sampai sejauh ini orang arif tetap bersikukuh pada dan
menyerukan jalan dharma. Katanya
lebih lanjut: “dharmané margiang rihin”
‘Laksanakanlah dharma itu terlebih
dahulu’. Tetapi, apakah dharma?
Karena saking luas cakupannya, istilah dharma sungguh sulit didefinisikan.
Bhagawan Wararuci mendefinisikan: “Ikang
dharma ngaranya, hênuning mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an
hênuning baóyaga nêntasing tasik” (SS,14) ‘Dharma ialah jalan pergi ke sorga. Bagaikan fungsi perahu. Bagi
pedagang perahu adalah alat untuk menyeberangi lautan’. Penjelasan dharma itu disyairkan oleh Djapa sebagai
berikut.
Ne kasengguh madan dharma, jatinipun wantah marupa margi,
mangulati swarga iku, kadi gatining banawa, ne mateges sampan jukung lan
perahu, kantisrayan i saudagar, rikala nglintangin pasih (GSS,III, Pangkur:5).
‘Yang disebut dharma, sesungguhnya hanya berupa jalan menuju sorga. Seperti
halnya banawa, yaitu sampan, jukung,
dan perahu adalah sahabat penting bagi si pedagang ketika ia menyeberangi lautan’.
Penjelasan yang singkat itu tentu belum
banyak manfaatnya bagi pembaca awam. Oleh karena itu, penjelasan dharma itu lebih dirinci:
Wantah dharmane punika, kapatutan sampun pasti, wibhàwa
taler punika, wantah kalebaning hati, tatak maring panes etis, nika tamba pinih
manjur, maka miwah prayaúcitta, pamunah laraning ati, jatin ipun, tamba wénten
jalan mula.
Kaweruh sane sampùróa, tampih antuk éling tiling,
panguning telebing tatwa, nika tatujone jati, sida ngawé idup trepti, ahimsàné
patut duluh nénten ngadok sakawenang, nénten konggwan krodha malih, ika tuhu,
kabawos jatining suka
(GSS,III, Sinom:25-26).
‘Dharma
itu sudah pasti adalah kebenaran. Kewibawaan juga adalah itu. Itu juga adalah
kelembutan hati. Ketahanan mental menghadapi panas dingin. Itu juga adalah obat
yang paling utama dan prayascita,
yaitu pemusnah derita hati. Dan sesungguhnya, dharma itu adalah obat yang ada di sini, dekat di tempat.
Dharma
adalah pengetahuan yang sempurna yang didampingi oleh kesadaran yang terfokus,
yaitu pengetahuan yang mendalam tentang hakikat. Itulah tujuan yang sejati yang
dapat membuat hidup ini bahagia. Dharma adalah ahimsà ‘tidak menyakiti’. Itulah jalan yang patut dilalui, yaitu
tidak menghalalkan segala cara. Dan tidak dikusai oleh sifat marah. Itulah yang
disebut suka sejati’.
Dari syair tersebut dapat diketahui
bahwa dharma itu adalah kebenaran,
kesadaran, sumber kewibawaan, sarana penyuci pikiran, tapa, kehalusan hati,
emoh kekerasan, dan sifat tidak pemarah. Dan karena itu, dharma adalah penyebab orang dapat hidup bahagia. Dalam wujud teks
dan prilaku, Dharma itu adalah “asing kàjar dening Hyang Sruti, sakàjar
Smreti muwah, dharma kawastanin, úiûþa àcàrane malih, taler dharma kawastanipun”
(GSS, IV, Sinom:4) ‘segala yang
diajarkan dalam kitab wahyu, segala yang diajarkan oleh kitab tafsir adalah dharma. Demikian pula siûþa àcàra itu juga disebut dharma. Siûþa àcàra adalah perilaku orang yang berpegang teguh kepada
kebenaran. Perilaku dharma Beliau
itulah yang patut diteladani’. Demikian penjelasan Bhagawan Wararuci. Lalu
bagaimanakah perilaku dharma orang
suci itu?
Kendaikanlah
Tindakanmu
Dalam
terminologi Hindu, tindakan itu ada tiga disebut trikaya, yaitu tindakan pikiran, tindakan mulut, dan tindakan
badan. Apabila tiga tindakan itu berjalan harmonis menurut dharma disebut trikaya
parisuddha ‘tiga tiga tindakan suci’. Tiga tindakan suci inilah yang
disebut perilaku dharma. Beginilah
Djapa mebahasabalikan wejangan Bhagawan Wararuci tentang perilaku dharma itu:
Sane patut waspadayang, yéning wénten prawretti,
malantaran Teri Kàya, nénten manglédangin kayun, ngawé duhka sungkan manah,
sampunang ugi, tibakanga ring wong liyan. Harimbawané punika, maka titi
maprawretti, yening sida sapunika, dharma iku wastanipun...(GSS, V, Ginada:1-2).
‘Inilah yang patut diwaspadai. Jika ada
perbuatan, yaitu dalam tiga perbuatan yang tidak menyenangkan hati, perbuatan
yang menyebabkan pikiran sendiri berduka. Jangan sekali-kali menimpakan
perbuatan itu kepada orang lain. Itulah perbuatan yang disebut harimbhawa, yaitu jalan yang menuntun
orang dalam berperilaku. Dapat berbuat bajik demikian itulah yang disebut
perbuatan dharma’.
Harimbawà adalah moto moral dalam kitab Sarasamuscaya (40). Secara leksikal kata
harimbawà berarti baik budi, penuh
perhatian, sangat merasa kasihan, simpatik, altruistik (Zoetmulder, 1995:339).
Sikap dan perilaku yang penuh tenggang rasa itu dijelaskan: “Hana ya prawretti, kapuhara dening kàya,
wàk, manah, ndàtan panukhe ya ri kita, magawe duhka puhara hågroga, yatika tan
ulahakênanta ring len” ‘Jika ada hal yang ditimbulkan oleh perbuatan,
perkataan, dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, apalagi itu
menyebabkan kamu menderita sakit hati, hal itu jangan sekali-kali dilakukan
pada orang lain’. Sekali lagi Wararuci mengimbau: “Sàsing tan kahyun yàwakta, yatika tan ulahakênanta ring len”
(SS,44) ‘Segala hal yang tidak menyenangkan dirimu, hal itu jangan pula
dilakukan pada orang lain’.
Rincian tindakan baik itu dikenal dengan
istilah karma patha, yaitu kahretaning
indriya ‘cara mengendalikan indera’ agar dapat hidup dalam suasana damai.
Rinciannya ada sepuluh sebagai berikut.
Prawrettin manahé wedar, palih ipun telung bagi, nénten
iri muwah péstad, maring gelah anak iku, nenten krodhéng sarwa satwa, kaping
teri, seken ngugu karma phala.
Prawettin bawosé wedar, palih ipun petang bagi, nénten
kéngin mojar hala, nénten bangras cegak-ceguk, nénten miúuna lan mithya, jeg
impasin, sajeroning mawacana.
Prawrettining kàya wedar, palih ipun telung bagi, ahimsàne
kaprethama, tan mamandung dulur ipun, miwah nénten paradàra, mogi éling, anggén
bekel kahuripan (GSS, VII, Ginada:2-5).
‘Tindakan pikiran dijabarkan atas tiga
bagian, yaitu (1) tidak sirik dan menginginkan milik orang lain. (2) Tidak
marah kepada segala jenis makhluk, Dan (3) berkeyakinan teguh kepada karma phala.
Tindakan mulut dijabarkan. Bagiannya ada
empat jenis, yaitu (1) pantang berkata buruk, (2) tidak berkata-kata kasar
menghardik, (3) tidak berkata fitnah, dan (4) tidak berbohong. Pokoknya
hindarilah ke empat itu dalam berbicara.
Tindakan badan dijabarkan. Bagiannya ada
tiga jenis, yaitu (1) tidak membunuh, (2) tidak mencuri, dan (3) tidak
berselingkuh. Demikianlah semoga diingat sebagai bekal kehidupan’.
Dari
uraian tersebut di atas dapatlah dimengerti bahwa aspek epistemologi ajaran
moral dalam GSS adalah trikaya parisuddha.
Sikap dan perilaku harimbawà
‘altruistik’ adalah motonya: sikutang ke
dewek ‘berbuatlah menurut ukuranmu’. Artinya, jika hal itu menyebabkan diri
sendiri berduka, jangan pula hal itu dilakukan kepada orang lain.
Kuasailah
Pikiranmu
Di
antara trikaya itu manah ‘pikiran’ adalah kunci kehidupan.
Berhasil tidaknya orang mengelola hidup ditentukan oleh pikirannya. Yad bhàvam tad Bhàvati ‘ bagaimana kamu
berpikir demikianlah kamu menjadi’.
Dalam GSS (VIII, Ginada:1-2)
kedudukan dan fungsi pikiran itu disyairkan sebagi berikut.
Daging ipun yan bawosang, manahe ya dados bibit, andelé
jeroning manah, saking andel bawos metu, tumuli ya malaksana, wastu raris,
manah kabawos pradana.
Munggwing manahe punika, bongkol indriyane jati, tumuli ya
malaksana, úubhàsubha karméku, mawinan sampunang ampah, yatna ugi, ngeret miwah
mitet manah.
‘Jika dibicarakan simpulannya, bahwa
pikiran itulah benih. Manakala orang telah yakin dalam pikirannya, maka
keluarlah ia berupa kata-kata lalu bertindak. Oleh karena itu, pikiran itulah
penyebab.
Ketehuilah bahwa, pikiran itulah pangkal
indera yang sesungguhnya. Pikiranlah yang menyebabkan orang melaksanakan yang
disebut úubha karma ‘perbuatan baik’
atau aúubha karma ‘perbuatan buruk’.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali mengabaikannya. Hati-hatilah, ikat dan
mengendalikanlah pikiranmu’.
Membatasi
dan mengendalikan pikiran adalah persoalan yang sangat penting dan sekaligus
sangat pelik. Djapa pun menyadari betul kesulitan ini. Walaupun demikian, kita
tak usah berkecil hati. Katanya mengimbau:
Kabawosang dahat sengka, nyaluhang ne madan becik,
sajeroning terikaya, diastu yukti dahat kéwuh, utsahayang nyabran dina, da
makirig, mula ketil ngalih melah (GSS, VII, Ginada:7).
‘Dijelaskan bahwa memang sulit untuk
membiasakan diri melaksanakan hal yang disebut baik dalam tiga tindakan.
Walaupun betul sangat pelik, usahakanlah setiap hari. Jangan mundur. Memang
sulit mencari yang baik’.
Jalan úubha karma, adalah nyaluhang
ne madan becik ‘membisakan diri agar selalu berbuat baik’. Benar, memang
tidak ada pilihan lain jika orang ingin bahagia. Oleh karena itu, úubha karma adalah jalan yang tidak
henti-hentinya dihimbaukan oleh orang arif.
Mereka menegaskan, utsahayang
nyabran dina ‘berusahalah berbuat baik setiap hari’. “Abhyàsavairagyàbhyàý tannirodaá”. Demikian kata Patanjali (YS,
II:12) ‘Tekunlah berlatih dengan tekad wairaghya
‘melepaskan diri dari keterikatan duniawi’. Mengkuti himbauan inilah yang
sulit, Djapa menyadari hal itu, maka ia berkata: “Mula ketil ngalih melah” ‘Memang sangat sulit mencari yang
baik’.
Walaupun demikian, karena tujuan hidup
ini adalah meningkatkan kualitas diri, maka satu-satunya jalan adalah menerima
hidup ini sebagai sebuah perjuangan melawan manah
bhranta ‘pikiran yang bingung’. Akan tetapi, sebelum berjuang mengusir
kebingunan diri, Maharsi Wararuci menyarankan agar orang terlebih dahulu
mempelajari seluk-beluk pikiran.Tanpa mengetahui hakikat dan perilaku pikiran,
tentulah sulit untuk dapat melatihnya. Pandangan Wararuci tentang sifat pikiran
sebagai berikut.
Nihan ta kraman ikang manah, bhrànta lungha swabhàwanya,
akweh inangên-agênnya, dadi pràrthana, dadi sangúaya, pinaka swabhàwanya (SS:81).
‘Beginilah prihal pikiran itu. Sifatnya
bingung, pergi ke sana ke mari, banyak yang diangan-angankan, keinginannya
menjadi-jadi, dan menjadi penuh kesangsian. Demikianlah wujud sifatnya’.
Wacana itu kemudian disyairkan oleh Djapa sebagai berikut.
Kraman ipun sane kawastanin i manah, bhrànta lunga
mrika-mriki, tan kidikan acepannya, pràrthana dadi sangúaya, parupayan ipun
jati, makawinan manahe patut tilikin (GSS, VIII, Durma:1).
‘Sifat dari yang disebut pikiran itu
adalah bhrànta, yaitu bingung atau
kacau, pergi ke sana ke mari, tidak sedikit cita-citanya, keinginannya
menjadi-jadi, dan sering kali penuh keragu-raguan. Demikianlah sesunguhnya
perwujudan pikiran itu. Oleh karena itu, pikiran itulah yang pertama-tama patut
diselidiki’.
Jadi
sifat dasar pikiran itu adalah bhrànta ‘mengembara,
bingung, ragu-ragu, dan keliru’. Patanjali menyebut keadaan pikiran itu sebagai
wretti ‘gerak, fluktuasi, gelombang
pikiran’. Ada empat jenis gelombang pikiran: pramàna, viparyaya cikalpa nidrà småtaá (YS, I:6) ‘pramana, yakni pikiran yang benar, viparyaya, yakni pikiran yang keliru, vikalpa, yakni pikiran yang mengkhayal, nidra, yakni pikiran yang lembam, dan smreti, yakni pikiran yang mengingat’.
Dan yang disebut pikiran yang bhranta
adalah pikiran yang keliru, yang mengkhayal, yang lembam, dan ingatan salah.
Patanjali mengajarkan, pramana ‘pikiran yang benar’ hanya mungkin
dimiliki apabila orang mau melakasanakan
tapa svadhyaya Iúvarapranidhana
(YS,II:1) ‘tapa, yaitu mengurbankan
diri dengan mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan agar berjalan di
jalan kebenaran; svadhyaya, yaitu
giat belajar secara mandiri sehingga hakikat, cara, dan tujuan hidup diketahui;
dan Iúvarapranidhana, yaitu selalu
bakti kepada Tuhan sampai memiliki kesadaran religius bahwa tiada sesuatu
apapun selain Tuhan. Bahwa Ia Yang Esa itulah yang sesungguhnya berkenan
menghadirkan diri-Nya menjadi berbagai wujud ini.
Patuhilah Dua
Puluh Janji Diri
Tiga metode pengendalian pikiran
tersebut di atas merupakan bagian yang penting dari unsur ajaran moral yoga yang disebut yama niyama brata (YS, II:29). Yoga
adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, yaitu dengan jalan
mengendalikan fluktuasi pikiran agar bergerak tenang terfokus menuruti jalan
kebenaran (YS, I:2). Adapun yang dimaksud dengan yama adalah ne patut kardinin
‘mengerjakan yang benar’ (GSS,XXI, Ginanti:1).
Sementara niyama adalah unsur-unsur
pengukuh yama. Unsur-unsur moral yama-niyama dijabarkan secara panjang
lebar oleh Bhagawan Wararuci dalam kitab SS. Lalu Djapa menyairlagukannya dalam bahasa Bali. Dikutif
selengkapnya sebagai berikut.
Sane madan yama iku, gebogannya dasa sami, munggwing
carcan ipun sowang-sowang, anreúangsa kûama malih, satia ahimsà lan dama,
àrjawa prasàda prìti
(GSS, XXI, Ginanti:3).
‘Adapun yang dimaksud yama itu, seluruh unsurnya ada sepuluh.
Rinciannya masing-masing, yaitu anreúangsa, kûama, satia, ahimsà, dama,
àrjawa, prasàda, prìti’,
Màdhurya màrdawa muwah, jangkep ya adasa sami, anreúangsa
harimbawa, tan ngulah suka padidi, kûama ya martos tatak, kelan maring panes
tis (GSS, XXI, Ginanti:4).
‘Màdhurya,
dan màrdawa. Lengkaplah sudah sepuluh
banyaknya. (1) anreúangsa adalah harimbawa, yaitu tidak semata-mata
mengusahakan kesenangan diri; (2) kûama
artinya tahan, yaitu tahan uji menghadapi keadaan panas dan dingin’;
Satia tuwon teges ipun, nenten nanin mreûàwàdi, ahimsà
mangawe suka, sarwa bhàwa maring gumi, dama ngaran upaúama, uning mituturin
diri (GSS, XXI, Ginanti:5).
‘(3) Satia
artinya tidak pernah berbohong; (4) ahimsà,
yaitu berusaha membuat bahagia semua makhluk hidup di dunia; (5) dama artinya sabar dan tahu menasehati
diri sendiri’;
Arjawa ne mangkin wuwus, duga-duga bener yukti, prìti
ngaran göng karuóa, prasàda ya manah hening, màdhurya wàk panon lindya, màrdawa
lemuhing budddhi (GSS, XXI, Ginanti:6).
‘(6) Arjawa
sekarang dijelaskan, yaitu terus terang atau tulus hati; (7) prìti, yaitu sangat welas asih; (8) prasàda, yaitu berpikiran jernih; (9) màdhurya, yaitu pandangan dan perkataan
yang manis; dan (10) mar-
dhawa,
yaitu berbudi lembut’.
Ne madan niyama wuwus, gebogan dasa sami, bacakannya
sowang-sowang, dàna ijyà tapa malih, dhyàna, swàdhyàya muwah, upasthanigraha
malih (GSS, XXI, Ginanti: 7).
‘Adapun yang disebut niyama, jumlahnya juga sepuluh semuanya.
Masing-masing yaitu, dàna, ijyà,
tapa, dhyàna, swàdhyàya, upasthanigraha’,
Brata upawàwa muwuh, mona miwah snàna malih, jangkep
sampun adasa, dàna weh anna dhànàdi, ijyà ngaran dewa pùjà, pitra pùjà tiyos
malih (GSS, XXI, Ginanti: 8).
‘Brata,
upawàsa,mona, dan snàna.
Lengkaplah sudah sepuluh. (1) Dàna
artinya menyumbangkan makanan dan dana yang lainnya; (2) ijyà
artinya memuja dewa dan yang lainnya lagi adalah memuja leluhur’;
Tapa ngiring lantur wuwus, purun mamanesin diri, nenten
ajrih aking berag, nenten nayub toya nawi, miwah sane lian-liyanan, sirep duur
tanah malih (GSS, XXI, Ginanti: 9).
‘Mari kita lanjut membicarakan (3) tapa, yaitu berani mengurbankan diri,
tidak takut diri menjadi kurus kering, puasa tidak minum air, tidur di atas
tanah, dan yang lain-lainnya’;
Dhyàna mùjà Siwa iku, swàdhyàya Weda purukin, teges
upasthanigraha, mitet pacumbanan tuwi, brata janji maring raga, upawasa
anna-warjàdi, (GSS, XXI, Ginanti: 10).
‘(4) Dhyàna
yaitu tekun memuja Siwa ‘Tuhan’; (5) swàdhyàya,
yaitu tekun mempelajari Weda; (6) upasthanigraha
artinya membatasi diri dalam melakukan hubungan seks; (7) brata adalah janji diri, (8) upawasa
‘melakukan puasa anna-warjàdi,
Anna-warjàdi teges ipun, mitet pangan kinum, miwah
sakancan punika, mona ne mangkin tegesin, wàcang yama ngeret ujar, mitet bawos
ketegesin (GSS, XXI, Ginanti: 11).
‘Anna-warjàdi
artinya, mengendalikan diri dalam hal makan dan minum dan yang sejenis itu; (8)
mona sekarang dijelaskan, yaitu
bagian niyama yang berarti
mengendalikan wicara atau mengendalikan pembicaraan;
Snàna bratane pamuput, trisandhyà sewana màrti,
ma-trisandhyà ya tegesnya, ne ping tiga ya awai, mabresih nyuciang raga, taler
ping tiga awai (GSS, XXI, Ginanti: 12).
‘(9) Snàna
adalah janji spiritual yang terakhir, yaitu
trisandhyà sewana yang artinya
melakukan trisandhya, sembahyang tiga
sekali sehari. Membersihkan dan menyucikan diri, juga tiga kali sehari’.
Kedua puluh unsur moral dalam SS
(258-260) yang dibahasabalikan tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut
dari unsur pertama dan kedua, dari aûþàngga
yoga ‘delapan tangga yoga’ sebagaimana yang disusun oleh Maharsi Patanjali
dalam buku YS (II:30,32): (1) yama
terdiri atas ahimsà ‘pantang
mengakukan tindak kekerasan’, satya
‘jujur, pantang berbohong’, asteya
‘pantang mencuri’, brahmacari
‘pantang mengumbar nafsu seks’, dan aparigraha ‘pantang berpoya-poya’. Sedangkan (2) niyama terdiri atas sauca
‘suci lahir-batin’, santosa ‘tenang,
sentosa’, tapa ‘tahan uji’, swàdhyàya ‘tekun mempelajari kitab
suci’, dan iúwarapranidhàna ‘bakti kepada Tuhan’. Tiga unsur niyama,
yaitu tapa, swàdhyàya, dan Iúwarapranidhana
kemudian dijadikan sebagai unsur inti ajaran kriyà yoga (SS,II:1).
Kriyà adalah kata lain dari karma,
yaitu tindakan, usaha, pekerjaan. Suatu tindakan atau kerja akan disebut yoga
ababila kerja itu dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan. Badan berkaitan
langsung dengan karma. Badan
merupakan lapangan untuk segala perbuatan, maka disebut karma ksetra. Waktu dan tempat karma
diatur oleh alam. Oleh karena itu, dalam karma
itulah Tuhan, manusia, dan alam menyatu. Segala sesuatu di dunia ini adalah
hasil karma. Atas kesadaran
ketunggalan tiga unsur itulah, maka para yogi beranggapan bahwa berbuat baik
adalah kewajibannya yang utama. Dengan demikian, karma bersifat sakral. Rsi Upaniûad mengimbau: “Bersujudlah pada karma” (Narayana, 1996:392).
Berbuat baik adalah tindakan moralis,
yaitu tindakan yang (1) anresangsya
‘tidak mementingkan diri sendiri’; (2) ksama
‘pemaaf’; (3) satya ‘tidak berdusta’;
(4) àhimsa ‘tidak menyakiti makhluk
lain’; (5) dama ‘sabar dan dapat
menasehati diri sendiri’; (6) arjawa
‘terus terang’; (7) priti ‘welas
asih’; (8) pradasa ‘berhati murni’;
(9) madhurya ‘menatap lembut dan
bertutur kata manis’; (10) madharwa
‘lembut hati’; (11) dàna ‘dermawan’;
(12) ijya ‘bakti kepada para dewa dan
leluhur’; (13) tapa ‘giat dengan olah
tapa’; (14) dhyàna ‘kontemplatif
kepada Tuhan’; (15) swadhyaya ‘tekun
mempelajari pengetahuan suci’; (16) upasthanigraha
‘mengekang nafsu seks’; (17) brata
‘teguh memegang janji diri’ (18) upawasa
‘berpuasa makan-minum’; (19) mona
‘berpuasa bicara’; dan (20) snàna
‘memuja Tuhan tepat waktu’.
Nikmatilah,
Tetapi Bebaskan Diri Dari Hasil Kerja
Seperti telah dijelaskan di depan, karma pasti berpahala. Dikatakan bahwa
badan terbentuk atas dasar berbagai perbuatan yang dilakukan pada
kelahiran-kelahiran yang telah lalu. Manusia menerima badannya agar dapat
menikmati buah perbuatannya yang lampau. Demikianlah asal-usulnya badan yang
fana ini. Karma itulah yang
menjadikan manusia terikat pada siklus tumimbal lahir. Jadi, badan berkaitan
langsung dengan karma dan dengan
demikian, karma berarti badan
(Narayana, 1996:391). Hasil perbuatan bajik yang dilakukan sekarang tidak hanya
diterima pada kehidupan yang akan datang, tetapi juga pada masa hidup ini.
Salah satu perbuatan baik itu adalah mengendalikan nafsu atau emosi. Apakah
hasilnya?
Pikolih ngeret indriya, dirghàyuûa solah becik, pageh
kàlaning mayoga kaúaktian minakadi, yaúa dharma artha malih, punika pacang
kapangguh, yan kasidan ngret indriya, patut sareng sami tiling, jroning kayun,
sampunang ngalumbar indriya
(GSS, VI, Sinom:30).
‘Hasil mengendalikan nafsu adalah
panjang umur, perilaku baik, teguh saat beryoga, kejayaan antara lain berupa
nama baik, darma, dan kekayaan. Itulah hasil yang akan diperoleh jika berhasil
mengendalikan nafsu. Oleh karena itu, kita semua sebaiknya memusatkan perhatian
(untuk dapat bertindak baik), jangan mengumbar nafsu’.
Badan yang diterima sekarang merupakan
perwujudan perbuatan di masa lalu. Selanjutnya, perbuatan yang dilakukan
sekarang, pada masa hidup ini, akan menentukan wujud yang diterima oleh jiwa
yang bersangkutan pada kelahiran berikutnya. Subha aúubha karma, pacang dados bekel mulih, miwah mangjanma, sara
ledang mangkin milih (GSS, II, Durma:
10) ‘Baik buruk perbuatan, akan menjadi bekal pulang ke alam baka (sorga atau
neraka) dan kembali menjelma. Hasilnya terserah pilihan masing-masing’. Untuk
mendapatkan badan yang lebih baik di masa yang akan datang. Bhagawan Wararuci
me-ngimbau umatnya untuk giat berbuat baik. Apakah antara lain ciri-ciri
kelahiran dari orang yang pada masa hidupnya di masa lalu penuh dengan
perbuatan baik? Beberapa contoh hasil perbuatan baik di masa lalu yang telah
dibahasabalikan oleh Djapa sebagai berikut.
Sang pagehing úubha karma, benjang pungkur yening malih,
manumadi ka mrecapada saking swarga rawuh jagi, sujanma wìrya guóàdi, sugih
rendah lituhayu, tandang bungah
hinaleman, wasanan karmane becik ya pupu, sang pagehing úubha karma (GSS,III, Sinom:12).
‘Ia yang tekun melaksanakan kebaikan,
suatu saat nanti jika menjelma kembali ke alam ini, ia lahir dari (sorga dengan
berbagai ciri) keberuntungan (antara lain,) berkuasa, gunawan, kaya, rupawan,
pantas segala yang disandangnya. Itulah tanda bekas akibat perbuatan baik yang
diterima oleh orang yang berbuat baik’.
Sebaliknya, ia yang berperilaku durjana,
bila tiba waktunya akan menjelma ke alam ini, ia diyakini lahir dari neraka
dengan berbagai ciri kesialan, antara lain, menjadi orang miskin, tanpa guna,
buruk rupa, dibenci sesama, sakit-sakitan, dan hal buruk lainnya. Dicontohkan
sebagai berikut.
Sang manyuwang gelah anak, daweg idupnyane rihin, dumadi
dados daridra, ngamatiyang sane rihin, kapademang ipun jagi, nganutin tanduran
ipun, daweg nimuh bibit karma, sakantune urip rihin, ngintil nutug, woh ipun
patut terima (GSS, XXIX, Sinom:11).
‘Ia yang mencuri milik orang pada masa
hidupnya dahulu, lahir menjadi orang yang hina. Membunuh (sesama) di masa lalu,
nanti pun akan dibunuh. Sesuai dengan yang ditanam ketika menabur benih karma pada masa hidupnya dahulu.
Pahalanya pun setia mengikuti dan harus diterima’.
Tumimbal lahir mengambil berbagai wujud
yang bersifat fana sesuai dengan baik-buruk perbuatan di masa lalu adalah
sebuah keterikatan dan karena itu adalah penderitaan. Disebut demikian, karena
yang lahir pasti akan mati. Di tengah-tengah itu berisi lara perih hati lan pakewuh, yusa lingsir lan wi-ghna (GSS, XXX, Ginada:5) ‘duka sakit hati, berbagai
masalah, umur tua, dan berbagai rintangan’. Lanjut Djapa menyairkannya:
Punika i sarwa bhàwa, keleb maring bhàwodadhi, sane dalem
turin jimbar, lara tuha lan pakewuh, waluya buwayanya, nanging jàti, arang
pisan matutura (GSS, XXX, Ginada:6).
‘Itu segala makhluk hidup tenggelam
dalam lautan tumimbal lahir yang dalam dan luas. Sakit, umur tua, dan berbagai
masalah. Itu ibarat buwayanya. Tetapi sayang, jarang yang menyadarinya’.
Persoalan peliknya, bagaimanakah caranya
keluar dari jebakan bhàwodadhi
‘pusaran lautan kelahiran’ yang mengerikan itu? Wararuci memberi jawaban puóia karma ‘mempersembahkan kerja’.
Djapa mengimbau: “Jeg giyetang saking mangkin,
gumawayang puóia karma, saluwiring gawe hayu, pawakan dharma sàdhana, bekel
nganti, pangrawuh Hyang Kalantaka” (GSS, XXX,Ginada:21) ‘Pokoknya,
semangatkan diri dari sekarang untuk melaksanakan puóia karma. Segala perbuatan bajik adalah perwujudan dharma sàdhana ‘jalan darma’. Itulah
bekal menanti kedatangan Hyang Kalantaka ‘dewa kematian’.
Puóia karma adalah tawaran halus yang merupakan jalan spiritual lebih
lanjut dari marga úubha karma
‘perbuatan baik’. Jika úubha karma adalah jalan untuk masuk sorga,
maka puóia karma adalah jalan untuk
mencapai mokûa ‘pembebasan’. Artinya,
Berbuat baik dan mengharapkan hasil dari perbuatan baik itu menyebabkan orang
tetap terikat oleh lingkaran kelahiran sorga-bumi. Akan tetapi, jika ingin
bebas dari lingkaran sorga-bumi, Bhagawan Wararuci mengajarkan puóia karma: “Kerjakan hal yang baik dan
persembahkanlah hasil perbuatan baikmu itu kepada Tuhan. Itulah dharma sàdhana ‘jalan spiritual’ untuk
mencapai mokûa ‘kelepasan atau
keabadian”.
PENUTUP
Ada dua arus yang dialirkan oleh
Djapa dalam kerja kreatifnya, yaitu arus mempertahankan tradisi nyastra dan arus mentransformasikan
nilai teks Jawa Kuno ke dalam ranah sastra Bali tradisional. Dalam rangka
mempertahankan tradisi nyastra, Djapa
menjadikan dirinya guru tradisi tersebut. Di situ terjadi proses pembelajaran
bahasa-sastra Jawa Kuno dan Bali. Di sisi lain, dalam konteks mengelirkan teks,
terjadi proses kreatif merebut makna dan membahasakan kembali teks itu dengan
bahasa Bali. Maka, dari proses kreatif ini lahirlah karya-karya alih aksara,
terjemahan, peparikan (geguritan) ketusan, dan yang lainnya.
Geguritan
Saracamuscaya adalah salah satu karyanya yang kaya pesan moral. Tindakan
bermoral, seperti bersyukur atas karunia
hidup sebagai manusia; melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya;
mengendalikan perilaku dalam berpikir, berkata, dan berbuat; memetuhi dua puluh
janji diri; dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi adalah perilaku dharma ’berkebajikan’. Pesannya: ”Dharma adalah sumber kebahagiaan. Tanpa
berperilaku bajik tidak mungkin hidup bahagia”.
DAFTAR PUSTAKA
Agastia,
Ida Bagus Gede. 2001. Siwaratri Kalapa
Karya Mpu Tanakung. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Atmadja,
I Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali.
Yogyakarta: LKiS.
Baba,
Bangali. 1990. The Yogasùtra of Patanjali.
Delhi: Motilal manarsidass Publishers Private Limited.
Badudu.
J.S. 2003. Kamus Kata-kata Serapan Asing
Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas.
Bharati,
Swami Veda. 2002. Mantra, Inisiasi,
Meditasi, dan Yoga. Surabaya: Paramita.
Eneste,
Pamusuk (ed). 2009. Proses Kreatif
(Jilid 1—4). Jakarta: Gramedia.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
-----.
2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Media Presindo.
Goris,
R, 1974. Sekte-sekte di Bali.
Jakarta: Bhratara.
Hadiwijono,
Harun, 1989. Sari Filsafat India.
Jakarta: Gunung Mulia.
Huxlyey,
Aldous. 2001. Filsafat Perennial.
Yogyakarta: Qalam.
Jlantik,
Ida Bagus. 1982. Geguritan Sucita.
Denpasar: Kayumas.
Kajeng,
I Nyoman dkk. 1997. Saracamuscaya.
Surabaya: Paramita.
Kyokai,
Bukkyo Dendo. 1979. Ajaran Sang Buddha.
Terj. Sasana Mulia. Jakarta: PT. Dainippon Gitakarya Printing.
Lal.
P. 1994. Mahabharata. Jakarta:
Pustakajaya.
Mantra,
Ida bagus. 2006. Bhagawadgita.
Denpasar: Pemda Bali.
Mehta,
Rohit. 2005. Panggilan Upanisad Bertemu
Tuhan dalam Diri. Terj. Tjok Rai Sudharta. Denpasar: Sarad.
Menaka,
I Made. 1990. Bhagawadgita.
Singaraja: Yayasan Kawi Sastra Mandala.
Palguna,
IBM Dharma, 1999. Dharma Úùnya Memuja dan
Meneliti Úiwa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
----
2008. Leksikon Hindu. Lombok:
SadampatyAksara.
Panitia
Penyusun Penterjemahan Sanhyang Kamahayanikan. 1980. Sanghyang Kamahayanikan. Naskah-Tejemahan-Penjelasan. Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Budha Ditjen Bimbingan Masyarakat hindu dan Budha
Departemen Agama R.I.
Panitia
Penyusun. 1980. Upadesa. Jakarta: Ditjen Bimbingan Masyarakat hindu
dan Budha Departemen Agama R.I.
Pendit,
I Nyoman S., 1986. Bhagavadgita.
Jakarta: Dharma Nusantara.
Prabhavananda,
Swami. 1989. Amanat Bhagawadgita.
Denpasar: Upada Sastra.
Pradopo,
Rakmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Poot,
P.H. 1966. Yoga and Tantra: Their
Interrelation and Their Significance for Indian Archeology. Netherlands:
The Netherlands Ministry of Education and Sciences.
Pudja,
I Gde. 1981. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta Maya Sari
Radhakrishnan.
1953. The Principal Upanisads. (Terj.
1989). Jakarta: Parijata.
Rama,
Swami. 2000. Hidup Dengan Para Åûi
Himàlaya. Surabaya: Pàramita.
Ratna,
I Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saraswati,
Sri Chandrasekharendra. 2009. Peta Jalan
Veda.Denpasar: Media Hindu.
Soebadio,
Haryati. 1985. Jnànasiddhànta.
Jakarta: Djambatan.
Suamba,
Ida Bagus. 2003. Dasar-dasar Filsafat
India. Denpasar: Widya Dharma.
Subramaniam,
Kamala, 2003. Mahàbhàrata. Surabaya:
Pàramita
Sudharta,
Tjok Rai. 2006. Parisada Hindu Dharma Dengan
Konsolodasinya. Surabaya: Paramita.
Sura,
I Gede. 2006. Úiwa Tattwa. Denpasar:
Pemerintah Provinsi Bali.
----.
dkk. 2009. Samkya dan Yoga. Denpasar:
Lembaga Penelitian Universitas Hindu Indonesia.
Warna,
I Wayan. 1990. Kakawin Úiwaràtri Kalpa.
Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Proyek Peningkatan Sarana dan
Prasarana Kehidupan Beragama.
----.
dkk. 2001. Kakawin Ràmàyana I & II.
Denpasar: Depertemen Agama RI Kanwil Depertemen Agama Propinsi Bali.
Widia,
I Made. 2003. “Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Geguritan Aranya
Parwa” (skripsi). Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
----.2007.
“Aspek Struktur dan Ajaran Agama Hindu Peparikan Wana parwa” (tesis). Denpasar:
Universitas Hindu Indonesia.
Wiryamartana,
I Kuntara. 1990. Arjunawiwàha
Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra
Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Yasa,
I Wayan Suka. 2008. Brahmawidya: Studi
Teks Tattwa Jnana. Denpasar: Widya Dharma.
----.
2009. Siwaratri: Wacana Perburuan
Spiritual. Denpasar: Widya Dharma.
----.
2010. Rasa: Daya Estetik-Religius
Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.
Zimmer,
Hienrich, 2003. Sejarah Filsafat India.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Zoetmulder,
P.J, 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
----
dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa
Kuna-Indonesia 1 dan 2. Jakarta: Media Pustaka Utama.
[1] Tulisan ini
disarikan dari penelitian penulis (2011) yang berjudul “Proses Kreatif dan
Pesan Moral Anak Nyastra (mengenal I
Wayan Djapa dan Karya-karyanya)”.