Krama
Bali: Saatnya Recovery
I W a y a n
S u k a r m a
“Akhir
masa Pandemi Covid-19 belum terprediksi. Supaya krama Bali tidak kasep tangkis,
terlambat menyadari masalah-masalah ikutan dan penanganannya, dan tidak semakin
terpuruk dan terperosok ke jurang putus asa, saatnya recovery. Melalui tatanan
kehidupan baru, kembali menyadari pentingnya upaya memelihara kekuatan badan,
kesehatan mental, dan keselamatan jiwa”.
Wabah
sudah mengubah wajah. Bukan hanya wajah individu, bahkan wabah Corona sudah
mengubah ekspresi wajah masyarakat, baik lokal maupun global. Wajah krama Bali misalnya, pucat-pasi seiring
dengan semakin lesunya pariwisata karena pembatasan perjalanan pelancong, baik inter
maupun antarnegara. Akibatnya, bukan hanya dirumahkan, bahkan tidak sedikit
pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja. Artinya, meskipun wabah masih
berlangsung, tetapi new-normal,
tatanan kehidupan baru memberikan peluang kepada krama Bali untuk mengambil tindakan pemulihan, agar tidak semakin
terpuruk dan terperosok ke jurang putus asa. Saatnya recovery, supaya krama Bali tidak kasep tangkis, terlambat menyadari munculnya masalah-masalah ikutan
karena akhir dari masa wabah belum bisa diprediksi.
Struktur
dan kultur masyarakat pakraman dengan
tri hita karana memang memiliki daya
adaptasi tinggi terhadap perubahan kondisi alam, situasi sosial, dan suasana
budaya. Terutama dalam memperoleh sumber daya alam dan mendistribusikannya ke
seluruh krama sesuai dengan sukerta tata palemahan, parhyangan, dan pawongan. Dengan tatanan tersebut disertai
dengan awig-awig dan pararem mengkoordinasikan dan mengatur
hubungan antarkrama dalam memelihara
nilai-nilai pakraman yang dimiliki
bersama. Untuk merawat kesadaran kolektif inilah relevansi dan pentingnya memajukan
peran keluarga dan agama terutama untuk mengobarkan semangat recovery. Keluarga merupakan simbol
cinta dan moralitas, sedangkan agama Hindu yang dipeluk krama Bali merupakan jalan utama menuju catur purusa artha.
I Love Bali
“I Love
Bali”, ungkapan indah menghiasi bagian depan kaos oblong pelancong. Barangkali krama Bali hanya senyum-senyum tipis membacanya atau mengabaikannya karena
sudah terbiasa melihatnya dipajang di kios-kios sekitar kawasan wisata. Ungkapan
tersebut memang indah, apalagi memancar dan mengalir dari hati krama Bali sendiri. Mengingat status krama,
entah banjar, desa ataupun Bali diperoleh
setelah seseorang melangsungkan pawiwahan,
yakni perkawinan berdasarkan cinta dan bertujuan membentuk keluarga. Dari
ikatan cinta keluarga mengalir kewajiban keluarga, seperti suami dan istri
serta ayah, ibu, dan anak. Dari ikatan cinta banjar mengalir kewajiban banjar
sesuai dengan awig-awig dan pararem banjar; dan begitu seterusnya dengan
ikatan cinta Bali.
Cinta Bali
setidaknya memberikan keberanian berkurban dan kekuatan berkomitmen kepada Bali.
Misalnya, menjaga keamanan dan kenyamanan, memelihara pertumbuhan dan perkembangan,
serta mewarat kekuatan dan kesehatannya, baik palemahan, parhyangan maupun
pawongan. Cinta memang memberikan
kewajiban yang mesti dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab,
seperti ajaran dharma. Bila kebenaran
dan kebajikan menjadi landasan recovery,
krama Bali pun lebih kreatif
menemukan upaya pemulihan kondisi, situasi, dan suasana, seperti penganekaragaman
sumber-sumber ekonomi dan lapangan kerja. Mengingat, “Sesungguhnya
racun dan obat itu letaknya berdekatan dan semuanya ada dalam diri” (Sarasamuccaya, 128). Solusi tidak jauh dari masalah, bila memandang masalah sebagai
harapan untuk kerja keras.
Karma memang mengajarkan kerja keras sepenuh hati berlandaskan
cinta pada pekerjaan, tulus berkurban dan ikhlas berkomitmen pada profesi yang
ditekuni. “Bekerjalah
seperti yang telah ditentukan, bahkan tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara
tanpa berkarya” (Bhagawadgita, III.8). Seperti brahmana mencerdaskan kehidupan masyarakat, ksatrya melindungi kehidupan masyarakat, waisya mengusahakan kemakmuran kehidupan masyarakat, dan sudra penuh semangat mengerjakan tugas-tugas
kehidupan masyarakat. Begitulah orang pandai mencintai pekerjaaan, seperti ditegaskan
dalam Bhagawadgita, III.25, “Orang pandai
bekerja tanpa kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan
memelihara ketertiban sosial”. Dengan landasan recovery yang demikian, krama
Bali pun dapat melaksanakan kewajiban melindungi keluarga dan tetap
bertanggung jawab kepada masyarakat.
Kebiasaan Baru
Penetapan
tatanan kehidupan baru untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat telah menjadi kebiasaan baru. Misalnya, orang
merasa ganjil, bila keluar rumah tanpa masker atau merasa canggung bersalaman,
apalagi berkerumun. Perasaan ini merupakan bentuk tanggung jawab untuk saling menghargai
dan menghormati dalam rangka memelihara ketertiban sosial. Perhatikanlah krama Bali ketika melaksanakan upacara-upacara yadnya, entah dalam
keluarga, banjar ataupun desa pakraman. Selain menampilkan pemangku, sekaa gong, sekaa santhi, pengayah, dan penari bermasker, juga dari
segi jumlah peserta dan waktu pelaksaaan dibatasi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Meskipun terasa ganjil, tetapi kegiatan keagamaan yang berskala sakral tetap berlangsung
tanpa mengabaikan nilai dan maknanya.
Bila
kebiasaan baru dapat diterapkan pada bidang parhyangan
berarti kebiasaan baru, juga dapat diterapkan pada bidang pawongan dan palemahan. Dengan
mengedepankan Susila termasuk
kebiasaan baru, relasi manusiawi dengan sesama dan relasi alami dengan alam pun
tetap terjalin serasi. Artinya, krama
Bali tetap membangun dinamika harmoni melalui relasi adil, baik alami,
ilahi, maupun manusiawi di tengah-tengah wabah. Pondasi kesejahteraan ini dengan
dukungan formulasi ekonomi kreatif serta kemajuan sistem komunikasi dan
informasi dapat memudahkan pendistribusian sumber daya alam dan sumber daya
manusia. Misalnya, arus pertukaran barang dan jasa tetap lancar tanpa mengabaikan
kebiasaan baru sehingga pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kesehatan tetap
seimbang.
Recovery memang bertujuan
menyeimbangkan tatanan kehidupan krama
Bali, seperti antara kesehatan dan ekonomi. Manusia pun memiliki potensi
dan kompetensi untuk itu, seperti penjelasan Sarasamuccaya, seloka 1 kurang-lebih sebagai berikut. “Manusia
adalah raja bagi dirinya sendiri, ia memimpin tubuhnya, ia menguasai
pikirannya, karena itu hendaknya memahami hakikat kebenaran, kekayaan, kesenangan,
dan kebebasan”. Keinginan memperoleh kesenangan dan kekayaan dengan mengabaikan
kebenaran dan kebebasan hanya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Artinya,
memulihkan penderitaan dan kesengsaraan karena wabah Corona patut dan layak dilakukan
dengan mengacu pada catur purusa artha.
Setidaknya, menobatkan dharma menjadi
pemimpin kehidupan, yakni menguasai, mengendalikan, dan mengatur kama dan artha menuju moksa.
Hidup
Sederhana
Hidup
sederhana dan membiasakannya dalam segala kondidi, situasi, dan suasana sekiranya,
merupakan pesan yang dapat dipetik dari kecemasan jatuh sakit dan kekhawatiran jatuh
miskin di tengah-tengah wabah. Tidak berlebih-lebihan memuaskan nafsu-selera, yaitu
sumber gengsi. Apalagi gengsi dengan mudah mengubah nafsu-selera menjadi lahan
subur bagi pertumbuhan hedonisme dan perkembangan konsumerisme. Kesenangan dan
kenikmatan materi hanya sementara sehingga bukan tujuan hidup utama, melainkan hanya
instrumen untuk mencapai tujuan hidup sejati. Begitu juga benda dan barang-barang
mewah lainnya hanyalah instrumen hidup, bukan ukuran kebahagiaan. Artha, kekayaan dan harta benda memang berguna
untuk memelihara badan dan bermanfaat untuk melindungi tubuh menuju tujuan hidup,
moksa.
Tujuan kebebasan itu membuat orang sederhana merasa puas dan bertahan dalam kehidupan karena tidak membandingkan dirinya dan bersaing dengan orang lain. Wabah tidak membuatnya merasa kehilangan karena memahami dirinya serta mampu dan sanggup mengatasi dirinya sendiri. Orang sederhana menyadari kehidupan berubah-ubah dan dalam perubahan tidak ada hal yang mesti dan harus dipertahankan. Kesederhanaan inilah pondasi kesehatan mental dan keselamatan jiwa yang membuat badan tetap kuat dan bugar. Artinya, tidak perlu jatuh sakit untuk mengetahui kesehatan lebih berharga daripada harta benda dan tidak perlu jatuh miskin untuk mengetahui manfaat memberi dana, punya, dan menolong sesama. Sekaranglah saatnya, krama Bali melakukan recovery.
(Wartam Edisi 72 Februari 2021)