Drestagama
I W a y a n S u k a r m a
Leluhur
Balidwipa mewariskan tatanan Gama Tiga – igama, agama, dan ugama. Gama Tiga menyatu-padukan
jnana dan karma dalam drestagama. Drestagama mengintegrasikan religi dan
tradisi dalam disiplin rohani demi keluhuran buddhi, sekaligus mencapai kesucian
diri.
Wacana ‘Hindu Dresta Bali’
belakangan ini, seakan menyadarkan kembali betapa pentingnya drestagama dalam
tatanan keagamaan Hindu. Hasrat menggebu sekelompok umat Hindu untuk mendekonstruksi
tradisi Hindu Bali dengan menghadirkan pemikiran dan praktik keagamaan baru
yang dipandang lebih otentik, justru mendorong hadirnya kesadaran lain tentang penegasan
identitas religius ‘kembali ke drestagama’. Menggali drestagama
sekiranya penting untuk membangun wacana keagamaan Hindu yang lebih adaptif
dengan struktur dan kultur masyarakat, beserta segala perubahannya. Upaya ini
tentu harus didasari spirit merangkai religi dan tradisi yang sempat tercerai-berai
akibat arogansi purifikasi dengan menggali kearifan-kearifan leluhur dalam
rangka membangun identitas dan karakter keagamaan Hindu yang benar-benar tangguh.
Kawi-wiku nusantara mewariskan lontar
Tattwa Gama Tiga untuk menjelaskan ajaran ‘Gama’ yang diwahyukan Bhatara
Siwa. Ajaran ini mencakup tiga aspek esensial, yakni igama, agama, dan
ugama. Igama menguraikan hakikat pengetahuan (jnana) atau kasuksman
Bhatara Siwa dan aktivitas-Nya di dunia. Agama menguraikan prinsip-prinsip
tindakan (karma) atau laku keagamaan dalam menghayati Bhatara Siwa, beserta
seluruh ciptaan-Nya di dunia ini. Sementara itu, ugama menjelaskan tata cara
pelaksanaan gama di masyarakat atau praktik agama dalam kehidupan sosial.
Ketiganya membentuk fondasi drestagama dalam religiusitas umat Hindu.
Oleh karena itu, drestagama harus memberi ruang bagi seluruh umat Hindu
untuk mengembangkan jnana, mendisiplinkan karma, sekaligus memuliakan
dresta.
Pengembangan Jnana
Pengetahuan keagamaan umat Hindu
terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan semakin
terbukanya akses informasi. Walaupun demikian, harus diakui bahwa informasi
keagamaan yang diperoleh tidak sepenuhnya dapat memperkuat pemahaman mereka
terhadap agama Hindu yang dilaksanakan dalam praktik keseharian. Sebaliknya, tidak
jarang ditemukan bahwa informasi yang didapatkan justru mendistorsi keyakinan sebelumnya,
seperti mulai mempertanyakan keabsahan dari drestagama yang diwarisi
selama ini. Fenomena ini menegaskan bahwa drestagama yang terbangun belum
mampu menyentuh dimensi jnana umat Hindu. Hal ini tentu karena kurangnya
sosialisasi dan internalisasi pengetahuan keagamaan yang dibutuhkan umat Hindu
untuk memahami ajaran agamanya, sesuai dengan pengalaman serta kondisi kekinian.
Drestagama, lazimnya memang dibangun dalam tradisi ‘mula keto’ karena
ajaran agama tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara rasional. Namun setiap drestagama
pasti memiliki akar nilai yang dapat digali, baik melalui teks suci agama maupun
teks sosial keagamaan. Igama sebagai aspek jnana dari drestagama,
pun mengajarkan bahwa Sang Hyang Siwa menurunkan seluruh pengetahuan yang dibutuhkan
manusia guna menjalani kehidupannya. Bukan hanya pengetahuan rohani,
melainkan juga pengetahuan duniawi, seperti pertanian, perdagangan, arsitektur,
dan seterusnya. Artinya, drestagama memiliki segenap potensi untuk mengembangkan
jnana umat Hindu di berbagai bidang kehidupan. Pengembangan aspek jnana
akan menumbuhkan kebanggaan umat Hindu terhadap nilai-nilai dalam drestagama
yang diwariskan leluhur.
Pendisiplinan Karma
Kebanggaan terhadap drestagama akan
memperkuat kepercayaan (sraddha) yang pada akhirnya menumbuhkan ketataan
(bhakti), memang demikianlah seharusnya. Bhakti tumbuh
dari sraddha yang diwujudkan dalam disiplin tindakan (karma-sadhana).
Spirit bhakti yang utama adalah pelayanan (sewaka-dharma), yakni melayani
Tuhan dan semua ciptaan-Nya, yang diaktualisasikan dalam tindakan keagamaan ataupun
perilaku moral. Drestagama mengajarkan cara bertindak yang sesuai dengan
ajaran agama sebagaimana lontar Tattwa Gama Tiga mengamanatkan ‘tidak
ada agama tanpa tindakan, sebab hanya dengan tindakan dapat dicapai
kesucian dan anugerah Sang Hyang Haneng Madyapada’ (5.b). Tegasnya, mendisiplinkan
tindakan dengan mengikuti petunjuk drestagama adalah wujud nyata praktik
agama karena dengan jalan itulah anugerah dapat diraih.
Drestagama menegaskan bahwa pendisiplinan karma harus berlangsung
pada tiga kerangka agama, tattwa, susila, dan acara. Disiplin
tindakan pada domain tattwa, seperti mempelajari sarwa-tattwa, bhakti
kepada Widhi dengan mengucapkan mantra-mantra, melaksanakan tapa,
brata, yoga, dan samadhi, serta mengasah kemampuan jnana secara
terus menerus. Menjaga kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan pada semua
makhluk merupakan disiplin karma yang utama pada ranah susila. Tujuannya
agar kehidupan ini dipenuhi dengan rasa persahabatan dan cinta kasih sehingga
tercapai kemakmuran. Pada ranah acara, melaksanakan pemujaan dan
persembahan dengan sarana air (tirtha) adalah yang utama bagi Gama-tirtha.
Itulah disiplin karma dalam drestagama yang menuntun menuju kesempurnaan
hidup, sakala-nishkala.
Pemuliaan Dresta
Ugama adalah esensi dresta, yakni cara mempraktikkan igama
dan agama dalam kehidupan masyarakat. Ada catur dresta yang
utama, yakni sastra dresta, purwa dresta, desa dresta, dan loka
dresta. Sastra dresta berarti melaksanakan tata keagamaan kolektif berdasarkan
petunjuk susastra-agama. Purwa atau kuna dresta adalah melanjutkan
nilai-nilai kebajikan masa lalu yang relevan pada masa kini. Desa dresta adalah
melaksanakan tradisi keagamaan yang berlaku di desa atau lokalitas. Sementara loka
dresta merupakan tradisi keagamaan pada satu entitas wilayah serta budaya,
seperti Bali, Jawa, Kaharingan, Tengger, dan seterusnya. Keempatnya membangun drestagama
secara holistik sebagai panduan masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama
yang sesuai dengan kulturnya.
Pemuliaan dresta memiliki
peranan penting dalam membangun tradisi keagamaan yang menyentuh langsung psikis
religius masyarakat, yakni kegembiraan beragama. Rasa gembira memungkinkan seluruh
tatanan igama serta agama dapat diekspesikan sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya demi terciptanya pengalaman, sekaligus kesadaran religius. Teks Tattwa
Gama Tiga mengamanatkan bahwa individu dan pemimpin harus memiliki kesadaran
bersama untuk memuliakan drestagama. Setiap inidividu memiliki kewajiban
untuk mengembangkan jnana dan mendisiplinkan karma dalam
pelaksanaan drestagama. Sementara pemimpin berkewajiban menyebarkan ugama
kepada masyarakat, sekaligus memastikan pelaksanaannya di tengah-tengah
perubahan. Mengingat keberadaan ugama mengikuti kemahakuasaan Sang
Hyang Trimurti - lahir, berlaku sementara waktu, hilang, lalu digantikan
dengan tradisi yang baru (5.a).
Drestagama dalam Gama Tiga bukanlah tradisi yang kaku dan beku, melainkan
bergerak dinamis mengikuti siklus waktu. Oleh karena itu, kesanggupan dan kemampuan
umat Hindu untuk mengembangkan jnana, mendisiplinkan karma, sekaligus
memuliakan dresta di tengah-tengah perubahan menjadi penentu keberlanjutannya.
Selayaknya juga tradisi-tradisi yang lain, drestagama dibangun dan diwariskan
melalui pembelajaran dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesinambungan
antargenerasi akan terwujud ketika individu (agen) dan pemimpin (struktur) terintegrasi
dalam keseluruhan proses tersebut. Pembelajaran drestagama harus
menumbuhkan pemahaman, kebanggaan, dan keyakinan yang menggerakkan tindakan (bhakti).
Keberlanjutan eksistensi drestagama hanya dapat terwujud melalui bhakti
karena di dalamnya tercermin kecintaan, ketaatan, dan semangat melayani tradisi.
Gama Tiga mengisyaratkan pentingnya membangun drestagama berlandaskan
pengetahuan (igama-jnana), tindakan (agama-karma), serta tradisi religius
di masyarakat (ugama-dresta). Igama memberi landasan pengetahuan agar
drestagama tidak keluar dari esensi Siwatattwa. Agama menetapkan
disiplin rohani (laku) supaya drestagama benar-benar menjadi penuntun
rohani manusia dalam mengamalkan Siwatattwa. Sementara itu, ugama melembagakan
drestagama sebagai konkretisasi igama dan agama dalam praktik
religius di masyarakat. Artinya, drestagama bukan sekadar cara memertahankan
tradisi keagamaan warisan leluhur, melainkan upaya membangun kehidupan rohani yang
benar-benar sejalan dengan dinamika ruang, waktu, dan tindakan manusia. Dengan
demikian, drestagama menjadi strategi Hindu dalam membangun karakter dan
identitas keagamaan yang harmonis dengan kultur pemeluknya.
(Wartam Edisi 80 Oktober 2021)