Nyepi:
Isolasi Diri
I W a y a n
S u k a r m a
“Mengawali kegiatan baru, tidaklah mudah. Bersyukur
kita punya solusi, Nyepi untuk
mengawali tahun Saka baru. Hari suci mengisolasi diri dalam kontrol dan
pengawasan catur brata. Isolasi diri menjadi langkah pertama memutus mata
rantai pandemi duniawi dengan memasuki hutan hati, menuju Brahmapuri, dan
menjadi diri sendiri”.
Kemeriahan Tawur Agung Tilem Kesanga menandai akhir
tahun Saka dan persiapan mental-spiritual memasuki kesunyian pinanggal ping pisan sasih Kedasa, Nyepi, awal Saka. Tawur Agung mencerminkan semangat nyomya, upaya memurnikan dan menyucikan panca mahabhuta, lima unsur pembentuk
alam. Selain itu, juga sebagai ungkapan
rasa-angayubagya, puji syukur dan terima kasih kepada Sanghyang Widhi atas
anugerahNya, berupa sumber dan tempat kehidupan. Keseriusan dan kesungguhan menciptakan
momen religius itu sekaligus untuk mengenangkan kembali pengalaman selama satu tahun
serta akibatnya pada diri sendiri dan sesama terutama pada alam. Bagian penutup
buku siklus-hidup-tahunan memang lazim memuat simpulan disertai dengan saran dan
rekomendasi: tetaplah melangkah, lanjutkan kehidupan!
Masalahnya,
bagaimana menentukan langkah pertama? Nyepi menyarankan solusi dengan isolasi
diri dalam lingkup pengawasan catur brata.
Amati geni, tidak menyalakan api; amati karya, tidak bekerja; amati lelungan, tidak bepergian; dan amati lelanguan, tidak bersenang-senang.
Dari oposisi binernya, tanpa kesenangan, tiada sedih; tanpa kepergian, tiada tiba;
tanpa pekerjaan, tiada upah; dan tanpa penerangan, tiada gelap. Ini berarti, catur brata hendak menuntun sang diri menuju
Spasi: sela stabil dan seimbang. Relung hati tenteram, tenang, dan hening
dengan temaram cahaya ilahi, nur-ilahi,
seperti nurani orang sederhana tanpa beban perolehan pikiran, ucapan, dan
tindakan. Itulah ruang isolasi diri untuk memutus mata rantai pandemi duniawi.
Memasuki
Hutan Hati
Pandemi
duniawi dalam Yoga Darsana disebut klesa, panca klesa. Avidya, ketidaktahuan,
kegelapan; asmita, keakuan dan keangkuhan; raga,
kesenangan dan keterikatan; dvesa, kemarahan,
keserakahan, dan keengganan; dan
abinivesa, ketakutan akan kematian. Kelimanya merupakan mata rantai yang berawal
dari kekeliruan pandangan, kesalahan memahami alat persepsi sebagai subjek, tertinggalnya
hasrat menikmati setelah kesenangan berlalu, munculnya keinginan baru, dan kuatnya
hasrat memiliki benda duniawi. Untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya memutus
mata rantai rintangan samadhi itu dalam
Kriya Yoga ditawarkan tiga upaya,
yaitu tapa, svadhyaya, dan isvara
pranidhana. Tapa, kesederhanaan
dalam seluruh bagian kehidupan; svadhyaya,
mempelajari kitab-kitab suci; dan isvara
pranidhana, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Jalan yoga itu pun disarankan dalam Bhagawadgita, XIII.10, ”Berbhakti kepada-Ku
dengan keteguhan hati tanpa tujuan lain melalui yoga, pergi ke tempat-tempat sunyi, menjauhi masyarakat manusia”. Seperti
diceritakan dalam Wanaparwa, Pandawa
harus menjalani kehidupan selama dua belas tahun di hutan karena Yudistira kalah
berjudi. Hutan memaksa raja dan saudaranya hidup sederhana, jauh dari keramaian
interaksi dan komunikasi. Kesunyian hutan membuatnya lebih intens mendengarkan dan
merenungkan kata hati. Percakapan memang terdengar, tetapi itu hanya antara mereka
dan/atau dengan brahmana yang sedang mengunjungi
kesunyian hutan hendak mengabarkan ajaran rohani (kitab suci). Tanpa identitas tradisi
mereka tulus menyerahkan diri dan ikhlas menjadi diri sendiri.
Yadnya, kurban suci tulus dan ikhlas berlandaskan
pengetahuan rohani rupanya, kunci untuk membuka pintu dan memasuki kesunyian hutan
hati, pusat pengendalian kekuatan pikiran, perasaan, dan kehendak. Suasana hati
tenang dan hening memiliki kesanggupan mengatur kondisi kejernihan pikiran,
kecerahan perasaan, dan kecemerlangan kehendak. Suasana hatilah syarat utama meraih
pengetahuan rohani, seperti keterangan Prasna
Upanisad, IV.6, “Bilamana ia diliputi kecemerlangan (teja), maka deva itu tidak melihat impian; lalu timbullah
kebahagiaan (sukha) dalam badan ini”.
Begitu juga Bhagawadgita, XIII.11 menyarankan, “Berusahalah dengan
sungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan rohani, pengetahuan tentang kebenaran,
memahami sedalam-dalamnya tujuannya, inilah yang disebut pengetahuan, dan semua
yang lainnya adalah kebodohan”.
Menuju Brahmapuri
Pengetahuan
rohani merupakan kendaraan orang sederhana untuk memasuki hutan hati dan menuju
Brahmapuri, tempat Isvara bersemayam.
Dalam Chandogya Upanisad dijelaskan
sebagai berikut. “Brahmapuri adalah
suatu tempat bersemayam sebuah bunga teratai kecil. Di dalamnya ada sebuah
ruangan kecil. Apa yang berada di dalam itu seharusnya dicari, itulah sesungguhnya
yang harus ingin dipahami seseorang. Sama jauhnya, sebagai ruang-dunia ini (ayam akasa) meluas, sama jauhnya ruangan
dalam hati meluas”. Hanya mengingatkan, kata “kecil” pada frase “teratai kecil”
dan “ruangan kecil”, bukan dalam arti geometri dan fisika. Isvara lebih besar
daripada yang paling besar dan lebih kecil daripada yang paling kecil yang
dapat dipikirkan.
Oleh
karena itu, segala ada sekaligus tidak ada di dalamnya, baik benda maupun
makhluk, baik pikiran maupun hasrat, baik ruang dan waktu maupun tindakan. Dalam
Chandogya Upanisad diterangkan, “Di
dalamnya sesungguhnya termasuk surga maupun bumi; baik api maupun angin, baik
matahari maupun bulan, baik petir maupun bintang; baik apa yang dimiliki oleh
seseorang di sini maupun apa yang tidak dimiliki, segala-galanya terdapat di
dalam itu”. Keberadaan seperti itu tentu saja tanpa cacat dan cela, tanpa
kelaparan dan kehausan, tanpa usia dan ketuaan, bahkan tanpa kematian. Itulah
Isvara (Tuhan) atau isvara (Jiwa), sang diri dengan pikiran, gagasan, hasrat, dan
keinginan Sejati.
Pengetahuan
ketuhanan itu dapat dicapai oleh orang sederhana yang tenang mengisolasi diri dalam
ketenangan, seperti keterangan Chandogya
Upanisad berikut. “Bahwa ia yang
tenang (yang berada dalam Samadhi),
yang bangkit ke luar dari tubuhnya ini, mencapai cahaya tertinggi dan nampak
dengan bentuknya sendiri – ia adalah Jiwa, Atman.
Itulah Brahman. Brahman itulah Satyam
(Yang Sejati)”. Bukan kecerdasan dan ajaran untuk meraih Satyam, seperti keterangan Mudaka
Upanisad berikut, “Atman atau
Diri Agung ini tidak dapat dicapai dengan pengajaran. Juga tidak dengan
kecerdasan, tidak pula dengan banyak belajar. Beliau hanya dapat dicapai oleh
orang yang dipilih oleh Beliau. Kepada orang demikian Atman mengungkapkan KepribadianNya”.
Menjadi Diri Sendiri
Menjadi
‘orang yang dipilih’ sekiranya, tujuan puncak dari isolasi diri dengan catur brata panyepian. Mengungkung diri dalam
batas dan sekat alat-alat persepsi merupakan upaya mengambil posisi di tengah-tengah
pusat pusaran aktivitas. Posisi ini memungkinan menarik fungsi dan orientasi semua
persepsi bergerak masuk-ke-dalam untuk mengenal ‘yang tidak dimiliki’, diri
sendiri. Dalam Mundaka Upanisad diterangkan,
“Di mana saluran-saluran bertemu seperti ruji dalam pusat roda. Di dalam itulah
ia berputar Menjadi berlipat-ganda. Om!
Demikianlah renungkan Diri (Atman).
Sukses kepadamu dalam menyeberang ke pantai yang lebih jauh, yang melampaui kegelapan”.
Dengan tuntunan dan perlindungan Om membangun
daya-pengenalan untuk mengenal ‘yang tidak dikenal’, sang diri.
Sang Diri,
Jiwa, Iswara itu ‘yang niskala’; sebaliknya,
‘yang sakala’ adalah badan, alam;
sedangkan ‘yang sakala-niskala’
adalah tubuh, mental. Dari gagasan tri
hita karana dapat dikatakan manusia adalah tubuh-mental serasi. Keserasian antara
‘yang niskala’ dan ‘yang sakala’, antara jiwa yang ilahi dan
badan yang alami. Artinya, karakter manusia terikat pada alam dan tergantung
pada Tuhan. Dalam Sankhya-Yoga diterangkan
jiwa adalah bentuk purusa (azas roh), sedangkan badan
adalah bentuk prakrti (azas alam). Manusia mewarisi sifat-sifat kedua bentuk ini yang membentuk kesadaran imanen
dan transenden. Kesadaran inilah membangun keselaran mental sehingga manusia mampu
dan sanggup menaati palemahan,
mematuhi pawongan, dan mengikuti parhyangan.
(Wartam, Edisi 73, Maret 2021)