Hindu New Normal

Hindu di tengah ‘New Normal’

I  W a y a n   S u k a r m a

New normal menjadi babak baru perang melawan pandemi. Babak ini harus dilalui sebelum ‘babak belur’ di segala lini. Beraktivitas normal kembali dengan mengikuti protokol kesehatan adalah substansi kebijakan ini. Posisi Hindu di tengah new normal penting direfleksikan kembali sebagai strategi membangun eksistensi, sekaligus menyongsong era baru yang sarat pembaruan nilai.

Pandemi Covid-19 telah menguras begitu banyak energi bangsa Indonesia sepanjang semester awal 2020. Kebijakan pemerintah dan perhatian masyarakat pun nyaris sepenuhnya tercurah untuk mengatasi pandemi ini dengan harapan kondisi segera pulih kembali. Wacana perang melawan Corona mengisi seluruh ruang publik, sekaligus penegasan bahwa Covid-19 merupakan public enemy yang harus diperangi bersama. Pembatasan jarak fisik dan sosial, penggunaan masker, penyemprotan disinfektan, penerapan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah, serta berbagai upaya kesehatan lainnya telah dilakukan. Strategi ini terbukti berhasil menekan laju penyebaran virus, walaupun jumlah orang yang terdeteksi positif masih terus bertambah. Masyarakat pun dihadapkan pada kondisi ketidakpastian dan ketakutan berlarut-larut. 

Pada sisi lain, juga penerapan kebijakan penanggulangan pandemi ini menyebabkan banyak orang kehilangan penghasilannya sehingga melumpuhkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Kebijakan new normal diwacanakan pemerintah sebagai strategi menormalisasi situasi tanpa mengabaikan usaha-usaha menanggulangi penyebaran pandemi yang dilakukan sebelumnya. Substansi new normal adalah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk beraktivitas kembali seperti biasa dengan mematuhi protokol kesehatan. Kembali ke situasi normal setelah sekian bulan menjalani aktivitas di luar normalitas tentu saja memerlukan adaptasi dan pembiasaan baru. Mengubah paradigma berpikir dan bertindak pada era new normal menjadi perintah moral sekaligus intelektual yang harus dilaksanakan. Posisi Hindu di tengah new normal pun penting direfleksikan kembali.

Berdamai dengan Musuh versi Arthasastra
Perang melawan Corona senyatanya belum berakhir, setidak-tidaknya hingga vaksin dan obatnya ditemukan. Penambahan kasus baru pada sejumlah daerah menunjukkan bahwa ‘musuh’ masih terlalu kuat untuk ditaklukkan. Pada sisi yang berbeda, juga musuh yang lain berupa kelumpuhan ekonomi masyarakat tengah menebarkan ancaman baru. Artinya, bangsa ini sedang berhadapan dengan dua musuh sekaligus yang sama-sama memberikan ancaman besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Menghadapi dua musuh sekaligus tentu menjadi dilema besar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik. Pemerintah pun akhirnya memilih kebijakan new normal yang dibalut dengan narasi ‘berdamai dengan Corona’ untuk mengatasi persoalan ini. Apakah ini berarti menyerah ataukah berdamai dengan musuh?

Kautilya Arthasastra menegaskan bahwa sasaran dan tujuan utama seluruh kebijakan pemerintah adalah kesejahteraan masyarakat (artha). Untuk mencapai itu, maka kewajiban utama pemerintah adalah menegakkan hukum (dandaniti), melindungi dari serangan musuh (raksha), memelihara ketertiban umum (palana), dan menjamin persediaan kebutuhan dasar masyarakat (yogakshema). Dalam konteks perang melawan Covid-19, kewajiban-kewajiban ini telah dipenuhi pemerintah, seperti mengeluarkan produk hukum (dandaniti), menyusun dan mensosialisasikan protokol kesehatan (raksha), mengawasi dan menertibkan kerumunan (palana), bantuan langsung kepada keluarga miskin serta new normal yang meniscayakan masyarakat beraktivitas kembali dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (yogaksema). Hanya saja, lemahnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum tetap menjadi kendalanya.

New normal sebagai kebijakan anyar pemerintah tersirat hendak mengakumulasikan keempat fungsi negara di atas. Keputusan pemerintah memilih kebijakan berdamai dengan musuh, baik Covid-19 maupun kelumpuhan ekonomi patut diapresiasi. Berkaitan dengan itu, strategi perang Arthasastra juga menegaskan pentingnya mengukur kekuatan musuh dan kekuatan sendiri untuk menentukan strategi selanjutnya. Manakala strategi penjarakan fisik dan sosial terbukti tidak sepenuhnya efektif mengurangi jumlah kasus penularan, sebaliknya malah menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan, maka diperlukan strategi baru untuk mengatasi keduanya. New normal mengisyaratkan strategi ‘asana’ dalam Arthasastra bahwa ketika negara berhadapan dengan dua atau lebih musuh yang mempunyai daya hancur sama, maka netral adalah strategi terbaik.
Secara substantif, new normal mengisyaratkan pemosisian diri secara netral terhadap dua musuh yang mengancam, yakni Covid-19 dan ekonomi. New normal meniscayakan setiap individu beraktivitas secara nomal seolah-olah tiada musuh yang tengah mengancam. Sementara itu, melaksanakan akivitas dengan tetap mematuhi protokol kesehatan merupakan satu bentuk kewaspadaan. Sikap waspada menggambarkan posisi netral terhadap musuh dari luar karena lebih mengutamakan memerangi musuh dalam diri. Sepanjang individu mampu mengendalikan diri untuk tidak memancing datangnya serangan musuh dari luar, maka ia akan terbebas dari ancaman. Beraktivitas seperti biasa adalah cara terbaik menghindar dari ancaman ekonomi, sebaliknya mematuhi protokol kesehatan merupakan cara menghindar dari ancaman Covid-19.

Normalitas Baru Hindu
New normal sebagai strategi perang melawan pandemi Covid-19 patut diapresiasi karena sejalan dengan prinsip Kautilya Arthasastra. Artinya, umat Hindu harus mendukung kebijakan tersebut dan mulai menjadikannya sebagai pola aktivitas baru. Secara umum, new normal diterapkan dengan membuka sebagian pembatasan fisik dan sosial yang dilakukan sebelumnya termasuk pada ranah keagamaan. Apabila imbauan sebelumnya melarang umat beribadah di tempat suci secara kolektif, maka new normal memberikan kesempatan untuk melakukan itu kembali. Hal ini tentu memberikan angin segar bagi umat Hindu, khususnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Mengingat hampir seluruh ritual keagamaan Hindu dilaksanakan kolektif sebagai konsekuensi logis dari kompleksitas sistem ritual itu sendiri.
Pelaksanaan upacara keagamaan Hindu paling tidak harus melibatkan tiga komponen utama yang disebut tri manggalaning yadnya, yakni sang wiku (sulinggih atau pamangku, sesuai tingkatan upacara), sang tapini (sarathi banten), dan sang adruwe karya atau umat yang melaksanakan upacara. Di luar itu, juga elemen pendukung seperti gambelan, dharma gita, dan tarian sakral menjadi elemen pendukung sistem ritual. Sistem ritual semacam ini tentu membutuhkan partisipasi banyak aktor di dalamnya. Akan tetapi, new normal dengan protokol kesehatan yang harus dipenuhi tentunya memberikana batasan yang harus dipenuhi. Tegasnya, walaupun kran beribadah kolektif di tempat suci dibuka, tetapi umat Hindu harus siap dengan normalitas baru. 

Normalitas baru selalu dilandasi refleksivitas terhadap kondisi anomali yang terjadi sebelumnya. Secara sederhana, anomali adalah penyimpangan normalitas lama dalam ruang, waktu, dan tindakan kekinian. Puncak anomali adalah krisis, yakni ketika paradigma lama dipandang sudah tidak bisa diterapkan sama sekali dalam situasu baru. Anomali dan krisis memancing munculnya pola-pola baru yang diperkenalkan oleh aktor-aktor, baik intelektual tradisional maupun organik. Dalam konteks pandemi, anomali keagamaan telah dimulai saat pemerintah membatasi pelaksanaaan ibadah kolektif di tempat suci dan lebih menganjurkan beribadah di rumah. Imbauan pemerintah ini juga didukung oleh aktor intelektual lainnya, misalnya Parisada dan desa adat sehingga normalitas baru beragama menjadi keniscayaan.

Kehadiran normalitas baru Hindu tentu akan dihadapkan pada konservatisme tradisi sehingga meniscayakan munculnya penerimaan, penolakan, ataupun dialog. Di sinilah posisi intelektual dan moral menjadi penentu berhasil tidaknya transformasi normalitas baru dalam kehidupan religius umat Hindu. Pertimbangan intelektual yang bertumpu pada nalar semata cenderung akan lebih mudah menerima perubahan tersebut, tetapi moral yang berpijak pada kreativitas budi dan rasa agama membuka ruang dialog yang lebih luas. Hal ini merupakan mekanisme kultural yang wajar sehingga ketergesaan menerima ataupun menolak normalitas baru bukanlah sikap yang bijak. Perubahan selalu hadir dengan membawa nalarnya sendiri, sebaliknya nalar masyarakat menentukan keberterimaannya. Hanya ketika nalar perubahan dan masyarakat mengalami perjumpaan, maka normalitas baru akan melahirkan konsekuensi psikis yang menyenangkan.

(Wartam, Edisi 64, Juni 2020)

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...