I W a y a n S u k a r m a
“Cara yang terbaik menghadapi bahaya wabah yang tidak dikenali dan tidak diketahui memang dengan membiarkan dan meninggalkannya. Menyingkir dari wabah dan menghindar dari bahayanya, bukan tindakan pengecut dan bodoh, melainkan usaha penyelamatan. Menyelamatkan jiwa dari bahaya serangan wabah lebih terhormat daripada mengikuti arogansi moral dan intelektual”.
Peringatan hari kesehatan sedunia bulan ini menemukan makna penting dan relevansinya serangkaian dengan usaha mengentaskan wabah Corona – virus yang berjangkit dengan cepat dan menyerang sejumlah orang di banyak negara. Berukuran super-mini, tidak kasat mata, tetapi dengan kekuatan superior Corona mencekam situasi kesehatan, sosial, dan ekonomi global. Kekhawatiran tertular rupanya, berhasil mendisiplinkan masyarakat mematuhi imbauan pemerintah. Selain menjaga kebersihan tangan dan kehangatan hidung, juga untuk mencegah penularannya dengan menjaga jarak pisik dan jarak sosial, bahkan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Stay at home, diam di rumah saja (dengan tanda pagar) menghiasi ruang-ruang media sosial sejak pertengahan bulan lalu hingga sekarang.
Prinsip imbauan itu mirip dengan spirit catur brata panyepian, saat umat Hindu merayakan hari suci Nyepi. Kemiripan ini, bahkan menginspirasi munculnya gagasan tentang sipeng eka brata desa adat se-Bali – tidak keluar rumah selama tiga hari. Artinya, pesan tradisi keagamaan yang sakral sejalan dengan saran sains modern yang profan: “Mengisolasi diri untuk memutus wabah, Covid-19”. Dalam lontar-lontar usada dibedakan antara wabah yang menjangkiti tumbuhan, hewan, dan manusia, seperti merana, gerubug, dan sasab. Dalam Wrehaspati-tattwa disebutkan wabah dapat bersumber dari mistik-magis (daiwika dukha), gangguan mental (adhyatmika dukha), dan makhluk renik (bhautika dukha). Jadi, wabah mengancam kekuatan pisik, kesehatan mental, dan keselamatan jiwa.
Tilikan Tri Murti
Manusia menurut Sankhya adalah makhluk multidimensional. Kekuatan pisiknya terbentuk dari lima unsur alam, panca mahabhuta. Kesehatan mentalnya terbentuk dari ego, pikiran, dan budi. Pada kekuatan pisik dan kesehatan mental itulah terikat dan tergantung keselamatan jiwanya, yaitu hidup yang mendukung seluruh unsur pembentuk badan dan tubuh. Kenyatannya, kekuatan badan tidak bermanfaat tanpa kesehatan mental sebaliknya, kesehatan mental tidak berguna tanpa kekuatan badan. Untuk melindungi dan menyelamatkan jiwa dari ancaman wabah, bahkan badan dan mental menyimpan ketakutan dan menyembunyikan kengerian hingga menggetarkan daya intelektual dan emosi keagamaan. Gejala kejiwaan ini mencerminkan bahwa wabah, kekuatan yang tidak tampak telah menundukkan ego, keakuan manusia.
Ketundukan yang mengimplikasikan ketakjuban atas ciptaan Dewa Brahma dan kerendahan hati menerima ciptaan itu secara arif dan adil. Sikap ini menyebabkan manusia mampu dan sanggup memahami wabah, bukan sebagai kutukan. Upacara nangluk merana dan ngaben bikul misalnya, bentuk kerendahan hati yang dengan ikhlas menerima akibat dari wabah dan tulus berkurban demi harmoni kehidupan, seperti tujuan Dewa Wisnu menjaga dan memelihara segala ciptaan. Begitulah yadnya melandasi dan menyangga ‘Kehidupan’, yakni ladang-subur menyemai hasrat dan keinginan, kama. Kemudian, sikap arif-adil menguatkan kesadaran bahwa wabah dari Dewa Rudra – sisi berang dari kasih, kepribadian Dewa Siwa – tidak membiarkan seluruh kama tumbuh utuh dan sepenuhnya.
Kerja sama Tri Murti, tiga dewa manisfestasi Sanghyang Widhi itulah maha ketertiban dan maha keteraturan: keharmonisan semesta, cosmos. Prinsipnya, peleburan berlangsung selaras dengan penciptaan dan pemeliharaan – supaya jagatraya tidak kacau, chaos. Dalam ketertiban ini peleburan bermakna penyempurnaan keharmonisan kosmos, karena itu manusia Hindu menyapa wabah dengan penuh hormat, entah dengan segehan, caru ataupun tawur. Wabah mengabarkan perubahan kondisi alam, situasi sosial, dan suasana budaya menuju tatanan dunia yang lebih harmonis. Tatanan dunia-kehidupan memang tidaklah langgeng: selalu dalam proses adaptasi. Dalam sistem budaya misalnya, berlangsung proses penciptaan, penguatan, dan pergantian nilai-nilai kehidupan untuk mendorong kemunculan tatanan kehidupan baru yang lebih sempurna.
Pandangan Sankhya-Yoga
Kehidupan menurut Sankhya dan Yoga memang proses penyempurnaan ‘diri’ (individu atau masyarakat). Proses ini mengandalkan Prinsip Rta dan Hukum Dharma yang inheren dalam kerja sama Prakerti dan Purusa. Dari kerja sama ini muncullah gejolak-abadi, seperti panas-dingin, suka-duka, lahir-mati. Selain menimbulkan musim sepanjang masa, juga gejolak-abadi itu menimbulkan pengalaman suka, duka, lara, dan pati. Pengalaman ini adalah akibat dan penyebabnya, diantaranya adalah wabah. Entah wabah dari bencana alam ataupun dari malapetaka moral. Wabah menimbulkan lara, kesusahan dan kesedihan banyak orang di banyak tempat. Lara membuat hidup menderita dan sengsara. Untuk mengatasinya, Wrehaspati-tattwa menyediakan tiga jalan: tresna dosaksaya, indriya yoga-marga, dan jnana-bhudireka.
Tresna dosaksaya berupa jalan melenyapkan dosa dengan mengendalikan diri dan mengatur tingkah laku. Diri yang berdosa dan dikendalikan adalah manusia, karena itu penting belajar bersikap selayaknya manusia – tidak bergaya hewan, apalagi berlagak virus. Sikap manusia adalah kebebasan individu dan kesatuan sosial: Susila. Sikap susila membentuk tingkah laku susila, karena itu Susila menjadi perintah moral Hindu berlandaskan tat tvam asi dan tri kaya parisudha. Orang yang tidak mengindahkan Susila disebut penjahat. Manusia jahat dalam Sarasamuccaya disebut penyakit dunia dan/atau sampah masyarakat. Seperti Corona, virus yang sedang mewabah di Bumi, manusia jahat dihindari, diberantas, dan diisolasi di tong sampah, ruang karantika pendosa.
Supaya tidak terkarantina di neraka ruang pendosa, selain taat dan patuh mengikuti Susila, juga penting menempuh jalan indriya yoga-marga: melepaskan ikatan duniawi dengan melakukan yoga. Caranya, mengendalikan gerak-gerak pikiran, citta-wretti-nirodah dan memfokuskan budi pada Iswara, Iswara-pranidhana. Dalam Yoga Sutra disebutkan, yoga memang jalan membebaskan diri dari lima sumber malapetaka (panca klesa): kebodohan (awidya), keakuan (asmita), keterikatan (raga), kebencian (dwesa), dan ketakutan akan kematian (abhiniwesa). Untuk itulah mendisiplinkan diri (abhyasa) dan tanpa pamrih (wairagya) dengan hidup sederhana (tapas), mempelajari kitab suci (swadhyaya), dan menyerahkan kesadaran kepada Iswara. Begitulah yoga membangun kesadaran, agar pikiran siap memasuki kehidupan spiritual yang ilahi: jnana bhudireka.
Sudut Spiritual
Jnana bhudireka, upaya memupuk pengetahuan spiritual dengan mengalihkan pandangan dari keduniawian yang materialitas ke kesadaran spiritual yang Kesiwaan. Kesadaran ini menerangi pikiran sehingga dapat melihat dan mengapresiasi kebenaran bahwa hakikat spiritual dari seluruh kenyataan, seutuhnya adalah Dewa Siwa. Akal keluar dari keterbatasannya yang perspektif dan nalar meninggalkan ketersekatannya yang rasional. Tanpa daya akal dan nalar menurut Swami Aurobindo, pikiran mencapai visi tertinggi, karena itu melampaui kehidupan pisik dan mental. Pikiran memasuki pengalaman langsung dan pandangan mistik dalam usahanya menemukan gagasan yang benar dan cara yang benar untuk mencapai keharmonisan dan perkembanganya menuju keharmonisan tertinggi antara kebebasan individu dan kesatuan sosial.
Artinya, gagasan sipeng, nyejer daksina, masegehang nasi wong-wongan untuk menghadapi wabah, bukanlah sekadar sikap spiritual dan perbuatan religius yang tanpa makna. Cara yang terbaik menghadapi bahaya wabah yang tidak diketahui dan tidak dikenali memang dengan membiarkan dan meninggalkannya. Menyingkir dari wabah dan menghindar dari bahayanya, bukan tindakan pengecut dan bodoh, melainkan usaha penyelamatan. Menyelamatkan jiwa dari bahaya serangan wabah lebih terhormat daripada mengikuti arogansi moral dan intelektual. Meskipun pencarian intelektual yang menemukan kebenaran, tetapi agama membuat kebenaran itu hidup dalam jiwa manusia. Bukan hanya persembahan pengetahuan dan hasil kerja, bahkan agama membenarkan mempersembahkan diri sendiri, seperti diungkapkan melalui segehang wong-wongan.
(Wartam, Edisi 62, April 2020)