hitam-putih kehidupan

CALON ARANG
Refleksi Hitam-Putih Kehidupan

I Wayan Sukarma

Cerita Calon Arang begitu terkenal di Bali. Pada umumnya, cerita ini dipentaskan dalam bentuk drama-tari dan wayang, menceritakan pertempuran antara Calon Arang dan Empu Bharadah. Diceritakan, perang tanding ini berlangsung malam hari di Setra Ganda Mayu, Kerajaan Kediri. Pertempuran penguasa ilmu hitam dengan penguasa ilmu putih ini berlangsung hingga pagi hari. Oleh karena ilmu hitam mampunyai kekuatan hanya pada malam hari saja sehingga pada siang hari Calon Arang akhirnya terbakar hangus oleh ilmunya sendiri. Dengan meninggalnya Calon Arang, bencana berupa sakit dan kematian yang melanda Kerajaan Kediri teratasi.

Kegelisahan hitam-putih kehidupan, bukan hanya berlangsung di Kerajaan Kediri, tempat yang menjadi latar dari cerita Calon Arang. Melainkan kegelisahan semacam ini terjadi pada setiap bangsa dan setiap zaman. Benar-salah pemikiran dan baik-buruk perbuatan terjadi di mana-mana dan kapan saja, bahkan perseteruan ini berlangsung di dalam diri sendiri. Tempat berlangsungnya di dalam hati, karena itu lebih dikenal dengan peristiwa hati dan/atau fenomena kata hati atau hati nurani. Misalnya, dalam diri sendiri muncul pikiran salah yang mendorong untuk melakukan perbuatan buruk, tetapi pada saat yang hampir bersamaan muncul bisikan hati nurani yang melarangnya, agar tidak melakukan perbuatan buruk. Perseteruan antara pikiran dan hati nurani ini berlangsung sedemikian rupa sehingga dalam sekejap saja muncul bisikan hati nurani yang membujuk agar tetap melakukan perbuatan baik, seperti niat hati. Kalau niat hati ini belum terlaksana, maka perseteruan antara pikiran dan hati nurani, antara yang melarang dan yang memerintah berbuat terus berlangsung.

Pikiran memberikan pertimbangan benar-salah berdasarkan logika dengan azas masuk akal-sehat, sedangkan hati nurani memberikan pertimbangan baik-buruk dengan azas moral. Pertimbangan baik-buruk itu merupakan informasi yang disampaikan kesadaran karena ia memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada pikiran yang begitu terikat pada objeknya yang mungkin saja bersifat inderawi. Sebaliknya, hati nurani mengandung lebih daripada sekadar penginderaan. Kesadaran yang menuntun, melindungi, dan menguatkan manusia, agar terhindar dari perbuatan yang menyimpang dari hukum kehidupan, baik hukum alam, hukum moral, maupun hukum Tuhan. Ketiga hukum ini memang inheren dalam kehidupan manusia itu sendiri. Mengingat manusia berkeyakinan hendak menjaga keseimbangan dengan alam yang dilakukan menurut logika, manusia berniat menjaga keselarasan dengan sesama dilakukan menurut moral, dan juga manusia mengidolakan keharmonisan dengan tuhan dilakukan menurut agama. Yang disebutkan dua terakhir inilah yang membangun fondasi hati nurani.

Hati nurani sebagai instansi moral merupakan kesadaran utama manusia yang memegang kendali dalam pembangunan sikap, yaitu memutuskan sesuatu yang hendak dilakukan. Berkaitan dengan pertimbangan moral ini rupanya, hati nurani memiliki dua fungsi, yaitu introspektif dan retrospektif. Fungsi introspektif berkaitan dengan perbuatan yang sudah dilakukan pada masa lalu, apabila yang dilakukan perbuatan buruk, maka hati nurani cenderung akan menghukum pelakunya dengan penyesalan. Sebaliknya, apabila yang dilakukan perbuatan baik, maka hati nurani cenderung akan memberikan pelakunya pujian dengan kebangaan. Sebaliknya, fungsi retorpektif berkaitan dengan perbuatan yang akan dilakukan sehingga berorientasi pada masa depan, karena itu hati nurani lebih banyak memberi pertimbangan baik-buruk. Meskipun hati nurani mengingatkan agar berbuat menurut ketiga hukum tersebut, tetapi apabila pikiran memutuskan melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketiga hukum itu, tetap saja akan muncul keputusan yang salah.

Inilah hitam-putih kehidupan yang hendak ditampilkan dalam cerita Calon Arang, yaitu perseteruan antara pikiran dan hati nurani. Pikiran yang proyeksinya pada objek-objek inderawi tentu akan lebih berorientasi pada kesenangan pelaku, bukan pada baik-buruk perbuatan. Hati nurani yang merupakan instansi moral tertinggi (pada setiap orang) tentu akan berorientasi pada baik-buruk perbuatan, bukan pada benar-salahnya suatu keputusan yang melatari perbuatan. Perseruan ini berlangsung sepanjang hayat, karena itu keduanya mesti dan harus didamaikan untuk menghindari kepincangan perjalanan kehidupan. Upaya mendamaikan inilah yang menuntut manusia, agar lebih instensif melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan. Mengingat melalui kegiatan pendidikan, manusia mencapai kedewasaan dan kematangan, yakni dewasa melihat masalah kehidupan dan matang memecahkannya.

Pendidikan semakin diperlukan ketika manusia menyadari bahwa ia akan menjadi dirinya sendiri bila menjalankan kehidupan bersama dengan sesamanya dalam kehidupan sosial. Mengingat hanya melalui kegiatan pendidikan yang berkesinambungan, manusia dapat mengerti cara kerja pikirannya dan bisa memahami cara kerja hati nuraninya. Dengan mengerti cara kerja pikirannya, ia dapat mengerti kebenaran dan dengan memahami cara kerja hati nuraninya, ia bisa memahami kebaikan. Kalau kebenaran dapat dilaksanakan menjadi perbuatan baik, maka pertentangan norma dan nilai dalam kehidupan sosial bisa ditiadakan. Berdasarkan pengertian dan pemahaman inilah manusia mencoba untuk menjalankan kehidupannya pada sepanjang garis eksistensinya, seperti diperingatkan oleh Calon Arang yang menguasai pikirannya dan Empu Bharadah yang menguasai hati nuraninya. Keduanya, mesti dipadukan dalam pikiran dan harus diintegrasikan dalam tingkah laku sehingga tercipta keindahan hidup. Inilah pengalaman alamiah dalam keseluruhan tarian kosmik semesta (Shiva Nataraja).

Hitam-putih kehidupan, seperti yang direfleksikan cerita Calon Arang, juga disampaikan oleh para leluhur dalam bentuk ajaran berupa rwa bhinneda. Dua hal yang berbeda tidak harus dipahami sebagai hal yang selalu berbeda dan bertentangan dalam eksistensinya. Mengingat pikiran yang memang fungsi pokoknya membedakan realitas menjadi fakta-fakta akan menjadi sadar ketika pikiran berhenti menilai dan menerima realitas yang hadir dalam berbagai fenomena sebagaimana adanya. Dalam hal ini pikiran bebas dari dualitas yang membedakan objek inderawi. Melihat hanya melihat dan mendengar hanya mendengar, bukan menilai baik-buruknya dan/atau suka-dukanya. Akan tetapi, manusia hanya menjadi saksi, seperti dijelaskan Rig Veda 1.164.20 berikut.
Dva suparna sayuja sakhaya
samanam vrksam pari sasvajate
Tayor anyah pippalam svadu-atti
anasnan anyo abhi cakasiti
Terjemahan:
Ada dua ekor burung yang dipersatukan dengan ikatan persahabatan, bertempat tinggal di atas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah matang yang manis, sedangkan yang lainnya memperhatikan tanpa menikmati buah-buahnya (hanya menjadi saksi).

Artinya, manusia memiliki dua jenis kesadaran, yaitu satu kesadaran yang terlibat dalam kehidupan duniawi atau kesadaran pada realitas material dan kesadaran lainnya yang hanya menjadi saksi atau kesadaran pada realitas absolut. Sekali lagi ditegaskan, hanya melalui pendidikan keduanya bisa didamaikan karena kehidupan absolut yang metafisis-spiritualistis seharusnya mencerahi kehidupan relatif yang fisis-materialistis. Dalam Yoga Sutra kondisi ini disebut asamprajnata samadhi. Kalau bisa bermeditasi pada kesadaran ini secara rutin, maka batin semakin damai, tenang, seimbang, dan semakin murni. Bila dapat mempertahankan manas shanti dengan bantuan meditasi seperti ini untuk jangka waktu yang lama, maka kualitas batin yang baik akan semakin berkembang, semakin matang, dan semakin murni.

Pencerahan inilah yang direfleksikan secara apik oleh anak nyastra, baik melalui lontar maupun pementasan Calon Arang. Semua berpijak pada konsep dasar Shaiwaistik yang menekankan pada pentingnya kemanunggalan Shiwa-Shakti sebagai esensi dari kesadaran manusia termasuk alam semesta. Kesadaran material pada akhirnya harus dicerahi oleh kesadaran spiritual, sebagaimana Mpu Bharadah yang ngalukat Calon Arang di akhir cerita. Pada dasarnya pencerahan inheren dengan tujuan utama dari keseluruhan proses pendidikan yang dialami manusia. Pendidikan senyatanya bukan hanya diperuntukkan bagi pengembangan intelektualitas, tetapi juga moralitas dan spiritualitas. Dengan kata lain, pendidikanlah satu-satunya jalan yang mampu mendamaikan dua dimensi kesadaran manusia sehingga membentuk integritas kepribadian.

Hitam-putih kehidupan selalu hadir dan berseteru dalam diri manusia. Kedua-duanya, bahkan tidak mungkin ditiadakan dengan cara mengiyakan yang satu dan menidakkan yang lainnya. Kebenaran akal-budi yang eksis dalam hukum-hukum logika diperlukan manusia untuk memudahkan kehidupannya. Sebaliknya, akal-budi yang mengabaikan kebaikan hanya akan menempatkan manusia pada ruang-ruang kosong yang kering makna. Sang Paramartha Pandita seperti Mpu Bharadah telah menunjukkan betapa pentingnya menguasai ilmu putih (kata hati atau hati nurani) untuk mencerahi ilmu hitam (pikiran) dalam kehidupan ini. Mengingat rasionalitas tanpa moralitas akan menjadi virus yang menjangkiti, menyakiti, dan akhirnya membunuh manusia dan kemanusiaannya. Di sinilah kebenaran, kebajikan, dan kebahagiaan menjadi kesatuan eksistensi yang harus diwujudkan manusia melalui pendidikan sepanjang hayat. Jadi, hanya dengan pendidikan, kebenaran Calong Arang bisa diintegrasikan dengan kebajikan Empu Bharadah sehingga kehidupan menjadi lebih indah.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...