Pulau Dewata

        Pulau Dewata di Tahun Kembar 2020

              I  W a y a n  S u k a r m a

“Tahun Kembar 2020 melukiskan rangkaian angka Dua dan angka Nol. Dua untuk opini, pilihan hidup dan Nol untuk Ketiadaan. Warga Pulau Dewata menyebutnya Sanghyang Suwung atau Sanghyang Embang”.
     
Angka dan aksara memiliki peran seimbang dalam perkembangan peradaban, seperti tampak dalam realitas kuantitatif dan kualitatif. Kepastian kuantifikasi angka-angka berdasarkan keniscayaan naturalisme dengan satuan-satuan positivistik telah mengokohkan pandangan materialisme: realitas hanyalah materi. Wujud materi (alam semesta) menurut Phytagoras terdiri atas bentuk segi tiga, segi empat, dan lingkaran. Hanya saja keterangan tentang bentuk materi tidak langsung dapat dipahami, karena itu dibutuhkan aksara dalam bentuk kata-kata untuk menjelaskannya. Kualifikasi kata-kata berdasarkan kemungkinan-kemungkinan interpretatif inheren dalam pandangan idealisme: realitas hanyalah ide. Artinya, kebenaran materialistik dan kebenaran idealistik memang tampak berbeda dan berlawanan, tetapi memiliki posisi dan peran seimbang dalam konstruksi realitas agama: Kesucian.

Realitas agama itu sejalan dengan pandangan Hegel tentang agama sebagai sistem ide dan simbol. Ide tentang kesucian yang dimengerti sama saja dengan realitas kesucian itu sendiri. Artinya, tidak terdapat perbedaan antara rasio dan realitas karena yang dimengerti itu nyata dan yang nyata itu dimengerti. Ketunggalan idealisme dan realisme ini sekiranya, relevan untuk memahami sraddha-bhakti warga Pulau Dewata dalam mewarisi kesucian dewata nawasanga yang memancar dari dan ke segala penjuru. Pancarannya semakin cemerlang seiring dengan rerahinan jagat, pemujaan semua dewa misalnya, perayaan hari suci Galungan. Warga Pulau Dewata merayakan Galungan pada 20-02-2020, Tahun Kembar: rangkaian angka 2 (Dua) dan 0 (Nol).

Yadnya karena Karma
Dharma sebagai wajah agama Hindu paling mudah dikenali sekaligus paling sulit dipahami. Perayaan Galungan misalnya, merupakan perintah memenangkan dan menegakkan Dharma karena Dharma adalah tujuan hidup: moksa dan jagadhita (“iti dharma”). Perintah ini menunjukkan, hidup adalah perjuangan. Berjuang untuk kesejahteraan jasmani dan kebebasan ruhani. Panca sraddha memang menetapkan manusia sebagai makhluk dwi-tunggal, ‘jasmani-ruhani’, tetapi bukan dalam pengertian gabungan jasmani dan ruhani. Hanya saja dalam keseharian manusia terombang-ambing di antara perkara jasmani dan ruhani. Bimbang memihak dan ragu memilih satu di antara Dua opini itu. Padahal memilih satu mendapatkan keduanya karena perjuangan hidup, bukanlah memenangkan perkara ruhani atau mengalahkan perkara jasmani.

Dari segi tempat, manusia tinggal di antara kanan dan kiri, di antara depan dan belakang, di antara atas dan bawah, seperti tempat Bhatara Siwa dalam pangider-ider. Selama menyadari tempat “di antara”, manusia tetap seimbang karena “di antara” adalah titik pusat yang netral bernilai Nol. Nol adalah angka bernilai bilangan tanpa nilai, karena itu tidak tersentuh nilai kanan ataupun nilai kiri. Titik Nol panca sraddha berpusat pada karma-phala berposisi di antara Sebab (Brahman dan Atman) dan Akibat (punarbhawa dan moksa). Begitulah berdasarkan Sebab, karma bersumber dari potensi Brahman dan Atman, sedangkan dari segi Akibat, karma menuju dua arah, punarbhawa dan moksa.

Artinya, panca sraddha menetapkan hidup adalah karma, perjuangan menegakkan Dharma. Diam di tempat atau tidak bergerak itu tidak mungkin karena sebab-akibat, prinsip alam memaksa manusia bertindak. Prinsip sebab-akibat kemudian, menimbulkan kesulitan melepaskan phala dari karma, tindakan tanpa resiko. Padahal karma tanpa phala itu tindakan bernilai Nol, tindakan yang tidak terpengaruh nilai ruang dan nilai waktu. Kerja tanpa hasil itulah tindakan murni, tidak tercemar motif-motif pribadi, seperti kepentingan, kebutuhan, dan keperluan hidup. Bersyukur Bhagawadgita menyarankan, mempersembahkan hasil kerja kepada ‘sumber tenaga kerja’ sehingga phala lepas dari karma dan tidak kembali mengikat pelaku. Persembahan itulah bentuk ketulusan dan keikhlasan: “yadnya karena karma”.   

Metapora Pulau Dewata
Yadnya dalam beragam upacara selanjutnya, menandai eksistensi Pulau Dewata, baik dalam ruang geografis maupun ruang religius. Pulau Dewata disebut Pulau Dewata karena mewarisi sifat-sifat dewa-dewa bersama dewi-dewi. Metafora ‘pulau berwatak dewa’ memang terkesan aneh, tetapi nyata. Senyata Pulau Seribu Pura dan Pulau Surga, sebutan lain untuk Pulau Dewata. Manifestasi Sanghyang Widhi sebagai dewa pangider-ider, dewata nawasanga menyatukan ruang geografis dan ruang religius menjadi ruang sakral. Dewa-dewa bersama shakti dengan senjatanya masing-masing bertempat dan berkedudukan di semua penjuru. Selain dewata nawasanga, juga warga Pulau Dewata memuja dewa-dewa bersama dewi-dewi bertempat di atas (Langit dan Gunung) dan di bawah (Bumi dan Laut).
Pemahaman tentang atas dan bawah atau ulu dan teben, kiwa dan tengen sebagai Dua Kutub yang berbeda dan berlawanan sesungguhnya menyembunyikan dan menyimpan posisi murni bernilai Nol. Misalnya, mabhakti (sembahyang) di hadapan Rong Telu, Merajan menghadap ke Timur. Di belakang adalah Barat, di kanan adalah Selatan, dan di kiri adalah Utara. ‘Tempat duduk’ mabhakti adalah titik pusat bernilai Nol, posisi murni, tidak terpengaruh posisi dewa-dewa dari arah lainnya. Kemurnian posisi ini menjadi titik tolak menuju Kesucian, dari murni menuju suci – barangkali Nol untuk mulai mengacaukan logika karena logika rumusan Phytagoras menggunakan angka Satu untuk Mulai dan angka Dua untuk Opini.

Angka Nol berbentuk bulat, seperti telur dan telur merupakan cikal-bakal kehidupan. Dalam Brahmanda Purana diterangkan telur yang menjadi asal mula penciptaan disebut brahmanda (Telur Brahma). Dalam telur itu Bhatara Brahma menciptakan dengan mengubah diri menjadi dua bagian, yaitu Manu (Pria) dan Satarupa (Wanita). Penciptaan alam semesta beserta isinya terjadi pada siang hari, sedangkan peleburan pada malam hari. Kemudian, brahmanda merujuk pada planet-planet yang berpusat pada Bhatara Siwa. Agar ketertiban planet-planet tidak kacau (chaos) kemudian, Bhatara Siwa menciptakan ketertiban semesta (cosmos) melalui delapan manifestasiNya: Asta Dewata, Asta Aiswarya. Delapan kemuliaan Bhatara Siwa yang membentuk harmoni semesta menjadi Swastika, lambang agama Hindu.

Sunya-Ramya Sanghyang Embang 
Swastika itu prinsip gabungan semetris antara tanda tambah (+) dan tanda kali (x), simbol delapan manifestasi Sanghyang Widhi. Tanda tambah (tapak dara) tercipta dari Dua gerak, yakni vertikal dan horizontal. Titik tengah yang terbentuk dari persekutuan dua garis itu menjadi titik pusat empat sudut. Meskipun mempengaruhi nilai garis dan nilai sudut, tetapi titik pusat tidak terpengaruh. Padahal garis melukiskan empat jalan dan sudut melukiskan empat pandangan. Berjalan dengan pandangan keluar dari titik pusat akan menimbulkan guncangan batin. Semakin jauh keluar, semakin keras guncangan itu, dan semakin terbuka jalan menuju ramya. Sebaliknya, perjalanan menuju sunya adalah gerak-masuk-ke-dalam dengan pandangan-kosong-terpusat di Nol.

Begitulah jalan kembar di Tahun Kembar: gerak-masuk-ke-dalam menuju sunya dan gerak-masuk-keluar menuju ramya. Dalam keseharian pun warga Pulau Dewata berhadapan dengan jalan kembar, entah menanjak ataupun menurun, belok kanan ataupun belok kiri. Belok kanan adalah arah positif menuju kebenaran dan kebaikan, sedangkan belok kiri adalah arah negatif menuju kesalahan dan dosa. Titik penunjuk arah positif dan arah negatif adalah titik Nol, posisi netral yang bebas dari pengaruh positif dan negative. Angka Nol memang tidak bernilai positif ataupun negatif. Dalam  hierarki bilangan, bahkan angka Nol tidak mempunyai tempat. Nol adalah Titik Ketiadaan. Warga Pulau Dewata menyebutnya Sanghyang Suwung atau Sanghyang Embang.       
             
(Wartam, Edisi 60, Februari 2020)
           

                     

   

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...