perjalanan hidup manusia

PERJALANAN HIDUP MANUSIA
Antara Macapat dan Psikologi Perkembangan

I Wayan Sukarma

1. Pendahuluan
Manusia itu makhluk multidimensional (Hartoko, 1985). Akan tetapi, menurut Suhartono (2008:51), apabila manusia dipandang sebagai realitas, maka ia bukan hanya merupakan realitas kuantitatif, tetapi juga realitas kualitatif. Hal-hal yang fisis-kuantitatif umumnya sudah jelas, tetapi yang spiritual-kualitatif tetap tertinggal menjadi misteri misalnya, misteri tentang asal-mula dan tujuan kehidupannya. Walaupun umat beragama mungkin sepakat mengatakan bahwa asal-mula kehidupan manusia adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi tampaknya hampir semua orang, bila kesempatan memungkinkan cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Artinya, pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari. Menurut Suhartono (2008:52) dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku muncullah pendidikan. Artinya, manusia memerlukan pendidikan untuk mengatasi kemunafikan dan sifat hipokritnya, yaitu menyelaraskan antara pengetahuan dan perilaku.
Misteri dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap merupakan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ketika hendak memahami manusia secara holistik dan komprehensif. Upaya ini semakin tidak mudah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia semakin terpuruk jauh ke dalam lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonisme-materialistik. Akibatnya, dunia sipritual-transendental terabaikan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kekinian dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok. Padahal sifat hakikat manusia selalu bergerak menuju ke masa depan. Dengan demikian, kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segala-galanya. Dengan begitu, manusia memiliki kekuasan untuk memanfaatkan potensi alam dan sesama. Di bawah kekuasaan manusia rupanya, kehidupan berlangsung menjadi ”antroposentristik” (Djumransjah, 2006:86; Sudiarja, 2006:298; Knight, 2007:21; dan Suhartono, 2008:52).
Menurut Suhartono (2008:53) dalam konteks kehidupan yang demikian, manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan sikap dan perilakunya. Inilah hakikat tujuan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran kehidupan. Tujuan pendidikan pada hakikatnya mencerdaskan potensi spiritual, intelektual, dan emosional. Kemudian, masa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai kegiatan kehidupan dalam lingkungan sosial dan budaya. Pendidikan menjadi semakin penting ketika manusia menyadari sedang menjalani kehidupan pada zaman edan, suatu zaman kekacauan yang sedang melanda masyarakat. Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha (Purwadi dan Djoko Dwiyanto, 2006:193) menggambarkan zaman edan seperti berikut.
Amenangi zaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
dilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahan:
Mengalami zaman gila,
serba sulit dalam pikiran,
ikut gila tak tahan,
kalau tidak ikut,
tidak dapat bagian,
akhirnya kelaparan,
untungnya takdir Allah,
seuntung-untungnya orang lupa,
masih untung yang sadar dan waspada.

Gambaran tersebut merupakan tuntutan, agar manusia lebih intensif melibat diri dalam kegiatan pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai kedewasaan dan kematangannya. Manusia sebagai makhluk berpendidikan dapat dicermati dalam pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir pendidikan telah berlangsung sehingga sejak itu manusia terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan. Dia dijaga, dirawat, dididik, diajar, dan dilatih oleh orang tua di dalam keluarga dan masyarakatnya termasuk pendidikan kelembagaan menuju taraf kedewasaan hingga terbentuk kemandirian mengelola kelangsungan hidupnya. Setelah kedewasaan dicapai kemudian, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan dirinya. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian alam, yakni tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan. Artinya, pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Dengan demikian, persoalan pendidikan adalah persoalan yang cakupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Kegiatan kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak senantiasa mengandung makna kependidikan (Jalaluddin, 2002:243; Tilaar, 2002:188; Suhartono, 2008:54--56). Ini sebabnya pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis begitu penting dan relevan dipahami seiring dengan keberadaan manusia sebagai makhluk berkebudayaan.
Manusia sebagai makhluk berkebudayaan ditunjukkan dengan kegiatan pewarisan nilai-nilai kehidupan dari generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan ini berkaitan dengan keberadaan manusia secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada taraf ini manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani berupa akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas fakta-fakta ke dalam nama dan rupa. Dengan budinya manusia melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia mengatur dan mengontrol tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam lingkungannya. Pada taraf ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”, antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14; Jalaluddin, 2002:240; Sukarma, 2007:12).
Dengan demikian, kualitas suatu masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan merupakan presentasi dari tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu masyarakat) memiliki korelasi positif dengan kemajuan kebudayaan. Ini sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran, bukan secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial. Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan hingga mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pikiran, perasaan, dan kehendak dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses internalisasi. Mengingat manusia juga bagian dari suatu sistem sosial sehingga setiap individu selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan (Purwanto, 2000:43; Sudiarja, 2006:276; Sukarma, 2007:14). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan dan pembudayaan merupakan dua sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan. Inilah yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun masyarakat.
Dikatakan demikian karena melalui kegiatan pendidikan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai kebenaran, baik universal-abstrak dan teoretis maupun praktis (Suhartono, 2008:56--58). Nilai kebenaran ini mendorong terbentuknya sikap dan perilaku arif-berkeadilan dan dengannya manusia membangun kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan, baik material maupun spiritual merupakan upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya untuk senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan sesama termasuk dengan alam secara arif-berkeadilan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia wajib membangun moral, yaitu pengendalian diri dalam berperilaku. Dengan begitu, manusia mampu menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan. Untuk itu juga diperlukan pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis sejak lahir hingga meninggal, sebagaimana digambarkan dalam macapat dan psikologi perkembangan.
Perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dunia digambarkan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat, yakni dari tembang mijil sampai dengan tembang pucung (Susteya, 2007). Malahan para pujangga, bukan hanya sekadar memotret perjalanan hidup atau tahapan-tahapan perkembangan manusia, tetapi juga memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang mungkin dihadapi pada setiap tahapan perkembangan. Artinya, makna dan hikmah hidup termasuk cara pemecahan masalah yang timbul pada setiap tahapan perkembangan manusia dikemas begitu sublim secara simbolik dalam macapat. Sementara itu, psikologi perkembangan menggambarkan proses pekembangan psikis manusia dari lahir hingga tua (menjelang meninggal dunia) (Sujanto, 1980; Monks dkk, 1984). Apabila gambaran tentang perjalanan hidup manusia menurut macapat dapat diasumsikan relevan dengan tahapan perkembangan psikis manusia menurut psikologi perkembangan, maka untuk melihat relevansi antara perjalanan hidup manusia menurut macapat dan psikologi perkembangan inilah yang menjadi tujuan tulisan ini.
Dalam tradisi Jawa tahapan-tahapan perkembangan psikis ditandai dengan ritual-ritual yang menunjukan tahapan-tahapan yang disebut Monks (1984:3) suatu proses yang di dalamnya individu dan sifat lingkungan akhirnya menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi. Tahapan-tahapan ritual itu di antaranya berupa upacara selamatan sejak manusia lahir hingga meninggal dunia. Secara etis ritual-ritual itu mengarah pada pemahaman inividu tentang orientasi tempat dibandingkan dengan pertimbangan rasional. Tindakan ini dilakukan berdasarkan status dan peran yang tepat, seperti dikatakan Magnis-Suseno (1999:150) bahwa seluruh kebijaksanaan hidup-Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat dirancang agar kehidupan terus berjalan serta sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi pandangan ini merupakan penerimaan orang Jawa terhadap dimensi misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa bahwa sikap penerimaan misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila”. Nrima berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagai-mana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan melepaskan sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999: 143-144; Pitana, 2010).
Akhirnya, dapat dipahami bahwa secara teologis perjalanan kehidupan manusia dan perkembangan psikisnya berujung pada pemahaman yang sinkretik Hindu-Jawa, yaitu konsep kemanunggalan. Ini sebabnya sangat menarik memperbincangkan paham ngelmu makrifat dalam tradisi Jawa dan memperbandingkannya dengan psikologi perkembangan. Dengan demikian, makalah ini merupakan satu alternatif perbandingan kedua konsep itu yang pengungkapannya diharapkan saling mempertajam pemaknaan keduanya.

2. Perjalanan Hidup Manusia
Potret perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia dalam tradisi Jawa digambarkan begitu jelas dan tegas melalui tembang mijil hingga pucung (Susetya, 2007:5—24). Bukan hanya itu, bahkan juga digambarkan berbagai jalan keluar terhadap permasalahan yang mungkin muncul pada setiap tahapan perjalan hidup. Walaupun pujangga Jawa memberikan gambaran ini dalam bentuk simbolik berupa metafor-metafor, lazimnya pujangga menangkap fenomena alam dan sosial. Perjalanan hidup manusia yang terekam dalam macapat ini akan dilihat relevansinya dengan psikologi perkembangan seperti dijelaskan berikut di bawah ini.

(1) Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, yaitu bayi yang baru lahir (Susetya, 2007:5). Bayi yang baru lahir tentu masih dalam keadaan fitrah, suci, murni tanpa dosa, seperti kertas putih-bersih. Agar anak dapat berkembang normal, menurut Susetya (2007:6) orang tua memiliki kewajiban memberikan nama kepada anaknya, memenuhi kebutuhannya, memberikan pendidikan, dan agama. Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam tradisi jawa ayah dan ibu wajib memberikan anaknya kasih sayang, mendidik budi pakertinya, dan melatih kecakapannya dengan mulat (mengetahui), milolo (membombong), miluta (membimbing), palidarma (memberikan tauladan atau contoh), dan palimarma (memaafkan kepada anak-anak).
Sejalan dengan hal tersebut Sujanto (1980:23) menjelaskan bahwa kecakapan yang perlu dikembangkan pada anak usia tahun pertama, antara lain kecakapan instinktif, kecakapan umum, dan cara belajar. Kecakapan instinktif berhubungan dengan upaya mempertahankan hidup, seperti makan dan minum. Dalam hal ini termasuk gerakan sederhana misalnya, memalingkan kepala dengan mengarahkan mata atau telinga, bila menerima getaran atau cahaya. Kecakapan umum anak usia tahun pertama yang perlu dikembangkan, antara lain penguasaan badan (berlajar berdiri dan berjalan), pergaulan anak dengan benda (memandang termangu-mangu, memegang mainan, bermain-main dengan menggunakan benda-benda), dan pergaluan anak dengan manusia (dapat tersenyum, tertawa, menangis, dapat mereaksi wajah yang berlainan, mulai bersuara, dan mencoba menarik perhatian). Kemudian, menurut Monks dkk. (1984:86—87) pada usia empat tahun anak dapat mengadakan orientasi dalam situasi yang asing dan tidak asing, dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah dan komunikasi dengan teman sebayanya, sedikit sudah mengerti ruang dan waktu (seperti siang-malam, di sana dan di sini), sudah mulai mengenal norma (seperti jangan dan silahkan), dan anak sudah dapat membuat rencana termasuk sudah dapat memikirkan yang akan dilakukan. Begitulah perkembangan anak hingga mencapai usia enam tahun ia sudah memiliki pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis keseimbangan, bahkan kekuatan badan dan tangan pada anak laki-laki mengalami pertumbuhan yang pesat pada usia antara enam dan dua belas tahun (Monks dkk., 1984:153).

(2) Sinom
Sinom berarti muda, yaitu suatu tahapan perkembangan manusia yang masih dalam nom-noman, anom atau remaja (Susetya, 2007:9). Inilah tahapan perkembangan manusia untuk meniti cita-cita, karena itu remaja menempuh pendidikan, seperti SMP (Sekolah Mengenah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Melalui pendidikan mereka mengembangkan diri menuju kedewasaan hingga terbentuk kemandiran mengelola kehidupannya sendiri. Jadi, yang terpenting pada usia anom (remaja) adalah menuntut ilmu sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti ungkapan berikut, ‘senyampang masih muda, tuntutlah ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk persiapan masa tua’ atau ‘gantungkanlah cita-citamu setinggi langit’. Senyampang (mumpung) masih muda memang hendaknya memanfaatkan masa muda seoptimal mungkin sebelum tua. Begitu juga ketika masa sehat sebelum waktu sakit, masa kaya sebelum miskin, masa hidup sebelum mati, dan masa waktu luang sebelum sempit (Susetya, 2007:10).
Sejalan dengan hal tersebut, Monks dkk. (1984:215) menegaskan bahwa masa remaja (dari usia 12 hingga 18 tahun) merupakan waktu yang sebaik-baiknya pergi ke sekolah untuk memperoleh pengertian dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan yang semakin maju. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju dewasa, karena itu tugas-tugas perkembangan remaja, antara lain perkembangan aspek biologik, menerima peranan dewasa berdasarkan kebiasaan masyarakat, mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mendapatkan pandangan hidup sendiri, dan merealisasikan identitas sendiri serta dapat berpartisipasi dalam kebudayaan. Anak masih banyak belajar melalui enkulturasi, sosialisasi, dan adaftasi untuk memperoleh tempat dalam masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

(3) Asmarandana
Asmarandana artinya cinta, cinta kepada lawan jenis, yaitu cinta seorang pria kepada wanita (Susetya, 2007:10). Suatu tahapan kehidupan, masa seseorang telah berhubungan asmara dengan lawan jenisnya, yakni kira-kira pada usia belasan dan dua puluhan tahun. Misalnya, dalam budaya Jawa diungkapkan, ”witing tresna jalaran saka kulina” (cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulannya antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan percintaan, tetapi lama-kelamaan bisa menumbuhkan cinta, lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Begitulah cinta merupakan tema abadi dalam kehidupan manusia pada setiap bangsa dan setiap zaman. Banyak orang beranggapan bahwa percintaan merupakan peristiwa penting dari tiga hal terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Orang yang terlibat cinta bisa menimbulkan semangat gairah hidup, tetapi juga bisa frustrasi, bahkan bunuh diri karena kegagalan cinta. Untuk itu, Purwadi (2005) menyarakan, agar asmara disalurkan sesuai dengan moral agama sehingga berbuah kebajikan, menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, seseorang yang bermain-main dalam cinta dan percintaan akan menyebabkan masalah sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, seseorang diharapkan menjalani masa asmarandana secara proporsional.
Fase perjalan hidup tersebut dalam psikologi perkembangan disebut masa pemuda, antara lain terdiri atas fase pueral, fase negatif, dan fase puber (Sujanto, 1980:205). Pada fase pueral anak laki-laki mulai memisahkan diri dari perempuan. Anak laki-laki memandang anak perempuan sebagai menjijikkan dan anak perempuan memandang anak laki-laki sebagai tukang bual. Pada fase negatif ini anak bersikap serba menolak terhadap segala sesuatu, serba ragu, tidak pasti, tidak senang, dan tidak setuju, bahkan sering murung dan sedih tanpa sebab yang jelas, serta sering melamun tak menentu dan kadang-kadang putus asa. Fase puber merupakan inti dari seluruh masa pemuda yang ditandai oleh berkembangnya kelamin primer (pertumbuhan yang secat sehingga tubuh tampak tidak seimbang), kelamin skunder (mulai tumbuh rambut baru), dan kelamin tersier (perkembangan tubuh mencapai kesempurnaan dan harmonis). Lebih jauh dijelaskan bahwa pada fase pemuda, anak-anak akan mengalami perkembangan pesat dalam hal seksualitas, fantasi, emosi, kemauan, pikiran, estetika, dan religi.

(4) Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga ia memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya, yakni kehidupan berumah tangga (Susetya, 2007:12). Berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, pujangga Jawa memberikan rambu-rambu melalui tembang berikut.
Gegarane wong akrami.
Dudu bandha dudu rupa.
Among ati pawitane.
Luput pisan kena pisan.
Yen angel angel kalangkung.
Tan kena tinumbas arta.
Terjemahan:
Rambu-rambu dalam perkawinan
Bukan karena harta, bukan karena wajah
Hanya hati modalnya
Gagal sekali, tepat sekali
Jika terlanjur sulit, sulit sekali
Jika benar/tepat ibaratnya tak bisa dibeli harta.

Dari tembang di atas dapat dipahami bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi dan kedewasan termasuk keyakinanya. Ini berarti seseorang memiliki modal agama, budaya, dan sosial yang memadai. Pada umumnya setelah memasuki perkawinan, sesepuh, ulama, dan orang tua mendoakan, agar suami-istri dapat mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah, yakni kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Tuhan. Untuk itu kepala keluarga dituntut menguasai berbagai kecakapan dan keterampilan hidup, seperti kegiatan pragmatis tanpa keahlian (pekerjaan tukang), kegiatan rutin dan monoton (pegawai negeri), kegiatan pengembangan (peneliti), dan mampu menangani bidang usaha secara proporsional (profesional). Oleh karena itu pujangga Jawa menggambarkan fase ini adalah kinanthi (dibekali), yaitu sepasang pengantin yang dibekali tanggung jawab untuk membina kehidupan bersama dalam keluarga.
Walaupun demikian, masa awal berumah tangga tetap harus dipahami sebagai masa yang sulit bagi setiap manusia. Ini merupakan kondisi kritis kehidupan karena terjadi loncatan kehidupan, baik secara sosial maupun psikis – dari semula hidup sendiri, menentukan keputusan sendiri secara bebas, sekarang harus hidup bersama dan mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, perkawinan selalu dilegitimasi melalui ritual sakral dalam berbagai tradisi. Setidak-tidaknya, ritual ini menegaskan kalau keputusan untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga merupakan pilihan hidup yang memerlukan keyakinan, kesiapan mental, dan kecakapan yang luar biasa karena idealnya perkawinan hanya terjadi satu kali selama hidup (kena pisan, luput pisan). Jadi, benar atau salah pasangan hidup yang dipilih, dan juga pilihan untuk menikah itu sendiri harus benar-benar merupakan pilihan yang meyakinkan, penuh pertimbangan, dan untuk itulah diperlukan kedewasaan.

(5) Dhandhanggula
Dhandhanggula terdiri atas dua kata, yaitu “dhandhang” berarti pait (pahit) dan “gula” berarti manis (Susetya, 2007:17). Dengan demikian, dhandhanggula berarti gambaran pahit-manis atau suka-duka kehidupan setelah berumah tangga. Pada tahapan ini suami-istri, selain mengalami kenikmatan hidup misalnya, mendapatkan momongan (putra) dan penghasilan yang cukup, tetapi juga mereka semakin bertanggung jawab sehingga mereka menjalani kehidupan dengan lara lapa (prihatin). Dhandhanggula bermakna rasa optimis terhadap masa depan yang manis, cerah, dan gemilang setelah melewati masa pahit. Oleh karena itu, masa depan yang cerah harus dilewati dengan agenda hidup yang jelas dan tegas, seperti dikatakan oleh Purwadi (2005), lumampah anut wirama (berjalan sesuai aturan yang berlaku).
Pengalaman mengenai pahit-manis kehidupan merupakan salah satu faktor yang turut membangun kedewasaan diri seseorang. Secara psikologis, orang yang dewasa ditandai dengan beberapa ciri, antara lain: (1) adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan, yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan; (2) kemampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional; (3) suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri; (4) pengamatan, pikiran, dan tingkah laku menujukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativitasnya juga; (5) dapat melihat diri sendiri seperti adanya, dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan; dan (6) menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan menjadi suatu kesatuan (Monks, dkk., 1984:266).
Fase dhandanggula ini menunjukkan pentingnya beguru pada pengalaman hidup. Tempaan hidup yang dialami selama masa-masa awal perkawinan harusnya bisa membentuk diri yang kuat dan tangguh untuk menatap masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, perilaku-perilaku yang menimbulkan kesenangan dalam keluarga dapat dipertahankan melalui pengulangan-pengulangan, bahkan dapat ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Hal ini penting mengingat dalam realitas empiris, tanggung jawab untuk membangun kebahagiaan keluarga semakin besar dari masa ke masa. Dari semula hanya hidup berdua (suami-istri), kini juga harus memikul tanggung jawab baru sebagai orang tua. Untuk itu pendewasaan diri melalui kerja reflektif pada pengalaman hidup harus terus menerus diupayakan.

(6) Maskumambang
Maskumambang atau maskentar merupakan gambaran kepalsuan (kehidupan). Adakah emas yang kumambang (mengapung) atau kentar/kentir (terapung)? Jadi, kata “maskumambang” berarti emas yang terapung atau mengapung (Susetya, 2007:18). Malahan Purwadi (2005) menganalogikan maskumambang sebagai seorang pemuda setelah memasuki perkawinan yang penuh perjuangan sehingga tampak gagah seperti emas mengapung (maskumambang). Yang terpenting pada masa ini adalah jembatan emas yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mengingat pada masa ini seseorang setelah memasuki perkawinan, ibaratnya berada pada puncak karier kira-kira mereka berusia 31--45 tahun, yaitu usia produktif dan usia yang paling kokoh dan tangguh. Pada masa ini ada dua pilihan besar, yaitu kesuksesan dan kegagalan. Jika mau berusaha sungguh-sungguh, maka mereka akan bahagia pada masa tuanya. Sebaliknya, jika bermalas-malasan, maka mereka akan gagal hingga masa akhirnya. Ini sebabnya pujangga Jawa juga menyindir (nyemoni) dengan maskumambang yang ditujukan kepada mereka yang enggan berjuang keras, yakni dalam arti kotoran manusia yang mengapung di air.
Dalam psikologi perkembangan, fase ini dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi humanistik. Psikologi humanistik bertitik tolak pada pendirian bahwa manusia ikut menentukan hidupnya secara aktif dan tidak hanya pasif menerima konflik-konflik yang belum terselesaikan maupun proses-proses belajar dari luar saja (Monks, 1984:1984:270). Artinya, manusia dewasa harus berani menentukan arah dan tujuan kehidupannya secara aktif. Hal ini merupakan tingkat pendewasaan lebih lanjut dari sejak orang mulai berumah tangga. Pada masa-masa awal perkawinan kehidupan rumah tangga lebih banyak diarahkan untuk menanggulangi masalah-masalah seperti, pemenuhan kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, papan), mendapatkan keturunan, dan penyesuaian perbedaan karakter, sifat, dan sikap antara suami-istri. Pada masa berikutnya, proses pendewasaan dilakukan melalui pembelajaran pada pengalaman-pengalaman hidup. Namun pada masa ini, pendewasaan dimulai dengan keberanian untuk menentukan pilihan-pilihan hidup dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan tersebut. Dari sinilah proses pematangan diri dimulai, yakni dengan ditetapkannya pilihan-pilihan hidup, baik bagi kebaikan diri sendiri maupun kebaikan bagi lingkungannya.

(7) Durma
Durma berasal dari kata “dur” berarti mundur dan “ma” berarti maju. Jadi, durma berarti maju-mundur atau keragu-raguan, was-was atau tidha-tidha dalam kehidupannya (Susetya, 2007:19). Keraguan ini disebabkan oleh semakin berat tanggung jawab yang harus dipikul, karena itu menyebabkan orang frustasi. Kehidupan dirasakan penuh dengan kekhawatiran dan keraguan, sanggupkah saya menjalani kehidupan yang berat ini? Keraguan dan kekhawatiran ini lazimnya berkaitan dengan masalah ekonomi dan kelangsungan hidup keluarga termasuk masa depan anak. Inilah batu sandungan yang cenderung mendorong pasangan suami-istri tergelincir ke jalan pintas yang memberikan kemapanan dan kenikmatan lahiriah. Tidak jarang dijumpai karena masalah ekonomi dijadikan alasan oleh suami untuk merelakan istrinya melakukan perbuatan immoral, seperti menjajakan kemolekan tubuhnya kepada pria hidung belang. Fase ini dapat dipandang sebagai tantangan dalam proses pematangan diri.
Padahal tahapan durma ini merupakan saat untuk mempersiapkan fase kehidupan berikutnya, yakni kehidupan di akhirat yang kekal. Sayang sekali, masalah kehidupan dunia menggoyahkan keyakinan menapaki jalan kesejatian. Hal ini sejalan dengan pendapat Swami Rama (2005) bahwa ketakutan dan keragu-raguan adalah penghambat bagi kemajuan spiritual. Secara psikologis, gejala ini merupakan hal yang umum terjadi pada orang yang menjelang tua. Ketakutan akan fisik yang semakin melemah, kehilangan pekerjaan karena datangnya masa pensiun, dan ketakutan akan hilangnya fasilitas-fasilitas yang pernah dinikmati sebelumnya merupakan alasan terjadinya post power syndrom. Padahal di sisi lain, tanggung jawab yang harus dipikul untuk membahagiakan keluarga dan anak-anak dirasakan masih belum selesai. Kontradiksi ini kerapkali menimbulkan keraguan untuk menapaki dunia spiritual. Oleh karena itu, Swami Rama (2005) juga menganjurkan agar menghilangkan seluruh keraguan dan ketakutan itu karena keberanian adalah tangga pertama untuk memasuki dunia spiritual.

(8) Pangkur
Pangkur berarti sudah mungkur atau ngungkurake (membelakangi) dari keglamoran atau kemewahan keduniawian (Susetya, 2007:21). Mengingat harta, tahta, dan wanita merupakan jebakan yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan menjadi hijab (penghalang) menuju kesejatian. Begitulah kemewahan hidup biasanya menyebabkan hati manusia semakin tidak peka dan cepat lupa diri atau sombong. Untuk itu disarankan, agar manusia menjalani religius dan spiritual karena telah masuk fase pangkur, seperti menjalaninya kehidupan dengan sak madya (hidup sederhana), sebagaimana dituturkan Ki Ageng Suryomentaram dengan konsep kawruh begja, kawruh jiwa atau pengawikan pribadi.
Orang tua umumnya mengalami kerentaan secara fisik, namun tidak pada psikisnya. Malahan orang tua diharapkan menjadi semakin matang dalam caranya berpikir dan bersikap. Kematangan ini hanya mungkin dicapai bila ia mampu mencapai realisasi diri yang sempurna (kawruh jiwa). Oleh karena itu, penting untuk melepaskan segala ikatan keduniawian yang oleh para pakar psikologi perkembangan disebut teori pelepasan (disengagement). Orang tua mulai melepaskan diri dari berbagai ikatan, baik emosional maupun sosialnya (Monks, 1984:1984:271). Secara psikologis, pelepasan ini penting untuk menghindarkan orang tua pada pengalaman mengenai kematian teman-temannya, dunia sosial yang semakin kecil karena pergaulan yang semakin terbatas, serta mobilitas yang semakin lemah karena kerentaan fisik yang dialami. Pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan frustasi yang berlebihan sehingga akan menurunkan kualitas kesehatannya secara drastis. Sebagai solusi atas gejala ini, psikologi perkembangan juga menawarkan teori aktivitas, yaitu pentingnya orang tua terlibat pada aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, sekaligus juga menyehatkan (Monks, 1984:1984:272). Pada dasarnya, kedua teori ini menghendaki agar setiap orang tua tetap bisa menikmati masa tuanya dengan senang, nyaman, dan sehat.
Namun demikian, orang Jawa (juga Hindu-Buddha) lebih menekankan pada proses pematangan diri sehingg orang tua bisa benar-benar menjadi “wong tuwa”. Orang tua dalam khazanah kebudayaan Jawa (Bali: anak lingsir) adalah istilah untuk orang yang memiliki kemapanan rohani dan kematangan spiritual. Ini merupakan fase di mana orang tua harus lebih banyak belajar mengenai pengetahuan rohani (pangawikan pribadi). Dalam tradisi Jawa juga, pengetahuan rohani ini diwujudkan melalui laku sehingga ia menjadi ngelmu, seperti dalam tembah Pucung Wedhatama berikut ini.
Ngelmu iku, (yang disebut ngelmu)
Kelakone kanti laku, (terwujudnya harus dengan laku)
Lekase lawan kas, (dilakukan untuk mencapai kasantosan)
Tegese kas nyantosani, (yang dimaksud kas adalah membuat sentosa)
Setya budya, (kejujuran dan keberadaban)
pangekesing dur angkara. (menghilangkan angkara murka)

Tembang pucung tersebut mensyaratkan bahwa pengetahuan rohani harus diwujudkan dalam ngelmu dan laku. Artinya, pengetahuan saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan tindakan nyata (laku), baik laku spiritual maupun laku etis. Pada prinsipnya bahwa pada tahapan ini orang tua harus mampu mengembangkan kebijaksanaan dalam dirinya sehingga bisa menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.

(9) Gambuh
Gambuh artinya identik dengan jumbuh, ketemu, seolah-olah sama, tidak bisa dibedakan (Susetya, 2007:21). Dalam perspektif macapat bahwa gambuh bermakna ketika seseorang dalam fase tuanya memperdalam ‘ngelmu sangkan paraning dumadi’ dari mana ia berasal dan akan menuju ke mana perjalanannya. Seseorang yang berada pada tahapan gambuh ini berarti sudah mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya (makrifat). Ia pun tahu bahwa kehidupan yang langgeng (abadi) berada di alam akhirat, bukan di dunia yang penuh suka-duka. Dalam perspektif lain ia telah mencapai ‘manunggaling kawula-Gusti’ atau ‘pamoring kawula-Gusti’. Sastrowardojo (1982) menjelaskan, kata pamor berasal dari kata wor, amor artinya campur, gaul atau ada hubungan. Sementara itu, kawula berarti abdi atau hamba dan Gusti menunjuk pada Tuhan. Dengan demikian, ‘pamoring kawula Gusti’ bermakna adanya percampuran, pergaulan antara abdi atau hamba dengan Tuhan. Dalam perspektif kejawen (kebatinan), jelas Sastrowadojo, yang dimaksud kawula (abdi, hamba), yaitu badan atau jasmani, sedangkan Gusti yaitu rohaniah. Keduanya sering disebut juga sebagai ‘Loro-loroning atunggal’, ‘dua bersatu’ atau ‘dwi tunggal’. Keduanya diharapkan sedemikian rupa bisa terus berhubungan sehingga terjadi saling asah-asih-asuh. Terjadi keseimbangan antara keduanya, tidak boleh saling memenangkan yang satu bagian dengan yang lainnya.
Boleh dibilang bahwa fase ini merupakan puncak dari seluruh proses perkembangan struktur psikis manusia yang dibangun melalui pendidikan dan pembudayaan. Dalam tahap ini, manusia telah berada dalam fase kematangan yang sempurna. Dikatakan demikian karena ia telah memahami hakikat dirinya secara utuh sebagai jasmani dan rohani. Jasmani memang bersifat tidak kekal dan rohanilah yang kekal. Namun eksistensi jasmani yang sehat penting untuk mendukung perjalanan rohani menuju tahap kesempurnaannya. Tubuh ini ibarat kendaraan yang ikut mengantarkan jiwa sebagai penumpangnya ke tujuan yang dicita-citakan. Apabila kendaraan ini rusak sebelum sampai ke tujuan, maka bencanalah namanya. Dalam pandangan filsafat Jawa inilah pentingnya keseimbangan dalam olah raga (mengolah fisik) dan olah rasa (mengolah rasa). Dengan fisik yang sehat, pikiran juga menjadi tenang sehingga bisa khusuk dalam kontemplasi untuk mencapai ngelmu sejati atau ngelmu manunggaling kawula-gusti.
Bagi yang telah mencapai kesadaran ini, Kakawin Arjunawiwaha I.1, menjelaskan tentang “sang paramartha pandita, huwus limpat sakeng sunyata” (Pandita utama yang telah melampaui alam kesunyataan). Dikatakan bahwa orang yang telah mencapai kesadaran rohani tertinggi, sesunguhnya ia hanya berbatasan tipis (heletan kelir) dengan Sang Pencipta (Sanghyang Jagat Karana). Kehidupannya sentosa, kesadaran illahi telah direngkuh, tetapi tetap menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Namun segala yang dilakukan tiada lain hanyalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan, orang tua yang telah memiliki kesadaran rohani seperti ini harus bisa menjadikan dirinya sebagai guru loka (guru masyarakat), tempat bersandar masyarakat untuk meminta pertimbangan, saran-saran, pendapat, demi kebaikan bersama.


(10) Megatruh
Megatruh terdiri atas dua suku kata, yaitu megat berarti memutuskan dan ruh berarti roh sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia (Susetya, 2007:23). Ini adalah suatu fase terakhir manusia; yakni menghadapi kematian alias ajalnya. Purwadi menyatakan bahwa pada tingkat ‘megatruh’ ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir-batin, sehingga ia mencapai ‘mati sajroning urip’ hingga mencapai akhir hidup yang khusnul khatimah (bahasa Jawa: emate pati patitis). Keikhlasan dalam menghadapi kematian memerlukan kesadaran yang sempurna mengenai sangkan paraning dumadi. Seperti pujangga Jawa menuliskannya dalam tembang “umpamane manuk mabur, mesti bakal mulih marang kurunganeki” (ibarat burung yang terbang, pasti akan kembali ke sangkarnya).
Kematian pada umumnya memang menjadi momok yang menakutkan bagi manusia yang hidup. Ketakutan ini tercermin dari beragamnya cara dan upaya manusia untuk bertahan hidup lebih lama. Sebut saja perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan yang semakin pesat pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat sehingga memiliki usia hidup lebih panjang. Demikian juga dengan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh kerabat terdekatnya. Fenomena kematian secara psikologis memang dianggap menakutkan bagi kebanyakan orang. Walaupun manusia tidak dapat menolaknya, namun manusia juga sulit menerimanya dengan lapang dada. Oleh karena itu, spiritualitas dalam agama apapun mengajarkan betapa pentingnya mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang bisa menjemput kapan saja. Apabila diyakini bahwa hanya amal yang bisa mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik di akhirat, maka meningkatkan kuantitas dan kualitas amal adalah syarat mudah untuk tetap tersenyum menghadapi kematian.

(11) Pucung
Pucung berarti sudah menjadi pocongan, fase ketika manusia meninggal dunia sehingga menjadi jenazah (Susetya, 2007:23). Dalam Islam ada kewajiban bagi ahli warisnya dan masyarakat terhadap orang yang telah meninggal dunia. Pertama, memandikan. Kedua, mengafaninya dengan tujuh lapisan kain. Ketiga, mensalatkan, yakni salat jenasah atau salat gaib dengan empat takbir dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Keempat, menguburkan atau memakamkan jenasah. Purwadi (2002) mengartikan makna pucung ini sebagai peninggalan ilmu yang telah diamalkan dalam kehidupan ketika masih hidup di dunia sehingga membuahkan kesejahteraan bagi dirinya di akhirat kelak. Dalam Islam dijelaskan semua amal orang yang telah mati terputus, kecuali tiga perkara. Pertama, ilmu yang bermanfaat. Kedua, amal jariyah (amal saleh) ketika ia masih hidup di dunia. Ketiga, anak yang saleh, yakni seorang anak yang mau mendoakan kepada kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.

3. Penutup
Macapat dalam tradisi Jawa merupakan potret kehidupan manusia dari sejak lahir hingga kematiannya. Fase-fase kehidupan yang dilukiskan melalui rangkaian judul macapat tersebut pada dasarnya dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi perkembangan. Setiap tahapan perkembangan di dalamnya terkandung makna pendidikan yang diarahkan bagi terbentuknya manusia dewasa dan matang. Pendidikan yang dikehendaki di sini adalah pendidikan seumur hidup sehingga perkembangan dari satu fase ke fase berikutnya berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam konteks kesusasteran Jawa Kuno, konsep pendidikan semacam ini dapat ditemukan dalam Kakawin Nitisastra, IV.1, berikut ini.
“Taki-takining sewaka guna widya,
Smara wisaya rwang puluh ayusa,
Tengahing tuwuh sang wacana gagonta,
Patilareng atmeng tanu paguroakena”
Artinya:
Belajarlah seumur hidup tentang guna widya (pengetahuan yang berguna),
Setelah berumur duapuluh tahunan mulai mengenal asmara,
Kalau sudah setengah umur, berpeganglah pada kata-kata bijak,
Lepasnya roh dari badan, juga pelajarilah.

Tanpa terlepas dari konteks di atas setiap manusia harus selalu meningkatkan kualitas dirinya melalui belajar terus-menerus tentang pengetahuan yang berguna (guna widya). Guna Widya dalam konteks ini bisa disejajarkan dengan konsep kawruh begja dan kawruh jiwa yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Selanjutnya, setelah melepas masa remaja dan menginjak dewasa orang mulai mengenal cinta. Cinta ini kemudian diikatkan dalam perkawinan sehingga mulailah memasuki fase kehidupan yang baru, yakni masa berumah tangga yang sekaligus juga menjadi penanda memasuki masa dewasa. Perkawinan memberikan banyak pengalaman mengenai kehidupan yang daripadanya pengembangan diri bergerak menuju kedewasaan. Apabila usia sudah mulai mendekati ajal, manusia perlu belajar kepada kata-kata bijak. Di sini yang dimaksud adalah ujaran-ujaran kitab suci, guru kerohanian, dan teladan-teladan lainnya yang berguna bagi transformasi diri menuju kematangan yang lebih baik. Dalam tradisi spiritual di Jawa, pendakian spiritual ini diwujudkan dengan mengedepankan kesatuan antara ngelmu dan laku. Dengan demikian ia bukan hanya menjadi pengetahuan, melainkan pengalaman. Demikian juga mengenai kesempurnaan hidup dan kesiapan dalam menghadapi kematian merupakan puncak dari perkembangan spiritualitas manusia.

Kepustakaan
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing.

Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.

Jalaluddin, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Knight, George, 2007, Filsafat pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.

Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Monks, F.J, dkk. 1984. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Mulder, Neils. 2007. Di Jawa: Petualngan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius.

Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Pakasi, Supartinah. 1981. Anak dan Perkembangannya: Pendekatan Psiko-Pedagogis Terhadap Generasi Muda. Jakarta: Gramedia.

Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwadi. 2005. Manunggaling Kawula Gusti: Ilmu Tingkat Tinggi Untuk Memperoleh Derajat Kasampurnaan. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

___________ dan Joko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebajikan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Sadulloh. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sjarkawi,. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Akasara.

Sudiarja, A., G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT.Gramedia.

Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.


Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.

___________. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.

Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen.Yogyakarta: Narasi.

Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...