I Wayan Sukarma
(Dosen Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia)
Buku ini inkarnasi dari disertasi, “Kontestasi Elite Lokal dalam Keberagamaan Umat Hindu di Kabupaten Klaten” – Denpasar: Program Doktor, Program Studi Ilmu Agama dan Kebudayaan, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia. Ini sebabnya, kesan serius (teoretis) dan sungguh-sungguh (metodologis) tidak sepenuhnya dapat dihindari karena inheren dalam kedewasaan (pengetahuan) dan kematangan (pengalaman) penulis. Melalui kontestasi elite lokal Danu Pitoyo berupaya menunjukkan bahwa dunia-kehidupan termasuk keberagamaan tidak mesti dan harus kooperatif, akomodatif, dan asimilatif, tanpa kompetisi, kontravensi, dan konflik. Proses sosial memang tidak selalu berlangsung asosiatif dalam situasi kerja sama harmonis, tetapi juga disasosiatif dalam situasi persaingan, pertikaian, dan pertentangan.
Meskipun tidak tergolong pertikaian atau pertentangan, sebagaimana asumsi-asumsi teori konflik, tetapi kontestasi tergolong proses sosial disasosiatif dalam bentuk persaingan, kompetitif. Baik perorangan maupun kelompok terlibat dalam persaingan saling berebut dan berlomba memperoleh keuntungan, entah berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan pumuasan kepentingan politik ataupun keperluan sosial dan budaya. Dalam ruang sosial yang paling tampak memang persaingan keperluan hidup, seperti posisi dan peran, tetapi di dalamnya tersimpan hasrat memenuhi kebutuhan. Selain menyimpan hasrat, juga di baliknya tersembunyi keinginan memuaskan kepentingan. Seperti penjelasan Pierre Bourdieu tentang Ruang Sosial sebagai relasi-relasi kekuasaan berdasarkan posisi dan kepemilikan sumber daya sehingga ruang sosial menjadi arena kekuasaan.
Arena kekuasaan elite lokal sekaligus menunjukkan perbandingan antara ruang sosial (keberagamaan umat Hindu) dan ruang geografis (Kabupaten Klaten) beserta perbandingan antara jarak sosial dan jarak spasial elite lokal dalam ruang posisi kekuasaan. Kesesuaian antara jarak sosial dan jarak spasial turut mewarnai sifat-sifat umum elite lokal dan dinamika konstestasi karena mereka yang dekat dalam ruang sosial cenderung berdekatan tempatnya dalam ruang geografis. Semakin dekat jarak antarelite, semakin banyak sifat-sifat bersama yang mereka miliki dan sebaliknya, semakin jauh jarak antarelite, semakin sedikit sifat-sifat bersama yang mereka miliki. Artinya, jarak tempat dan jarak posisi mempengaruhi interaksi, dinamika, dan irama konstestasi. Hanya saja Bourdieu mengigatkan, interaksi yang tampak cenderung menyembunyikan struktur yang terealisasi, karena itu kebenaran interaksi tidak sepenuhnya dapat dipahami melalui interaksi yang teramati.
Dalam kasus ini Bourdieu menyarankan berpikir relasional – pasangan oposisi dari cara berpikir substansial – dalam rangka memahami dan menafsirkan relasi-relasi objektif yang memanifestasikan interaksi antarelite. Relasi objektif dapat dipahami sebagai relasi antarposisi yang ditempati elite lokal dalam distribusi sumber daya, yaitu kekuatan sosial fundamental meliputi modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolis. Berdasarkan besaran modal dan struktur modal yang mereka miliki itulah elite lokal terdistribusi dalam keberagamaan umat Hindu di Kabupaten Klaten. Elite lokal (Hindu dan Klaten) yang aktif terlibat dalam kontestasi terdiri atas elite beberapa lembaga, yaitu Sekolah Tinggi Hindu Dharma (STHD) Klaten, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Klaten, Penyelenggara Bimbingan Masyarakat Hindu Kabupaten Klaten, dan Rumah Sakit Cakra Husada.
Elite lokal sebagai kelompok minoritas superior memiliki kepedulian aktif terhadap keberagamaan, karena itu mereka berlomba-lomba mengonstruksi visi berdasarkan batasan-batasan struktural. Konsekuensinya, representasi elite lokal bervariasi berdasarkan tempat dan posisi beserta kebutuhan, kepentingan, dan keperluan yang menyertainya. Selain itu, juga variasi representasi elite lokal terkonstruksi berdasarkan habitus mereka misalnya, pola persepsi dan apresiasi terhadap praktik, struktur kognitif dan struktur mental, serta evaluatif terhadap pengalaman. Seperti penegasan Bourdieu, “Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik”. Skema ini menginspirasi elite lokal mengembangkan sikap tahu diri tentang tempat dan posisi masing-masing karena posisi mempengaruhi persepsi dan apresiasi, bahkan kontinuitas kontestasi. Artinya, ruang sosial keagamaan umat Hindu menghadirkan diri dalam bentuk elite lokal dengan berbagai perbedaan, tetapi secara sistematis mereka terjalin dalam kontestasi.
Elite lokal yang bertempat dan berposisi di Sekolah Tinggi Hindu Dharma (STHD) Klaten misalnya, beroposisi dengan elite lokal yang bertempat dan berposisi di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Klaten. Dengan cara berbeda, juga elite lokal Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Klaten beroposisi dengan elite lokal Penyelenggara Bimbingan Masyarakat Hindu Kabupaten Klaten yang beroposisi dengan elite lokal yang bertempat dan berposisi di Rumah Sakit Cakra Husada. Dengan demikian, ruang sosial keagamaan umat Hindu berfungsi sebagai ruang simbolis, yaitu ruang gaya hidup keagamaan. Ruang kelompok-kelompok status yang ditandai dengan beraneka ragam gaya hidup keagamaan, seperti didemonstrasikan “pertarungan modal dalam kontestasi elite lokal” (Bab III).
Pertarungan modal dalam kontestasi itu sesungguhnya merupakan gambaran tentang pergulatan simbolis memperebutkan persepsi tentang semesta keberagamaan umat Hindu di Kabupaten Klaten. Baik representasi individual maupun kolektif bertujuan memperlihatkan dan memberikan bentuk pada realitas keberagamaan. Jika dipahami berdasarkan Dramaturgi (Erving Goffman), maka representasi individual merupakan strategi presentasi diri bertujuan merekayasa ‘citra diri’. Strategi ini menunjukkan, keberagamaan umat Hindu di Kabupaten Klaten adalah panggung kontestasi. Panggung pementasan elite lokal mengekspresikan diri, seperti mendemonstrasikan kompetensi posisi-posisi sosial superior dan mengumbar kesan keruhanian. Elite lokal pun menampakkan dan menampilkan diri religius dan spiritual serta fasih mengurai pesan teologis dan humanis disertai dengan gelar keturunan dan pendidikan.
Hanya saja kontestasi elite lokal tidak hanya mempertaruhkan ‘citra diri’, tetapi juga menurut Bourdieu melibatkan ‘citra posisi sosial di ruang sosial’ karena modal ekonomi atau modal kultural adalah modal simbolis. Artinya, persaingan berebut posisi-posisi sosial dan mempertahankan citra posisi sosial di ruang sosial adalah pergulatan simbolis, karena itu keberagaman umat Hindu adalah arena kontestasi. Arena pertarungan elite lokal dengan menampilkan pesona posisi sosial superior berdasarkan besaran modal dan struktur modal yang mereka miliki. Melalui modal simbolis inilah mereka dikenal dan diakui sesuai dengan kategori persepsi yang berlaku dalam keberagamaan. Mereka pun menampilkan kesuksesan yang pernah dicapai dan yang akan dicapai untuk merebut posisi-posisi kekuasaan dalam rangka menguatkan relasi-relasi kekuasaan. Artinya, relasi kekuasaan simbolis cenderung mereproduksi dan memperkuat relasi-relasi kekuasaan yang membentuk dan melegitimasi ruang sosial.
Tampaklah agama yang bermula dari wahyu kemudian, berubah menjadi beragam bahasa melibatkan diri dalam pembentukan pandangan-zaman dan ruang-ruang peradaban. Ketika semakin dalam merasuk ke dalam dunia-manusia, agama pun melibatkan diri dalam pembentukan pandangan-dunia dan ruang-ruang sosial, bahkan larut dan luruh dalam relasi sosial. Mudah-mudahan konsepsi tentang ruang sosial dan relasi yang menyertainya dapat menjadi kunci untuk membuka pintu masuk ke dalam ‘arena’ Kontestasi Elite Lokal dan Keberagamaan umat Hindu. Hindu adalah agama berwajah Dharma. Wajah yang tidak mudah dikenali dan diakui karena tersembunyi di balik tradisi dan tersimpan di dalam adat istiadat masyarakat pemeluknya. “Dharma” merupakan kata yang merujuk beraneka kondisi alam, situasi sosial, dan suasana budaya sehingga menjadi dasar komitmen, cara melakukan, dan tujuan tindakan. Meskipun catur purusa artha membungkusnya rapat-rapat, tetapi tidak menyembunyikan kategori persepsi keagamaan karena Danu Pitoyo membukannya dalam paradigma Sosiologi Agama. Berdasarkan tradisi keilmuan ini agama diformulasikan terdiri atas dogma agama, ritual agama, moral agama, dan lembaga agama.
Formulasi agama tersebut tidak jauh berbeda dengan tiga pilar utama agama Hindu, tri jnana sandhi: Tattwa, Susila, dan Acara. Pilar penyangga arena kontestasi, entah batasan kontruksi visi, persepsi, dan apresiasi ataupun posisi dan relasi elite; entah rekayasa citra diri ataupun tebar pesona citra posisi sosial. Dalam kontestasi memang pesan-pesan kekuasaan terdistribusikan melalui kesan posisi (“pencitraan”) karena cara-cara pemaksaan cenderung mengubah konstestasi menjadi pertikaian atau pertentangan. Upaya menguasai posisi sosial dan mempertahankan citra posisi sosial melalui tebar pesona (pergulatan simbolis) membuat posisi sosial semakin memesona. Justru pesona posisi sosial menjadi pesona buku ini karena kontestasi elite bermula dari pesona posisi sosial di ruang sosial. Bila Anda terpesona, saya pun bersyukur dan dengan gembira mengucapkan, “Selamat mengikuti kontestasi, semoga menjadi pememang: menguasai diri-sendiri di ruang sosial”.
Denpasar, 30 Januari 2020
(Prolog buku Kontestasi Elite Lokal: Studi Umat Hindu di Kabupaten Klaten - Danu Pitoyo, 2020)