Literasi Digital Hindu

 

Menanti Bangkitnya Literasi Digital Hindu

 

I  W a y a n  S u k a r m a

 

“Bangkitnya literasi digital Hindu tergantung pada spirit berbagi tanpa membagi. Semangat ini mengandung ketulusan memproduksi dan mendistribusikan informasi dan pengetahuan serta keikhlasan mengambil tanggung jawab atas validitasnya. Ketulusan dan keikhlasan inilah inspirasi yang menimbulkan daya kreatif dan inovatif tanpa batas. Barangkali demikian keagungan dan kemuliaan jnanayajnah, kurban pengetahuan, seperti disebutkan dalam Bhagawadgita, IV.33”.

 

Literasi, baik kemampuan membaca maupun menulis merupakan kebutuhan masyarakat informasi yang ditandai dengan tingginya tingkat produksi, distribusi, dan konsumsi kebudayaan. Peradaban informasi semakin berterima seiring dengan globalisasi – dengan kekuatan informasi, industri, investasi, dan individualisasi – melanda bagian-bagian kehidupan. Bukan hanya ekonomi dan politik, bahkan globalisasi menempa kebudayaan dan pendidikan bangsa-bangsa di dunia. Dalam The Third Wave (1980), Alvin Tofller menerangkan bahwa peradaban informasi berlangsung setelah peradaban industri dan pertanian. Artinya, peradaban sebagai respons manusia terhadap kondisi alam dan situasi sosial berkembang dari revolusi pertanian, industri, hingga informasi. Revolusi informasi diawali dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, baik cetak, elektronik maupun digital.

Era digital yang diwarnai dengan digitalisasi informasi dan pengetahuan inilah memberikan kesempatan “menanti bangkitnya literasi digital Hindu”. Harapan ini seiring dengan anggapan bahwa umat Hindu memanfaatkan internet dan menggunakan perangkat cerdas (expert system) misalnya, komputer dan smartphone. Dengannya, literasi digital Hindu memperoleh peluang bangkit, baik rintisan maupun gerakan, baik perorangan maupun berkelompok, baik isi maupun kemasan. Maksud dan tujuannya, bukan hanya membangun kemampuan dan mengembangkan kebiasaan membaca dan menulis, bahkan membagun integritas kepribadian, menguatkan sraddha bhakti dan karakter religius, serta mengembangkan sifat kesusilaan dan kedharman. Mudah-mudahan teknologi digital sungguh-sungguh bermanfaat dan berguna bagi kebangkitan literasi dharma demi tegaknya dharma manusia.

 

Berbagi Tanpa Membagi

Intensitas literasi, seperti komunikasi penulis dengan pembaca teletak pada kontaknya yang disebut media dan perkembangannya yang paling mutahir adalah media digital. Misalnya, program kumputer, halaman web, database, e-buku, digital citra, digital audio, digital video, dan media sosial. Revolusi digital, bahkan secara radikal sudah mengubah bentuk interaksi sosial, seperti tampak pada situs jejaring sosial. Hanya dengan mengakses media sosial dapat terhubung dengan banyak orang dari berbagai latar sosial-budaya disertai dengan kemudahan berbagi informasi. Pada kata “berbagi” telah melekat tanggung jawab dan kemampuan verifikasi atas validitas informasi. Inilah kunci untuk membuka pintu literasi digital atau literasi digital Hindu, bila tidak ingin tersesat.    

Dunia digital memang mudah menyesatkan karena lalu-lalang informasi dan pengetahuan tidak hanya melampaui batas sosial dan sekat-sekat kebudayaan, tetapi juga garis-garis keagamaan. Meskipun mengajarkan kebenaran, tetapi pada tataran etik tidak semua kebenaran suatu agama dapat menjadi kebaikan dalam semua agama. Misalnya, panca sraddha, lima kepercayaan yang melandasi keimanan Hindu. Barangkali karmaphala lebih universal daripada moksa dan punarbhawa, apalagi daripada Atman dan Brahman. Ketimpangan demikian perlu diperhatikan ketika hendak membangun literasi digital Hindu, supaya tidak menimbulkan disharmonis dalam keberagamaan, baik internal maupun eksternal. Untuk itu sekiranya, dibutuhkan spirit ‘berbagi tanpa membagi’ seiring dengan kesadaran atas keselamatan, kebebasan berekspresi, dan etika informasi.

Semangat berbagi tanpa membagi sesungguhnya mengandung ketulusan memproduksi dan mendistribusikan informasi dan pengetahuan serta keikhlasan mengambil tanggung jawab terhadap validitasnya. Ketulusan dan keikhlasan inilah inspirasi yang menimbulkan daya kreatif dan inovatif tanpa batas. Barangkali demikian keagungan dan kemuliaan dari jnanayajnah, kurban pengetahuan, seperti disebutkan dalam Bhagawadgita, IV.33. Kenyataannya pun menunjukkan, semakin banyak pembagi dan semakin sering dibagi, informasi dan pengetahuan tidak berkurang, melainkan semakin bertambah seiring dengan kemampuan memahami dan menafsirkannya. Artinya, menemukan makna dan nilai informasi dan pengetahuan serta memanfaatkannya merupakan puncak literasi. Begitu juga kebangkitan literasi digital Hindu tergantung pada semangat umat Hindu mengapresiasi makna dan nilai dharma.     

 

Literasi dan Apresiasi

Literasi dapat menjadi bentuk apresiasi sebaliknya, apresiasi dapat menjadi bentuk literasi. Kesadaran terhadap makna dan nilai dharma dapat terbentuk dari kemampuan memformulasikan dan menghargai informasi dan pengetahuan tentang dharma dan begitu sebaliknya. Baik literasi maupun apresiasi mengembangkan kemampuan pengamatan, penilaian, dan penghargaan terhadap makna dan nilai dharma. Artinya, kebangkitan literasi Hindu tergantung pada semangat apresiasi terhadap nilai dan makna Hindu sebaliknya, apresiasi terhadap makna dan nilai Hindu tergantung pada kegairahan literasi Hindu. Untuk menguatkan dan meningkatkan efektivitas hubungan itu diperlukan teknologi digital hingga terbentuk apresiasi dan literasi digital Hindu, seperti Pencerahan HI TV Channel 3 dan Sesuluh Yudha Triguna Channel.

Kedua channel itu dapat dikatakan sebagai bentuk apresiasi terhadap makna dan nilai Hindu yang dirancang dan dibangun melalui literasi Hindu, baik cetak, elektronik maupun digital. Tematik kedua channel itu serupa, yaitu “Pencerahan” dan “Sesuluh” – intinya penerangan agama Hindu –dalam lingkup pendidikan agama Hindu. Dalam konteks ini setidaknya literasi digital Hindu dapat memotivasi lebih banyak umat Hindu menjadi insan pembelajar dan terdidik dalam lingkup dharma. Manusia dewasa dan matang yang berupaya menemukan dan memanfaatkan ajaran dharma untuk membangun kesejahteraan dan kebebasan, seperti ajaran catur purusa artha. Manusia inilah sabar menanti bangkitnya literasi digital Hindu karena apresiasi memerlukan kedewasaan dan kematangan literasi.

Artinya, pola literasi dan apresiasi tidak membiarkan ide-ide yang dibaca dan/atau ditulis tetap tertinggal mengendap di dasar teks. Melainkan menghidupkannya kembali menjadi tindakan dalam suatu konteks berdasarkan pemahaman yang bermakna dan yang bernilai. Proses menemukan makna dan nilai suatu ide memang beragam, tetapi satu di antaranya merumuskan dapat berlangsung dalam hubungan empatik atau partisipatif antara ide yang dibaca dan ide yang telah dimiliki. Proses ini memungkinkan upaya mengenangkan kembali ide yang sedang dibaca, sebagaimana pemahaman penulisnya. Upaya ini berlangsung terus-menerus hingga ide yang dibaca berpartisipasi membentuk sikap dan tindakan pembaca. Di sinilah letak penting dan relevansinya kebangkitan literasi digital Hindu.                                         

 

Bukan Kehampaan

Kalau literasi memang membentuk kesadaran dharma, berarti literasi digital Hindu adalah keberadaan, bukan kehampaan, seperti dikemukakan George Ritzer dalam The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi (2012: 3 dan 190). Kehampaan dikatakan bentuk sosial yang tersusun, terkontrol secara terpusat, dan tanpa isi substantif yang berbeda. Cirinya adalah efisiensi produksi dan konsumsi. Produksi masal berkaitan dengan semua bentuk kehampaan. Efisiensi memudahkan konsumen memperoleh dan memanfaatkan berbagai kehampaan. Citra dunia digital itu, bila dilihat dari sisi pengguna – yang mengendalikan dan mengontrol isu, isi, dan efek dari format digital – literasi digital yang memudahkan produksi dan konsumsi informasi hanyalah perluasan bentuk sosial.

Mirip dengan perluasan indra melalui wawancara – untuk mengatasi keterbatasan observasi yang mengandalkan indra penglihatan – seluruh prosesnya dikendalikan dan dikontrol pewawancara berdasarkan informasi yang diperlukan. Validitas informasi yang diperoleh terletak pada kesadaran pewawancara dan kepercayaannya kepada narasumber. Selain itu, juga dapat dilakukan verifikasi melalui koherensi dan korespondensi, seperti kesesuaian antara pernyataan dan pernyaatan; antara pernyataan dan kenyataan. Begitu pula literasi digital Hindu dapat diverifikasi melalui teks ororitas dan konteks pengalaman kehidupan beragama. Perhatikanlah perkembangan teks Hindu dari sistem lontar, cetak, elektronik hingga digital. Bila konsistensi dan konsekuensi dapat dikembalikan pada keberadaan teks otoritas, berarti literasi digital Hindu adalah keberadaan, bukan kehampaan.

(Wartam Edisi 75 Mei 2021) 

 

 

 

 

        

 

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...