Dua Nol Dua Satu: Pintu Hindu Baru?
I W a y a n S u k a r m a
Membaca warta Kala dalam warsa-aksara adalah upaya membuka gapura asa. Memburu tutur pinahayu ‘dua nol dua satu’ merajut harapan baru menuju pintu Hindu Baru. Harmoni Eka dalam aneka, aneka dalam Eka, meretas jalan Hindu Baru yang aman dan nyaman dalam bertattwa, bersusila, setra beracara.
Fajar pertama tahun baru, ‘dua nol dua satu’, menghangatkan dan memekarkan harapan keluar dari situasi pandemi seiring dengan rencana pemerintah untuk melakukan vaksinasi Covid-19 dalam waktu dekat. Harapan selanjutnya, tahun baru ini sungguh-sungguh menjadi pintu baru dengan kunci yang baru pula untuk memasuki kehidupan baru, ‘dunia tanpa kutukan’. Dunia-kehidupan baru tanpa bencana alam serta malapetaka moral menjadi cita-cita ideal seluruh umat manusia yang memungkinkan bagian-bagian kehidupan mengalami pertumbuhan dan perkembangan normal: aman sekaligus nyaman. Begitulah harapan serta hasrat yang menyertainya menjadi kunci rahasia guna membuka pintu peluang baru, juga sekaligus menyingkap misteri keinginan yang tersimpan dalam keberlimpahan ruang dan waktu.
Harapan, keinginan, hasrat, nafsu, dan kesenangan tergolong dalam kama, satu dari empat tujuan hidup manusia [catur purusa artha]. Daya dorong harapan serta daya tarik keinginan dalam perlindungan dharma serta kelengkapan artha menjadi kekuatan yang mengarahkan tindakan menuju kesejahteraan jasmani [jagadhita] dan kebahagiaan rohani [moksa]. Kekuatan ini mesti dipelihara untuk mengawal setiap perubahan ruang, waktu, dan tindakan. Adaptasi dunia–kehidupan baru yang ditengarai dengan pergantian tahun dapat diawali melalui refleksivitas terhadap lambang, simbol, ikon, ataupun tanda yang menyertainya. Merefleksikan warsa-aksara ‘dua nol dua satu’, sekiranya penting untuk mengharmoniskan harapan dengan tujuan, menuju kunci rahasia memasuki pintu Hindu Baru – tattwa, susila, acara.
Aman dan Nyaman Bertattwa
Tattwa mengajarkan kebenaran esensial dan tertinggi dari dunia–kehidupan yang menjadi dasar keyakinan atau keimanan [sradha] umat Hindu. Siwatattwa menyatakan kebenaran tertinggi adalah Siwa, yakni asal mula dan kembalinya segala ada. Dari Siwa lahirlah seluruh tattwa [sarwatattwa]. Hakikat Siwa adalah kekosongan [Paramasunya], tetapi segala potensi ada di dalamnya. Hanya angka nol yang mungkin paling mendekati perlambangannya. Menurut Brahmagupta (598–670 SM), nol merupakan bilangan yang istimewa karena melipatgandakan nilai angka yang dilekatinya; nol bukanlah positif atau negatif, tetapi menambah dan mengurangi nol menghasilkan bilangan positif dan negatif; serta angka yang dikalikan nol hasilnya nol, tetapi dibagi nol hasilnya ‘tak hingga’.
Saat Paramasiwa berkehendak [Bhatara mahulun], Ia mengubah kesadaran-Nya menjadi Sadasiwa yang hakikatnya Esa [Eka]. Pada umumnya, manusia melambangkan keesaan dengan angka ‘satu’. Dari Sadasiwa, lahirnya dwitunggal ‘purusa-prakrti’, asas yang dua. Purusa adalah substansi rohani yang hakikatnya Eka (satu), sedangkan prakrti adalah substansi jasmani yang hakikatnya tak hingga [aneka]. Pertemuan purusa-prakrti melahirkan alam semesta beserta segala isinya. Purusa yang Eka, menyusupi sekaligus melingkupi [utaprota] prakerti yang aneka. Ia menjadi Jiwa Semesta [Purusa Besar–Purusottama] dan jiwa semua makhluk [Purusa Kecil–jivatman]. Evolusi serta involusi purusa-prakrti menandai siklus penciptaan [utpeti], pemeliharaan [stithi], dan peleburan [pralina] yang berlaku bagi seluruh keberadaan di dunia-kehidupan.
Dua-Nol, menandai transformasi yang dua [purusa-prakerti] – dari dan menjadi nol [sunya dan aneka], sedangkan Dua-Satu melambangkan yang dua sesungguhnya satu [Eka]. Lambang ‘dua-nol’ dan ‘dua-satu’ mengisyaratkan bahwa kunci rahasia membuka pintu tattwa Hindu Baru ‘dua nol dua satu’ adalah memurnikan kesadaran dwitunggal ‘purusa–prakrti’. Harmoni rohani dan jasmani adalah landasan pancapaian tujuan hidup. Refleksivitas selama pandemi juga menunjukkan pentingnya memelihara keseimbangan rohani dan jasmani agar terhindar dari penderitaan. Disiplin rohani adalah jalan menuju pemurnian purusa, sedangkan prakerti dimurnikan dengan pola hidup bersih dan sehat agar tetap menjadi sarana terbaik bagi purusa. Pemurnian keduanya adalah jalan menuju keamanan dan kenyaman bertattwa.
Aman dan Nyaman Bersusila
Pertemuan purusa dan prakrti menimbulkan guncangan triguna [sattwam, rajas, tamas] yang menggerakkan tindakan [karma]. Karma dapat direpresentasikan dengan ‘nol’ karena ia bebas nilai, sekaligus mengandung beragam potensi nilai. Baik-buruk adalah potensi nilai pada setiap tindakan moral [susila], walaupun juga terdapat akarma yang tidak memiliki implikasi moral. Baik dan buruk mencitrakan nilai moral yang dua, yakni subha-asubhakarma. Katagori baik-buruk tindakan ditentukan oleh dharma atau aturan-aturan kewajiban, misalnya catur ashrama dan catur warna. Aturan dharma acap kali bersifat plural, seperti larangan membunuh tidak berlaku bagi ksatrya dalam perang. Artinya, swadharma mengajarkan prinsip moral tunggal (satu) yang mengatasi dualitas dan pluralitas nilai moral.
Mempertimbangkan baik-buruk tindakan merupakan jalan susila demi mencapai perlindungan dharma (kebaikan dan kebajikan) sebagai dasar untuk meraih tujuan hidup. Pemurnian purusa dan prakrti, juga memerlukan pelaksanaan karma baik [subhakarma] agar terbebas dari ikatan dosa [trsna dosa ksaya]. Wiweka jnana menjadi pengetahuan utama pada jalan susila ‘yang dua’, subha-asubhakarma. Akan tetapi, pelaksanaan susila pada jalan ini memungkinkan manusia berhadapan dengan paradoks nilai dan norma. Oleh karenanya, manusia harus mendasarkan pada jalan susila ‘yang satu’ [swadharma] sehingga terhindar dari keragu-raguan moral, sebagaimana diajarkan Bhagawadgita pada bagian Arjuna Visadayoga. Tunduk pada swadharma adalah jalan menuju pembebasan dari ikatan pahala karma, bahkan mencapai moksa.
Pintu susila Hindu Baru ‘dua nol dua satu’ menegaskan pentingnya swadharma menjadi jalan tengah dari pluralitas nilai dan normal moral yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Swadharma menghadirkan ajaran-ajaran susila yang mengatasi paradoks baik-buruk, sejauh tindakan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan kewajiban. Akan tetapi, bukan berarti swadharma mengabaikan prinsip-prinsip moral yang berlaku secara umum karena keutamaan menjadi manusia ditentukan oleh moralitasnya. Seperti halnya Pandawa yang selalu menghindari tindakan ahimsa, kecuali hanya dalam Bharatayudha. Swadharma memosisikan susila sebagai disiplin tindakan yang berhubungan erat dengan pencapaian tujuan. Melaksanakan seluruh aturan susila berdasarkan swadharma masing-masing mengawal langkah menuju terciptanya rasa aman dan nyaman bersusila.
Aman dan Nyaman Beracara
Membangun hidup berketuhanan merupakan perintah moral bagi setiap pemeluk agama. Mengingat kepercayaan agama mengajarkan bahwa dunia-kehidupan seluruhnya bersumber dari Tuhan, diatur dan dikendalikan oleh Tuhan, juga pada akhirnya kembali kepada Tuhan. Mengikuti ketetapan dan hukum-hukum Tuhan, baik berupa rta maupun dharma, adalah jalan hidup berketuhanan karena melalui jalan inilah manusia mencapai tujuan hidupnya. Jalan itu pun bermacam-macam [aneka] yang oleh para arif–bijaksana dirumuskan menjadi empat jalan [catur marga]. Keempat jalan ini dapat diperas kembali menjadi dua, yakni jnana kanda dan karma kanda. Jalan jnana kanda mengutamakan pengetahuan dan kesadaran kerohanian, sedangkan jalan karma kanda menekankan pada tindakan dan pelayanan.
Kemudian, Bhagawadgita IV.11 menegaskan kembali bahwa seluruh jalan yang ditempuh manusia menuju Tuhan akan diterima. Artinya, baik jalan yang aneka [catur marga dan yang selibat dengannya] maupun yang dua [jnana dan karma kanda], semua benar, dan menuju pada Yang Esa. Oleh karenanya, setiap manusia memiliki kebebasan untuk menentukan jalan ketuhanan yang diyakini benar, sekaligus yang dipandang sesuai dengan kemampuan dan kualitas rohaninya. Pilihan ini menetapkan satu jalan, walaupun di dalamnya mungkin terakumulasi banyak jalan, yakni jalan kerohanian. Penentu utama keberhasilan dalam setiap jalan kerohanian adalah disiplin [abhyasa] dan ketakterikatan [vairagya]. Begitulah acara mempertemukan ‘dua nol dua satu’ dalam jalan kerohanian.
Acara yang esensinya adalah disiplin tindakan dan ketakterikatan memberikan keluasan serta kedalaman bagi seluruh jalan kerohanian. Mengingat keberhasilan acara bukan terletak pada jalan yang dipilih, melainkan pada cara melakukannya. Hal ini juga berlaku dalam konteks acara yang lebih spesifik, misalnya pada jalan karma kanda yang ditandai dengan pelaksanaan upacara dan upakara. Pilihan jenis dan tingkatan upacara, seperti nista, madya, uttama, bukanlah penentu keberhasilannya, melainkan disiplin diri serta ketakterikatan dalam menjalaninya berupa kesungguhan, keikhlasan, dan ketulusan hati. Pemahaman dan kesadaran ini sekiranya penting dijadikan refleksivitas memasuki pintu acara Hindu Baru sehingga mampu menemukan ruang yang aman dan sekaligus nyaman dalam beracara.
(Wartam Edisi 71 Januari 2021)