Restorasi Bali

Pandemi: Restorasi Bali?

I  W a y a n  S u k a r m a

Pandemi menyadarkan betapa rapuhnya fondasi Bali. Distorsi dan deformasi terjadi pada seluruh lini kehidupan masyarakat Bali, bahkan ekonomi nyaris mati suri. Saat pandemi belum usai, ‘new normal’ dihadirkan sebagai upaya mengendalikan situasi. Inilah momentum restorasi Bali. Pemulihan kondisi dan penguatan fondasi adalah esensi restorasi Bali menuju Bali Sutrepti.

Pandemi Covid-19 berpengaruh serius terhadap tatanan kehidupan global. Kebijakan pembatasan fisik dan sosial yang diterapkan oleh hampir semua negara telah mengubah pola pergaulan masyarakat dunia. Pembatasan perjalanan misalnya, memaksa banyak maskapai mengurangi jumlah penerbangan, baik domestik maupun internasional yang mengakibatkan pelambatan arus perpindahan orang dan barang. Defisit keuangan yang dilaporkan sejumlah negara mengisyaratkan bahwa pandemi mengakibatkan kelesuan ekonomi global. Implikasi yang lebih luas juga terjadi pada bidang sosial, politik, kebudayaan, dan bahkan keagamaan. Selain aktivitas virtual, nyaris tidak ditemukan aktivitas produktif lain yang dapat dilakukan masyarakat selama pandemi berlangsung. Tegasnya, pandemi telah mengguncang kehidupan karena berbagai aktivitas berlangsung tidak normal. 

Memburuknya situasi mendorong pemerintah menerapkan new normal, ‘pola hidup baru’ sebagai jalan tengah antara ekonomi dan kesehatan. New normal memberikan peluang kepada masyarakat untuk beraktivitas seperti semula dengan mematuhi protokol kesehatan tertentu. Kebijakan ini menemukan urgensinya dalam kondisi ketidakpastian kapan masa pandemi akan berakhir. Padahal, kehidupan masyarakat mesti dan harus terus berlangsung. Memutus rantai pandemi dengan mengabaikan kelangsungan hidup masyarakat tentu bukan pilihan yang bijak, walaupun penerapan new normal memperbesar risiko penyebaran wabah. 

Suka tidak suka, situasi dilematis ini harus dihadapi dengan segala konsekuensinya, sembari berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan sehingga rantai penyebarannya dapat diminimalisasi, bahkan dihentikan. 
Pemberlakuan new normal memberikan secercah harapan bagi Bali khususnya sektor pariwisata yang nyaris lumpuh total akibat pandemi. Lumpuhnya pariwisata telah berimbas terhadap sektor-sektor ekonomi produktif lainnya karena selain menjadi penggerak utama  perekonomian Bali, juga industri pariwisata memang berkarakter multiplier effect. Faktanya,  lumpuhnya pariwisata tidak hanya dirasakan oleh orang Bali yang bekerja di sektor tersebut, tetapi perekonomian Bali secara makro. Ketergantungan yang terlampau kuat kepada sektor pariwisata dan peminggiran sektor agraris sekaligus mengisyaratkan rapuhnya fondasi sosial ekonomi masyarakat Bali. Oleh karena itu, restorasi Bali bukan sekadar pemulihan kondisi, melainkan penguatan fondasi kehidupan masyarakat Bali sehingga memiliki ketahanan yang mumpuni menghadapi perubahan.

Menemukan Tatanan Bali  
Restorasi berarti mengembalikan ke posisi semula atau memulihkan kondisi seperti sedia kala. Dalam konteks restorasi Bali, pengertian ini mengisyaratkan pentingnya mencari dan menemukan posisi asal Bali karena di posisi inilah Bali akan dibangun kembali. Hal ini memantik satu pertanyaan, “Bali yang mana?”, yang disusul dengan pertanyaan berikutnya, “Apakah Bali yang telah karut marut sebelum pandemi ataukah Bali yang lain?”. Diperlukan ribuan eksemplar pemikiran untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini karena tatanan Bali dibangun dalam diskursus tradisi dan sejarah yang panjang. Diskursus ini penting untuk ditelusuri jejaknya dan direfleksikan secara mendalam untuk menyiapkan berbagai piranti restorasi Bali menyongsong era baru pascapandemi. 

Masyarakat Bali membangun tatanan kehidupan yang mapan dalam kultur agraris, ditandai dengan dominannya karakter religius, ekspresif, komunal, dan mencintai alam serta lingkungannya. Dalam kultur agraris Bali ini, masyarakat Bali mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, menata religiusitasnya, mengkreasi keseniannya, membangun hubungan dan tata krama sosialnya, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk mencapai kebahagiaan hidup. Perpaduan antara agama Hindu dan kearifan leluhur melahirkan sistem nilai yang merajut sendi-sendi kehidupan masyarakat hingga membangun kebudayaan Bali yang kokoh. Kebudayaan Bali dengan kultur agrarisnya juga berhasil mengembangkan sikap selektif terhadap masuknya budaya luar sehingga masyarakat Bali mengadaptasi perubahan tanpa harus kehilangan identitas dan jati dirinya.  

Gelombang besar modernisasi yang beriringan dengan kelahiran industri pariwisata Bali pada awal abad ke-20, pun mulai menggoyahkan kultur agraris. Pencapaian pariwisata dalam menggerakkan perekonomian muncul menjadi kekuatan hegemonik yang menentukan pola pikir dan orientasi hidup masyarakat Bali. Ketika pariwisata booming sekitar 1990-an, mayoritas orang Bali tergerak untuk bekerja pada sektor tersebut sehingga sektor-sektor lain pun ditinggalkan. Implikasinya bahwa ikatan masyarakat Bali dengan kultur agraris semakin melemah, misalnya lahan pertanian yang semula diyakini menjadi sthana Bhatari Sri mulai dipandang sebagai komoditas yang siap dialihfungsikan. Di tengah hingar bingarnya industri pariwisata, jejak kultur agraris Bali hanya ditemukan dalam artefak, adat, dan keagamaan. 

Perubahan tersebut menunjukkan kegagalan transformasi masyarakat Bali dari kultur agraris ke industri. Transformasi sosiokultural dinyatakan berhasil apabila mampu merajut berbagai nilai sehingga melahirkan kultur baru dengan implikasi psikis yang menyenangkan.  Dalam kultur agraris, ekonomi dan kebudayaan berada pada posisi yang saling mendukung misalnya, ritual agraris menjadi upaya meningkatkan hasil produksi pertanian. Sebaliknya, kebudayaan dan ekonomi pada masyarakat industri justru berposisi paradoks sehingga usaha  mendorong pertumbuhan ekonomi kerap kali menimbulkan distorsi, degradasi, demoralisasi, bahkan pelecehan kultural. Situasi paradoks inilah yang dihadapi masyarakat Bali sebelum pandemi, ketika tuntutan mempertahankan budaya dan keagamaan harus berhadapan dengan  tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus gaya hidup.   

Pandemi: Refleksi dan Restorasi Bali
Pandemi sepatutnya menyadarkan orang Bali betapa melemahnya kultur agraris telah merapuhkan fondasi kehidupannya. Sederhananya, andai pertanian masih menjadi kekuatan utama ekonomi Bali, mungkin dampak pandemi ini tidak akan dirasakan separah ini. Paling tidak, ketersediaan bahan pokok dapat dipenuhi sendiri tanpa harus menungggu pasokan dari luar. Perputaran ekonomi juga niscaya tetap berlanjut ketika masyarakat Bali tidak memiliki ketergantungan yang kuat pada sektor pariwisata. Hal ini mengisyaratkan pentingnya menata kembali sektor agraris yang mulai ditinggalkan setelah industrialisasi pariwisata berlangsung dan sektor-sektor potensial lainnya yang belum tergarap secara optimal. Restorasi Bali dapat dimulai dengan menata kembali sektor ekonomi untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat.  

Dalam rangka restorasi kebudayaan Bali secara menyeluruh, pandemi merefleksikan bahwa sesungguhnya kultur agraris masih kuat tertaman dalam diri masyarakat Bali. Hal ini dapat dilihat dari cara orang Bali menyikapi situasi pandemi yang selain mengikuti protokol kesehatan, juga tetap mengupayakan solusi niskala, misalnya dengan melaksanakan upacara panebusan lara malaradan. Upaya ini menguatkan kepercayaan orang Bali bahwa ketika masalah kehidupan tidak dapat diselesaikan secara sakala (rasional-empiris), maka orang Bali akan mencari solusinya dengan menggali referensi niskala (suprarasional-nonempiris). Artinya, orang Bali mempercayai kehidupan merupakan jalinan harmonis antara palemahan, pawongan, dan parhyangan. Kepercayaan ini sekiranya relevan menjadi landasan restorasi kebudayaan Bali pascapandemi secara komprehensif.

Pada ranah palemahan, restorasi Bali mesti diarahkan untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan produktif dan sumber daya alam lainnya sebagai kekuatan dalam membangun fondasi sosioekonomi Bali. Setidak-tidaknya, pemerintah daerah harus mengambil langkah tegas untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali belakangan ini. Pada ranah pawongan, pembangunan sumber daya manusia harus menjadi skala prioritas untuk menyiapkan generasi yang menguasai teknologi terbarukan pada pelbagai bidang agar mampu mengembangkan seluruh potensi alam dan kebudayaan Bali. Terakhir, restorasi Bali pada ranah parhyangan mengisyaratkan pentingnya menata pola keberagamaan yang ramah kesehatan, ramah sosial, ramah lingkungan, sekaligus ramah ekonomi, sehingga agama tidak menjadi beban kultural masyarakat. Jalinan harmoni ketiga ranah inilah jalan utama menuju Bali Sutrepti. Swaha.  

Wartam edisi 65 Juli 2020

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...