Pujastuti Bumi
I W a y a n
S u k a r m a
“Kerusakan
lingkungan alam, bahkan bumi dapat bermula dari kekacauan intelek, kemerosotan
moral, dan keruntuhan spiritual. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindari
mempercayakan pengelolaan kekayaan bumi kepada orang yang telat mikir,
berperingai buruk, dan tidak percaya diri. Keselamatan bumi terletak pada
pujastuti tri harmoni: palemahan, pawongan, dan parhyangan; atau pikiran,
perkataan, dan perbuatan suci”.
Hari ini bumi
masih menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman. Namun besok atau lusa,
entahlah. Keraguan terhadap kebertahanan dan masa depan bumi tercermin dari peringatan
Hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni). Setidaknya, mengimbau
kesadaran penduduk bumi, agar mengambil tanggung jawab lingkungan bagi
perlindungan bumi dan ketahanan sumber daya alam. Apalagi ajaran catur yuga melukiskan bahwa seiring
dengan perubahan zaman, juga bumi berubah mengikuti prinsip-prinsip involusi. Seperti
barang-barang yang baru keluar dari pabrik perlu perawatan untuk menghambat penyusutan
dan kerusakannya. Serupa dengan itu, juga bumi dan lingkungan perlu perawatan
untuk mempertahankan daya tampung dan dukungnya.
Menjaga kekuatan
bumi dan ketahanan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama umat manusia sesuai
dengan sudut dan cara pandang serta aturan dan prosedurnya masing-masing. Umat
Hindu misalnya, memandang dan memahami bumi sebagai Dewi atau Ibu. Ibu Bumi dalam
doa-doa, pemujaan, dan persembahan disapa Ibu Perthiwi. Penghormatan dan
pemuliaan kepadaNya, bahkan mewarnai adat istidat, seperti tampak pada tradisi merawat
palemahan. Perhatikanlah batu-batu
dan pohon-pohon besar di Bali! Itu bukanlah pemujaan benda-benda, apalagi
pemujaan setan yang konon menempati batu dan pohon besar. Melainkan suatu bentuk
kesadaran dan tanggung jawab religius atas keberadaan sesama ciptaan Tuhan, agar
palemahan, pawongan, dan parhyangan harmonis
demi keselamatan.
Ibu Perthiwi Murah Hati
Keselamatan
jiwa, moksartham merupakan tujuan
utama agama Hindu. Tidak jauh berbeda dengan tujuan agama, juga naluri keibuan mengutamakan
keselamatan anak. Dalam perlindungan dan tuntunan ayah, daya kodrati ibu itu menjadi
kekuatan kekeluargaan dan semangat persaudaraan, karena itu pangkuan dan
pelukan ibu menjadi tempat paling aman dan nyaman. Begitulah ayah dan ibu, simbol
‘kasih langit’ dan ‘sayang bumi’ menjadi sumber keamanan dan kenyamanan. Kasih-sayang
yang menimbulkan perasaan betah sehingga umat manusia enggan melepaskan diri dan
meninggalkan pangkuan Ibu Bumi. Bersyukur umat Hindu melalui Rong Telu dapat mengungkapkan
rasa cinta dan ikatan abadinya dengan Ayah Langit dan Ibu Bumi, Leluhur, Hyang Widhi.
Kehangatan
kasih Ayah Langit dan kemesraan sayang Ibu Bumi biasanya dinikmati melalui Siva-stava dan Prthivi-stava. “Om Prthiwi
sariram dewi, catur dewi mahadewi, catur asrama bhatari, siwabhumi mahasidhi”
misalnya, mantra untuk memuja Ibu Perthiwi. “Tuhan, perbawaMu Dewi Perthiwi,
Mahadewi dalam empat keesaaan, Engkau bergelar Catur Asrama, Siwabhumi yang
penuh keberhasilan”. Begitulah pujastuti kepada Ibu Perthiwi sebagai Dewi yang paling
utama dari empat Dewi, dipuja pada empat tahapan hidup, dan Ibu Bumi pendamping
Siwa yang amat sangat sakti. Dalam Prthivi-stava
lainnya, juga Ibu Perthiwi dipuja sebagai Dewi Wasundhari, Uma, Durga, dan
Gangga, ratunya Iswara ibunya Kumara, Gayatri Bhairawi Ghauri, dan Dewi
Camundi.
Memuja Ibu
Perthiwi murah hati, Dewi penganugerah pengetahuan dan kecemerlangan, kemampuan
dan kesanggupan, keberhasilan dan kenikmatan, kekuasaan dan kewibawaan memang
baik. Namun lebih baik memanfaatkan anugerahNya untuk menjaga kekuatan bumi dan
kelestarian lingkungan demi keberlanjutan sumber daya alam dan keseimbangan
hidup. Misalnya, membiasakan hidup sehat, bersih, dan peduli sejak dini, seperti
amanat lagu Bangun Tidur. “Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok
gigi, habis mandi ku tolong ibu, membersihkan tempat tidurku”. Harapannya, anak
menyadari kebutuhannya akan kesehatan, pentingnya kebersihan lingkungan, dan perlunya
meringankan beban orang lain. Kekayaan bumi memang lebih berguna di tangan
dermawan yang murah hati, seperti tumbuhan.
Tumpek Bubuh Hari
Tumbuhan
Tumbuhan
memang murah hati menjadi sumber daya dan pendukung kehidupan di Bumi. Tumbuhan,
selain menyediakan makanan dan mengatur siklus air, juga mengatur kualitas
atmosfer. Tanpa tumbuhan, tiada udara segar, dan bisa dibayangkan kelangsungan
hidup manusia. Untuk menjaga kualitas udara, dalam kawasan industri dan perkotaan
dibangun ruang terbuka hijau, seperti hutan dan taman-taman karena tumbuhan
menyerap polutan dan menyuburkan tanah. Dalam rangka mempertahankan kualitas
tanah dan tumbuhan sekiranya, masih relevan mengeramatkan batu-batu dan pohon-pohon
besar, supaya palemahan tetap menjadi
tempat tinggal yang aman dan nyaman. Bukan sekadar mengeramatkan, bahkan umat
Hindu merayakan hari suci tumbuhan setiap Saniscara Keliwon Wariga (210 hari).
Hari
suci itu disebut Tumpek Bubuh. Dalam Sundarigama
dijelaskan sebagai penghormatan dan pemuliaan Sanghyang Sangkara, Dewa penguasa
tumbuhan. Upakara dalam upacara ini, antara lain Iseh, Daksina,
Ayaban, Sodan, Sesayut, Canang, Dupa, dan Tirtha dihaturkan kepada pohon yang
dipilih. Selain sebagai ungkapan angayubagya,
puji syukur dan terima kasih, juga upacara
ini sebagai permohonan agar tumbuhan berdaun, berbunga, dan berbuah lebat. Seperti
saha sesapa berikut, “Kaki-kaki, dadong kija? Dadong jumah gelem
kebus dingin ngetor, nged nged nged. Buin selae lemeng Galungan, mabuah pang
nged”. Sapaan kaki (kakek) dan dadong (nenek) ini serupa dengan hubungan
antara manusia, makanan, dan tumbuhan (Taittirya
Upanisad, II.1.1).
Ketika
sapaan itu ditujukan untuk tumbuhan, berarti manusia memandang tumbuhan sebagai
kakek dan nenek, yaitu sosok yang dituakan (panglingsir) yang arif dan bijaksana. Seperti umumnya,
kakek dan nenek tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mengutamakan kebutuhan
dan kepentingan anak dan cucunya. Suratan takdirnya memang demikian, tumbuhan menjadi
habitat bagi organisme, menyediakan makanan, menyuburkan tanah, mengatur siklus
air, dan mengatur kualitas udara, tanpa mempedulikan kebutuhan satwa dan
manusia. Entah suka ataupun tidak semua itu merupakan hutang budi manusia kepada
tumbuhan dan umat Hindu membayarnya dengan yadnya.
Begitulah hakikat bhuta yadnya. Mecaru
misalnya, kurban suci tulus dan ikhlas untuk membayar hutang budi itu.
Mecaru Demi Tri Harmoni
Mecaru itu nyomya panca mahabhuta, memurnikan dan menyucikan lima unsur alam: akasa, bayu, teja, apah, dan perthiwi. Yadnya ini merupakan
bentuk kesadaran atas keberadaan alam, jika manusia merawat alam, maka alam
memelihara manusia; sebaliknya, jika manusia merusak alam, maka alam
membinasakan manusia. Prinsip ini dijelaskan dalam Taittirya Upanisad (II.1.1), “Dari situlah Brahman yang merupakan
Diri menghasilkan akasa. Dari akasa muncullah bayu. Dari bayu lahirlah teja. Dari teja tercipta apah. Dari apah muncullah perthiwi. Dari perthiwi
lahir tumbuhan. Dari tumbuhan dihasilkan makanan. Dari makanan lahirlah
manusia. Manusia adalah produk dari esensi makanan”. Begitulah merusak alam berarti
merusak makanan: membinasakan diri sendiri.
Menyadari akan
pentingnya menjaga ketahanan dan kualitas makanan kemudian, umat Hindu mengingatkan
dan memotivasi diri melalui upacara mecaru dalam berbagai jenis dan tingkatannya. Selain itu, juga spirit Padma Bhuwana
dan Dewata Nawasanga memperkaya khazanah parhyangan
merupakan kekuatan dalam mewujudkan keselarasan moral pawongan dan keseimbangan intelektual palemahan. Mengingat kerusakan lingkungan alam, bahkan bumi dapat bermula
dari kekacauan intelek, kemerosotan moral, dan keruntuhan spiritual. Oleh
karena itu, sedapat mungkin hindari mempercayakan pengelolaan kekayaan bumi kepada
orang yang telat mikir, berperingai buruk, dan tidak percaya diri. Keselamatan
bumi terletak pada pujastuti tri harmoni: palemahan,
pawongan, dan parhyangan; atau pikiran,
perkataan, dan perbuatan suci.