Sisi
Religi ‘Work From Bali’
I W a y a n
S u k a r m a
“Tekunlah
dan dengan tekad keras mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan
tekun untuk mencapai tujuan. Orang yang bersemangat berhasil hidup bahagia dan
menikmati kemakmuran. Para dewa tidak menolong orang yang bermalas-malasan”
(Rg. Weda, VII.32.9).
‘Work From
Bali’ merupakan kebijakan pemerintah mengajak masyarakat bekerja dari Bali untuk
membantu pariwisata Bali dari dampak pandemi Covid-19. Tahapan pertama pada
pertolongan pertama pada kecelakaan pariwisata Bali mulai dilaksanakan pada Juli
2021 di kawasan Nusa Dua. Bulan ini dari tanggal 3 sampai dengan 20, juga pemerintah
menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat di Bali. Dari berita
tersebut setidak-tidaknya dapat dipahami, ‘tetaplah bekerja’ dalam keadaaan
darurat sekalipun karena kehidupan berlangsung dalam berbagai keadaan. Tidak hanya
wabah virus, bahkan malapetaka moral dan bencana alam lainnya dapat menimbulkan
keadaan darurat yang lebih gawat. Intinya, tetaplah bekerja sesuai dengan desa, kala, dan patra.
Dari sisi
religi – dalam KBBI misalnya, kata “religi” berarti “kepercayaan kepada Tuhan;
kepercayaan adanya kekuataan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme,
dinamisme); agama” – terutama agama Hindu mengajarkan, ‘kerja adalah kehidupan’.
Seperti disebutkan dalam Karma Yoga, “…,
tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara tanpa bekerja” (Bhagawadgita, III.8). Tanpa kerja, kehidupan pun tiada. Kerja dalam
Panca Sraddha disebut karmaphala meliputi kerja dan hasil
kerja. Tujuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, yaitu mewujudkan
kesejahteraan (jagadhita) dan mencapai
kebebasan (moksartham). Untuk itu, karma mesti menaati dan mematuhi tutur catur purusa artha. Kesatuan empat
tujuan hidup sebagai dasar komitmen, cara melakukan, dan tujuan kerja.
Kama Karma
Kerja adalah
jalan pembebasan, karma yoga. Seperti
penjelasan tentang empat jalan hidup (catur marga-yoga) dan empat tujuan hidup
(catur purusa artha) dalam Yogasastra Bhagawadgita. Dalam lima pokok ajarannya dijelaskan, Brahman adalah kenyataan utama. Brahman disebut Atman ketika menjadi hidup dari makhluk. Prakrti, alam material dimanifestasikan melalui ruang, waktu, dan tindakan.
Ruang, dik tercipta ketika manusia
mendapatkan badan. Waktu, kala tercipta
ketika manusia mulai berpikir. Tindakan, karma
tercipta ketika manusia dibatasi. Artinya, Karma
menjadi bagian esensial dari Kala, Prakrti, Atman, dan Brahman. Ketika
kama membatasi manusia, seperti nafsu
dan hasrat serta harapan dan keinginan muncullah daya dorong dan daya tarik tindakan.
Kedua daya
itu menjadi prinsip aktif, yakni energi dinamis kosmis dan penciptaan yang menjadi
kehidupan dan totalitas alam semesta dalam tindakan. Prinsip alam inilah bersifat
memaksa, “Manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya
bertindak” (Bhagawadgita, III.5). Selain
tindakan mekanis, juga prinsip alam menimbulkan tindakan instingtif yang
melahirkan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan alamiah. Pada saat inilah kama menghasilkan ‘tenaga dalam’, seperti
kesenangan dan kegairahan – di luar kesadaran organis – menimbulkan semangat
melakukan untuk memenuhinya. Kobaran semangat yang selanjutnya, menentukan
fokus, arah, sarana, cara, dan tujuan tindakan. Seperti keterangan Rg. Weda (VII.32.9), “Orang yang
bersemangat berhasil hidup bahagia dan menikmati kemakmuran”.
Artinya, semangat
kerja tidak mesti berhenti dan final pada tercapainya kemakmuran, seperti
kecukupan kebutuhan bertahan hidup dan kesejahteraan jasmani, tetapi harus berkelanjutan
untuk meraih tujuan yang lebih tinggi, seperti kebahagiaan, kebebasan, dan kelepasan
rohani. Peningkatan tujuan hidup pun memperbesar dan menguatkan semangat kerja sehingga
tindakan kerja lebih fokus dan terarah. Seperti saran Rg. Weda (VII.32.9) berikut, “Tekunlah dan dengan tekad keras
mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi”. Tekun dan tekad keras mendukung pikiran
terpusat pada kerja yang telah ditentukan berdasarkan kewajiban, seperti disarankan
Bhagawadgita (II.48)
berikut, “Pusatkan pikiranmu pada kerja tanpa
menghiraukan hasilnya”; dan “Bekerjalah seperti yang
telah ditentukan”
(Bhagawadgita, III.8).
Artha Karma
Ketika kama memacu semangat kerja, kerja pun menjadi hobi, dan bekerja menjadi
kegiatan menyenangkan. Pengalaman yang menyenangkan lazim memunculkan keinginan
untuk mengulang-ulangnya kembali hingga pekerja larut dalam pekerjaan dan
melupakan tujuan kerja. Meskipun artha sebagai
tujuan kerja terlupakan, tetapi sebagai alat dan instrumen kerja artha tetap fungsional, baik disadari
maupun tidak. Begitulah karma, tindakan
kerja memerlukan alat-alat dan sarana kerja, baik material maupun nonmaterial,
seperti pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Walaupun memiliki semangat dan kemauan
melukis misalnya, tidaklah mungkin mengharapkan lukisan dari pelukis yang tanpa
alat, pengetahuan, sikap, dan keterampilan melukis. Bukan berkembang optimal,
bahkan bakat melukisnya layu sia-sia bersama usia.
Menyia-nyiakan usia itulah kegagalan
hidup. Mengingat keniscayaan prinsip alam, gerakan energi dimanis kosmis
menarik realitas ke dalam putaran masa melalui pengulangan kelahiran. Artha dalam bentuk material berwujud raga
adalah sarana kerja bagi tubuh-mental untuk menyempurnakan jiwa. Ketika Bhagawadgita menjelaskan bahwa manusia
adalah iswara kecil yang takluk, maka
raga adalah alat untuk menunjukkan kehadiran manusia sekaligus menjadi sarana
kerja untuk menopang keberadaannya. Menyadari raga untuk jiwa berarti memahami bahwa
artha sebagai tujuan tindakan kerja, bukan
melulu untuk memelihara raga, bahkan yang terpenting untuk menjaga keberadaan jiwa.
Artinya, tujuan memperoleh harta benda, selain untuk menjaga hidup, juga untuk menyempurnakan
hidup itu sendiri.
Sebaliknya, bila bekerja hanya mengumpulkan
harta benda dan kekayaan untuk memenuhi dan memuaskan nafsu-selera, manusia pun
semakin rakus dan serakah hingga tersesat dan terjerat dalam kesalahan-kesalahan.
Kubangan kesalahan dan dosa selanjutnya, memunculkan kekecewaan dan kemarahan yang
membuat manusia semakin bingung dan putus asa. Malahan lebih mendalam Sarasamuccaya (09) menerangkan “Mereka yang memanfaatkan kelahirannya hanya untuk mengejar kekayaan,
kesenangan, nafsu-nafsu kotor, dan rakus. Mereka yang tidak melakukan kebajikan
di bumi, mereka inilah manusia yang tersesat dan pergi menjauh dari jalan
kebenaran”. Supaya tidak jauh tersesat dari jalan kebenaran dan tidak lama tenggelam
dalam kubangan kesalahan, manusia pun membutuhkan sinar kebajikan, dharma.
Dharma Karma
Dharma memang bersinarkan kemuliaan. Sinar
yang dalam pandangan Radhakrishnan selalu menerangi jalan pembebasan menuju puncak
cahaya kesadaran, yakni parama purusartha,
tujuan akhir kehidupan. Menurut penilaian Sivananda, dharma yang menuntun menuju jalan kesempurnaan dan kemuliaan serta
yang menolong untuk memiliki penyatuan dengan Tuhan. Tuhan merupakan inti dari dharma. Realisasi diri adalah dharma yang tertinggi. Dharma
merupakan jantung etika Hindu, Susila.
Dharma yang membantu penyatuan
segalanya dan mengembangkan cinta kasih Tuhan dan persaudaraan universal. Artinya,
dharma tidak dapat dibatasi hanya pada suatu masyarakat
atau bangsa karena dharma berhubungan
dengan kehidupan semua makhluk di dunia. Begitulah karma sempurna membutuhkan kama,
artha, dharma, moksa.
Tindakan
kerja yang sempurna dilakukan dengan semangat kama, sarana artha, serta
aturan, cara, dan tujuan dharma.
Melakukan pekerjaan dengan sempurna, yakni dengan segenap pikiran yang terpusat
pada kerja sama saja dengan yoga. Seperti
ditegaskan Bhagawadgita, II.50, “tasmād
yogāya yujyasva yogah karmasu
kauśalam”, ‘sebab melakukan kegiatan kerja yang sempurna itu sama
dengan yoga’. Bekerja sama saja dengan
meditasi karena kerja berlandaskan dharma,
yaitu kewajiban, kebajikan, kebenaran, kesucian, aturan, disiplin, yadnya, dan Tuhan. Ketika Tuhan adalah
inti dharma, berarti terdapat
keselarasan antara tujuan kehidupan manusia dan tujuan agama. Tujuan
kehidupan manusia adalah menyadari keilahiannya dan tujuan agama adalah
mengajarkan manusia
memanifestasikan keilahiannya.
(Wartam Edisi 77 Juli 2021)