Ritual Sosial

 

Galungan: 

Social Ritual, Social Engineering?      

 

I  W a y a n  S u k a r m a

 

“Tegangan antara dharma dan adharma menggambarkan perjuangan menegakkan dharma dan harapan memperoleh perlindungan dharma tidak pernah berakhir. Hanya saja secara simbolis dapat dipahami kemenangan menegakkan dharma sebagai keberhasilan menundukkan keangkuhan dan mengalahkan kesombongan (Mayadenawa). Tanpa keangkuhan dan kesombongan kemudian, pikiran, perasaan, dan kehendak menjadi galang, terang-benderang. Potensi individual inilah memancar ke dalam kehidupan sosial yang membangun ritual sosial dan menjadi sasaran penting dari rekayasa sosial. Perubahan sosial pun berlangsung damai dan tenteram”.

 

Umat Hindu merayakan hari suci Galungan setiap Budha Kliwon Dungulan, siklus enam-bulanan Kalender Bali. Rangkaian perayaannya berlangsung sejak Tumpek Wariga, dua puluh lima hari sebelumnya hingga Pegat Wakan pada Bhuda Kliwon Pahang, tiga puluh lima hari sesudahnya. Selama kurun waktu itu umat Hindu mengupayakan dharma melalui sekurang-kurangnya enam belas hari suci bertujuan membersihkan dunia-sakala, memurnikan dunia-sakala-niskala, dan menyucikan dunia-niskala. Dharma memang melintasi dunia-kehidupan, baik ‘yang pernah ada’, ‘yang sedang ada’ maupun ‘yang akan ada’; baik ‘sebelum titik lahir’, ‘antara titik lahir dan titik mati’ maupun ‘setelah titik mati’. Seperti rumusan tujuan hidup: “atmanam mokshartam arthani jagadhita ya ca iti dharma”.

Moksa, kebebasan rohani, kebahagiaan-surgawi memang tujuan individual, tetapi jagadhita, kebebasan jasmani, kesejahteraan-duniawi merupakan tujuan sosial, seperti komitmen pada dharma agama dan dharma negara. Artinya, agama tidak semata-mata urusan privat mengenai ikatan-pribadi individu dengan Tuhan, tetapi juga urusan publik tentang ikatan-sosial kelompok dengan kelompok masyarakat. Keterlibatan agama Hindu dalam menentukan nilai, norma, dan aturan yang melandasi kerja sama antarkolompok masyarakat menguatkan fungsi Tattwa, Susila, dan Acara menentukan karakteristik konstruksi sosial. Apalagi Acara, tradisi keagamaan termasuk Galungan yang memang luluh dalam tradisi sosial memiliki fungsi menguatkan integrasi dan ketahanan sosial. Fungsi inilah potensi yang menampilkan Galungan sebagai social ritual dan social engineering.  

                             

Social Ritual

Acara, entah ritual, ritus ataupun upacara terkesan dominan dibandingkan dengan Tattwa dan Susila dalam keberagamaan umat Hindu, seperti stereotif ‘beragama ritual’ pada umat Hindu di Bali. Namun prasangka berdasarkan hanya pada yang tampak belum tentu sama dengan kebenaran yang tersimpan atau tersembunyi di baliknya. Dalam Upadesa misalnya, dijelaskan bahwa Tattwa, Susila, dan Acara bagaikan kuning, putih, dan kulit (sebutir) telur. Artinya, tradisi keagamaan yang tampil dan tampak dalam kehidupan sosial merupakan mengejawantahan dari pemahaman moral dan penghayatan spiritual. Begitu juga Galungan, tradisi keagamaan yang melibatkan beragam gagasan, sentimen masyarakat, dan serangkaian tindakan telah mengubah karakteristik ruang sosial menjadi ritual sosial.  

Penjor Galungan misalnya, sarana ritual membentuk jalan raya menjadi ruang perjumpaan sosial, bukan hanya interaksi kesepahaman antarras, antaragama, dan antarsuku, bahkan antarbangsa. Malahan secara internal, jalan raya pun menjadi ruang perjamuan sosial dengan mendemonstrasikan penjor paling indah – paling mahal? Dalam konteks ini, penjor dapat mencerminkan kelas sosial, selain keseriusan dan kesungguhan merayakan Galungan – kesalehan sosial? Berbeda dengan hari-hari lainnya, selama perayaan hari suci tersebut jalan raya tampak lebih meriah dan indah, bahkan menimbulkan kesan religius. Ketika perasaan pengguna jalan raya sudah dihinggapi suasana religius, niat menaati dan hasrat mematuhi aturan lalu lintas semakin mantap seiring dengan harapan akan keselamatan bersama.  

Kebiasaan “nampah galungan” atau “mapatung galungan”, juga ritual sosial menonjol pada Penampahan Galungan. Sekaa nampah atau mapatung merupakan kelompok memotong babi yang bersifat temporer. Rangkaian kegiatannya berlangsung sejak pembentukannya hingga memotong dan membagi daging babi. Anggotanya dengan senang hati mematuhi konsensus dan kesepakatan yang dibuatnya bersama. Nampah pun berlangsung gembira. Tanpa Neraca, bahkan anggota kelompok dengan suka cita menerima bagian dagingnya masing-masing, tanpa keluhan. Rupanya, kepuasan berbagi lebih bernilai daripada kepuasan memperoleh bagian daging. Setiap anggota memperoleh kepuasan dari kepuasan anggota lainnya atas bagian yang diterimanya. Artinya, kebiasaan mapatung dan kebiasaan Galungan lainnya dapat menguatkan komune, solidaritas, dan integrasi sosial.         

                                               

Social Engineering

Serangkaian perayaan Galungan yang tampak sebagai ritual sosial, keseluruhannya menjadi jalan keselamatan jiwa, upaya memelihara kenyamanan sosial dan menjaga ketahanan lingkungan. Perhatikanlah perayaan hari suci sebelum Galungan, sesungguhnya merupakan persiapan etis dan perencanaan sosial, bagian dari rekayasa sosial untuk membangun keadilan dan kesejahteraan sosial. Misalnya, Tumpek Wariga membangun kesadaran hidup seimbang-selaras dengan lingkungan demi sumber daya alam, seperti mantra-pangatag, “…, buin selae lemeng galungan mabuah ngeeed”. Dalam Nitisastra disebut tri ratna permata, tiga unsur pemuliaan hidup: tumbuh-tumbuhan, air, dan kata-kata bijak. Bhagawadgita mengingatkan, “Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”.       

Karma berdasarkan dharma itulah nilai ideal melandasi konvensi sosial, seperti struktur dan kultur, status dan fungsi sosial. Dharma menjadi kewajiban sosial, baik fungsi maupun peran sosial muncul dari ikatan sosial. Selain fungsi memang status sosial memiliki peran sosial sesuai dengan harapan aktor dan agen sosial dalam mencapai tujuan kehidupan sosial. Memanipulasi fungsi sosial dan mereduksi peran sosial pada gilirannya menjadi bagian penting dari strategi rekayasa sosial, agar tindakan sosial mendukung misi perubahan sosial yang dicita-citakan. Cita-cita menegakkan dharma dalam lingkup tri hita karana misalnya, diupayakan secara berkelanjutan melalui misi membangun sukerta tata parhyangan, sukerta tata pawongan, dan sukerta tata palemahan.     

Lebih luas lagi, bahkan dalam Sarasamuccaya (seloka 43) diterangkan bahwa “dharma itu menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada”. Dari oposisi binernya, juga demikian keberadaan adharma. Artinya, tegangan antara dharma dan adharma hendak menggambarkan bahwa perjuangan menegakkan dharma dan harapan memperoleh perlindungan dharma tidak pernah berakhir. Hanya saja secara simbolis dapat dipahami bahwa kemenangan menegakkan dharma sebagai keberhasilan menundukkan keangkuhan dan mengalahkan kesombongan (Mayadenawa). Tanpa keangkuhan dan kesombongan kemudian, pikiran, perasaan, dan kehendak menjadi galang, terang-benderang. Potensi individual inilah memancar ke dalam kehidupan sosial yang membangun ritual sosial dan menjadi sasaran penting rekayasa sosial. Perubahan sosial pun berlangsung damai dan tenteram.   

                 

Social Religious          

Sosial religius merujuk pada posisi agama sebagai inti kebudayaan yang dipraktikkan dalam dunia sosial. Dalam konteks ini agama menjadi sumber nilai budaya, norma sosial, dan aturan moral dalam masyarakat. Misalnya, menempatkan parhyangan sebagai inti pawongan yang tampak dalam praktiknya di palemahan sebagai tindakan sosial. Berdasarkan pola ini tampaklah Galungan, baik sebagai ritual sosial maupun rekayasa sosial hendak melanggengkan tatanan sosial religius, yakni tindakan sosial berlandaskan sraddha-bhakti. Apalagi perayaan Galungan dimantapkan dalam adat istiadat sehingga tradisi keagamaan menyatu dengan tradisi sosial menjadi tradisi religius. Karisma tradisi religius, bahkan terasa semakin ‘mistis’ karena tiba-tiba saja Galungan menimbulkan perasaan rindu rumah dan sanggah.

Rasa rindu mempererat ikatan keluarga, nyama tunggal sembah, dan tetangga pada Umanis Galungan, bahkan menguatkan ikatan krama banjar di Bali. Libur Galungan memang menciptakan beragam momen kebersamaan, baik keluarga, komunitas, maupun grup teman sebaya. Misalnya, dapat diperhatikan keceriaan ruang-ruang publik sekitar tempat wisata, seperti pantai, gunung, dan taman. Malahan beberapa tahun terakhir tampak berbagai grup alumni, entah sekolah ataupun kantor memanfaatkan hari libur Galungan mengadakan pertemuan persahabatan. Keakraban dan kekariban para lansia barangkali lebih heboh (baca: erat) daripada teman sebaya para remaja karena diselingi nostalgia dan arisan. Galungan pun dimanfaatkan nangkil bersama ke suatu pura, bahkan tirthayatra ke luar negeri. 

(Wartam Edisi 74 April 2021)


       

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...