Kancut Bali

Nyanyi Sunyi Kancut Bali

I  W a y a n  S u k a r m a 

Kancut Bali, simbol kelaki-lakian laki-laki Bali, nyaris tidak terdengar di tengah-tengah ramainya pemakaian busana adat dan agama dalam keseharian. Padahal konon, busana mempengaruhi penampilan seiring dengan desa, kala, dan patra yang mengitarinya. Makancut nyerapah dan maudeng ngenjik misalnya, konon menambah prabwa dan prawira sehingga keseharian lebih produktif.                       

Kancut berkenaan dengan kamen (kain), busana Bali khas laki-laki, khusus adat dan agama.  Berupa lipatan sisi kain bagian luar berujung lancip menjuntai ke bawah di depan antara kaki kiri dan kanan. Perhatikanlah pakaian orang Bali khususnya yang laki-laki ketika melaksanakan kegiatan adat dan agama! Biasanya mereka memakai kamen makancut, saput maumpal, udeng ngenjik, dan baju safari koko. Sekarang, juga busana tersebut sudah menjadi pakaian kerja daerah beregulasi yang harus dipakai setiap Kamis, Purnama, dan Tilem. Pada hari-hari tersebut secara internal tidak mudah membedakan status dan memahami peran seseorang berdasarkan pakaiannya saja. Sebaliknya, secara eksternal lazimnya mudah berubah menjadi pola eksklusif membedakan identitas dan menyisihkan diri dari liyan. Akibatnya, kemeriahan kancut dalam kehidupan sehari-hari belum tentu menerangi dan mendekatkan pemakainya pada makna kancut itu sendiri. Kancut Bali bagaikan nyanyi sunyi, berkesan tanpa pesan.   
                                             
Kancut bagi orang Bali, bukan sekadar model busana. Kancut adalah simbol gender, yakni maskulin, kelaki-lakian laki-laki Bali. Dalam khazanah kearifan lokal, bahkan kancut mengandung pengetahuan dan keterampilan tradisional tentang kemuliaan dan pemuliaan Lingga – pasangan Yoni. Kancut Bali menyembunyikan arti dan menyimpan makna tentang ‘jati diri laki-laki’, seperti kuat, berani, dan prawira. Dalam Tutur-Tutur Bali pun diceritakan, ‘hanya jiwa berani yang lahir kembali’, seperti kemuliaan dan pemuliaan Leluhur – roh berani yang pernah nyata – di Kamulan, Rong Telu. Azas roh dalam Sankhya disebut Purusa dan kemudian, dalam Yoga dimuliakan sebagai Purusotama – pasangan Prakerti, azas bendani sebagai asal mula segala sesuatu termasuk makhluk. Dunia sosial dan budaya mengapresiasi Purusa sebagai Patriarki: memosisikan laki-laki sebagai penguasa utama. Posisi yang merefleksikan Kancut Bali dan yang memungkinkan laki-laki mendominasi peran-peran kepemimpinan, hak sosial, otoritas moral, dan properti.   

Pelestarian Kancut Bali
Pelestarian Kancut Bali, ekspresi keutamaan dan kemuliaan laki-laki, berlangsung sejak dan melalui perkawinan: laki-laki sebagai Purusa dan perempuan sebagai Pradana. Cinta yang mengikat sepasang pengantin mungkin non-gender, tetapi perkawinan selalu mengikat dan menarik pengantin wanita ke dalam keluarga pengantin pria. Kecuali sebaliknya, perkawinan nyentana memosisikan pengantin wanita sebagai Purusa sehingga mengikat dan menarik pengantin pria ke dalam keluarga pengantin wanita. Artinya, Purusa tetap menjadi penguasa utama, karena itu harapan pertama sebuah keluarga adalah melahirkan anak laki-laki – bahkan sebelum harapan tersebut terpenuhi, baik suami maupun istri enggan membatasi jumlah kelahiran. Hanya saja budaya modernitas telah menginspirasi perkawinan Pada Gelahang dan/atau Gelahang Bareng. Dalam perkawinan ini, pengantin pria dan pengantin wanita sama-sama mengambil posisi dan tanggung jawab Purusa, karena itu negen ayah-ayahan, memikul kewajiban dua keluarga, baik ayah-ayahan adat maupun agama.   
Kewajiban adat berkenaan dengan peran sosial, seperti krama banjar dan krama desa adat, sedangkan kewajiban agama berkenaan peran religius, seperti penyusung, pemangku, dan sulinggih. Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari adat dipahami sebagai praksis agama sehingga melahirkan sistem sosial-religius disebut pakraman, masyarakat adat. Tatanan kehidupan yang berlandasankan ayah-ayahan menyebabkan pakraman memiliki fungsi dan tanggung jawab pendidikan masyarakat. Misalnya, mengembangkan potensi krama, baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan, maupun seni tradisional. Perhatikanlah pemberdayaan sekaa-sekaa fungsional dalam sistem banjar, seperti sekaa teruna dan sekaa seni. Pemberdayaan ini turut serta membangun intensitas adat dan agama, entah lembut atau keras maupun lambat atau cepat. Artinya, tingkat kemandirian sekaa-sekaa fungsional turut serta menentukan kualitas basis-basis adat dan agama, seperti pandangan dunia dan harga diri orang Bali.

Purusa, maskulinitas pandangan dunia orang Bali menempatkan laki-laki sebagai citra kasih: ‘penuntun dan pelindung dunia’. Ikatan perkawinan misalnya, memberikan kewajiban (swadharma) suami melindungi kehormatan istri karena hanya istri terhormat yang bisa memuliakan suami. Dalam keluarga yang saling menghormati dan memuliakan inilah menurut seloka Weda, “Upacara yadnya membuat dewa merasa senang”. Kesakralan suasana keluarga ini sekaligus mencerminkan harga diri orang Bali. Barangkali hal ini yang menyebabkan, orang Bali tidak mengenal ‘upacara perceraian’, upacara yadnya mengenai perceraian. Meskipun duda, bila sudah mempunyai anak, duda tetaplah ayah. Ayah adalah kewajiban menuntun dan melindungi anak supaya suputra: berani, prawira, dan kuat menjadi tulang punggung dan pelindung keluarga.     

Masa Depan Kancut Bali 
Suputra itulah cita-cita dan masa depan Kancut Bali. Dialah Bala Dewa, Generasi Kamulan, Generasi Kancut Bali. Kancutnya tersimpul di Rong Telu, spiritnya nyerapah ke Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat hingga Besakih. Ngider Bhuwana melantunkan nada suci aksara dewata dalam irama upacara yadnya dan birama adat istiadat seiring harmoni Kalender Bali. Berkat perlindungan dan tuntunan Hyang Bhatara Guru (”Om guru dewa, guru rupam, guru madyam, guru purwam, guru pantaram dewam, guru dewa sudha nityam”); membuatnya ikhlas menerima dan mengemban titah takdir dari Sanghyang Tuduh (“Ring kamulan tengah ngaran raganya, tu Brahma, dadi meme bapa, meraga Sanghyang Tuduh”); dan tulus mengurbankan (hasil dan sisa) kerja, bahkan jiwa dan raga demi Pulau Dewata. Ketulusan dan keberanian, seperti yang pernah tampak dan tampil dalam Perang Puputan: Jagaraga, Badung, Kusamba, Klungkung, dan Margarana.

Kini, pada zaman kemajuan – modernisasi, pembangunan – dalam dunia kehidupan sedang berlangsung perang ideologi yang sekaligus mengimbau keberanian memberdayakan tatanan sosial-religius berlandaskan trihita karana, supaya pakraman tetap dan selalu otonom. Orang Bali disebut orang Bali karena orang Bali tumbuh dalam kondisi, situasi, dan suasana trihita karana. Misalnya, kemampuan memanfaatkan kondisi palemahan untuk kebutuhan akan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi; kesanggupan menggunakan situasi pawongan untuk kepentingan akan kedaulatan dan kebebasan politik; dan kemurnian hati nurani memuliakan suasana parhyangan untuk keperluan akan integritas dan keindahan kepribadian. Sekilas ekspresi adat istiadat dan kebudayaan Bali tersebut menunjukkan betapa pentingnya membetengi kebudayaan Bali, yakni tempat bersemayamnya ‘jiwa pakraman’. Apalagi imperialisme modern menyebar begitu cepat dan menguasai berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dan ideologi lainnya. 
Artinya, Generasi Kancut Bali mempunyai kewajiban utama menjaga kekuatan palemahan, kesehatan pawongan, dan keselamatan parhyangan demi ‘kebebasan jiwa pakraman’. Keberanian melindungi dan mempertahankan keasrian dan keindahan lingkungan palamehan (alam), kedamaian dan kenyamanan lingkungan pawongan (sosial dan kebudayaan), serta ketenangan dan ketenteraman lingkungan parhyangan (religius dan spiritual). Mengingat kehidupan modern adalah sebuah dunia yang tidak terkendali, seperti Panser Raksasa (Anthony Giddens) dengan langkah, keluasan cakupan, dan kedalaman perubahan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pakraman. Apalagi ekonomi uang sebagai kekuatan budaya modernitas (Georg Simmel), tanpa disadari menguasai dan mengubah pakraman hingga terasa asing karena uang mulai mengatur jalan hidup manusia.

Ekspansi budaya pun tidak terhindarkan, seperti peningkatan intensitas ekspos lewat media sosial, penilaian kembali lembaga pribumi dan tujuan tradisional dengan aturan baru lebih rasional, dan pembentukan struktur lembaga baru dengan mengutamakan nilai tambah secara material. Supaya perubahan sosial budaya tidak terlalu luas dan jauh dari nilai-nilai pakraman sekiranya, dibutuhkan keberanian melakukan adaptasi dengan spirit dan wawasan kearifan lokal. Uang misalnya, dipandang sebagai sari – sari berarti hasil (kerja), upah ngayah, phala karma, sisa yadnya. Pandangan tersebut menempatkan sisa yadnya sebagai instrumen hidup. Seloka Bhagawadgita menerangkan sisa yadnya adalah energi murni, daya suci sehingga ‘makan sisa yadnya bebas dari dosa’. Seandainya pakraman dipenuhi daya suci dan bebas dari dosa, pakraman pun sundaram.

Wartam, Edisi 57, Nopember 2019

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...