Manggala
Baru, Paradigma Baru
I W a y a n
S u k a r m a
Pemimpin
lahir dari proses politik inheren dalam kebutuhan dan kepentingan sejarah. Hanya
saja kebutuhan dan kepetingan tidak pernah muncul dengan wajah tunggal sehingga
pemimpin pun tampil dengan beragam sebutan, seperti manggala, kepala, komandan,
senopati, dan ketua. Setiap nama-rupa pemimpin mempunyai daya-upaya
mencerminkan wawasan kepemimpinan lazimnya disebut paradigma. Idealnya memang manggala
baru tampil dengan paradigma baru seiring dengan harapan-harapan baru. Spesial
untuk ketua Parisada ditawarkan paradigma kepemimpinan religius dengan
mangadopsi dan mengadaptasi sifat-sifat dewata.
Mahasabha PHDI XI 21-24 Oktober 2016 di
Surabaya sudah berakhir dan berhasil: memilih dan menetapkan Wisnu Bawa Temaja menjadi
Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia. Umat Hindu pun menyambut
gembira keberhasilan Mahasabha PHDI dengan menyampaikan ucapan selamat dan doa
sukses kepada Ketua Baru, Manggala Baru. Ucapan selamat dan doa sukses itu
tanpa disadari telah menganulir dan menyingkirkan peran Sang Nyoman Suwisma
sebagai Ketua Lama dari keberagamaan umat Hindu. Perubahan dan pergantian itulah
hukum alam yang mengikat dunia-kehidupan sehingga tak seorang pun sanggup melawan
dan menghindarinya. Segalanya dipaksa terikat dan tergantung pada masanya: yang
lama berganti dengan yang baru.
Pengurus PHDI yang lama berganti dengan
pengurus PHDI yang baru sebab setiap pengurus PHDI terikat dan tergantung pada
masanya: lima tahun. Seperti pergantian musim – membawa perubahan dalam
dunia-kehidupan, bahkan menggambarkan pola tindakan dan alternatif tindakan yang
paling efektif dan produktif – begitu juga pergantian pengurus PHDI tentu membawa
perubahan dalam keberagamaan umat Hindu. Selain sudah dirancang secara matang
dalam Mahasabha, juga perubahan itu sudah tersirat dalam ucapan selamat dan doa
sukses untuk Ketua beserta Pengurus Baru, yaitu berupa harapan-harapan baru. Harapan
itulah peran-peran yang mesti dan harus ditampilkan pengurus baru di bawah
arahan sang sutradara baru: Ketua Baru dengan Paradigma Baru.
Paradigma baru (seorang) ketua baru sebuah lembaga agama tentu tidak
lepas dari kewajiban keagamaan, sebagaimana ajaran ketuhanan, moral, dan ritual
dalam kitab-kitab suci (Tattwa). Selain kewajiban utama itu, juga ketua
mempunyai dua kewajiban pokok berdasarkan fungsi dan perannya. Pertama, kewajiban pokok disebabkan oleh
fungsinya bersifat memaksa (Rta), seperti mata berfungsi melihat dan telinga
berfungsi mendengar. Kedua, kewajiban
pokok oleh karena perannya bersifat memerintah (Dharma), seperti suami berperan
melindungi istri dan ayah berperan memelihara anak. Kewajiban-kewajiban itu barangkali
dapat dijadikan landasan ideal, moral, dan operasional dalam merumuskan paradigma
kepemimpinan. Dengan begitu, paradigma dapat menjamin kebebasan pengurus dalam berpikir,
bersikap, dan bertindak.
Kewajiban sebagai landasan tanggung
jawab yang menyatakan kebebasan berpikir, bersikap, dan bertindak tidak cukup hanya
merumuskan paradigma sebagai asumsi teoretis, tetapi juga asumsi filosofis dan strategi
aksi. Misalnya, meliputi pandangan-dunia berupa cara melihat dan memelihara dunia-kehidupan;
pandangan dasar tentang pokok masalah dan pemecahannya; keyakinan dasar yang
membimbing tindakan; dan prinsip dasar berupa pedoman penilaian terhadap dunia-kehidupan.
Begitulah paradigma merupakan keyakinan dasar, landasan berpikir, dan pola
pikir dalam memahami diri dan lingkungan. Pemahaman diri dan lingkungan yang
memadai akan membantu pemimpin dalam merumuskan konsep diri dan nilai diri,
bahkan mengadaptasikan dan menyesuaikan dengan praktiknya seiring dengan perkembangan
pengetahuan dan perubahan kebutuhan.
Perkembangan dan perubahan yang menandai
dunia-kehidupan, juga berlangsung dalam keberagamaan umat Hindu sehingga paradigma
kepemimpinan tidak akan memadai, bila dibakukan pada suatu arti dan dibekukan pada
makna tertentu. Apalagi berkaitan dengan pemimpin, memimpin, pimpinan, dan kepemimpinan
terdapat beragam terminologi beserta nilai yang menyertainya. Sederhananya, ketika
mendengarkan ucapan “pemimpin” kemudian, yang terbayang adalah “orang besar”: mereka
yang bisa dan biasa menjaga kehormatan diri dan lingkungannya sehingga
dipanggil sebagai “yang terhormat”. Predikat terhormat memberikannya kedudukan tertinggi,
karena itu pemimpin mempunyai kebiasaan melindungi harga dirinya sehingga dipanggil
“yang mulia”. Bukan hanya “terhormat” dan “mulia”, bahkan dalam lingkup religius
biasanya pemimpin dipanggil “yang suci”.
Predikat-predikat tersebut menunjukkan pemimpin
adalah manggala yang berperan mengantarkan
niat, membimbing keyakinan, dan mendorong semangat keberagamaan. Bila keberagamaan
dapat dianalogikan sebagai cerita tentang hidup keagamaan, barangkali manggala dapat berperan sebagai prolog, dialog ataupun monolog,
dan epilog. Pada bagian prolog manggala
sebagai pengantar yang menjelaskan latar, maksud, tujuan, dan lingkup naskah cerita
serta penilaiannya atas naskah tersebut. Pada bagian dialog ataupun monolog manggala sebagai moderator yang mengatur
lalu lintas percakapan keagamaan pada setiap pragmennya sekaligus sebagai notulen
yang mencatat percakapan tersebut menjadi pola-pola keberagamaan. Pada bagian
epilog manggala menyarikan inti hidup
keagamaan dan menafsirkannya demi keberlanjutan cerita dan masa depan keberagamaan.
Peran manggala agama yang
begitu kompleks tanpa disadari telah mendesaknya menguasai wawasan berpikir dan
strategi tindakan yang selalu terbarukan sejalan dengan perkembangan harapan-harapan
masyarakat agama. Apalagi kompleksitas dunia-kehidupan tidak tegas memisahkan
bidang kehidupan agama dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Demontrasi umat Islam
di Ibukota Negara, 4 Nopember 2016 misalnya, telah menunjukkan betapa tidak
sederhananya hubungan agama dengan negara. Peristiwa tersebut tidak hanya mempunyai
konsekuensi serius terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga berimplikasi
terhadap bidang kehidupan lainnya, seperti politik, hukum, dan ekonomi. Artinya,
peran manggala agama tidak terbatas
hanya pada bidang kehidupan agama, tetapi juga pada jalinannya dengan bidang-bidang
kehidupan lainnya.
Pentingnya peran manggala pada setiap babak cerita keberagamaan menunjukkan pemimpin
adalah kepala: pemikir. Mengingat kepala adalah tempat sistem saraf pusat yang memproduksi
pikiran dan mendistribusikannya melalui kekuatan mengatur, mengontrol, dan
mengendalikan aktivitas organ-organ (badan). Selain berfungsi mekanis, juga
pikiran berperan organis dalam membangun kesadaran mental dan spiritual. Pikiran
merupakan jembatan penghubung antara badan, tubuh, dan jiwa, seperti penjelasan
Sankhya tentang kerja sama manas dengan ahamkara dan budi serta kerja
samanya dengan indra-indra dan alat-alat bertindak. Kebenaran yang diproduksi
pikiran didistribusikan kepada alat bertindak menjadi kebaikan sehingga hidup
menampilkan keindahan. Begitulah kepala sebagai pusat kebenaran mendapat perlakuan
yang istimewa, bahkan sakral.
Sakralitas kepala dapat dicermati dalam
keseharian melalui perlakukan terhadap kepala misalnya, memegang kepala orang
lain dipandang sebagai perbuatan tidak sopan, apalagi memegang kepala orang yang
usianya lebih tua. Bukan hanya kepala, bahkan segala properti yang berkaitan
dengan kepala dipandang sakral, seperti tampak pada kebiasaan memperlakukan topi,
peci, udeng, apalagi mahkota. Menaruh
properti kepala tersebut, apalagi mahkota di bawah tempat sepatu misalnya, dipandang
sebagai perbuatan tidak sopan. Kesopanan semacam ini mencerminkan bahwa (seorang)
kepala selayaknya duduk tenang di deretan paling depan dan berdiri kokoh di
ujung barisan pasukan-tindakan: “berpikir
dulu baru bertindak”. Begitulah kepala berfungsi sebagai komandan pasukan yang memberikan
komando.
Ketenangan dan keteguhan pendirian
seorang komandan pernah didemonstrasikan oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai
dalam Perang Kemerdekaan Indonesia pada 20 Nopember 1946 di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Dalam suratnya kepada Overste Termeulen,
antara lain I Gusti Ngurah Rai menulis sebagai berikut. “Soal peroendingan kami
serahkan kepada kebidjaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnja peroendingan
diplomatik. Dan saja boekan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki
lenjapnja Belanda dari poelau Bali ataoe kami sanggoep dan berdjandji
bertempoer teroes sampai tjita2 kita tertjapai”. Artinya, bertempur merupakan
kewajiban komandan pasukan, sedangkan berunding merupakan kewajiban panglima
atau pemimpin perang: senopati.
Senopati sebagai panglima perang merupakan
istilah serapan dari bahasa Sanskerta terdiri atas kata “sena” berarti prajurit dan “pati”
berarti pemimpin. Penggunaan kata “senopati” barangkali dapat dipahami melalui
kisah Barathayuddha, seperti Senopati Salya, Senopati Dorna, dan Senopati Karna
beserta divisi dan formasi perangnya masing-masing. Dari sini dapat dipahami
perbedaan ekspresi antara senopati sebagai pemimpin perang dan komandan sebagai
pemimpin pasukan. Namun kedua ekspresi itu sama-sama mengandung semangat perjuangan
yang penuh dengan strategi dan sasaran dalam rangka mewujudkan misi kelahiran
seiring dengan visi hidup: pandangan tentang masa depan. Semangat itulah jiwa yang
membentuk karakter pemimpin, apalagi pemimpin agama dengan visi: penyatuan manusia-tuhan-alam.
Visi itulah melingkupi dan menyusupi
pandangan pemimpin sehingga pemimpin disebut Ketua: “orang yang tertua dan
banyak pengalaman” (KBBI). Barangkali selain karena usia, bahkan yang
terpenting ketua adalah orang yang tertua karena wawasan, baik kognitif, emotif
maupun konatif. Artinya, ketua adalah orang dewasa dan matang. Dewasa berarti dapat
melihat masalah dan matang bisa memecahkan masalah. Melihat masalah berarti
mampu membangi dan membedakan realitas kehidupan berdasarkan nilai, norma, dan
aturan hidup menjadi fakta-fakta kehidupan. Memecahkan masalah berarti sanggup
menghubungkan antarfakta kehidupan menjadi kesatuan pengetahuan kehidupan. Begitulah
ketua adalah orang yang tahu diri: mampu bertanggung jawab dan sanggup mengapresiasi
tanggung jawabnya dalam kehidupan.
Ketua dengan kepemimpinan intelektual
dan moral semacam itu dalam tradisi Bali disebut Kelihan. Kelihan adalah pemimpin
organisasi tradisional, seperti Banjar, Subak, dan sekaa-sekaa fungsional lainnya. Dalam menjalankan kepemimpinannya, kelihan tidak mengutamakan pendekatan
kekuasaan, tetapi lebih bertumpu pada kewajiban yang disebut ayah-ayahan. Ayah-ayahan inilah tangung jawab adat yang membentuk kesadaran
kolektif masyarakat dalam rangka mewujudkan kasukertan
meliputi palemahan, parhyangan, dan pawongan. Itu sebabnya, kosmologi, teologi, dan antropologi merupakan
konsep strategis dalam masyarakat adat. Biasanya kelihan “dipaksa” memenuhi kebutuhan masyarakat akan pengetahuan
terapan, seperti tata ruang (trimandala,
astabumi, dan astakosala-kosali),
perhitungan waktu (wariga dan ala-ayuning dewasa lainnya) termasuk panca yadnya dan rerahinan.
Kelihan tidak hanya menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk menangani alam, interaksi manusia dengan
sesama, dan tata cara hubungan manusia dengan Tuhan. Seiring dengan perubahan
dan perkembangan zaman, bahkan kelihan
“dipaksa” menguasai bahasa dan tata krama pergaulan, baik lokal maupun global. Begitulah
kelihan ataupun ketua sebagai yang
tertua dan dituakan serta banyak pengalaman adalah “orang bermental baja”. Keyakinan
dasarnya yang kuat menyebabkan ketua tidak membiarkan pikiran dan emosi negatif
berkembang dan menguasai dirinya karena disadari akan merusak hubungan dengan
orang lain. Penting baginya menjalankan kehidupan berdasarkan segala kebaikan
dunia, mengandalkan diri pada kebaikan itu, dan menghargainya dengan rasa
terima kasih.
Sikap bersyukur itulah membuat ketua
mampu merumuskan konsep dan harga diri serta sukses yang hendak dicapainya. Konsep
ini membantunya dalam melaksanakan fungsi dan perannya, yaitu melakukan dan
mengontrol perubahan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan. Kontrol yang ketat terhadap
perubahan menyebabkannya berani dan tidak ragu-ragu melakukan perubahan seiring
dengan kehendak zaman. Kepercayaan diri tersebut mengimbaunya, agar merumuskan
perubahan beserta tahapannya sejak praperancanaan, perencanaan, persiapan,
tindakan hingga meneruskan. Tahapan perubahan itu dibutuhkan agar perubahan tidak
menimbulkan guncangan budaya dan kekacauan sosial. Ketua pun akan tetap merasa aman,
nyaman, bekerja lebih menyenangkan, dan percaya diri karena tidak tergantung
pada penilaian orang ataupun pihak lain.
Percaya diri itu merupakan landasan
berpikir untuk menghitung resiko dari setiap tindakan. Setiap tindakan niscaya menimbulkan
resiko, seperti kepercayaan karmaphala.
Kepercayaan ini dapat mencegah kegagalan seorang ketua karena ketakutan
mengambil resiko, baik fisik, finansial, maupun sosial. Ketakutan mengambil
resiko lebih sering disebabkan oleh pola pikir yang masih terikat pada masa
lalu misalnya, pengalaman yang menyakitkan. Padahal pengalaman itu sudah berlalu
sehingga tidak dapat diubah menjadi pengalaman yang menyenangkan. Ketua memang tidak
sanggup mengubah yang terjadi, tetapi dapat menikmati masa kini sembari memikirkan
dan merencanakan perubahan untuk masa depan. Tugasnya memikirkan fakta
kehidupan dan melihat situasi kehidupan dari sudut pandang baru.
Pola pikir semacam itu dapat mencegah ketua
mengulangi kesalahan dan kegagalan yang sama pada suatu masa kepemimpinan. Pandangan
baru sebagai pola berpikir reflektif merupakan upaya meninjau penyebab
kegagalan, menemukan revisi yang dapat dilakukan, dan menentukan cara melakukan
yang paling tepat. Mengingat ketua sebagai pemimpin yang handal menerima
tanggung jawab atas kesalahannya dengan membuat rencana baru untuk mencegah
kesalahan yang sama. Keberhasilan memang tidak mudah diraih, karena itu ketua dituntut
memiliki mental petarung: menyadari kegagalan adalah halangan yang harus
dilalui sehingga tidak mudah menyerah setelah gagal. Ketua dengan mental
petarung selalu mengajak pengurus tetap pada jalur kebenaran, kejujuran, dan
integritas tinggi.
Seorang ketua tetap bertanggung jawab, bahkan
ketika pengurus terjerumus dalam kesusahan, kesulitan, dan masalah-masalah
lainnya dengan secepatnya berusaha mencari jalan keluarnya. Ketua menyadari kewajibannya
tidaklah mudah, karena itu memandangnya sebagai tantangan untuk meraih sukses.
Dunia-kehidupan memang tidak sempurna, namun ketua tidak mengajak pengurusnya
hanya memperhatikan keburukan dan menutup mata terhadap kebaikan. Ini sebabnya,
ketua dituntut memiliki kepekaaan akan isu-isu tentang kebaruan dan kesadaran akan
mengimbangi keburukan dengan mengembangkan kebaikan. Upaya mengembangkan
kebaikan biasanya dimulai dengan membuka hati, bersikap ramah, bergaul, dan
percaya setiap orang memiliki sisi kebaikan. Dengan luasnya jaringan, ketua pun
terhindar dari kekuatiran, kecemasan, keraguan, dan kebiasaan mengeluh.
Sikap terbuka memang penting bagi ketua
karena beragam situasi sosial dan susana budaya yang berlansung begitu dinamis
memaksanya. Bukan hanya dimanis, bahkan tidak jarang ketua berhadapan dengan situasi
dan suasana yang dialektis dan dilematis: “cara
taluh apit batu”. Misalnya, tidak jarang seorang ketua dipaksa menerima
suatu pandangan yang tidak disetujuinya sebaliknya, harus menolak suatu pandangan
yang disetujuinya. Kadang-kadang ketua dipaksa melakukan sesuatu yang menyakiti
dirinya demi kesenangan dan keselamatan banyak orang. Ketua dipaksa tetap
menyejukkan dalam situasi panas dan tetap bersikap lembut manis dalam situasi
keras yang begitu pahit. Ketua pun dipaksa tetap tenang dalam situasi yang bergejolak
dan membadai.
Situasi dilematis dapat muncul karena antara
fungsi dan peran pemimpin tidak mesti memiliki hubungan korelasional. Perbedaan
antara fungsi dan peran pemimpin disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan,
kepentingan, dan keperluan. Misalnya, kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi
seringkali berlawanan dengan keperluan pengembangan nilai budaya dan
kepentingan politik mengutamakan demokrasi. Untuk menetapkan pilihan yang sulit
itulah letak relevansi bagi pemimpin mengembangkan paradigma yang dapat memacu
semakin mekarnya sikap terbuka, kesehatan mental, dan semangat perjuangan. Paradigma
ini barangkali dapat mengadopsi dan mengadapatasi prinsip ideal dewata. Paradigma
dewa-raja itu, bahkan sejalan dengan predikat yang disematkan kepada pemimpin
sebagai “yang terhormat”, “yang mulia”, dan “yang suci”.
Paradigma kepemimpinan dengan mengadopsi
sifat dewata teristimewa ditawarkan
kepada Ketua Parisada mengingat dalam kitab-kitab suci agama Hindu banyak
disarankan meninggalkan sifat-sifat raksasa dan meningkatkan sifat manusia menuju
sifat-sifat dewata. Rumusan paradigma yang dimaksudkan dapat mengikuti konsep teologi
Tri Murti, Panca Korsika, Panca Dewata, Asta Dewata, Dewata Nawa Sanga, bahkan tiga
puluh tiga dewata (Bhrihadaranyaka Upanisad)
meliputi delapan Vasu, sebelas Rudra, serta dua belas Aditya, Indra, dan
Prajapati. Paradigma kepemimpinan religius ini lebih sempurna, bila dibingkai dengan
Panca Sraddha dan Panca Yadnya serta dilengkapi Kidung Aji Kembang. Denganya barangkali
lebih mudah meletakkan dasar-dasar hubungan antarumat Hindu dan bersama-sama melakukan
penghayatan agama.
Majalah Wartam, Edisi 21/Nopember 2016.