I W a y a n S u k a r m a
“Selamat Tahun Baru”, saya ucapkan kepada Anda, Pecinta Wartam: “Semoga 2020 menjadi tahun terindah”. Seindah anugerah keselamatan dan kesempatan mensyukurinya melalui kilau gemerlap ‘kembang api pikiran’ dan gegap gempita letupan ‘petasan perasaan’ malam penyambutannya. Tahun Baru selalu menyimpan doa dan harapan baru yang menjadi daya laten bagi pemutakhiran pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pemutakhiran ini kemudian, melahirkan perihal ‘baru’ dan ‘kebaruan’ yang menjadi landasan serta tujuan modernisme. Hanya saja, kebaruan sebagai cita-cita kemajuan senantiasa menyediakan teka-teki dan menyisakan misteri, entah cakupan ataupun efeknya. Penemuan plastik misalnya, ternyata bisa memudahkan sekaligus menyusahkan, bahkan meresahkan kehidupan sehingga muncul regulasi tentang penggunaannya. Konon, plastik mengacaukan kosmos, ketertiban alam dan keteraturan moral: prinsip kerja sama lima elemen alam (panca mahabhuta).
Dalam keresahan tersebut kembali mencuat nilai penting ilmu pengetahuan beserta aplikasi praktisnya, teknologi. Pengetahuan (entah filsafat, ilmu, etis, estetis, bahkan mistis) memang menjadi cara hidup yang perlu disempurnakan dengan tujuan agama, sebagaimana ungkapan Einstein: “Ilmu tanpa agama, buta”. Ini berarti, semangat mengusai cara hidup tidak boleh melupakan tujuan hidup agama karena kebudayaan yang seimbang mampu mengkombinasikan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan atau kebutuhan jasmani dan rohani secara seimbang. ‘Budaya etis’ ini bertujuan menyelamatkan umat manusia, seperti harmoni catur purusa artha: mokshartam jagadhita. Harmoni dinamislah yang menjadikan agama Hindu beradaptasi, baik parsial dan lokal maupun universal dan global. Implikasinya, tahun baru sebagai rangkaian era baru (semangat mengupayakan kemajuan dan kebaruan), juga niscaya memunculkan Hindu Era Baru.
Siar Era Baru
Agama Hindu memang fleksibel, lentur, dan luwes sehingga mudah beradaptasi dengan adat istiadat lokal atau tradisi masyarakat pemeluknya, bahkan senantiasa mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Oleh karena itu, otentisitas ajaran dan penyebarannya tidak dibakukan dengan bahasa Sanskerta seperti di negeri asalnya, India, ataupun bahasa daerah, seperti Jawa dan Bali, di tempat tinggal pemeluknya. Selain bahasa, juga kebenaran ajarannya tidak ditentukan berdasarkan lintasan peristiwa sejarah pada setiap babakan masa perkembangannya. Sebelum disebut “Hindu” misalnya, pernah mengalami perubahan nama dan struktur ajaran, seperti agama Tirtha, agama Siwa-Budha, agama Bali, agama Hindu Bali, dan agama Hindu Dharma. Perubahan ini seturut dengan perkembangan dan kemajuan zaman yang mempengaruhinya, seperti zaman kerajaan, penjajahan, serta kemerdekaan.
Zaman kemajuan pun memengaruhi ragam ajaran dan penyiaran agama Hindu, baik format maupun formulasinya. Kemajuan media era baru berbasis internet, seperti digital, virtual, jaringan, hipertekstual, interaktivitas, dan simulasi membuat media berbentuk barang cetakan kurang diminati lagi. Terlebih lagi era baru 2020 menampilkan fenomena Revolusi Industri 4.0 misalnya, kolaborasi teknologi siber dan teknologi otomatisasi yang menjadikan buku dan majalah agama Hindu mulai terpinggirkan. Perluasan sistem penyebaran informasi berbasis internet menjadi ‘kekuatan gaib’ yang mendorong perkembangan dan penyiaran agama Hindu semakin pesat, cepat, dan meluas. Perhatikanlah pemutaran film-film tentang Itihasa dan Purana, seperti Mahabharata, Ramayana, Mahadewa, ataupun Mahakali, yang selain telah tayang berulang-ulang di beberapa stasiun televisi konvensional, juga disukai jutaan pemirsa via aplikasi pemutar film online.
Website dan Youtube misalnya, walaupun bersifat simulasi, tetapi dapat mendekatkan penulis dengan pembaca atau pencipta dengan penonton karena mereka dapat saling berbagi kontribusi, interaktivitas. Kendati hanya virtual, ternyata dunia maya mampu mengakrabkan umat Hindu, bahkan sekarib di dunia nyata, seperti kemunculan berbagai macam organisasi keagamaan sekunder, dari dan di media sosial. Spesial WhatsApp, barangkali karena dapat mengakses beragam format informasi, kini telah menjadi aplikasi paling produktif bagi penyebaran pengetahuan agama Hindu. Barangkali karena memiliki sifat publik sekaligus privat sehingga WhatsApp efektif menyatukan umat Hindu ke dalam komunitas religius dan spiritual. Bukan hanya memperat ikatan antarindividu, bahkan grup-grup ini juga mampu menguatkan ikatan antarkelompok masyarakat Hindu dari beragam latar teritorial, sosial, dan budaya.
Kebaruan teknologi informasi tersebut tentu saja membuka peluang, juga sekaligus menyuguhkan tantangan bagi generasi Hindu Era Baru dalam siar agama Hindu. Saluran-saluran digital jelas membuka peluang untuk melakukan siar keagamaan yang efektif, cepat, dan massif karena milyaran audiens berpotensi mengaksesnya. Menyikapi peluang ini, tentu tantangan terbesar bagi umat Hindu adalah kesiapan dan kreativitasnya untuk menyuguhkan informasi keagamaan yang berterima dengan nalar publik. Mengingat dunia virtual—digital selalu menciptakan audiens tunggal yang menentukan sendiri pilihan informasi yang ingin mereka akses, sekaligus makna dan tanggapannya.
Industri Upacara
Ikatan moral dalam penghayatan agama kolektif dapat memudahkan terbangunnya konsesus keagamaan, baik vertikal antara pemimpin agama (pandita dan pinandita) dan umat Hindu maupun horizontal antaraumat atau antarpemimpin agama. Kini, perhatikanlah cara beragama umat Hindu sehari-hari! Entah siapa dan kapan mulainya, ternyata ‘Gapura Pengantin’ dengan hiasan foto prewedding telah menggeser dan menggantikan posisi Penjor Pawiwahan. Tradisi mebat dan kategak termasuk ngejot sebagai rangkaian utuh upacara pawiwahan nyaris punah karena desakan jasa katering dan prasmanan. Bukan hanya bahan baku, seperti busung, selepan, dan ron, tetapi juga jajahitan, seperti sampyan, lamak, dan celemik telah menjadi komoditas. Era baru juga mendorong perkembangan industri upacara hingga pemesanan suatu paket banten secara online misalnya, untuk upacara macolongan, nyambutin, otonan, matatah, dan masakapan.
Upacara yadnya semakin praktis dan mudah seiring dengan munculnya organisasi sekunder yang menyediakan jasa upacara, seperti pengelola krematorium. Organisasi ini tidak hanya melayani upacara ngaben dan memukur, tetapi juga menyediakan jasa upacara yadnya lainnya, seperti nyambutin, otonan, metatah, mesakapan, dan panglukatan wayang sapuh leger. Selain barang dan jasa upacara yadnya, juga era baru mendorong pemutakhiran teknologi upacara, seperti penggunaan wadah beroda dan kendaraan untuk mengangkut wadah dalam upacara ngaben. Penggunaan staples untuk menggantikan semat mejahitan; besi untuk sanggar agung dan sanggah cucuk; dan mantel hujan untuk Barong, Rangda, dan pratima lainnya, hanyalah beberapa contoh penggunaan teknologi upacara di era baru ini. Dalam rangka pembelajaran dan pelatihan, bahkan telah berkembang aplikasi berbasis video dan animasi tiga dimensi mengenai pembuatan banten, seperti pejati, daksina, otonan, dan nyiramin layon.
Upacara yadnya memang paling menonjol dalam aktivitas keagamaan umat Hindu di Bali khususnya, karena lebih mengutamakan disiplin tindakan. Bagi generasi Hindu era baru, praktik upacara yadnya bukan hanya tradisi religius yang harus dilaksanakan dalam beragama keseharian, melainkan juga pasar komoditas yang potensial digarap sebagai model industri baru. Tentu bukan sikap yang bijak untuk menilai kepatutan dan kepantasan industri upacara di era baru ini karena perubahan instrumen tidak boleh serta merta dihakimi sebagai penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan agama. Apalagi di tengah perubahan struktur ekonomi yang telah bergeser dari masyarakat agraris ke industri, tentu saja efektivitas dan efisiensi ritual keagamaan niscaya menjadi orientasi baru dalam beragama.
Perubahan Abadi
Adaptasi agama Hindu terhadap era baru tidak mungkin dihindari dan niscaya akan melahirkan Hindu Era Baru. Selain desa-kala-patra pada tataran adat istiadat, juga Hindu mengafirmasi perubahan dan pembaruan tradisi keagamaan melalui mekanisme penciptaan, pemeliharaan, serta peleburan terus menerus. Hakikat sanatana dharma, menjadi legitimasi paling otentik bahwa agama Hindu akan terus bergerak dari masa lalu menuju masa depan dengan membawa misi kebenaran. Dharma adalah penggerak sekaligus pengendali seluruh pergantian era, dan karenanya ia kekal—abadi. Perkembangan intelektualitas manusia yang menciptakan berbagai pembaruan teknologi kehidupan, senyatanya merupakan prinsip kerja dharma yang abadi dalam perubahannya. Sepanjang inti dharma yang kekal tetap menyertai perubahan yang abadi, maka pembaruan tradisi keagamaan menjadi keniscayaan.
Kendati demikian, kritik moral terhadap pengaruh zaman tetap harus dikedepankan agar arah perubahan tidak melenceng dari tujuan hidup agama Hindu, moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Kekariban di dunia maya sepatutnya digerakkan untuk mengundang para-dharma bertatap muka dan bergandeng tangan dalam dunia nyata demi menguatkan ikatan hati dan jiwa-dharma. Kitab suci mesti dikomsumsi hati demi keselamatan jiwa sehingga siar agama melalui media digital—virtual hendaknya mampu mengisi kekeringan hati umat Hindu terhadap ajaran agamanya. Cara terbaik untuk itu tentu dengan membaca buku-buku suci sebagai teks otentik, dan karenanya budaya literasi perlu ditingkatkan demi munculnya konten-konten keagamaan digital yang produktif bagi pencerahan. Demikian halnya industri upacara sebagai model produksi baru yang bergerak pada ranah ekonomi kultural sekaligus finansial, juga sepatutnya tidak mengabaikan kebajikan tradisi religius yang diwariskan para leluhur. Kendati instrumennya telah menjadi komoditas, tetapi nilai keutamaan yadnya yang dibangun oleh kesungguhan dan keikhlasan hati harus tetap menjadi dasar dalam beryadnya. Rekontektualisasi, reorientasi, dan revitalisasi tradisi religius dalam perubahan merupakan tantangan yang harus dijawab umat Hindu ke depannya. Di sini—kini, umat Hindu Era Baru adalah mereka tidak boleh gagap teknologi, tetapi mampu menjaga hati dan tradisi dengan nilai-nilai kebajikan.
(Wartam, Edisi 58, Desember 2019)