Sekolah Rumah

PLUS MINUS “SEKOLAH RUMAH”
I Wayan  Sukarma

‘Sekolah rumah’ dipilih pemerintah sebagai solusi hadapi wabah.
Konsekuensi pilihan ini tentu tidak mudah.
Plus-minus ‘sekolah rumah’ pun layak dibedah.
Bukan racauan meradang, melainkan gumaman menimbang.

Perubahan itu abadi. Sebagian berubah secara natural, sebagian direncanakan, tetapi sebagian lainnya tidak terprediksikan. Apapun itu, semuanya mengarah pada satu simpulan bahwa perubahan tidak terhindarkan dalam kehidupan. Itulah kekuatan Sang Waktu. Ia menggerakkan cakra kehidupan yang tidak mungkin dilawan oleh siapa pun dan kuasa apa pun. Manusia hanya dibekali pikiran dan budi untuk beradaptasi dengan perubahan yang memampukannya tetap eksis dalam perputaran roda kehidupan. Maka dari itu, mengoptimalkan kemampuan pikiran dan budi menjadi perintah kemanusiaan yang harus dijalankan setiap manusia. Di sinilah pendidikan memiliki fungsi dan peran penting bagi pemuliaan kemanusiaan, yakni agar manusia menyadari kediriannya dan bermanfaat bagi semesta. 

Usaha pemuliaan kemanusiaan telah melahirkan gagasan besar pendidikan pada seluruh peradaban manusia di pelbagai dunia. Agama sebagai spirit peradaban pun turut menyumbangkan gagasan mengenai dasar, proses, dan tujuan pendidikan sebagai suatu sistem. Hindu membangun sistem pendidikannya dengan menempatkan empat institusi yang disebut catur guru. Alam semesta yang terbentang adalah guru, begitu pula negara dan seluruh aturan masyarakat, sekolah, serta keluarga. Tegasnya, seluruh lingkungan alam dan sosial adalah ruang pendidikan sehingga manusia sesungguhnya dapat belajar di mana saja. Kendati demikian, setiap ruang memiliki dharma (sistem) masing-masing dan perubahan sistem memerlukan proses adaptasi yang acapkali melahirkan persoalan, terutama bagi yang lamban berubah.

Sistem ‘sekolah rumah’ yang diterapkan guna merespons pandemi Corona, juga menawarkan tantangan baru bagi dunia pendidikan. Kehadirannya tidak direncanakan, tiba-tiba, bahkan menjadi pilihan satu-satunya sehingga efektivitasnya pun tidak pernah dikalkulasikan sebelumnya. Oleh karenanya, menalar kelebihan ataupun kekurangan sekolah rumah tetap penting dilakukan, meskipun tidak akan mengubah kebijakan yang ditetapkan. Setidak-tidaknya, analisis kelebihan dan kekurangan sekolah rumah dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Malahan tidak tertutup kemungkinan dapat dijadikan alternatif model pembelajaran ke depan, terutama dalam konteks e-learning yang mulai santer digaungkan para ahli pendidikan. Antisipasi masa depan berdasarkan refleksivitas masa kini merupakan langkah bijak untuk menyiapkan diri menyongsong perubahan.

‘Sekolah Mekanis’
Pendidikan lahir dari peradaban, sebaliknya perkembangan peradaban didorong oleh kemajuan pendidikan. Faktanya, setiap peradaban selalu menunjukkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa, sekaligus mengisyaratkan keberhasilan pendidikannya. Demikian pula dengan peradaban modern yang mengglobal tidak lepas dari keberhasilan Dunia Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada gilirannya, kemajuan yang dicapai Barat dalam bidang pendidikan mennjadi pusat orientasi dalam pembangunan pendidikan hampir di semua negara, termasuk Indonesia. Berbagai institusi pendidikan modern dibangun untuk mengejar kemajuan yang dicapai Dunia Barat. Kendati pada saat bersamaan juga pendidikan menjadi saluran penyebaran ide-ide modernitas sehingga keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. 

Sekolah sebagai institusi pendidikan modern pada gilirannya membentuk sikap dan karakter anak didik yang lebih adaptif dengan kultur modern – Barat. Mimesis gaya hidup, sikap individual, renggangnya kohesi sosial, dan ketergantungan pada teknologi informasi mendominasi kehidupan para pelajar masa kini. Kultur tradisional yang sarat nilai moral dan spiritual pun mulai melemah pengaruhnya. Begitu pula dengan ikatan antara guru dan murid cenderung dilandasi hubungan instrumental sehingga guru lebih banyak berperan sebagai pentransfer pengetahuan ketimbang figur pendidik. Ruang dan waktu di sekolah hampir seluruhnya dikonstruksi hanya sebagai instrumen pencapaian pembelajaran yang terukur dan terencana. Akhirnya, sekolah tidak lagi menjadi ruang interaksi yang menyenangkan.

Pendidikan di sekolah yang cenderung mekanis membentuk pola aktivitas siswa yang monoton, bahkan kerapkali menimbulkan kebosanan bagi sebagian siwa. Dalam hal ini, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran menjadi satu faktor penentu senang atau tidaknya siswa pergi ke sekolah. Kegembiraan siswa saat hari libur laksana pekik kemerdekaan karena telah terbebas dari penjara pendidikan bernama sekolah. Hal ini juga menjadi sasaran kritik Paulo Freire – ahli pendidikan asal Brazil – terhadap dunia pendidikan ‘gaya bank’ yang memosisikan peserta didi sebagai objek, bukannya sebagai subjek. Kepatuhan terhadap disiplin sekolah dan guru dilihatnya hanya sebagai bentuk lain penindasan pendidikan yang membunuh daya nalar dan kreativitas siswa.

Berangkat dari kritik tersebut, Freire berusaha mengembangkan pola pendidikan alternatif “hadap-masalah” yang bertujuan membangun kesadaran kritis transitif siswa. Kesadaran ini ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah, percaya diri dalam berdiskusi, serta mampu menerima dan menolak sebuah gagasan dalam perbincangan yang dialogis. Pada tahapan ini orang mampu berefleksi dan memandang relasi sebab akibat. Kritik ini mengingatkan pada pola pendidikan Upanisad, di mana pembelajaran dibangun secara dialogis tanpa harus kehilangan esensi hubungan guru-sisya. Mengacu pada kritik Freire dan sistem pendidikan Upanisad dapat dipahami bahwa pendidikan yang membebaskan niscaya terwujud ketika ikatan guru murid bukan dibangun di atas prinsip mekanis-instrumental, melainkan hubungan intersubjektif dialogis.   
     
‘Sekolah ‘Rumah’
Penerapan ‘belajar di rumah’ seiring pandemi Covid-19 seakan-akan memberi angin segar kepada siswa untuk sejenak keluar dari kerangkeng baja ‘sekolah mekanis’. Sekolah rumah memberikan kebebasan yang lebih besar kepada siswa untuk berkreasi dan mengelola sendiri pembelajarannya. Guru, melalui materi dan penugasan berposisi sebagai stimulan agar siswa mempelajari apa yang semestinya dipelajari pada hari itu. Kelebihan dari model sekolah rumah ini, setidak-tidaknya dapat diafirmasi dari gagasan Freire bahwa penugasan guru menjadi ‘masalah’ yang dihadapi siswa dan siswa sendiri yang memiliki kebebasan untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan masalah itu, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dari bahan-bahan yang dimiliki, bahkan mengelaborasinya dengan sumber yang lain.

Baik disadari maupun tidak, pola ‘sekolah rumah’ dengan memanfaatkan media internet telah membangun kebiasaan baru siswa untuk googling ketika tidak memiliki bahan bacaan yang memadai untuk menyelesaikan tugas dari guru. Kebiasaan ini dapat berimplikasi positif bagi literasi siswa karena ia mendapatkan informasi yang lebih luas dari sekedar materi pembelajaran di sekolah. Intensitas untuk memperluas pengetahuan melalui media internet terlihat jauh lebih besar dengan ‘sekolah rumah’, dibandingkan saat hari-hari efektif sekolah. Hal ini mengingat rutinitas pembelajaran di sekolah serta pekerjaan rumah memang menguras banyak waktu, tenaga, dan pikiran siswa sehingga mereka kehabisan energi untuk menggali informasi lain untuk memperluas cakrawala pengetahuannya.

Kendati demikian, sekolah rumah juga bukan tanpa kelemahan karena model ini menggantungkan keberhasilannya pada kemampuan siswa mengelola pembelajarannya secara mandiri. Kemampuan ini tentu memerlukan kedewasaan diri, khususnya disiplin belajar. Di sinilah peran orang tua sebagai guru rupaka mendapatkan panggilan penting untuk membimbing putera-puterinya belajar. Revitalisasi peran orang tua ini sekaligus memiliki makna ganda dalam konstruk budaya modern karena dengan cara demikian, interaksi dengan anak yang cenderung renggang akibat kesibukan masing-masing dapat dirajut kembali. Apabila guru pangajian lebih berperan sebagai stimulan belajar dalam konteks sekolah rumah, maka peran guru rupaka lebih ditujukan untuk memastikan disiplin belajar siswa. Sebaliknya, anak menjadi subjek penentu pencapaian belajarnya dan di sinilah pendidikan yang membebaskan menemukan esensinya.   

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...