‘Panca Brata’ Pandemi
I Wayan Sukarma
Pandemi
bukan soal hidup-mati, melainkan kesehatan dan keselamatan diri. Virus yang tiada
terdeteksi mengintai dari segala sisi. Panca Brata menguntai solusi hadapi
pandemi yang tak kunjung usai. Semua bermula dari kesadaran untuk mengendalikan
diri.
Teks-teks kesehatan Hindu
mengkatagorikan virus sebagai adhibhautika, yakni makhluk mikroskopis [bhuta]
yang menyebabkan penderitaan. Usada Bali menamainya destimaya, makhluk
jahat [desti] yang tidak kasat mata [maya]. Ukurannya diibaratkan
‘satepung pinara yuta’ atau sebutir tepung dibagi sejuta. Walaupun wujud
aslinya tidak tampak dengan mata telanjang, namun fenomena menunjukkan bahwa
keberadaannya begitu dekat. Sebelumnya, masyarakat mungkin hanya mendengar
keganasan Covid-19 dari pemberitaan media sehingga banyak yang meragukan
kebenarannya. Namun fakta kekinian membuktikan bahwa sudah banyak orang
terdekat yang merasakan keganasan serangan virus ini. Artinya, pandemi bukan
sekadar angka-angka, melainkan ancaman nyata yang siap menyerang siapa pun,
kapan pun, dan di mana pun.
Secara historis, umat Hindu memiliki
pengalaman panjang tentang pandemi dan upaya menanggulanginya yang terekam
dalam sejumlah teks kesusastraan. Teks Calon Arang (1540 M), konon
adalah susastra tertua yang menggambarkan situasi pandemi di nusantara, khususnya
di Kerajaan Daha. Beberapa teks usada juga membahas pandemi dan cara
mengatasinya, baik melalui upaya sakala maupun nishkala.
Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa setiap peristiwa alam yang menyebabkan
penderitaan [dukha], seperti pandemi, berasal dari bhuta-kala yang
sedang nyelang margi [meminjam jalan]. Saat itulah setiap orang harus
menepi agar terhindar dari pengaruh buruk yang dibawa sehingga brata menjadi
salah satu upaya penting untuk menghadapi situasi pandemi.
Brata: Cara
Selamat
Ragadi musuh maparo, ri
hati ya tonggwannya tan madoh ring awak.
Petikan bait Kakawin Ramayana ini mengisyaratkan bahwa musuh terbesar
manusia ada dalam dirinya sendiri. Musuh itu berada di dalam hati yang
menyebabkan kekotoran pikiran, perasaan, serta kesadaran manusia. Kegagalan
mengatasi musuh dalam diri merupakan penyebab utama penderitaan [klesa,
papa, rogha, dosa]. Penderitaan ini membelenggu sang jiwa yang menghalangi
jalannya mencapai tujuan tertinggi, jagadhita dan moksa. Jagadhita
dapat dicapai ketika tubuh sehat dan mental kuat, sedangkan moksa dicapai
tatkala jiwa selamat. Artinya, kesehatan, kekuatan, dan keselamatan hanya dapat
diraih ketika manusia mampu mengatasi musuh dalam diri yang menjadi sumber
penderitaan.
Brata – yang kerap dihubungkan dengan tapa – merupakan jalan
utama untuk menyucikan kekotoran hati. Esensi tapa-brata adalah
pengendalian serta pengekangan diri dari segala sensasi keduniawian yang muncul
akibat hubungan indera [indriya] dan pikiran [manah]
dengan objek-objek material. Brata mempunyai peranan penting bagi upaya
manusia mencapai tujuan hidup sehingga astangga yoga pun melandasi
seluruh tahapan menuju samadhi dengan panca yama dan nyama
brata. Pada prinsipnya, brata adalah cara menyelamatkan manusia dari
bencana fisik, moral, dan spiritual. Mengingat brata menyasar pada
sumber penyebab penderitaan, yakni indriya, manah, buddhi, dan ahamkara.
Oleh karen itu, brata adalah solusi selamat dari pandemi sebagaimana
teks Hindu merekomendasikannya.
Brata untuk menghadapi pandemi diimplementasikan dalam protokol
kesehatan yang ditetapkan pemerintah [guru wisesa]. Penerapan
protokol kesehatan 3M [memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak] yang
tampaknya kurang berhasil menekan laju pertumbuhan penderita Covid-19 mendorong
pemerintah untuk mengembangkan protokol kesehatan menjadi 5M. Panca brata pandemi
menghendaki kesadaran setiap individu untuk mengendalikan diri dari segala
perilaku yang bertentangan dengan protokol kesehatan 5M. Mengingat hanya dengan
panca brata inilah risiko penularan dan penyebaran Covid-19 dapat
diminimalisasi. Dengan demikian, menerapkan panca brata pandemi adalah
cara selamat dari penderitaan seperti halnya petuah leluhur Bali bahwa menepi adalah
langkah terbaik ketika para bhuta-kala sedang nyelang margi.
Panca Brata Pandemi (5M+1)
Penerapan protokol kesehatan 5M menunjukkan
upaya serius pemerintah dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Optimalisasi
protokol kesehatan ini pun disertai dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa dan Bali. Melengkapi protokol kesehatan 3M sebelumnya,
yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, maka ditambahkan
menjauhi kerumunan serta membatasi mobilitas. Kelima protokol kesehatan ini
dipandang memiliki urgensi dan signifikansi untuk mengurangi risiko penularan,
terutama dengan munculnya varian baru yang lebih berbahaya. Di samping itu,
pemerintah juga mengajak masyarakat untuk meningkatkan kegiatan doa sehingga panca
brata pandemi dapat dirumuskan menjadi 5M+1D sejalan dengan Surat
Edaran Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021.
Memakai masker dalam teks-teks usada
Bali semakna dengan istilah atapel atau mengenakan topeng [tapel].
Tapel harus menutup hidung dan mulut agar terhindar dari masuknya virus
melalui lubang hidung ataupun lubang mulut. Langkah ini bukan saja efektif
untuk mengatasi Covid-19, melainkan juga virus-virus yang lain. Apalagi
kedua organ ini berhubungan langsung dengan elemen-elemen vital tubuh, misalnya
paru-paru dan jantung. Sementara itu, mencuci tangan pakai sabun sejalan dengan
asuci laksana [membersihkan tubuh], sebab air merupakan media penyucian
yang utama ‘abhigatrani suddhayanti’. Memakai masker dan mencuci tangan adalah
brata mengingat keduanya memerlukan disiplin serta konsistensi sehingga
benar-benar efektif untuk memproteksi tubuh dari virus.
Menjaga jarak dalam usada Bali disebut
aneang, artinya membatasi jarak fisik dengan orang lain saat
berinteraksi. Pembatasan jarak fisik ini bertujuan menghindari risiko terserang
penyakit menular yang diderita orang lain, seperti melalui cairan yang keluar
dari mulut saat berbicara, melalui udara yang terhembus dari nafas, dan
sentuhan kulit. Menjaga jarak fisik saat berinteraksi tentu bukanlah perkaran
yang mudah karena kekariban dalam pergaulan salah satunya ditunjukkan dengan
kedekatan fisik. Malahan jarak fisik menentukan penilaian moral atas relasi yang
dibangun antarindividu dalam interaksi sosial. Brata ini memerlukan
kesadaran dan kesalingpahaman setiap individu untuk mengubah
kebiasaan-kebiasaan sosial yang kurang afirmatif terhadap nilai-nilai
kesehatan.
Membatasi mobilitas semakna dengan
salah satu bagian catur brata penyepian, yakni amati lalungan [tidak
bepergian]. Pembatasan mobilitas mensyaratkan kesadaran setiap individu
untuk mengurangi perjalanan yang sifatnya tidak terlampau penting dan mendesak.
Hal ini tentu tidak mudah bagi manusia yang mempunyai karakter alamiah sebagai homo
nomaden [selalu berpindah-pindah]. Pergerakan dan perjalanan manusia
dari satu tempat ke tempat lain telah menjadi aktivitas purba manusia untuk
memenuhi berbagai kebutuhan. Oleh karenanya, pembatasan mobilitas memerlukan
pengendalian diri secara konsisten dan disiplin tinggi karena melawan kebiasaan
alamiahnya. Namun melihat lonjakan kasus baru Covid-19 dari klaster
mobilitas tentu anjuran pemerintah ini memiliki urgensi penting untuk
dilaksanakan.
Panca brata pandemi terakhir adalah menjauhi kerumunan karena kegiatan
ini berpotensi besar menularkan Covid-19 secara massif. Kerumunan
merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan latar belakang
berbeda-beda, bahkan mungkin saja tidak saling mengenal satu sama lain.
Aktivitas kerumunan pada umumnya didasari kesamaan keinginan serta tujuan untuk
menyalurkan kesenangan, hobi, atau menikmati sesuatu yang menarik. Artinya,
kerumunan nyaris selalu berasosiasi dengan kesenangan (lalanguan)
sehingga menjauhi kerumunan semakna dengan amati lalanguan dalam catur
brata panyepian. Seperti halnya brata-brata yang lain, brata ini
pun sepatutnya dilaksanakan secara konsisten selama pandemi ini berlangsung.
Kesadaran dan disiplin dalam menjalani panca brata selama pandemi akan menghadirkan
kondisi kebahagiaan yang lebih panjang pada masa depan.
(Wartam Edisi 78 Agustus 2021)