KOSMOLOGI HINDU: PERSPEKTIF SANKHYA-YOGA
Dr. Drs. I Wayan Sukarma, M.Si
Hindu memiliki sembilan sistem pemikiran filosofis disebut Nawa Darsana yang
dibagi menjadi Astika dan Nastika. Astika, yakni sistem pemikiran yang menerima
otoritas Weda dalam penyelidikannya terdiri atas Nyaya, Waisesika, Yoga,
Sankhya, Mimamsa, dan Wedanta. Sementara
itu, Nastika, yakni sistem pemikiran yang tidak menerima otoritas Weda untuk
menyusun argumentasi fiulosofisnya terdiri atas Bhudda, Carwaka, dan Jaina. Di antara
kesembilan sistem pemikiran itu rupanya, Sankhya dan Yoga yang paling banyak
diadopsi dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Kata “Sankhya” secara
denotatif berarti “pengetahuan yang benar” dan “angka”, tetapi secara konotatif
dapat berarti “pemantulan”, tepatnya pemantulan filsafati. Oleh karena itu,
sistem filsafat Sankhya mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan atau
mentransendenkan kenyataan terakhir dengan pengetahuan. Untuk itu, diperlukan
keberanian mengatasi keadaan purusa yang
berlawan dan bertentangan dengan prakerti.
Purusa banyak jumlahnya, tetapi prakerti hanya satu. Purusa tidak berganda, tetapi keadaan prakerti kompleks. Purusa bersifat statis, tetapi prakerti
dinamis. Purusa tidak mengalami
perubahan tempat maupun bentuk, tetapi prakerti
mengalami perubahan. Purusa bersifat
pasif. Ini berarti bahwa dalam hubungannya dengan prakerti dan dipenjarakan di dalam prakerti itu purusa tidak
dapat mengenal ataupun menghendaki sesuatu dalam arti umum, kecuali purusa dibantu oleh alat-alat batin (antahkarana) dan pembantu-pembantunya.
Pada dirinya sendiri, purusa hanya
berfungsi sebagai penonton, bukan sebagai yang berbuat. Hidup kejiwaan dimungkinan
karena hubungannya dengan perkembangan prakerti
yang menjadi alat-alat batiniah.
Sistem Sankhya mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi, karena itu
tergolong sistem filsafat Astika (orthodoks). Sankhya termasuk salah
satu di antara sistem-sistem filsafat India terkuna. Dalam filsafat India
disebutkan pendirinya adalah Kapila yang barangkali hidup pada zaman sebelum Buddha. Walaupun demikian, peninggalan
tertulis tentang Sankhya yang terkuna yang dapat diketahui barangkali ditulis
pada abad ke-5 Masehi, yaitu Sankhya
Karika buah karya Isvarakrsna. Di samping kitab ini terdapat sumber-sumber
belakangan, seperti Sankhya-karika Bhasya
yang ditulis oleh Gaudapada, Tattva
Kaumudi ditulis oleh Vachaspati Mishra, dan Sankhya-pravacana-bhasya hasil karya Vijnana-bhiksu. Dalam
pemikiran India, Sankhya dipandang sebagai sistem filsafat tertua, bahkan pengaruhnya
terasa hingga kini. Referensi-referensi Sankhya dapat ditemukan pada beberapa
sumber penting, seperti Chandogya, Prashna, Katha, dan Svetasvatara, Mahabharata, Bhagavadgita, serta dalam kitab-kitab Smrti, Purana, dan Caraka-samhita.
Dalam epos Mahabharata dikatakan
bahwa sistem filsafat ini sebagai sesuatu yang eternal. Sankhya dijelaskan sebagai fondasi filosofis
penting bagi seluruh kebudayaan dan peradaban Oriental, bahkan sebagai simbol
peradaban itu sendiri.
Sebelum
memasuki pemikiran Sankhya lebih dahulu perlu dipahami teori sebab-akibat (karana-vada) karena di atas teori ini
seluruh pemahaman Sankhya diletakkan. Teori sebab-akibat (karana-vada) dalam sistem filsafat Sankhya membantu memahami dua prinsip tertinggi, yaitu purusa dan prakerti. Pertanyaan mendasar dalam setiap teori sebab-akibat
adalah: “Apakah efek (akibat, karya)
pra-eksis dalam penyebab materialnya?” Mereka yang memberikan jawaban negatif
(bahwa efek atau akibat adalah tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya)
disebut penganut paham asatkarya-vada,
sedangkan mereka yang memberian jawaban positif (bahwa efek atau akibat adalah
pra-eksis dalam penyebab materialnya) disebut satkarya-vada. Menurut yang pertama,
efek (akibat) merupakan sebuah ciptaan baru, sebuah permulaan yang nyata, yang
secara esensi berbeda dengan penyebabnya. Efek (karya) tidak pra-eksis (asat)
dalam penyebab materialnya (tindakan dari penyebab menghasilkan akibat yang
berbeda dengannya).
Sementara
itu, satkarya-vada pada sisi lain
percaya bahwa efek (akibat) bukanlah sebuah penciptaan baru, tetapi hanya
sebuah manifestasi eksplisit dari yang secara implisit terkandung dalam
penyebab materialnya. Pertanyaan penting di sini adalah: “Apakah efek merupakan
sebuah transformasi nyata atau sebuah penampakkan tidak nyata dari penyebabnya?”
Mereka yang percaya bahwa efek merupakan sebuah transformasi nyata dari
penyebabnya disebut penganut paham Parinama-vada
(parinama berarti transformasi
nyata), sedangkan yang percaya bahwa sebab merupakan penampakan tidak nyata
disebut Vivarta-vada (vivarta berarti penampakkan tidak
nyata). Sankhya, Yoga, dan Ramanuja (dalam filsafat Visistadvaita)
percaya dengan Parinama-vada.
Pandangan Sankhya-Yoga disebut Prakerti-parinama-vada, sedangkan
pandangan Ramanuja disebut Brahma-parinama-vada.
Sunyavada, Vijnanavada, dan Sankara (dalam filsafat Advaita) percaya dalam Vivarta-vada. Pandangan Jaina dan
Kumarila boleh disebut Sadasatkarya-vada
karena menurut pandangan mereka efek adalah nyata, juga begitu tidak nyata
sebelum produksinya, walaupun keduanya cenderung ke arah Parinama-vada.
Sankhya
dapat disebut menganut pandangan realistis karena mengakui adanya realitas
dunia ini yang bebas daripada roh, azas bendani yang berbeda dari azas roh.
Pandangan demikian mengandaikan ada dua realitas asasi yang berdisi sendiri dan
ini sebabnya Sankhya dapat disebut menganut pandangan dualistis. Dua realitas
dikatakan berdiri sendiri sebab “yang satu” lepas dan bebas sama sekali
daripada “yang lain”. Bukan hanya lepas dan terpisah, bahkan antara “yang satu”
dan “yang lain” dinyatakan sebagai sesuatu yang saling berbeda dan bertentangan
tanpa dapat dipadukan. Dua realitas yang saling bertentangan ini disebut purusa dan prakerti. Purusa adalah
azas roh, sedangkan prakerti adalah
azas benda. Menurut Sankhya bahwa purusa
atau roh itu ada banyak sekali tidak terhitung bilangannya, karena itu sistem
ini juga dapat disebut pluralistis. Inilah ajaran pokok dari Sankhya, dua zat
asasi yang saling bertentangan, yang bersama-sama membentuk realitas dunia ini,
yaitu purusa dan prakerti atau asas rohani dan asas bendani. Artinya, Sankhya hendak
mempertahankan dualisme ontologis prakerti
dan purusa dan meyakini bahwa dalam
evolusi material, kosmos, kehidupan, dan pikiran (kecuali prakerti yang eternal) memungkinkan tercapainya tujuan akhir
jiwa-jiwa individu. Sankhya juga mempertahankan
suatu pemisahan yang tegas antara purusa
dan prakerti serta mempertahankan pluralisme purusa. Sistem filsafat ini tidak
membahas keberadaan Tuhan (barangkali karena menekankan berfilsafat secara
teknis). Sankhya dengan demikian
adalah sebuah spiritualisme pluralistik, realisme atheistik, dan dualisme. Ini
sebabnya Sankhya diakui sebagai upaya pecarian filsafati yang paling maju dalam
bidang filsafat murni (filsafat dalam arti filsafat secara teknis). Demikianlah
sistem filsafat Sankhya yang menyetujui dan menerima serta mengajarkan bahwa
hakikat segala sesuatu itu adalah purusa
dan prakerti.
Purusa adalah kesadaran murni, roh, subyek
atau yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula indera-indera; ia bukan otak
bukan pula pikiran (manas); bukan
pula ego (ahamkara), bukan pula
intelek (buddhi). Purusa bukan sebuah substansi yang
memiliki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa sendiri adalah kesadaran murni dan transendental. Purusa adalah pemengetahui tertinggi,
fondasi semua pengetahuan. Ia adalah subjek murni karena hakikatnya yang
demikian, ia tidak pernah dapat menjadi suatu objek pengetahuan. Ia adalah
saksi diam, yang terbebaskan, penglihat yang netral, dan eternal yang damai. Ia
berada di luar jangkauan ruangan dan waktu, di luar perubahan dan aktivitas. Ia
menyinari dirinya sendiri dan membuktikan dirinya sendiri. Ia tidak tersebabkan
oleh apapun, eternal, dan meresapi semuanya. Ia riil, pengetahauan, dan semua
keragu-raguan, serta penyangkalan mengimplikasikan keberadaannya. Ia disebut nistragunya, udasina, akarta, kevala,
madhyastha, saksi, drasta, sadaprakashvarupa, dan jnata. Purusa dalam sistem
filsafat Sankhya merupakan subjek
bagi monisme kualitatif dan pluralisme kuantitatif. Roh-roh ini semuanya secara
esensial serupa, hanya secara jumlah mereka berbeda. Esensi mereka adalah
kesadaran. Kebahagiaan dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari kesadaran
dan merupakan produk dari sattva guna.
Prakerti berarti yang ada sebelum segala
sesuatunya dihasilkan atau disebabkan, sumber pertama dari semua benda, bahan
asal dari mana semua benda menyebar, dan ke dalam mana semua benda pada
akhirnya akan kembali. Prakerti
adalah penyebab pertama dari segalanya, karena itu ia sendiri tidak memiliki
penyebab. Sebagai penyebab tidak tersebabkan ia disebut Prakerti; sebagai
prinsip pertama dari alam semesta ia disebut Pradhana; sebagai
keadaan tidak termanifestasikan dari semua efek ia disebut Avyakta; sebagai benda yang benar-benar halus dan tidak dapat
diamati yang hanya disimpulkan dari produk-produknya ia disebut Anumana; sebagai kekuatan yang selalu
aktif tidak terbatas ia disebut Shakti.
Sebagai penyebab tidak tersebabkan, ia eternal, karena sesuatu yang terbatas
dan tidak eternal tidak bisa menjadi penyebab pertama dunia. Dengan dirinya
sebagai dasar dari produk-produk halus alam semesta, seperti pikiran (manas), intelek (buddhi), dan seterusnya. Prakerti
adalah kekuatan yang sangat halus, misterius, dan luar biasa besarnya yang
melahirkan dan mengembalikan dunia dalam suatu tatanan siklis. Prakerti dengan demikian adalah azas
bendani sebagai sebab pertama alam semesta terdiri atas unsur-unsur kebendaan
dan kejiwaan.
Efek-efeknya
bersifat pluralistik, sementara prakerti
tunggal adanya. Efek-efek tersebut ada dalam penyebabnya, sementara prakerti tidak ada pada penyebab lain.
Efek-efek bersifat terbatas, sementara prakerti
bersifat tidak terbatas. Efek-efek tersebut dibangun oleh bagian-bagian, sementara
prakerti tidak memiliki bagian. Efek-efek tersebut bersifat dapat dibedakan
dan heterogen, sementara prakerti
bersifat tidak dapat dibedakan dan homogen. Efek-efek tersebut lebih rendah
atau bagian dari prakerti, sementara prakerti eksis sendiri dan independen. Prakerti adalah matriks seluruh alam
semesta psiko-fisik – penyebab pertama dari benda, kehidupan, pikiran (manas), intelek (buddhi), dan ego (ahamkara).
Dunia yang tidak berkesadaran, tidak dapat menjadi sebuah transformasi dari sebuah
prinsip yang berkesadaran karena roh tidak dapat ditransformasikan menjadi
benda.
Prakerti
atau asas kebendaan memiliki tiga guna,
triguna. Guna yang diajarkan oleh
Sankhya bukan berarti kualitas seperti yang diajarkan oleh Waisesika, melainkan
ketiga guna itu dipandang sebagai
kekuatan-kekuatan yang menyusun prakerti.
Walaupun demikian, ketiga guna ini
bukan dalam arti bahwa ketiga guna
ini yang membentuk prakerti. Akan
tetapi, keduanya, baik prakerti
maupun ketiga guna itu saling
kebergantungan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Baik prakerti maupun ketiga guna
itu memiliki sifat tidak terbatas. Sama halnya dengan prakerti, juga ketiga guna
itu dapat diamati bahwa ketiganya ada
disimpulkan dari akibat-akibatnya. Jadi, prakerti
dan triguna merupakan dua hal berbeda
yang amat sublim, tidak bisa diamati dengan indera, sebagaimana dalam
pengalaman empiris, tetapi keduanya tidak bisa terpisah dalam mewujudkan
realitas. Realitas inilah merupakan akibat-akibat dari keduanya sehingga
realitas dalam segala manifestasinya merupakan penampakannya yang paling
mungkin dikenal. Ini sebabnya dunia jasmani yang fenomenal ini dipahami sebagai
perwujudan prakerti.
Triguna
adalah kesatuan tiga kekuatan terdiri atas satvam,
rajas, dan tamas. Satvam adalah
hakikat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat tenang dan menenangkan, terang,
dan menerangi. Dalam Bhagavadgita, sattvam teridentifikasi sebagai
sifat-sifat dewata, daiva-sampad,
yang dinyatakan sebagai sifat orang-orang yang mulia karena unsur ini yang
menimbulkan segala yang baik dan yang menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan pengluasan, karenanya menjadi
sumber kesusahan dan penderitaan. Dalam Bhagavadgita,
rajas dinyatakan sebagai sumber dari
segala sumber energi yang menyebabkan segala sesuatu bisa eksis melalui
tindakannya, karma. Rajas sebagai pusat dari sumber kekuatan
aktivitas menjadi penyebab eternal bagi tindakan dua guna lainnya. Tamas
adalah kekuatan yang menentang segala aktivitas sehingga menimbulkan segala
keadaan yang apatis (dingin, lembab, gelap), atau yang acuh tidak acuh,
kemalasan, dan ketidaktahuan.
Bhagavadgita mengindentifikasi kekuatan rajas ini sebagai sifat-sifat raksasa, asura-sampad, seperti kama (keinginan), lobha (kelobaan), kroda
(kemarahan) tiada batas, penyebab kebingungan, yang dinyatakan sebagai tiga
pintu gerbang menuju neraka. Demikianlah ketiga guna itu memiliki tabiat asasi berlainan, tetapi ketiganya saling
bergantungan sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu dari yang lain.
Kerja sama yang erat di antara ketiganya itu digambarkan dengan kerjasama di
antara nyala api, minyak, dan sumbu pada sebuah pelita. Ini mengandaikan tidak ada sesuatu yang
tenang dan menenangkan, yang terang dan menerangi; yang benar-benar bebas dari
kemalasan, ketidaktahuan, dan apatistik; yang tidak disebabkan oleh suatu
sumber aktivitas bersama. Ini pula sebabnya Bhagavadgita
mengidentifikasi sisi gelap (manusia) merupakan bagian integral dari sisi
terang, baik sifat-sifat dewata maupun sifat-sifat raksasa merupakan kesatuan
yang tidak terpisahkan yang mendapatkan maknanya, apabila rajas berkenan mewujudkannya ke dalam sebuah tindakan, karma.
Dikatakan demikian karena semula ketiga guna itu berada dalam keseimbangan
kekuatan, karena itu prakerti juga
berada dalam keadaan tenang dan tidak terjadi apa-apa. Ketika keseimbangan
kekuatan-kekuatan dalam prakerti itu
terganggu, maka terjadilah gerak dan berkembanglah prakerti. Gangguan keseimbangan (harap dipahami sebagai hal yang
berbeda dengan ketidakseimbangan karena gangguan keseimbangan mengandaikan
munculnya fungsi-fungsi eternal di dalam prakerti)
itu terjadi ketika purusa berhubungan
dengan prakerti. Hubungan itu bisa
terjadi karena dari purusa dengan
sendirinya keluar perangsang yang mengundang perhubungan, seperti halnya dengan
besi berani (magnet) terhadap besi yang ditariknya. Kerjasama antara purusa dan prakerti ini menimbulkan perkembangan alam semesta dengan segala
isinya yang keluar dari prakerti. Sebaliknya,
karena hubungan ini menyebabkan purusa
yang banyak itu menjadi jiwa perorangan (individu) di dalam dunia. Prakerti menahan purusa dan membelenggunya di dalam setiap tubuh. Demikianlah prakerti berkembang menjadi alam semesta
dan segala isinya dan menahan purusa
dalam setiap makhluk menjadi jiwa-jiwa individu.
Perkembangan prakerti dari yang satu menjadi yang banyak adalah perubahan
bentuk, suatu transformasi, bukan suatu perubahan tempat. Ini secara sepintas
merupakan logika di luar akal sehat, “bagaimanakah yang satu berkembang menjadi
banyak, tanpa mengalami perubahan tempat, tidak mengambil tempat yang lain?” “Dengan
cara bagaimanakah yang satu menjadi yang banyak itu tidak mengambil tempat?”
Padahal satu dan banyak adalah kasus kuantitas yang di dalamnya tidak dapat
dihindari bahwa pembahasannya haruslah berdasarkan logika deduktif dan
pembicaraan perkara tersebut haruslah seputar ruang dan waktu. “Bagaimanakah
sebuah perkembangan dapat terjadi tanpa harus terikat dan tergantung pada ruang
dan waktu?” Di sini rupanya Sankhya hendak menjelaskan tentang perubahan dalam
satu waktu dan tempat secara simultan, bukan berurutan sehingga di dalamnya
tiada waktu berbicara tentang ruang. Demikian juga Sankhya mengatakan bahwa
perubahan itu tidak hanya terjadi dalam satu jurusan saja, melainkan dalam banyak
jurusan. Ini juga menunjukkan suatu perubahan sebagai sebuah kemungkinan,
tentang masa depan secara empiris sehingga tidak bisa diramalkan arah
perkembangannya. Masa depan adalah sejarah tentang hari esok, sesuatu yang
sarat dengan ketidakmungkinan, dan ketidakpastian sehingga mengalami perubahan
ke banyak jurusan. “Siapakah yang bisa mengatakan mengenai pengalamannya di
esok hari?” Walaupun pengalaman tersebut adalah hal yang sangat nyata.
Demikianlah Sankhya menunda makna atas realitas dan mengundang para penikmat
(hidup) memberikan makna sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Sankhya
juga menjelaskan bahwa perkembangan prakerti
terjadi secara berkala. Artinya, ada masa perkembangan dan masa peleburan.
Inilah alasan bagi Bhagavadgita
mengatakan bahwa realitas itu adalah ilusi sebagaimana diajarkan Sankara-charya dalam filsafat Advaita. Semua manifestasi datang dan
pergi sesuai dengan masa perkembangan (srsti)
disusul oleh masa peleburan (pralaya).
Pagi hari adalah masa kebangkitan, Weda, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
kebijaksanaan saatnya berkembang dan diperebutkan dalam sebuah permainan
kehidupan. Sebaliknya, malam hari adalah masa peleburan, saatnya istirahat
setelah mengalami kelelahan permainan kehidupan, segala sesuatu ditidurkan. Pada
masa peleburan itu seluruh keanekaragaman alam semesta ini terpendam atau
ditidurkan di dalam prakerti.
Perputaran masa ini tidak ada batasnya
karena yadnya tidak pernah
henti-henti keluar dari Prajapati dan semua makhluk menikmatinya sebagai karma, yang menjebaknya untuk mengulang
kembali, samsara. Ini mengandaikan
adanya waktu yang berlimpah dan di dalamnya segala manifestasi terikat dan
bergantung (eksis), sebagaimana manusia terikat pada masa lalunya (dalam
berbagai tindakan, karma, sebagai
kausa material) dan bergantung pada masa depannya (dalam berbagai keinginan,
sebagai kausa efisien) karena yang sekarang juga segera berlalu dan terlupakan
(sebagai kausa formal). Perputaran waktu terhenti, apabila purusa telah sampai kepada kesadaran murninya, sebagai purusa (kausa final). Sankhya mempertahankan bahwa masa lalu,
sekarang, dan masa yang akan datang ditentukan oleh mode-mode spesifik atau upadhi-upadhi yang riil dan satu waktu
riil tidak ada gunanya. Satu waktu eternal tidak dapat dibagi menjadi masa
lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Demikianlah siklis waktu dalam wajah
evolusi dan involusinya menjadi bagian penting dalam penelusuran filsafat
Sankhya berikutnya.
Perkembangan
prakerti mulai, bila keseimbangan
kekuatan triguna terganggu. Pada
tahapan pertama dari perkembangan itu satvam
lebih berkuasa daripada kedua guna lainnya, karenanya hal-hal yang dihasilkan
adalah hal-hal yang didominir oleh satvam
yang terang dan menerangi. Pertama-tama dari prakerti timbullah mahat yang agung.
Mahat adalah benih dunia ini. Segi
kejiwaan atau psikologisnya disebut buddhi
yang memiliki sifat-sifat kebajikan (dharma),
pengetahuan (jnana), tidak bernafsu (wairagya), dan ketuhanan (aiswarya). Perbedaan antara mahat dan buddhi adalah azas kejiwaan, tetapi buddhi bukanlah purusa
dan roh yang tidak bersifat kebendaan. Buddhi
adalah sat yang halus dari segala
proses mental, kecakapan untuk membeda objek atau hal-hal yang bermacam-macam,
serta menerimanya seperti apa adanya. Fungsinya adalah untuk mempertimbangkan
serta memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh alat-alat yang lebih rendah
daripadanya (manas dan ahamkara). Buddhi adalah unsur kejiwaan yang tertinggi. Instansi terakhir bagi
segala macam perbuatan moral dan intelektual.
Ini menunjukkan bahwa waktu pesimistis
dari Sankhya sejalan dengan ajaran waktu dalam Yuga yang bergerak dari masa
emas, masa perak, masa perunggu, dan masa tembaga. Ini menyebabkan zaman kali yuga tidak bisa lebih baik daripada
zaman kerta yuga dan zaman-zaman
sebelumnya karena aliran waktu bergerak dari hal yang terbaik hingga hal yang
terburuk. Seperti ajaran tentang penciptaan dalam Siwattwa bahwa penciptaan dimulai dari unsur yang paling halus
hingga yang paling kasar dan sebaliknya, peleburan dimulai dari yang paling
kasar hingga yang paling halus. Ini merupakan konsep tentang waktu yang
berlapis-lapis sehingga pikiran yang material tidak bisa merekam pengalaman
yang bukan bersifat materi menyebabkan manusia melupakan waktu kelahiran yang
terdahulu.
Dari buddhi (mahat) timbullah ahamkara, azas individual, yang
menimbulkan individu-individu. Ahamkara
inilah yang menyebabkan segala sesuatu memiliki latar belakangnya
sendiri-sendiri. Ini berarti ahamkara
yang menyebabkan segala sesuatu itu menjadi eksis pada dirinya sendiri dan
berbeda dari yang lain. Seperti dengan mudah dibedakan antara bangsa manusia,
baik dengan bangsa hewan maupun dengan bangsa tumbuh-tumbuhan. Dengan cara yang
sama juga dengan mudah dilakukan pembedaan antara sesama manusia, sesama hewan,
dan sesama tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian, ahambara bukanlah kualitas atau sifat dari sesuatu karena ahamkara juga memiliki segi ‘yang kosmis’
dan ‘yang jiwani’. Dari segi yang kosmis timbullah subjek dan objek yang
masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Dari segi yang jiwani timbullah “rasa
diri manusia”, ego, aku. Dari ahamkara-(mahat) timbul karma
kosmis, tindakan alam semesta; sedangkan dari ahamkara-(buddhi) timbul karma individu, tindakan perorangan.
Kebenaran, Kebijaksanaan, dan Kebahagiaan adalah harmoni dari kedua tindakan
tersebut.
Setelah
ahamkara, perkembangan prakerti menuju kedua jurusan, yaitu
jurusan yang semata-mata bersifat kejiwaan di mana satvam lebih berkuasa daripada guna-guna
yang lain. Jurusan jasmani atau fisis, di mana tamas-lah yang merajainya. Di dalam perkembangan ini rajas semata-mata berfungsi sebagai
tenaga yang memberi dinamika serta kekuatan kepada kedua guna yang lain. Barangkali dapat diandaikan pada tahapan
perkembangan ini ibaratnya sebuah arloji bandul. Apabila rajas memukul sattvam,
maka sifat-sifat kejiwaan (yang terang dan menerangi) itulah yang dominan yang
menguasai seseorang. Sebaliknya, apabila rajas
memukul tamas, maka sifat-sifat
fisislah (kemalasan, acuh tidak acuh) itulah yang dominan menguasai seseorang. Rajas sebagai pusat kekuatan tindakan
inilah yang harus dikuasai dan dikendalikan, agar rajas memukul salah satu di antara kedua sifat-sifat itu secara
tepat (ruang dan waktu) sehingga tindakan yang muncul senantiasa harmoni antara
karma individu dan karma kosmis. Bhagavadgita menjelaskan bahwa manusia adalah instrumen, isvara-isvara kecil yang tidakluk,
berkesadaran terbatas, berbeda dengan Isvara,
Tuhan yang berkesadaran semesta. Ini yang menjadi bagian penyempuranaan dari
sistem filsafat Yoga karena Sankhya tidak memabahas tentang eksistensi Tuhan.
Perkembangan
kejiwaan yang pertama adalah manas,
alat pusat yang bekerjasama dengan indera-indera untuk mengamati kenyataan-kenyataan
di luar manusia. Manas berasal dari
akar kata “man” artinya berpikir. Manas atau pikiran yang muncul dari Sattvika Ahankara merupakan organ indera yang sentral dan halus. Ia berhubungan
dengan beberapa organ indera pada saat yang sama. Tanpa panduan manas, indera-indera tidak dapat
menunaikan fungsinya dengan baik dalam hubungannya dengan objek-objeknya. Manas adalah organ sentral yang dapat
melakukan fungsi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan tindakan. Menurut
Sankhya, ia bukan eternal bukan pula atomis. Ia dibentuk oleh bagian-bagian
sehingga dapat kontak dengan indera-indera yang berbeda secara simultan.
Sankhya memberikan fungsi penting manas
mensintesakan indera-data ke dalam persepsi terbatas, meneruskan mereka kepada
ego, dan membawa pesan-pesan ego melalui organ-organ motorik. Ini menunjukkan
bahwa tugas manas ialah untuk
mengkoordinir perangsang-perangsang keinderaan dan mengaturnya sehingga menjadi
pentunjuk-petunjuk, dan meneruskannya kepada ahamkara dan buddhi.
Sebaliknya, juga manas bertugas untuk
meneruskan putusan-putusan kehendak buddhi
kepada alat-alat yang lebih rendah (panca indera – buddhendriya). Buddhi, ahamkara, dan manas ini bersama-sama disebut alat batin, antahkarana.
Dari
yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa perkembangan prakerti pertama-tama dimaksudkan hendak melengkapi keperluan purusa, yaitu dengan menimbulkan atau
melahirkan peralatan yang paling penting bagi pengalaman hidup. Perkembangan
kedua adalah panca indera (buddhendriya atau
jnanendriya), penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Perkembangan kejiwaan yang ketiga
adalah karmendriya, indera untuk
berbuat, yang terdiri atas daya berbicara, daya memegang, daya berjalan, daya
membuang kotoran, dan daya mengeluarkan sperma. Kesepuluh indera ini tidak
dapat diamati, tetapi berada di dalam alat-alatnya yang tampak, dan harus
dibedakan dengan alat-alat itu. Hanya dengan perantaraan alat-alat yang tampak
itulah orang dapat mengamati serta mengenal objek-obyek di luarnya. Artinya, indera-indera
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu lima indera berhubungan dengan
pengetahuan atau kekuatan kognisi disebut Jnanendriya
dan lima indera yang berhubungan dengan aktivitas atau kapasitas melakukan
tindakan disebut Karmendriya.
Kekuatan-kekuatan ini berevolusi untuk membentuk dunia sebagai sebuah sistem
tujuan atau objek-objek keinginan. Fungsinya untuk memberikan posisi kepada objek-objek.
Jnanendriya terdiri atas kekuatan-kekuatan,
antara lain kekuatan untuk mendengar atau menyimak (srota), kekuatan untuk merasakan (tvak), kekuatan untuk melihat (caksu),
kekuatan untuk mengecap (rasana), dan
kekuatan untuk mencium (ghrana). Karmendriya adalah kekuatan untuk wicara
atau ujaran (vak), kekuatan untuk
melakukan pembuangan (upastha),
kekauatan untuk melakukan senggama (payu),
kekuatan untuk menangkap (pani), dan
kekuatan untuk bergerak (pada). Indera-indera
tersebut hanyalah merupakan kapasitas yang bersifat laten yang ada pada pikiran
(manas) untuk memahami dan bertindak
dalam satu dari lima indera. Mereka
adalah kekuatan yang memerlukan instrumen melalui mana mereka berfungsi. Semua
indera muncul secara simultan dengan pikiran (manas) dan diklasifikasikan sebagai evolut (tattva) karena mereka dihasilkan, dan bukan menghasilkan mode-mode
baru suatu entitas. Kesepuluh indera
tidak akan memiliki eksistensi riil tanpa objek-objek. Contohnya, kekuatan
mendengar tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa sesuatu yang didengar, suara.
Begitu pula dengan indera yang lainnya, seperti merasakan, melihat, merasakan,
dan mencium. Mereka harus memiliki sesuatu dengan mana mereka dapat
melaksanakan tugasnya. Begitulah kesepuluh indera ini memanifestasikan dirinya,
pasangannya berupa elemen halus (tanmatra)
muncul.
Istilah
‘tanmatra’ diterjemahkan sebagai
‘semata-mata itu’ atau ‘ke-itu-an’. Mereka adalah esensi dari rupa (rupa), bau (gandha), rasa (rasa) ,
sentuhan (sparsa), dan suara (sabda). Tidak seperti Nyaya-Vaisesika, mereka tidak diturunkan dari
elemen-elemen kasar, melainkan elemen kasar muncul dari mereka. Mereka bukan
sifat-sifat, bukan pembeda elemen-elemen kasar, bukan pula fungsi-fungsi yang
merupakan organ-organ sensori, tetapi esensi halus yang menyebabkan
elemen-elemen kasar juga menghasilkan sifat-sifat mereka. Dari esensi suara (sabda-tanmatra) muncul elemen ether (akasha) bersama-sama dengan sifat
suara. Dari esensi sentuhan berpadu dengan esensi suara, muncul elemen udara
bersama-sama dengan sifat-sifat suara dan sentuhan. Dari esensi halus warna
atau penglihatan dikombinasikan dengan suara dan sentuhan, muncul elemen api
dan sinar bersama-sama dengan kualitas suara, sentuhan, dan warna. Dari esensi
rasa bersama-sama dengan suara, sentuhan, dan warna muncul elemen air
bersama-sama dengan sifat-sifat suara, sentuhan, dan rasa. Hingga terakhir,
dari esensi penciuman dipadukan dengan suara, sentuhan, dan rasa, mucul elemen
tanah bersama-sama dengan sifat suara, sentuhan, warna, rasa, dan penciuman.
Dengan
demikian, perkembangan jasmaniah (pisik) menghasilkan azas dunia yang di luar
manusia, yaitu yang disebut lima anasir. Perkembangan ini melalui dua tahapan. Pada
tahapan yang pertama, kelima anasir itu masih halus disebut tanmantra. Ada lima tanmantra, yaitu sari suara,
sari raba, sari warna, sari rasa, dan sari bau. Dari sini jelas bahwa tidak ada
perbedaan antara substansi dan kualitas, seperti yang terdapat pada Waisesika. Keduanya mewujudkan suatu
kesatuan. Oleh karena kombinasi anasir-anasir yang halus inilah timbul
anasir-anasir yang kasar di dalam tahap perkembangan kedua. Dari anasir suara
timbul akasa (ether, atau juga ruang), dari kombinasi anasir suara dan raba
timbulah hawa (wayu), dari gabungan
anasir suara, raba, dan warna timbulah api (agni),
dari anasir suara, raba, warna, dan rasa timbulan air (apah), dan dari gabungan anasir suara, raba, warna, rasa, dan bau
timbulah bumi (prthiwi). Berhubung
dengan itu, maka anasir yang kasar memiliki tabiat yang sesuai dengan unsur
yang membentuknya, yaitu ruang memiliki tabiat rasa dan bumi memiliki tabiat
bau.
Akhirnya,
dari anasir kasar berkembanglah alam semesta dengan segala isinya, bumi dengan
gunung-gunungnya, sungai-sungainya, pohon-pohonnya, binatang-binatangnya,
manusia-manusianya, segala yang hidup, dan lain sebagainya. Semuanya itu hasil
dari perubahan yang terjadi pada prakerti.
Akan tetapi, perkembangan yang terakhir ini berbeda bila dibanding dengan pekembangan
yang pertama, yang terjadi dimulai dari mahat
hingga anasir kasar. Oleh karena perkembangan yang terakhir ini tidak
menimbulkan azas-azas baru, seperti yang terjadi pada mahat, ahamkaran, dan
seterusnya, di mana tiap kali ada azas baru dilahirkan. Terjadinya
gunung-gunung, sungai-sungai, dan sebagainya itu semeta-mata adalah hasil
penyusunan anasir kasar itu dengan cara yang bermacam-macam. Jadi, anasir kasar
tetap berada di dalam segala sesuatu yang di hasilkan. Hal ini digambarkan
dengan sebuah “batu dadu” dalam permainan dadu. Batu itu dijatuhkan dengan cara
yang bermacam-macam dan setelah jatuh menunjukkan seginya yang bermacam-macam
(yang dengan titik-titik satu, atau dua, atau tiga, dan seterusnya), tetapi
batu dadu itu tetap sama. Segi batu yang bermacam-macam itu bagi kita mempunyai
arti yang bermacam-macam juga. Demikianlah halnya juga dengan alam semesta
dengan isinya yang beraneka ragam ini. Dalam perkembangan yang terakhir ini
terjadi bermacam-macam perubahan, dan perubahan-perubahan itu senantiasa
bergantian di dalam batas-batas suatu masa (sebatang pohon tumbuh, mati,
diuraikan, dan dikembalikan kepada anasir yang menyusunnya, yaitu anasir bumi,
air, dan lain-lainnya). Akan tetapi, perkembangan yang pertama (yaitu mulai
dari mahat hingga anasir kasar) tetap
senantiasa ada pada sepanjang perputaran masa dan hanya akan diuraikan pada
akhir perputaran masa itu.
Segala sesuatu yang dirajai oleh tamas kebanyakan termasuk dunia benda,
di antaranya ada sebagian yang termasuk bagian bingkai badan manusia, artinya
bersifat badani atau fisis. Akan tetapi, segala sesuatu yang dirajai oleh sattvam juga bersifat badani atau fisis
sebab semuanya itu dilahirkan oleh prakerti.
Sekalipun demikian karena kodratnya yang lebih halus segala sesuatu yang dirajai
sattvam ini membantu purusa dalam menyatidakan objek-objek
yang di luar manusia. Sebab purusa
sendiri bersifat pasif pada dirinya sendiri tidak mampu untuk mendekati serta
mengerti sesuatu. Aktivitas hal-hal yang dirajai sattvam itu diperlukan bagi persyaratan hidup mental. Seluruh
peralatan yang terdiri atas alat batin (antahkarana)
dengan segala alat bantuannya yang bermacam-macam, yaitu sepuluh indera dan
lima tanmatra itu bertabiat badani
atau fisis dan menjadi syarat mutlak bagi purusa
untuk mendapatkan pengalaman. Semuanya itu bersifat khusus pada setiap orang
dan menyertai orang dalam seluruh kehidupannya di dalam dunia ini (samsara) serta disebut tubuh halus (lingga sarira). Tubuh ini tidak akan
terpisah dari seseorang, juga jika ia mati. Tubuh ini hanya dapat dipisahkan
dari manusia, bila ia telah mendapatkan kelepasan yang sempurna. Tubuh yang
tampak ini disebut badan kasar (stula
sarira).
Manusia
berada di dalam samsara, artinya ia
dibelenggu oleh kelahiran kembali. Hal ini disebabkan karena ia tidak mampu
untuk membedakan antara purusa dan prakerti. Purusa-nya yang sebenarnya adalah penonton, dianggap sebagai ikut
aktif di dalam segala perbuatan prakerti.
Hal yang demikian sudah barang tentu mempengaruhi alat-alat batinnya (antahkarana), yaitu budhi, ahamkara, dan manas.
Sebelum mendapat kelepasan alat-alat batin ini bersama-sama dengan tubuh
halusnya dilahirkan kembali dari tubuh kasar yang satu kepada tubuh kasar yang lain.
Oleh karena itu, tubuh halus ini sebenarnya adalah tempat kegirangan dan
kesusahan, dan pembetukan watak manusia. Tubuh halus itu digambarkan sebagai
pemain sandiwara yang memainkan peranan dalam bermacam-macam babak permainan.
Kesatuan tubuh halus dan tubuh kasar menghasilkan kelahiran. Pada waktu orang
mati kedua tubuh itu dipisahkan, tetapi tubuh halusnya akan dilahirkan dalam
tubuh kasar yang lain yang baru. Adanya tubuh halus serta kelahiran kembali ini
akan berlangsung terus sepanjang perputaran masa ini. Dalam Bhgavadgita, bab II:12--20 dijelaskan ajaran
tentang roh sebagai berikut.
a.
Baik
Aku, engkau, maupun para pemimpin ini tak pernah tidak ada sebelumnya, ataupun
akan berhenti adanya, sekalipun sesudah mati.
b.
Sebagaimana
halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda, dan masa tua demikian juga
dengan diperolehnya badan baru (II:13).
c.
Sesungguhnya
hubungannya dengan benda-benda jasmaniah, menimbulkan panas dan dingin, senang
dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar
(II:14).
d.
Sesungguhnya
orang yang teguh pikirannya, yang merasakan sama antara susah dan senang, orang
seperti inilah yang patut hidup kekal abadi (II:15).
e.
Apa
yang tidak ada, tak akan pernah ada (dan) apa yang ada tak akan berhenti ada,
kesimpulannya keduanya telah dapat dimengerti oleh para pengamat kebenaran
(II:16).
f.
Sesungguhnya
yang meliputi semua ini tak dapat dihancurkan. Tak seorangpun dapat memusnahkan
yang tak mengenal kemusnahan itu (II:17).
g.
Sesungguhnya,
raga dari jiwa yang langgeng, tak terhancurkan dan tak terbatas ini, juga akan
berakhir; (II:18).
h.
Sesungguhnya,
yang memikirkan ia sebagai pembunuh dan yang berpendapat bahwa ia dapat dibunuh
keduanya adalah dungu, karena ia tak pernah membunuh dan dibunuh (II:19).
i.
Ini
tak pernah lahir, juga tak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada.
Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat
badan jasmani ini mati (II:20)”.
Sebenarnya
purusa memiliki sifat berada di
mana-mana, tetapi pernyataan kehadirannya di dalam dunia ini (pada waktu samsara) tidak pernah terjadi di luar
batas-batas tubuhnya, yang dengannya purusa
dihubungkan pada waktu ini. sehubungan dengan itu, purusa dan prakterti
tampaknya berbuat sebagai satu aku,
satu pribadi. Akan tetapi, sebenarnya hanya mengenai pribadi manusia yang dapat
diamati saja, jadi bukan kebenaran yang tertinggi. Pribadi yang benar, pribadi
yang tertinggi adalah purusa. Dengan
mengetahuai purusa itu berbeda dengan
prakerti, maka orang akan lepas dari
kelahiran kembali. Dengan demikian, ia tidak akan hidup lagi dalam
ketidaktahuan. Jika orang mendapat kelepasan, purusa akan menjadi “tidak berteman”, artinya, purusa akan dilepaskan daripada prakerti.
Ia akan melihat dirinya sendiri saja. Jadi, kebebasan dari penderitaan harus
datang dari pengetahuan pembedaan antara tentang roh dan bukan roh (vivikajnana). Akan tetapi, pengetahuan penyelamat ini bukanlah semata-mata
pemaham intelektual tentang suatu kebenaran. Ia haruslah pengetahuan langsung
atau realisasi yang jelas tentang fakta bahwa roh (purusa) bukanlah tubuh dan indera-indera, pikiran (manas) dan intelek (buddhi).
Pengetahuan langsung tentang kebenaran
diperlukan untuk mengenyahkan ilusi
(khayalan) tubuh atau pikiran sebagai roh.
Pengetahuan tentang roh berbeda
dari semuanya ini haruslah secara sama merupakan persepsi langsung, bila hal
ini dipakai untuk menentang dan menghentikan yang terjadi sebelumnya. Untuk
merealisasikan roh dibutuhkan latihan-latihan spiritual bersifat mistis dalam
disiplin diri yang panjang dan berkesinambungan dengan penuh pengabdian dan
kontemplasi konstan. Pada akhirnya ditemukan bahwa roh bukanlah tubuh atau
indera-indera. Metode untuk mendapatkan pengetahuan benar ini diberikan oleh
sistem filsafat Yoga sebagai aspek
praktis dari sistem filsafat Sankhya.
Itulah sebabnya ketika membicarakan Sankhya tidak bisa lepas dari Yoga. Yoga menerima hampir seluruh aspek-aspek metafisika sistem filsafat
Sankhya. Demikianlah ajaran Sankhya
(teoretis) tidak dapat dipisahkan dari Yoga (praktik) merupakan satu kesatuan
holistik, bahkan Bhagawadgita menegaskan bahwa dengan melaksanakan salah satu
di antaranya akan memperoleh pahala dari keduanya.
Purusa dapat dilepaskan dari ikatan prakerti melalaui pengetahuan benar
dalam kesadaran penuh, pengetahuan tentang purusa-prakerti
sebagai azas segala sesuatu. Untuk
itu orang harus menindas vrtti, yaitu
dengan meniadakan klesa (panca klesa). Klesa-klesa itulah yang mewujudkan satu fungsi menjadi dasar
pembentukan karma. Karma inilah yang menimbulkan
ketidaktahuan (avidya). Jadi, dalam
hidup kejiwaan, terdapat suatu perputaran yang tiada putus-putusnya, perputaran
vrtti, kecenderungan -kecenderungan, klesa-klesa, ketidaktahuan, sangka diri,
terikat kepada nafsu, keengganan untuk menderita, dan keinginan hidup lama. Ini
sebabnya tujuan sistem Yoga untuk mematahkan perputaran yang tiada
putus-putusnya itu, yakni dengan secara bertahap meniadakan segala klesa serta memberhentikan vrtti. Akhirnya, manusia terbebas dari
tiga macam duhkha, yaitu adhyatmika-duhkha (penderitaan yang
disebabkan oleh perilaku salah, seperti penyakit misalnya); adhibhautika-duhkha (penderitaan yang
muncul sebagai akibat dari hubungan manusia dengan makhluk lain, seperti virus,
bakteri, ular, harimau, pencuri, dan lain sebagainya); dan adhidaivika- duhkha (penderitaan yang muncul sebagai akibat dari
hubungan antara manusia dengan alam sekitar, seperti elemen-elemen dan
kekuatan-kekuatan halus, gempa bumi, gunung berapi, banjir, stunami, dan lain
sebagainya).
Kebebasan
dari klesa dan duhkha tersebut dapat dicapai melalui upaya yang serius dan
sunggung-sungguh secara terus-menerus (abhyasa)
dan keadaan yang tanpa nafsu atau tidak terikat pada objek-objek bendani (vairagya). Hanya dengan usaha melepaskan
diri dari nafsu-nafsu, maka manusia dapat membedakan antara pribadi dan yang
bukan pribadi, antara roh dan bendani, antara purusa dan prakerti.
Usaha ini dijelaskan dalam bentuk delapan tingkatan Yoga, yang disebut Astanga-Yoga. Astangga-Yoga, terdiri atas delapan cara mempraktikkan atau mendemontrasikan ajaran Yoga, yaitu pengekangan
diri (yama), pengamatan (niyama), sikap tubuh (asana), pengaturan nafas (pranayama), penarikan indera dari
obyek-obyeknya (pratyahara),
pemusatan perhatian (dharana),
permenungan atau meditasi (dhyana),
dan pemusatan yang sempurna atau tafakur (samadhi).
Delapan anggota Yoga ini dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu mulai dari pengekangan diri (yama) sampai dengan penarikan indera
dari obyek-obyeknya (pratyahara)
disebut bahiranga, yakni
pertolongan-pertolongan tidak langsung atau dari luar. Mulai dari pemusatan
perhatian (dharana) sampai dengan
pemusatan sempurna atau tafakur (samadhi)
disebut antaranga, yakni pertolongan-pertolongan
langsung atau dari dalam diri. Bagian pertama
dapat dibagi menjadi dua, yaitu persiapam etis, terdiri atas pengekangan diri (yama) dan pengamatan (niyama), dan persiapam badani, terdiri
atas sikap tubuh (asana), pengaturan
nafas (pranayama), dan penarikan
indera dari obyek-obyeknya (pratyahara).
Bagian kedua dapat dibagi menjadi
dua, yaitu pertama permenungan
terdiri atas pemusatan perhatian (dharana)
dan meditasi (dhyana), dan kedua pemusatan pikiran atau tafakur (samadi).
Pengekangan diri (yama) dan pengamatan (niyama)
mewujudkan asas etis Yoga. Patanjali mengajarkan bahwa pengekangan diri (yama) terdiri atas lima peraturan moral,
yaitu (1) tidak merugikan (ahimsa),
yang melarang orang menyiksa, melakukan pembunuhan, berbuat tidak adil, membenci
dengan cara bagaimanapun; (2) mengucapkan yang benar (satya) yang berarti bahwa orang tidak boleh berbuat curang, baik
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain; (3) tidak mencuri (asteya), yang melarang orang mencuri
atau menyalahgunakan milik orang lain; (4) menjauhkan diri dari perbuatan
seksual (brahmacarya), yang melarang
orang berbuat mesum, berzinah; (5) menolak milik (aparigraha), yang mengandung arti bahwa orang tidak boleh kikir.
Inilah peraturan moral yang besar (mahavrata),
yang berlaku secara umum bagi semua orang tanpa mengingat akan kasta, tempat,
waktu, dan keadaan. Sementara itu, pengamatan (niyama) meliputi lima peraturan, yaitu (1) kemurnian atau kesucian
(sauca) secara lahir dan batin; (2)
kepuasan (santosa), menerima apa
adanya; (3) kesederhanaan (tapas),
tidak memanipulasi; (4) pelajaran (svadhyaya),
mempelajari kitab suci, paravidya, brahmavidya; dan (5) penyembahan kepada
Tuhan (iswarapradidhana).
Kesepuluh peraturan moral ini disebut
Hukum Sepuluh dari sistem Yoga, yang pertama-tama harus dilaksanakan oleh
orang-orang yang hendak melakukan praktik
Yoga. Sebagai peraturan moral, hukum sepuluh itu bersifat mengikat
karena di atasnya bersandar aktivitas-aktivitas Yoga selanjutnya, baik asana, pranayama, dharana, dhyana, maupun samadhi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hidup etis yang
tinggi itu menjadi persiapan asasi dari Yoga sehingga pedoman moral senantiasa
menjadi perhatian utamanya. Menjadi orang “baik”, berbudi pakerti luhur dan
berakhlak mulia merupakan cita-cita pertama yang harus dicapai sebelum
mendemontrasikan kehidupan yogin. Ini
dimensi individual dan sosial yang wajib dipenuhi karena harmoni kehidupan
sosial merupakan cerminan dari keselarasan kehidupan individual. Artinya, sistem
Yoga menekankan pentingnya kehidupan spiritual, tetapi Yoga lebih mengutamakan
harmoni kehidupan sosial dan keselarasan manusia dalam lingkungan alam.
Sebagaimana dimaksudkan dalam ajaran yama
dan niyama (pengekangan diri dan
pengamatan) yang menekankan kepada hubungan selaras antara perorangan dan
masyarakat, antara manusia dan segala makhluk, serta antara manusia dan Tuhan.
Ini alasan terbaik, mengapa ajaran Yoga dimulai dari pembentukan manusia
berbudi luhur dan berakhlak mulia. Dengannya diyakini manusia mampu melakukan
pilihan-pilihan dalam hidupnya sesuai dengan kodratnya yang semata-mata bukan
material.
Pemahaman ini dapat mengantarkan kesadaran pada samadhi. Pemusatan pikiran menjadi
demikian mendalam sehigga objek perenungan itu menarik seluruh perhatian, dan citta menjadi abstrak, menjadi
seolah-olah kosong dari dirinya sendiri. Inilah suatu keadaan ekstase, segala
hubungan dengan dunia luar ditiadakan dan dipatahkan sama sekali. Di sini purusa ditarik dari keadaan yang serba
berubah dan bersifat sementara dan ditempatkan di dalam hidup yang sederhana,
kekal, dan sempurna. Purusa menerima
kembali status yang semula, yang murni, tanpa penetapan, tanpa atribut sehingga
tabiat kemanusian yang biasa, yang memberikan berbagai nama-rupa ditinggalkan. Sang Yogin
yang mencapai tingakatan samadhi
memiliki kecakapan-kecakapan yang luar biasa, ia memiliki kemampuan yang
diperluas (siddhi). Umpamanya, dapat
mengetahui segala sesuatu terlebih dahulu, dapat melihat jarak jauh, dapat
melihat yang lampau atau yang akan datang, dapat mendengar yang sangat jauh,
dan lain sebagainya. Siddhi hanyalah
bagian lain dari proses Yoga. Perluasan
kemampuan ini bukan tujuan dalam belajar Yoga karena kemampuan mistis bukan alat untuk meraih kebenaran,
kebijaksanaan, dan kebahagiaan.