Resolusi
Tripitama
I W a y a
n S u k a r m a
Resolusi adalah kesadaran tentang masa depan dan upaya
mewujudkannya pada masa kini. Kekuatan yang paling utama untuk mewujudkan kesadaran
tentang tripitama agama Hindu adalah semangat yang datang dari Sang Diri. Semangat
bentuk lain adalah Ilusi, karena itu berubah-ubah sehingga tidak layak
dijadikan pondasi resolusi. Seperti disebutkan dalam Svetasvatara Upanisad, “Pengetahuan
suci, perbuatan suci, nyanyian pujaan, dan tradisi luhur untuk masa depan dikatakan
Veda. Semua itu datang dari Sang Diri, yang lainnya diselubungi maya”.
Tripitama itu semacam akromin dari Tri
Pilar Utama, tiga pilar utama agama Hindu yang dalam Upadesa (1968) disebut tiga kerangka agama Hindu meliputi Tattwa
(Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (Ritual). Diumpamakan, Tattwa sebagai kepala agama Hindu; Susila sebagai hati
agama Hindu; Upacara sebagai kaki dan tangan agama Hindu. Seperti sebutir telor,
kuningnya adalah Tattwa; putihnya adalah Susila; kulitnya adalah Upacara. Sebutir
telor akan menetas secara sempurna, bila bagian-bagiannya sempurna. Ketiga
kerangka agama Hindu ini dalam Swastikarana
(2014) disebut Tri Jnana Sandhi meliputi Tattwa, Susila, dan Acara. Tattwa adalah
ajaran ketuhanan; Susila adalah ajaran moral; dan Acara adalah upacara dan upakara.
Tiga kerangka itu dapat diduga merupakan penyederhanaan
dari tujuh kerangka agama Hindu Bali yang dirumuskan Ida Pedanda Made Kemenuh dalam
Kerangka Agama Hindu Bali (1964). Dalam
rangka memenuhi peraturan dan perundang-undangan negara disebutkan, agama Hindu
Bali disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas tujuh bilik, seperti
berikut (1) nama agama, (2) nama Tuhan, (3 sradha,
(4) orang suci, (5) kitab suci, (6) pelaksanaan, dan (7) hari raya. Tujuh kerangka
ini barangkali terinspirasi dari dua sendi utama agama Hindu Bali yang dikemukakan Nand Lal Punj (1956) meliputi hukum karma
dan hidup bersama-sama dengan setiap manusia termasuk dengan makhluk yang
melebihi manusia.
Perubahan kerangka agama
Hindu itu sejalan dengan perubahan nama agama
yang dipeluk orang Bali, yaitu masyarakat
suku Bali, baik karena kebutuhan internal maupun eksternal. Mula-mula nama agama Hindu Bali ditetapkan
tahun 1952 di Tampak Siring untuk menggantikan nama agama Siwa-Buddha yang
kemudian, berubah
menjadi agama Hindu Dharma hingga
sekarang bernama agama
Hindu. Perhatikanlah Ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma ke
II No. II/Kep/PHDP/68 tentang Resolusi
I, Tanggal 4 Desember 1968 berikut. ”Memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah cq.
Presiden R.I agar memerintahkan Menteri Agama R.I untuk menyesuaikan nama-nama
instansi Hindu Bali menjadi Hindu dari tingkat Pusat sampai ke Daerah-daerah
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Resolusi
tersebut merupakan kebulatan pendapat, berupa tuntutan yang ditetapkan oleh sabha, yakni keinginan dan harapan – menurut
Aristoteles, harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga; dan Edgar Cayce
mengatakan, mimpi adalah jawaban hari ini atas pertanyaan-pertanyaan esok. Sadar
pada keinginan sudah merupakan anugerah. Keinginan adalah dasar pokok dari resolusi,
baik individu maupun lembaga. Keinginan adalah sumber tenaga dan tempat
menyimpan tenaga yang dihasilkan oleh tindakan, karma. Mengetahui keinginan berarti memahami harapan (masa depan).
Memahami keinginan berarti melekatkan nilai dan makna pada harapan. Mengapresiasi
keinginan berarti upaya mewujudkan harapan. Itulah resolusi: kesadaran tentang
masa depan, kekuatan kesadaran atas kesempurnaan dan upaya penyempurnaan.
Kesempurnaan
keinginan (kama) adalah kesejahteraan
bendani (arthani jagadhita) dan kebahagiaan
jiwani (atmanah moksartham):
Itulah Dharma. Selain Brahman, Semua adalah Dharma. Masa depan kehidupan beragama
umat Hindu dan upaya mewujudkannya adalah Dharma. Inilah Resolusi Tripitama. Untuk
mengapresiasi Dharma itu umat Hindu membutuhkan keyakinan (pengetahuan dharma) dan
kepercayaan (pengalaman dharma). Kepercayaan kepada dharma itulah dasar utama agama Hindu yang
disebut Sraddha. Oleh karena jumlahnya lima kepercayaan sehingga disebut Panca
Sraddha, yaitu Widhi Sraddha, Atman Sraddha, Karmaphala Sraddha, Punarbhawa
Sraddha, dan Moksa Sraddha. Lima kepercayaan dan empat tujuan hidup itu sekiranya,
layak dan pantas menjadi pertimbangan dalam membangun semangat penyempurnaan ajaran
agama Hindu.
Penyempurnaan
pernah terjadi berkaitan dengan perubahan nama agama Hindu dan lembaganya. Pada
waktu pembentukannya bernama Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) kemudian, berkembang
hingga sekarang disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Berdasarkan tanggung
jawabnya untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman kehidupan beragama
sehingga PHDI memiliki kewajiban mengatur
hubungan antarumat Hindu dan
menata hubungan umat Hindu dengan pandita dan pinandita
dalam
rangka penghayatan agama
secara bersama-sama. Semangat hidup tertib dan tenteram, baik inter maupun
antarumat agama memang perlu disempurnakan seturut dengan pasang-surut
kehidupan. Apalagi agama Hindu dipraktikkan dalam masyarakat yang budaya dan tradisinya
beragam sehingga tampak berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya.
Perbedaan
ekspresi keagamaan yang ditampilkan masyarakat menunjukkan bahwa agama Hindu mewadahi
pertemuan Yang Sakral (Niskala) dengan
Yang Profan (Sakala). Masyarakat Hindu menyadari di balik dunia-yang-sakala terdapat dunia-yang-niskala
dan mereka dapat berhubungan dengan realitas-nisakala
itu. Kalau bertumpu pada komponen dalam agama yang berlaku universal (seperti
prinsip-prinsip agama yang dikemukakan Mircea Eliade), maka Yang Sakral adalah penyataan dan/atau pengungkapan
Yang Suci meliputi Orang Suci, Tempat Suci, dan Kitab Suci. Kemudian, Yang
Profan merupakan respons umat agama sebagai ungkapan beragama meliputi
Komunitas Umat Agama, Jalan Keselamatan, dan Upacara beserta Etik
pelaksanaannya. Komponen-komponen agama itu sesungguhnya sudah terangkum dalam tripitama, tiga kerangka agama Hindu.
Rangkuman
itu barangkali dapat dijadikan zonasi dalam merumuskan resolusi akan
kesempurnaan penghayatan atas kesadaran mengenai hubungan dan ikatan kembali
dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Pertama,
Tattwa berarti hakikat tentang Tat, hakikat tentang Sang Hyang Widhi yang dalam
Upadesa disebut Widhitattwa (Filsafat
tentang Sang Hyang Widhi). Hanya saja patut disadari bahwa filsafat menyelidiki
Tuhan melalui cabang khusus yang disebut dengan filsafat agama. Filsafat
agama membahas Tuhan dari segi argumentasi tentang
eksistensi-Nya, argumentasi yang meragukan eksistensi-Nya, dan argumentasi yang menolak eksistensi-Nya. Filsafat
agama membahas tentang Tuhan secara menyeluruh, rasional, radikal, objektif, kritis, sistematis,
dan bebas, karena itu juga dikenal dengan filsafat ketuhanan.
Tujuan
puncak filsafat agama, antara lain untuk menguatkan kembali keyakinan umat
agama, baik yang meragukan sebagian ataupun keseluruhan ajaran ketuhanan dari
agama yang dipeluknya. Berbeda dengan filsafat agama itu barangkali Widhitattwa
dapat disebut sebagai ajaran ketuhanan atau ajaran tentang Sang Hyang Widhi
Wasa yang lazim dalam komponen agama disebut dogma agama. Dogma agama sebagai
ajaran ketuhanan bersifat mutlak dan ablosut, karena itu mengandung doktrin
berupa perintah dan anjuran yang wajib ditaati umat agama. Untuk menguatkan
doktrin inilah dibutuhkan teologi, yaitu ilmu tentang Tuhan atau ilmu
ketuhanan. Teologi mempelajari Tuhan secara mendalam,
rasional, menyeluruh, sistematis, dan bebas
berdasarkan kitab suci agama.
Sederhananya, filsafat menyediakan pengetahuan
kodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan;
teologi menyediakan pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan
koheren tentang wahyu Tuhan; dan dogma menyediakan wahyu Tuhan. Filsafat
dijiwai oleh kritik rasional; teologi dijiwai oleh wahyu Tuhan; dan dogma
dijiwai oleh iman (sraddha) kepada
Tuhan. Filsafat membahas ketuhanan berdasarkan pencarian rasional tentang wahyu
Tuhan; teologi membahas ketuhanan sesuai dengan petunjuk wahyu Tuhan; dan dogma
mempercayai wahyu Tuhan. Filsafat menggunakan pedekatan induktif; teologi menggunakan
pendekatan deduktif; dan dogma menggunakan pendekatan emotif-konatif. Filsafat
membahas Tuhan yang tidak mempribadi; teologi membahas Tuhan yang mempribadi;
dan dogma membahas Tuhan yang alami.
Keterangan ringkas itu sekiranya, dapat
menjernihkan pandangan tentang Tattwa, baik sebagai dogma agama Hindu maupun cakupannnya
dalam khazanah kajian tentang Tuhan. Tattwa adalah ajaran ketuhanan yang
menyediakan pengetahuan ketuhanan atau pengetahuan mengenai Sang Hyang Widhi
yang bersumber pada Kitab Suci. Dalam Siwatattwa
(2003) disebutkan umat Hindu di Indonesia sudah turun-temurun memuja Sang Hyang
Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa. Kitab Suci, berupa sastra agama Hindu, baik
Jawa Kuna maupun Sanskerta yang memuat ajaran Bhatara Siwa disebut
Saivasiddhanta. Dalam masyarakat Hindu di Bali misalnya, ajaran Bhatara Siwa
dimplementasikan dalam bentuk teologi Tri Murti yang menjadi landasan struktur
dan kultur masyarakat desa pakraman.
Kedua,
Susila berarti dasar atau prinsip-prinsip tingkah laku yang baik. Lebih luas, susila
berarti baik budi bahasanya, sopan, beradab; adat istiadat yang baik, kesopanan,
sopan santun, dan keadaban (KBBI). Cabang filsafat yang membahas tingkah laku
manusia dari segi baik dan buruk atau benar dan salah disebut etika. Etika mempunyai
tiga arti, yaitu “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak
dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan
nilai tentang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”
(KBBI). Dalam arti ini etika adalah ilmu tentang moral, kode etik, dan sistem
nilai.
Moralitas sebagai ciri khas manusia merupakan
fenomena manusiawi universal. Ini sebabnya, hukum moral mewajibkan manusia sehingga
keharusan moral adalah kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan
bahwa manusia mengendalikan diri sehingga mengatur tingkah lakunya berdasarkan
norma dan aturan. Untuk itu, manusia memerlukan etika sebagai filsafat terapan,
yaitu filsafat moral dan ilmu tentang moral. Etika sebagai ilmu tentang moral menyelidiki
moralitas dalam tiga pendekatan: etika deskriptif, etika normatif, dan
metaetika. Etika deskriptif melukiskan perbuatan moral; Etika normatif menentukan
baik dan buruknya perbuatan yang menjadi petunjuk atau penuntun dalam
memutuskan perbuatan moral; dan Metaetika membahas bahasa etis: mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Seringkasnya, etika mewadahi filsafat
moral, ilmu tentang moral, dan ajaran moral. Ajaran moral, sebagaimana
dirumuskan etika normatif bersifat preskriptif, memberikan argumentasi dan alasan
terhadap perbuatan. Ajaran moral merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipraktikkan
dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Begitu juga Susila yang berarti dasar
atau prinsip-prinsip tingkah laku yang baik merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipraktikkan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Dengan begitu, Susila
adalah ajaran moral. Apalagi dalam Etika disebutkan, selain interaksi sosial,
hukum, dan kebudayaan, juga agama adalah
sumber moral. Serupa dengan etika normatif, juga Susila merumuskan prinsip-prinsip
etis yang berlaku khusus dalam kehidupan beragama dan berlaku umum dalam bermasyarakat.
Susila merumuskan dan mengajarkan
prinsip-prinsip etis berkenaan dengan tingkah laku pikiran, perkataan, dan perbuatan,
trikaya parisudha. “Maka yang harus
diperhatikan, jika ada hal-hal yang ditimbulkan oleh perkataan, perbuatan, dan
pikiran yang tidak menyenangkan bagi dirimu sendiri, malahan menimbulkan duka
dan sakit hati; perbuatan itu jangan hendaknya Anda lakukan pada orang lain” (Sarasamuccaya). Perhatikanlah nasehat
Sri Swami Siwananda, “Jangan meninggalkan jalan moralitas, walaupun hidupmu
dalam bahaya. Jangan meninggalkan kejujuran demi beberapa perolehan materi.
Mintalah nasehat pada sastra dan mahatma apabila ragu-ragu. Jagalah
cita-citamu selalu dalam pikiranmu, tancapkan pada sadacara atau perilaku benar dan laksanakan. Kamu segera akan
mencapai kebahagiaan abadi, kekekalan”.
Ketiga, Acara berarti
peraturan dan pelaksanaan agama Hindu, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi
keagamaan. Pada prinsipnya tradisi keagamaan merupakan penyataan
dan/atau pengungkapan
ajaran agama Hindu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab suci dan yang
disampaikan orang-orang suci. Dari
kitab-kitab suci dan sabda orang-orang suci itu umat Hindu menggali dan
mengungkap pokok-pokok ajaran ketuhanan (Tattwa) dan pedoman tingkah laku
(Susila), baik pedoman yang berlaku khusus dalam hidup keagamaan maupun kemasyarakatan.
Penyataan atau pengungkapan ajaran ketuhanan tampak pada kebiasaan, seperti tri
sandya dan mabhakti. Kebiasaan ini semakin jelas saat umat Hindu
menyatakan hubungannya dengan Sang Hyang Widhi Wasa di tempat suci, seperti Merajan
dan Pura.
Dalam kehidupan beragama pengungkapan Susila tampak
pada kebiasaan, seperti pengendalian indra (brata), pengendalian
nafsu (upawasa), pengendalian pikiran (yoga), derma
kemanusiaan (dana), derma kedewataan (punia), dan
kebiasaan yadnya lainnya. Dalam bermasyarakat Susila tampak pada
kebiasaan, seperti kepatuhan pada empat guru (catur guru), ketaatan
pada tiga perbuatan suci (tri kaya parisudha), harmoni dengan
tiga pusat kehidupan (tri hita karana), dan kebiasaan swadharma
lainnya. Kebiasaan-kebiasaan ini semakin jelas ketika umat Hindu melaksanakan
kewajibannya sebagai krama banjar atau krama desa
pakraman. Kewajiban itu tampak sebagai kebiasaan berkenaan dengan adat
dan dinas yang tanggung jawabnya diatur berdasarkan awig-awig dan
hukum formal serta kode-kode moral universal.
Acara sebagai tradisi keagamaan, juga menggambarkan keakraban komunitas
umat Hindu dalam rangka penghayatan dan pengalaman agama secara bersama-sama. Kegiatan
ini dilakukan bersama dengan tuntunan pandita
atau pinandita dalam upacara yadnya pada hari suci dan di
tempat suci tertentu sesuai dengan aturannya. Misalnya, upacara-upacara yadnya yang dilaksanakan oleh keluarga, banjar, desa pakraman, dan lembaga-lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Upacara yadnya itu,
selain sebagai upaya umat Hindu menyatakan, membangun, dan menata hubungannya
dengan dunia-niskala, juga sebagai
upaya membangun dan mempererat ikatan sosial keagamaan. Upaya membangun
hubungan dengan dunia-nikala ini
sekaligus menunjukkan bahwa upacara
yadnya menjadi jalan keselamatan untuk mencapai Yang Suci.
Tradisi
keagamaan dapat dipahami sebagai representasi dunia-niskala dalam dunia-sekala
atau lebih tepatnya sebagai hubungan yang tidak terputus-putus antara Yang
Profan dan Yang Suci. Tradisi keagamaan sebagai bentuk penyataan atau
pengungkapan Yang Suci telah menunjukkan, Acara meliputi ajaran agama Hindu yang
menerangkan tentang Kitab Suci, Orang Suci, Tempat Suci, Hari Suci, Upacara
Yadnya, dan Jalan Keselamatan. Acara menyediakan petunjuk dan memberikan tuntunan
mengenai sumber-sumber ajaran agama, aturan, tata cara, tempat, dan waktu yang
tepat untuk membangun dan menata hubungan dengan Sang Hyang Widhi. Acara itulah
inti pengungkapan Sang Hyang Widhi karena pada hakikatnya fungsi agama adalah mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan.
Acara
adalah praktik keagamaan sebagai penyataan ajaran ketuhanan (Tattwa) dan pengungkapan
ajaran moral (Susila), karena itu memunculkan gejala-gejala atau fenomena
keagamaan. Fenomena inilah yang dapat dicermati dari beragam perspektif. Acara,
antara lain mengungkapkan hubungan umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi dalam
beragam paham ketuhanan; hubungan umat Hindu dengan sesama: umat Hindu, umat agama,
umat manusia, dan makhluk, bahkan melebihi manusia dalam beragam interaksi; dan
hubungan umat Hindu dengan alam dalam beragam lingkungan, bahkan melebihi
lingkungan duniawi. Hubungan-hubungan tersebut mengingatkan pada kemuliaan ikatan-hidup dalam beragam satuan waktu hingga
pengulangan masa kelahiran. Ikatan sakala-niskala
itulah merupakan fungsi tripitama sebagai
tiga pita utama.
Fenomena
keagamaan itu menunjukkan bahwa pada masa depan akan dibutuhkan kajian agama
Hindu dari segi filsafat, teologi, etika, dan sains. Kajian ini dibutuhkan untuk
menguatkan tiga pilar utama agama Hindu dan praktiknya dalam kehidupan beragama.
Filsafat dan teologi dibutuhkan untuk menguatkan ajaran ketuhanan seiring
dengan perkembangan ilmu-ilmu tentang Tuhan. Perhatikanlah tidak sedikit teori-teori
sosial, baik klasik maupun kontemporer yang mendasarkan pandangannya pada agama
dan ketuhanan. Kenyataannya, agama sudah ikut ambil bagian pada hampir seluruh bidang
kehidupan manusia. Artinya, kebutuhan tentang kajian agama Hindu dari segi sains
sudah semakin nyata misalnya, psikologi, sosiologi, antropologi, seni, sejarah,
hukum, politik, ekonomi, dan kesehatan.
Kajian-kajian itu barangkali dapat
melengkapi semangat resolusi terhadap tiga pilar utama agama Hindu ataupun tiga
pita utama pengikat hidup keagamaan. Apalagi tujuan menguasai pengetahuan agama
untuk dipraktikkan sehingga tripitama
mesti kokoh saling mengikat menjadi kesatuan yang utuh dan padu. Seperti perumpamaan
dalam Upadesa dan rumusan Veda dalam Svetasvatara Upanisad: Tattwa sebagai kepala agama Hindu adalah pengetahuan suci.
Susila sebagai hati agama Hindu adalah perbuatan suci. Acara sebagai kaki dan
tangan agama Hindu adalah praktik keagamaan, yaitu nyanyian pujaan
dan tradisi luhur. Pengetahuan suci, perbuatan suci, nyanyian pujaan, dan
tradisi luhur yang datang dari Sang Diri
untuk masa depan: Itulah Veda.
Majalah Wartam, Edisi 22/Desember/2016