Mahardika Paripurna

 Jalan Terjal Mahardika Paripurna


I  W a y a n  S u k a r m a 

Mahardika paripurna adalah jalan kebebasan menuju cita-cita. Cita-cita hidup adalah dharma: jagadhita dan moksa. Jalan terjal mahardhika paripurna adalah medan perjuangan dharma.

Mahardika paripurna, merdeka jasmani dan rohani, merupakan “jalan kebebasan” menuju cita-cita, entah berupa hasrat, harapan, keinginan, atau ambisi. Seperti ungkapan Bung Karno, “Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menuju Indonesia yang dicita-citakan”. Hanya saja jalan mahardika paripurna tidak selalu lurus dan mulus, namun acapkali juga terjal dan berliku. Suka, duka, lara, pati selalu membayangi jalan ini sehingga dibutuhkan perjuangan tanpa henti. Misalnya, suka cita bangsa Indonesia merayakan tiga
perempat abad kemerdekaannya berubah duka akibat wabah Corona yang tidak kunjung sirna. Pandemi ini juga memaksa bangsa Indonesia untuk tidak bercita-cita terlalu tinggi sampai dengan semuanya usai dan keadaan telah normal kembali.

Pandemi menjadi contoh nyata betapa terjalnya jalan mahardika paripurna bangsa Indonesia. Tanggung jawab negara untuk melindungi keselamatan warganya dari risiko tertular wabah dan menghindari jatuhnya korban nyawa harus dihadapkan pada tanggung jawab lain untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Situasi dilematis ini, suka tidak suka harus dihadapi dengan segala konsekuensinya. Pembatasan fisik dan sosial, hingga tatanan normal baru pun diterapkan. Dampak kebijakan ini tidak saja mengurangi dan memasung kebebasan masyarakat, tetapi juga telah menghambat kehidupan politik, pertumbuhan ekonomi, perkembangan kebudayaan, bahkan kebebasan keagamaan. Jalan terjal mahardika paripurna memang menawarkan aneka dilema dan paradoks kehidupan sehingga diperlukan perjuangan, bahkan pengorbanan untuk mewujudkannya.

Mahardika Paripurna: Jagadhita dan Moksa

Salah satu keunggulan manusia dibandingkan makhluk lain adalah memiliki cita-cita dalam hidupnya. Cita-cita, baik berwujud hasrat, harapan, keinginan, maupun ambisi menjangkau segala hal, bahkan yang tampaknya mustahil akan terwujud. Manusia yang menyadari dan konsisten dengan cita-citanya akan mengarahkan seluruh tindakan serta perilakunya untuk menggapai cita-cita tersebut. Cita-cita hidup adalah dharma karena ia mengarahkan dan menggerakkan tindakan manusia dalam kehidupannya. Hanya kualitas kesadaran dan cara seseorang dalam mewujudkan cita-citanya yang membedakan antara dharma dan yang bukan dharma ‘a-dharma’. Meraih cita-cita dengan didasari kesadaran moral dan dilakukan dengan cara yang benar dikatagorikan dharma, dan sebaliknya yang bertentangan dengan nilai-nilai keutamaan disebut adharma.

Cita-cita membutuhkan jalan dan sarana untuk mewujudkannya. Jalan dan sarana ini juga bagian dari dharma karena seluruh tindakan menuju cita-cita harus dikendalikan oleh dharma. Mahardika paripurna merupakan jalan dan sarana ‘jembatan emas’ untuk
mewujudkan cita-cita Indonesia. Jalan ini menghendaki kemerdekaan jasmani dan rohani sebagai jembatan meraih cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Dharma dalam jalan mahardika paripurna adalah jagadhita dan moksa. Oleh sebab itu, mewujudkan jagadhita dan moksa berlandaskan dharma menjadi kewajiban seluruh umat manusia. Jagadhita menyediakan sarana dan moksa menentukan jalan menuju cita-cita supaya terhindar dari adharma. Jadi, jagadhita dan moksa adalah jalan mahardika paripurna yang didasari dan digerakkan oleh dharma.

Jagadhita mencakup seluruh aspek kemerdekaan jasmani yang esensinya adalah bebas dari belenggu kebutuhan dan keinginan. Kondisi ini dapat dicapai ketika manusia mampu memenuhi atau mengendalikan kebutuhan serta keinginannya. Oleh karena itu, jagadhita mencakup kemakmuran sekaligus kesejahteraan. Kemakmuran mensyaratkan kelimpahan materi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang cenderung bertambah dari waktu ke waktu. Sebaliknya, kesejahteraan mensyaratkan pengendalian terhadap kebutuhan dan keinginan sehingga tidak selalu memerlukan kelimpahan materi untuk mencukupinya. Kemakmuran lebih berdimensi material dan identik dengan kekayaan, sedangkan kesejahteraan berdimensi mental. Sementara itu, moksa adalah kemerdekaan rohani yang dicapai melalui realisasi diri dalam kebenaran, kesucian, dan kebahagiaan sehingga melahirkan manusia paripurna.

Jalan Terjal Mahardika Paripurna: Bharatayudha atau Catur Marga 

Mewujudkan jagadhita dan moksa berlandaskan dharma sebagai jalan mahardika paripurna memang bukan perkara mudah. Mahabharata menggambarkan bahwa manusia hanyalah kumpulan hasrat, harapan, keinginan, dan ambisi. Hasrat dan ambisi Korawa menduduki tahta Hastinapura harus berhadapan dengan keinginan serta harapan Pandawa untuk membangun kesejahteraan masyarakat Hastinapura. Ambisi balas dendam Drupadi pada para Korawa yang telah mempermalukannya berjumpa dengan hasrat para Pandawa untuk menegakkan moral masyarakat. Pada gilirannya, merebut kekuasaan Hastinapura dipandang sebagai jalan satu-satunya untuk mewujudkan hasrat masing-masing sehingga Bharatayudha tidak terhindarkan. Artinya, hasrat, harapan, keinginan, serta ambisi yang terakumulasi menjadi kepentingan politik dan kekuasaan berpotensi menggagalkan usaha dalam mewujudkan mahardika paripurna.

Gambaran Bharatayudha seolah-olah merefleksikan situasi bangsa Indonesia saat ini. Demi ambisi kekuasaan banyak politikus yang rela mengorbankan persatuan bangsa, misalnya praktik politik identitas yang memanfaatkan sentimen etnis dan agama. Suasana pascapemilu nyaris selalu diwarnai dengan terbelahnya masyarakat pada kubu-kubu yang secara nyata berseberangan. Kritik terhadap pemerintahan yang sah acap kali diutarakan dengan ujaran kebencian dan produksi hoax. Situasi ini mengingatkan pada pidato Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Perpecahan ini menegaskan terjalnya jalan mahardika paripurna karena kekuatan terbesar bangsa Indonesia yang berbhinneka justru terdapat pada persatuan dan kesatuannya.

Jalan Bharatayudha mensyaratkan pentingnya dominasi negara dalam mengatasi berbagai tantangan, ancaman, gangguan, dan ancaman yang menghalangi terwujudnya mahardika paripurna. Kendatipun jalan ini niscaya diterapkan, tetapi penggunaan hard power akan melahirkan resistensi yang lebih besar dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, Hindu mengajarkan jalan lain yang memberikan kebebasan lebih besar kepada setiap individu dan/atau kelompok untuk mengaktualisasikan dirinya, yakni catur marga yoga. Setiap jalan (marga) mempunyai sistem ajaran, disiplin, dan tujuan masing-masing yang diyakini sebagai kebenaran. Jalan ini mengapresiasi seluas-luasnya perbedaan keyakinan
tanpa menyatakan yang satu lebih benar daripada yang lain. Keberhasilan dan kegagalan pada setiap jalan tergantung pada disiplin pemeluknya.

Baik jalan bharatayudha maupun catur marga yoga, keduanya merupakan jalan terjal mahardika paripurna dengan potensi keberhasilan dan kegagalan yang sama besar. Walaupun demikian, Hindu meyakini bahwa setiap pilihan yang dilandasi dharma akan diarahkan oleh dharma menuju tujuannya. Dharma dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hukum sehingga penegakan hukum menjadi kunci keberhasilannya. Memilih jalan bratayudha dengan menindak setiap kelompok yang hendak merongrong kedaulatan negara berdasarkan hukum yang berlaku adalah perintah dharma. Begitu pula dengan jalan catur marga yoga. Negara harus menjamin dan melindungi kebebasan tiap kelompok untuk mengekspresikan diri sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ini juga perintah dharma.

Jalan terjal mahardika paripurna menggambarkan masih banyaknya hambatan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Ambisi kekuasaan yang membenarkan segala cara untuk merebutnya, melemahnya semangat persatuan dan kesatuan, ketimpangan dan kesejangan ekonomi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta berbagai hambatan eksternal seperti bencana alam dan pademi, memberikan andil yang sama besar terhadap sengkarutnya bangsa Indonesia sehingga sulit mewujudkan mahardika paripurna. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus terus berjuang karena kemerdekaan hanya dapat diraih dengan perjuangan. Berjuang dalam tindakan nyata adalah kerja (karma) berlandaskan catur purusa artha. Karma memerlukan dharma, artha, dan kama untuk mencapai moksa (kemerdekaan fisik, mental, psikis, dan moral).

(Wartam, Edisi 66, Agustus 2020) 

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...