Mencari Harmoni di Tepi Pandemi
I W a y a n S u k a r m a
Harmoni dalam segala situasi menjadi instruksi bagi setiap eksistensi.
Situasi pandemi yang menciptakan disharmoni pun mutlak diadaptasi.
Reifikasi relasi daiwi, manusiawi, dan bhutani adalah solusi Hinduni.
Ketiga relasi ini mentransformasi ‘dukha’ menjadi ‘hita’.
Memasuki triwulan ketiga, pandemi covid-19 terus menebarkan teror yang melanda hampir di semua bidang kehidupan pada skala global. Kengerian yang ditimbulkan membuat kita semakin sadar, betapa pentingnya kesehatan. Bertambahnya kasus orang tanpa gejala “OTG” menambah kengerian karena siapa pun bisa menularkan virus ini. Disiplin protokol kesehatan pun diperketat, bahkan disertai dengan ancaman denda rupiah. Dampak lain yang sangat terasa adalah kebosanan, keterasingan, ketakberartian, dan kesepian karena keharusan menjaga jarak fisik dan sosial. Implikasi yang juga tidak terhindarkan dari situasi ini adalah disharmoni kehidupan, entah sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, atau agama. Mengingat harmoni adalah kesatuan yang bertumpu pada relasi dan interaksi.
Harmoni semesta kehidupan sebagaimana jalinan tri hita karana memang bertumpu pada relasi selaras dan interaksi serasi antara manusia dengan sesama, alam, serta Tuhan. Betapa pentingnya membangun kebersamaan melalui jalinan yang seimbang dengan alam, yang adil dengan sesama, dan yang arif dengan Tuhan. Jalinan ini melahirkan kebenaran alam, kebaikan moral, dan keindahan spiritual sebagai tuntunan untuk membangun kondisi lingkungan, situasi sosial, serta suasana budaya yang aman dan nyaman. Dengan demikian, kehidupan menjadi harmoni dan produktif, baik bagi individu maupun masyarakat. Apabila keamanan dan kenyamanan yang menjadi landasan harmoni, maka tri hita karana dapat menjadi petunjuk untuk mencari harmoni di tepi pandemi.
Harmoni Palemahan
Harmoni merupakan kesatuan dari beranekaragam elemen dan/atau komponen yang membentuk entitas, suatu keberadaan berdasarkan hubungan fungsional. Hubungan ini pula yang menyusun dan membentuk palemahan – yang terbentuk dari unsur panca mahabhuta –lingkungan alam, tempat manusia melangsungkan kehidupannya. Dalam lingkungan inilah virus Corona mula-mula berjangkit dan menyebar serempak melintasi wilayah geografis di seluruh dunia. Pengaruhnya bukan hanya terhadap lingkungan alam, melainkan keseluruhan tatanan kehidupan, seperti lingkungan sosial dan lingkungan budaya. Dua lingkungan yang disebut terakhir, selanjutnya memberikan inspirasi untuk menjaga ketahanan dan kelestarian lingkungan alam. Ibarat kebiasaan mandi yang mencerminkan pengetahuan dan pengalaman, sekaligus pengertian dan pemahaman tentang kebersihan badan.
Selain mencegah penularan penyakit, juga secara psikologis kebersihan badan dapat mendukung kesehatan mental. Bayangkanlah suasana perasaan sebelum dan sesudah mandi! Suasana hati membangkitkan keinginan untuk menjaga kebersihan lingkungan menuju hidup seimbang dengan alam. Keseimbangan badan dan alam merupakan pusat kekuatan untuk membangun relasi dan interaksi yang produktif bagi terwujudnya harmoni palemahan. Lima unsur pembentuk badan dan alam (panca mahabhuta) tidak berada pada tegangan alamiah, antara rta dan dharma, tetapi berlangsung dalam kerja sama yang selaras dan serasi untuk mendukung fungsi masing-masing. Barangkali, inilah relevansi mencuci tangan dan mandi setelah bepergian karena selain meminimalisasi risiko penularan juga efektif membangun kenyamanan hati.
Begitulah kekuatan badan mendukung kesehatan mental dan menjadi landasan utama bagi keselamatan jiwa. Bermula dari kemurnian alam, kemudian menuju ketahanan serta kelestarian lingkungan, yang menjadi lahan subur bagi mekar berseminya nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Dalam pola ini menjaga jarak fisik dan sosial berarti saling menghargai dan menghormati kehadiran masing-masing di tengah-tengah dunia kehidupan yang sedang diteror pandemi. Oleh karena itu, menjaga jarak fisik dan sosial sama saja dengan menjaga diri sendiri dan orang lain agar terhindar dari pandemi sehingga tetap kuat dan sehat. ‘Saling menjaga’, bukan hanya muncul dari gerak naluri belaka, melainkan juga muncul dari gerak nurani, bahkan intuisi.
Harmoni Parhyangan
Mengasah nurani agar semakin tajam dan peka terhadap kondisi alam, situasi sosial, sekaligus suasana budaya menjadi tanggung jawab agama. Mengingat agama merupakan inti kebudayaan yang menyediakan tata nilai susila dalam kehidupan bersama. Selain itu, agama sebagai pelembagaan religiusitas juga bertanggung jawab atas pengembangan intuisi melalui kitab suci berupa dogma dan doktrin ketuhanan, tattwa. Tattwa sebagai pengetahuan tentang Sanghyang Widhi menyediakan aturan dan prosedur menghubungkan serta mengikatkan diri kepadaNya, acara. Intensitas hubungan dengan Sanghyang Widhi inilah parhyangan, yakni kesadaran akan kerinduan pada Sang Pencipta, asal mula segalanya. Kesadaran mengenai keterbatasan memekarkan sraddha—bhakti, serta kesediaan mengandalkan diri kepada Yang Tidak Terbatas.
Kepercayaan dan keyakinan pada Kemahakuasaan Sanghyang Widhi menyebabkan umat Hindu mengandalkanNya dalam memecahkan masalah kehidupan, termasuk pandemi yang sedang berlangsung. Umat Hindu mematuhi imbauan dan menaati instruksi lembaga agama untuk melaksanakan bhuta yadnya di tingkat keluarga, banjar, dan desa pakraman. Misalnya dengan mempersembahkan segehan nasi wong-wongan dan nyejerang daksina di sanggah, merajan, atau kahyangan tiga. Persembahan ini menjadi satu bentuk sarana untuk berhubungan dan mengikatkan diri kembali dengan Tuhan. Kesungguhan persembahan dan kesuntukan pemujaan, selanjutnya menginspirasi perluasan makna yadnya sesuai dengan manifestasi Sanghyang Widhi. Artinya, yadnya menyatukan antara pemuja dan dewa pujaan (isthadewata), karena itu yadnya yang mewujudkan harmoni parhyangan.
Kesatuan panca yadnya, senyatanya mengharmoniskan manusia dengan Sanghyang Widhi (dewa yadnya), leluhur (pitra yadnya), guru (rsi yadnya), alam (bhuta yadnya), dan sesama manusia (manusa yadnya). Artinya, harmoni parhyangan mencakup kesatuan kelima ikatan tersebut. Apabila diyakini bahwa kelima ikatan ini membentuk kepribadian dan jati diri umat Hindu, maka menghargai, memuliakan, dan melaksanakan panca yadnya menjadi kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban mensyaratkan disiplin diri dan tanggung jawab sebagai komitmen moral sekaligus penegakan harga diri yang sejalan dengan prinsip susila dalam tata krama kehidupan. Dengan demikian, akan muncul rasa malu dan bersalah apabila melanggar protokol kesehatan, karena ini juga dapat mengguncang harmoni parhyangan.
Harmoni Pawongan
Pada gilirannya, manusia menjadi sentral dari seluruh tata hubungan yang mengarah pada terciptanya harmoni kehidupan. Mengingat manusia dibekali keutamaan berupa manah atau pikiran yang meniscayakannya untuk memilih serta menentukan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan (dharma). Hal ini ditegaskan dalam Sarasamuccaya 2 bahwa satu keutamaan manusia adalah mampu membedakan baik dan buruk, sekaligus melebur segala keburukan menjadi kebaikan. Dengan kemampuan ini, manusia memiliki keleluasaan untuk menata hubungan dengan alam-lingkungan yang membangun kebudayaan, dengan sesama yang membentuk dunia sosial, dan dengan Tuhan yang melahirkan tata keagamaan. Pendek kata, harmoni kehidupan tergantung pada kemampuan manusia memadukan prinsip dharma dan rta dalam ketiga hubungan tersebut.
Demikian pula dengan harmoni di tepi pandemi ini sangat tergantung pada kesadaran manusia dalam menata hubungannya dengan alam-lingkungan, sesama, dan Tuhan. Prinsip dasar kesehatan Hindu pun tegas menyatakan bahwa disharmoni adalah penderitaan (dukha) yang bersumber dari Tuhan (adhidaiwika dukha), mental (adhyatmika dukha), dan pengaruh alam-lingkungan (adhibhautika dukha). Oleh karenanya, membina hubungan dengan Tuhan melalui pemujaan dan persembahan ‘nunas ica’ (namapathi upapatya), menjaga stabilitas mental melalui pengendalian indera dan pikiran (indriya yoga marga), serta melaksanakan pola hidup bersih dan sehat (usada pramana) merupakan prosedur yang ditetapkan. Ketiga protap ini niscaya meminimalisasi risiko penularan dan dampak kematian. Inilah harmoni di tepi pandemi.
(Wartam Edisi 68, Oktober 2020)