Api Suci Nyepi

           Hari Nyepi, Masihkah Bertaji?

                I  W a y a n  S u k a r m a

Hari suci agama termasuk Nyepi merupakan perintah sekaligus kewajiban agama, karena itu Hari Nyepi bertaji. Mempunyai kekuatan mengendalikan sikap hidup dan kekuasaan untuk mengatur tingkah laku umat Hindu. Kekuatan dan kekuasaan yang memungkinkan umat Hindu menjalankan kewajiban suci: mengenang dan membina kembali hubungan pribadi dengan Widhi.

“Hari Nyepi Bertaji”, barangkali terkesan aneh, tidak masuk akal; bahkan nyeleneh, ganjil, ugal-ugalan karena Taji, senjata tajam runcing dipergunakan ayam jago dalam ‘pertarungan hidup-mati’. Hanya saja, keseharian memang ‘pertempuran hidup-mati’, kita pun mempergunakan ‘daya-hari’ sebagai ‘senjata andalan’, seperti ala-ayuning dewasa. Mengandalkan kekuatan-hari (kalender) untuk menangani kehidupan merupakan kebiasaan purba yang langgeng hingga kini seiring dengan kebutuhan zaman. Selain membentuk hari efektif, juga kekuatan-hari melahirkan hari penghormatan dan pemuliaan, seperti hari raya dan hari suci. Bukan hanya peringatan dan perayaan, bahkan hari suci adalah perintah dan kewajiban, karena itu mempunyai kekuatan mengendalikan sikap hidup dan kekuasaan mengatur tingkah laku umat agama. 

Begitu juga bentuk eksternal dan komunal ‘Taji Hari Nyepi’. Ketaatan pada perintah dan kepatuhan pada kewajiban melaksanakan brata panyepian membuat lingkungan tampak lengang dan senyap. Sebaliknya, bentuk internal dan individual ‘Wibawa Nyepi’ menyelusup masuk ke dalam ruang-ruang penghayatan dan menyelinap keluar mengikuti celah-celah pengamalan dalam rangka menenangkan dan menenteramkan batin. Keselarasan lahir dan batin seiring dengan cita-cita catur purusa artha, terciptanya keseimbangan hidup antara jagadhita dan moksa, raga dan jiwa, materi dan spirit. Pada kenyataannya, perkembangan materi yang lahiriah begitu mengagumkan melampaui perkembangan spirit yang batiniah. Ketimpangan perkembangan inilah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan: masihkah ‘sepinya Nyepi’ mempunyai kekuatan dan kekuasaan? 

Api Suci Sepi
Inti Nyepi adalah catur brata panyepian, yaitu amati geni, amati karya, amati lalungan, dan amati lalanguan. Marga-yoga ini merupakan sudut pandang dan jalan menuju sepinya Sepi, nolnya Nol, kosongnya Kosong. Panca Sembah menggambarkan mulai dari puyung berakhir pada puyung, dari kosong menuju kosong. Perjalanan Nyepi pinanggal pisan sasih kedasa, hari pertama Saka, dimulai dengan meniadakan empat potensi gerak, yaitu energi-panasnya api, hasil-sisa kerja, tujuan-keinginan, dan hasrat-kesenangan. Berjalan menuju Sepi dengan tidak bergerak tentu tidak rasional, tetapi logis. Sepi itu Kosong. Kosong itu tidak terbatas. Yang tidak terbatas hanya dapat dicapai oleh yang tidak terbatas. Yang tidak terbatas adalah Jiwa, Purusa.

Rumusan Sankhya tersebut terkesan supra-rasional, bahkan mistik. Pengetahuan tentang jiwa dan Tuhan memang bersifat mistik. Pengetahuan mistik tidak dapat dijangkau dengan akal dan indra, melainkan diperoleh dengan hati atau moral (terminologi Immanuel Kant), seperti lewat jalan latihan batin dan olahrasa. Kebenaran pengetahuan mistik diukur dan dinilai dengan berbagai skala ukuran dan standar penilaian. Apabila berasal dari Tuhan, maka ukuran dan penilaiannya adalah kitab suci. Misalnya, apabila Siwatattwa menerangkan Tri Murti adalah manifestasi Bhatara Siwa, maka teks itulah bukti kebenaran. Mempercayai kebenaran Bhatara Siwa itu menunjukkan bahwa kebenaran pengetahuan mistik adalah kepercayaan (sraddha), karena itu tidak dapat dijangkau melalui relasi sebab-akibat. 

Artinya, catur brata panyepian adalah jalan moral, berupa latihan batin dan olahrasa dalam rangka mengetahui dan memahami sepinya Nyepi, objek yang abstrak-supra-rasional. Objek yang di luar jangkauan ilmu pengetahuan (yang empiris) dan di luar argumen filsafat (yang abstrak-rasional). Kegunaan pengetahuan tentang Sepi hanya dipahami pemiliknya karena pengetahuan mistik bersifat subjektif. Pemiliknya tulus-ikhlas diam-hening karena memahami hidup tanpa daya, tanpa kegiatan, tanpa gerakan, dan tanpa kesenangan. Diam-hening membuatnya sanggup mengapresiasi daya-murni Sepi menjadi daya-suci: tenaga api suci Sepi. Anugerah Nyepi ini menerangi batinnya sehingga tidak bimbang dan bingung antara suka dan duka, tidak bergembira saat suka dan tidak bersedih saat duka.           
           
Bina Hati Bangun Diri
Memperoleh anugerah Nyepi, api suci Sepi untuk membebaskan hati dari suasana suka dan duka merupakan tujuan merayakan hari suci Nyepi. Ketika tidak terpengaruh suka dan duka, hati telah menempati posisi pusatnya, Hradaya. Hati pun menunduk sujud dan tengadah takjub pada Sepi tanpa tepi. Ketakjuban menggiring hati ke dasar lembah dan puncak gunung pencapaian, Suksma. Hati dan Sepi saling mewadahi, saling melingkupi, saling menyusupi, Spirit. Pengetahuan dan pengalaman itu dimiliki orang sederhana yang rendah hati. Orang yang tidak perlu melepaskan perolehan duniawi, entah dari panas dan nyala api, hasil dan sisa kerja, kisah kelana ataupun cerita kesenangan. Hatinya tulus dan ikhlas. 

Tulus memberi hak-milik pribadi dan ikhlas menerima tuduh, titah, takdir merupakan prinsip dasar kesucian yadnya yang membangun acara. Tradisi keagamaan yang menggunakan air suci dan api suci sebagai sarana vital. Perhatikanlah upacara yadnya, selain air suci (beragam tirtha), juga menggunakan api suci, seperti dupa, takepan, dan pasepan. Upanisad menggambarkan api suci itu Agni, dewa pemantik panas api laten pada makhluk; Surya, dewa penerang jagatraya; dan Brahma, dewa pengubah abadi. Ini berarti, mematikan api, tidak menggunakan api, tidak menyalakan lampu, bukanlah sekadar menciptakan kondisi gelap. Melainkan perintah mengapresiasi manifestasi dan kemuliaan Dewa Agni, Dewa Surya, dan Dewa Brahma dalam ‘hidup pribadi’.

Bukan dalam pengertian personal – hidup pribadi adalah lukisan diri, pancaran suasana hati lewat celah pikiran yang jernih, kehendak yang terang, dan perasaan yang cerah. Hati dengan pikiran jernih memancarkan kebenaran, satyam. Hati dengan kehendak terang memancarkan kebajikan, siwam. Hati dengan perasaan cerah memancarkan keindahan, sundaram. Ini pun hanya warna-warni permukaan hati yang paling mungkin dilukiskan. Hati sebagai tempat Kasih bersemanyam sungguh tidak terlukiskan. Setidaknya, lewat brata panyepian dapat dibayangkan betapa mendesak kebutuhan membina hati dan membangun diri untuk ‘negeri sendiri’. Berupa daerah dan wilayah indah untuk menjadi diri sendiri. Seperti keterangan Nitisatakam, “Kebahagiaan adalah tidak tinggal di negeri orang lain”.

Efek Nyepi
Begitulah Taji Hari Nyepi, kekuatan-suci menguasai daerah dan wilayah diri, baik badan-fisik, tubuh-mental, maupun jiwa-spirit. Dalam lingkungan lebih luas mengendalikan dan mengatur kondisi palemahan, situasi pawongan, dan susana parhyangan. Ketika segenap perhatian lenyap, penglihatan, pendengaran, dan pertanyaan terpusat pada brata panyepian, maka palemahan senyap dan gelap, pawongan kaku dan beku, dan parhyangan sunyi dan sepi. “Lingkungan (alam, sosial, dan budaya) mati”, istirahat seharian. Ketika lingkungan dan penghuninya terlelap dalam istirahat, siapa pula memerlukan peralatan kerja, kendaraan bepergian, dan sarana hiburan, apalagi internet. Menghentikan akivitas kehidupan, bukanlah upaya berhemat, bersahaja, dan mengurangi polusi. Kalaupun begitu kenyataannya, itu hanyalah efek dari Nyepi.

Efek Nyepi inilah yang lebih banyak ditafsir dan diperbincangkan daripada esensi Nyepi itu sendiri. Misalnya, masyarakat dunia lebih memperhatikan pemadaman lampu penerangan jalan serta penutupan Bandara dan Pelabuhan. Padahal Nyepi, bukan sekadar menghentikan kegiatan wisata dan bersenang-senang lainnya, agar lingkungan sepi. Bukan pula kegiatan Pecalang yang mengawasi dan mengontrol lingkungan, seperti nyala lampu rumah tangga, lalu lintas jalan raya, dan tempat hiburan. Kalaupun memang lingkungan sepi berguna, itupun bukanlah ambisi dan tujuan Nyepi. Lingkungan sepi karena penghuninya Nyepi. Menjalankan kewajiban suci: mengenang dan membina kembali hubungan pribadi dengan Widhi. Menguatkan kembali hubungan yang pernah terlupakan dengan Alam, Manusia, dan Tuhan. 

(Wartam Edisi 61, Maret 2020)
 




BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...