Mari Sucikan Atma dengan Akal Sehat
Wayan
Sukarma
(Majalah Sabda No.29 Desember 2012:22--23)
Hidup menyebabkan kehidupan. Eksistensi kehidupan berada di antara dua titik, yaitu titik lahir dan
titik mati. Pada sepanjang
garis eksistensi ini manusia menjalani dan menikmati
kehidupan untuk segera dilupakan. Ini sebabnya manusia tidak ingat dan tidak dapat mengetahui
dua titik yang membangun garis eksistensi kehidupannya. Manusia tidak mengetahui kelahiran dan kematian dirinya sendiri. Padahal kedua titik itu, yaitu titik lahir
dan titik mati niscaya adanya, sebagaimana keniscayaan Tuhan – aspek esensial dalam agama-agama. Kalau setiap orang adalah
sebuah buku dalam perpustakaan besar dunia-kehidupan, maka tak seorang pun dapat menyusun
sendiri bab pendahuluan dan penutup buku kehidupannya. Tak seorang pun dapat menjaga dan memelihara dirinya sendiri pada saat baru
lahir, tanpa bantuan ayah dan ibunya. Begitu juga yang sudah meninggal tak seorang
pun dapat menyelesaikan proses penguburannya dan mengantarkan dirinya sendiri ke
kuburan. Untuk itu, diperlukan orang lain yang melakukannya termasuk mengerjakan yang tidak dapat dikerjakannya sendiri. Kondisi ini menyebabkan tak
seorang pun dapat hidup normal-sempurna tanpa kehadiran orang lain, bahkan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Ketiga lembaga inilah yang mewarnai garis eksistensi
kehidupan manusia. Kalau garis eksistensi kehidupan ini sarat dengan interaksi
pendidikan, maka keluarga
mewarnainya dengan pendidikan
informal, sekolah memberikan pendidikan formal, dan masyarakat menyediakan pendidikan
nonformal. Artinya, setiap
orang niscaya menjalani kehidupan dalam suatu keluarga bersama dengan ayah dan ibunya. Ini sebabnya tidak dapat dihindari keluarga menjadi arena internalisasi, objektivasi, dan
eksternalisasi. Dalam keluarga seseorang tumbuh dan berkembang dalam tuntunan ayah
dan kekuatan ibu termasuk perlindungan dari anggota keluarga lainnya, seperti
kakek dan nenek. Setiap orang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam keluarga, bahkan ketika sudah memiliki
kesanggupan untuk memasuki pergaulan yang lebih luas, seperti kelompok teman
sebaya, sekolah, dan masyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama bagi berlangsungnya pergaulan yang mendewasakan dan mematangkan. Dalam keluarga, seseorang mengembangkan daya pikir dan
kepekaan moral. Dengannya keluarga
menjadi tempat pertama mengenal nilai, norma, dan aturan kehidupan. Keluarga menjadi tempat pertama belajar tentang
pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar kehidupan. Begitulah manusia meningkatkan kualitas dirinya melalui pendidikan.
Keberadaan keluarga, sekolah, dan masyarakat
tersebut menunjukkan bahwa orang dibelenggu dalam dunia-kehidupan dengan nilai,
norma, dan aturan kehidupan. Orang mesti tunduk pada
prinsip-prinsip hukum alam sebab hukum ini sifatnya memaksa. Begitu juga orang harus
takluk pada prinsip-prinsip hukum moral karena hukum ini sifatnya memerintahkan.
Artinya, manusia adalah makhluk malang yang
terbelenggu dalam hukum alam dan hukum moral. Belenggu ini mengandaikan kesanggupan
manusiawi untuk menerima dan menghargai kebebasan. Malahan pada tarap tertentu memang manusia memiliki kebebasan untuk membangun
sendiri dunia-kehidupannya.
Mekanisme sosial macam ini
merupakan
upaya manusia menciptakan keteraturan, keterbitan, dan keseimbangan dunia-kehidupannya.
Artinya, kemalangan
ini mengandaikan kebebasan untuk menciptakan keseimbangan sosial-budaya demi bertahannya
dunia-kehidupan. Begitulah manusia memiliki dua jenis kebebasan, yaitu
kebebasan alam dan kebebasan
moral. Dengan kebebasan
ini, manusia yang lahir sebagai
manusia, dapat menjalani kehidupan menjadi manusia, dan mati sebagai
manusia.
Mati sebagai
manusia inilah cita-cita dunia-spiritual dan idola dunia-religius termasuk dalam
Hinduisme. Akan tetapi,
dalam pengalaman empiris
pada kenyataan sehari-hari
yang terjadi malahan mati menjadi
manusia. Orang yang mati seperti ini disebut mayat. Lazimnya mayat diperlakukan dengan beradab – sesuai dengan
tradisi dunia-kehidupan. Di Bali misalnya, mayat atau dikenal dengan layon diperlakukan
sesuai dengan tradisi Hindu Bali. Tradisi mengenai
perlakuan terhadap layon disebut pitra yadnya. Pitra yadnya terdiri atas dua
jenis, yaitu upacara sawa prateka dan
upacara atma wedana. Upacara Sawa prateka meliputi nyiramang
layon, kasetra,
ngentas layon, ngurugin layon, ngeseng sawa,
ngereka sawa, dan nganyut kasegara. Sementara itu, upacara atma wedana meliputi mamukur sampai dengan ngalinggihan Dewa Hyang. Pitra yadnya inilah upaya orang
Bali memperlakukan layon.
Dengan upacara ini orang Bali membangun dan menata hubungan dengan leluhur yang dipahami sebagai simbol
pencapaian masa lalu yang layak diteruskan kepada generasi berikutnya. Dengannya pitra yadnya menjadi
ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada leluhur
yang telah menstransmisikan pengetahuan dan kebudayaan.
Pitra yadnya sebagai peradaban orang Bali memperlakukan layon mula-mula memang bukan untuk mencapai moksa – sebagaimana diajarkan dalam agama Hindu. Melainkan untuk
menyucikan atma (orang yang
meninggal) dengan harapan agar memperoleh kelahiran yang lebih mulia, yaitu
lahir menjadi orang mulia. Dalam kelahiran ini diharapan orang lebih berguna sehingga
memperoleh kelahiran yang lebih sempurna. Misalnya, secara semiotik proses
penyempurnaan ini ditandai dengan tradisi ngiderang
layon ke arah kiri (pradaksina) –
berlawanan dengan jarum jam. Ngiderang
layon ini lazimnya dilakukan minimal tiga kali dan/atau sebanyak-banyaknya
sebelas kali sesuai dengan tradisi desa
pakraman. Artinya, pitra yadnya merupakan
upaya meningkatkan kualitas diri-manusia, agar memperoleh kemuliaan kelahiran, numitis (lahir kembali) menjadi manusia
yang lebih mulia. Apabila pitra yadnya bertujuan
meningkatkan kualitas kelahiran, maka puncak kualitas kelahiran adalah tanpa
kelahiran alias moksa. Artinya,
meningkatkan kualitas diri-manusia
hanyalah tujuan sementara dari pitra
yadnya, tetapi tujuan akhirnya adalah moksa.
Orang Bali percaya bahwa anggota keluarganya yang meninggal hanya pindah alamat
saja, yaitu dari dunia-kehidupan sekarang ke dunia-kehidupan baru. Dalam
dunia-kehidupan baru inipun mereka membangun masyarakat baru, yaitu masyarakat leluhur. Kepada mereka itu setiap hari dipersembahkan sesajen, seperti nasi putih akepel (segenggam) dan secangkir kopi dilengkapi
dengan sebatang rokok. Sesajen ini
disebut punjung yang dihaturkan di
Bale Delog (beberapa daerah di Bali menyebut Bale Delog dengan Bale Dangin). Banten punjung ini biasanya dihaturkan
pada pagi hari dan diambil pada sore hari. Hal ini merupakan upaya orang Bali membina
hubungan dan bergaul akrab dengan leluhurnya.
Dengan upacara ini orang Bali tidak
merasa jauh dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Begitulah orang Bali
memperluas dunia-kehidupannya hingga ke dunia-leluhur.
Bagi orang Bali bahwa sang pitara
(begitu orang Bali menyebut leluhurnya
atau orang yang sudah meninggal) yang tinggal di dunia-leluhur masih berpartisipasi dalam dunia-kehidupannya. Kepada
sang pitara, orang Bali biasanya menyampaikan
bermacam-macam perasaan yang kini sedang dialaminya dalam dunia-kehidupan di
sini-sekarang. Orang Bali berdoa dan menyampaikan permohonan kepada leluhurnya untuk mendapatkan tuntunan,
perlindungan, dan kekuatan. Permohonan ini untuk menguatkan tekad dan semangat
menjalani dan menikmati kehidupan. Harapannya, agar memiliki kekuatan untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan. Selain di Bale Delod, bahkan yang paling utama
adalah orang Bali melakukan pemujaan kepada sang
pitara di merajan yang diwujudkan
dalam bentuk palinggih rong telu. Pemujaan ini mengikuti konsep
meme-bapa raganta jati yang di desa pakraman menjadi kahyangan tiga sebagai implementasi
konsep tri murti. Ini sebabnya masyarakat
Hindu di Bali dikenal sebagai masyarakat religius.
Dalam hal ini, pitra yadnya diterjemahkan
sebagai kurban suci ke hadapan sang
pitara atau leluhur dalam dua makna,
yaitu religius dan sosial. Secara religius, pitra
yadnya dimaksudkan secara konstan untuk mengingatkan setiap individu bahwa
seluruh kehidupannya mesti dan harus diarahkan menjadi sebuah kurban. Dalam
kurban ini, spirit pitra yadnya harus
melandasi perbuatan dalam dunia-kehidupan. Ketika seluruh perbuatan sudah
menjadi kurban, maka pelaku tidak lagi terikat pada hasil perbuatannya. Pitra yadnya dengannya menjadi simbol suatu penjelajahan dan pendakian
spiritual untuk menyatukan potensi atau kekuatan dalam diri sesuai dengan kodrat.
Kemudian secara sosial, pitra yadnya mewujudkan
diri sebagai aktivitas bersama sehingga menciptakan suasana keharmonisan
sosial. Dalam hal ini, pitra yadnya
menjadi perekat sosial yang menjamin keberlangsungan dunia-kehidupan. Artinya pada
tahapan sosial, pitra yadnya merupakan sebuah ritualisasi
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, pitra yadnya yang merupakan perlakuan
beradab terhadap layon, bukanlah semata-mata
bersifat ritualis, tetapi yang terpenting adalah
tindakan kerja simbolis yang dipahami sebagai suatu konsep membuka jalan
sublimasi diri. Dengan begitu, yadnya menjadi representasi Weda yang
paling hidup, sebagaimana dipertahankan dalam sistem Mimamsa. Malahan kandungan metafisika Weda lebih jelas terungkap dalam simbolis yadnya. Artinya, tanpa menguasai konsep yadnya
secara benar adalah mustahil memahami
bagian-bagian Weda dalam spirit yang benar. Perhatikanlah pitra puja berikut, “Om
moksantu pitaro devah, moksantu pitara ganam, moksantu pitarah sarvaya, namah
svadah (Om Hyang Widhi Wasa, semoga atmanya mencapai moksa, semoga semua atma
yang suci mencapai moksa, sembah
hamba hanyalah kepada Hyang Widhi, dan hormat hamba kepada semua atma suci). Doa ini menjelaskan bahwa
yang memiliki cita-cita dan mencapai moksa, bukanlah badan yang bersifat
fisikal, melainkan atma yang bersifat
rohaniah. Melalui lingkar logika ini yang dapat disampaikan
bahwa dengan akal sehat pun atma bisa disucikan. Menyadari hal ini berarti
telah memenuhi himbauan doa ini, “mari sucikan atma”.
(Majalah Sabda No.29 Desember 2012:22--23)