Hindu Milenial

                  Salam Kenal Hindu Milenial

                          I  W a y a n  S u k a r m a

Global, milenial, dan viral itu fenomena tunggal.
Global nilainya, milenial aktivitasnya, dan viral adalah hasil karyanya.
Ketiganya patut dikenal, bukan sekedar membual.
Tentang zaman yang sarat paradoksal.
Salam kenal Hindu milenial.
Bersiaplah mengawal kebenaran yang abadi nan kekal! 

“Milenial”, biasanya digunakan untuk menggambarkan generasi atau kaum, masa atau zaman, cara atau gaya hidup, bahkan situasi sosial ataupun suasana budaya yang sedang berlangsung. Istilah ini, konon mula-mula dikenalkan William Strauss dan Neil Howe untuk menyebutkan dan menerangkan suatu generasi menjelang milenium baru, sekitar akhir tahun 2000. Generasi Milenial adalah kaum atau kelompok usia yang lebih mengandalkan hidup pada teknologi digital, internet. Pada masa ini, arah dan cakupan modernisasi cenderung bergerak menuju pembentukan tatanan dunia tunggal melalui teknologi informasi, investasi, industri, dan individualisasi. Arus perpindahan manusia, barang dan jasa, beserta informasi begitu cepat, bahkan melampaui ruang parsial dan waktu temporal.

Implikasinya bahwa batas-batas budaya dan sekat-sekat sosial kian membaur, bahkan mengaburkan garis kehidupan religius dan nonreligius. Nilai-nilai manusiawi yang menjadi landasan sekaligus cita-cita budaya semakin merapuh karena lebih berfungsi mengafirmasi ‘keangkuhan ekonomi’ dan melegitimasi ‘kesombongan politik’. Fenomena keseharian juga menunjukkan bahwa kekayaan dan kekuasaan yang berdimensi nonreligius demikian mudah merasuki kehidupan religius hingga menimbulkan suasana kesurupan yang mempermainkan akal, moral, dan iman. Nilai kebenaran, kesucian, serta keindahan, mulai terdegradasi oleh kebutuhan ekonomi dan kepentingan politik. Mengubah ancaman dan tantangan degradasi nilai-nilai kebjaikan menjadi peluang dan kekuatan untuk membangun sumber daya manusia berwawasan Revolusi Industri Keempat merupakan tanggung jawab Hindu milenial. 

Paradoks Global
Milenial mencakup segala yang berangkut-paut dengan tatanan dunia global. Arjun Appadurai (2006) menyebutkan lima arus utama globalisasi, yakni ethnoscape, technoscape, finanscape, mediascape, dan ideoscape. Perpindahan manusia lintasnegara melalui migrasi, pariwisata, suaka politik, dan tenaga kerja (ethnoscape); perkembangan teknologi mesin, transportasi, dan informasi (technoscape); pergerakan modal dan finansial antarnegara yang acapkali misterius melalui bursa saham dan valuta asing (finanscape); keterbukaan akses informasi global melalui media digital dan internet (mediascape); serta percaturan ideologi antarnegara dan bangsa (ideoscape), menandai berlangsungnya globalisasi ke seluruh dunia.

Globalisasi secara dramatis mentransformasikan milyaran manusia dalam konfigurasi dunia baru yang melebur batas-batas geografis, politik, ideologi, ekonomi, maupun budaya.
Globalisasi meniscayakan lahirnya keseragaman kultural karena masyarakat dengan latar budaya yang beragam akan mengkonsumsi barang, informasi, nilai, gaya hidup, bahkan ideologi yang sama. Akan tetapi, John Naisbitt (1988) menyanggahnya “keseragaman dan hilangnya perbedaan identitas kultural hanyalah mitos globalisasi yang terlalu diagungkan”. Faktanya, globalisasi justru selalu menyajikan sesuatu paradoksal, tidak disangka-sangka, dan tampil menjadi realitas yang nyata. Maraknya artikulasi identitas kultural dan agama; retaknya identitas nasional; politik desentralisasi; dan kebangkitan budaya lokal merupakan aneka paradoks global. Dengan kata lain, globalisasi adalah disrupsi atau ketidakmenentuan yang sungguh-sungguh nyata karena manusia dihadapkan dengan nilai-nilai kehidupan yang tunggal sekaligus beragam, bahkan acapkali saling bertentangan.

Paradoks global mengisyaratkan strategisnya wacana kebudayaan dalam menentukan eksistensi ataupun masa depan suatu bangsa. The Great Disruption (Fukuyama, 1992), dan The Clash of Civilization (Huntington, 1996) menguntai benang merah bahwa kebudayaan akan memiliki andil yang lebih besar dalam menentukan masa depan dunia. Integrasi dan kemajuan, sebaliknya konflik dan kemunduran suatu bangsa cenderung akan ditentukan oleh faktor kebudayaan melampaui sekedar urusan politik, ekonomi, dan sosial. Mengingat hanya dalam wacana kebudayaanlah perbedaan ditemukan dan dikalkulasikan sebagai keunggulan potensial, tatkala bidang-bidang kehidupan yang lain nyaris sepenuhnya seragam. Tegasnya, paradoks global memperluas rentang alternatif bagi peran kebudayan termasuk agama untuk membangun masa depan masyarakat.

Perluasan rentang alternatif ini menyediakan peluang lebih besar bagi bangsa-bangsa untuk merumuskan dan menegaskan kembali identitas kebudayaannya dalam menghadapi penetrasi budaya global. Anthony Giddens (1998) mengajukan ‘Jalan Ketiga” (The Third Way) sebagai upaya strategis untuk menggali kebaikan dari semua ideologi dan menemukan ramuan ideologis yang sesuai dengan idenitas budaya masyarakat. Roland Robertson (1995) menawarkan ‘glokalisasi’ sebagai jalan tengah yang menekankan bagaimana proses global dipengaruhi, bahkan ditumbangkan oleh penerapan, penafsiran, dan adaptasi budaya lokal sehingga dapat terjadi interaksi dinamis antara nilai-nilai lokal dan global. Ida Bagus Mantra (1996) menegaskan pentingnya penguatan jati diri budaya yang berkesinambungan dalam perubahan (continuity in change).

Hindu Milenial
Perkembangan teknologi informasi bersiap menggulirkan Revolusi Industri Keempat (4.0), di mana teknologi robot dan siber akan mengamputasi sebagian peran manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Prof. Klaus Martin Schwab (2017) mengatakan “saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental akan mengubah cara hidup, cara bekerja, dan cara berhubungan satu sama lain”. Revolusi ini tidak saja menyajikan tantangan penyiapan sumber daya manusia yang mampu menguasai teknologi tersebut, melainkan juga revolusi kebudayaan yang sulit diprediksi dampaknya. Artinya, penguasaan teknologi dan penguatan identitas kultural akan mengalami benturan yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Di sinilah, peran generasi milenial Hindu menemukan panggilannya.

Secara demografis, milenial Hindu mengacu pada generasi yang lahir setelah tahun 1980-an. Sejak semula generasi ini memang telah berkenalan dengan dunia digital dan terus mengikuti tahap-tahap perkembangan teknologi infornasi yang semakin canggih. Generasi yang lahir setelah tahun 2000-an, bahkan dengan cepat mampu menggunakan media internet seakan-akan tanpa perlu belajar. Sebaliknya, generasi sebelumnya yang kendatipun harus tertatih-tatih, juga berusaha terlibat dan berpartisipasi dalam teknologi informasi. Milenial kini telah menjadi cara dan gaya hidup sehingga faktor demografis tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk menentukan siapa milenial Hindu. Dengan demikian, Hindu milenial mencakup seluruh umat Hindu yang akrab dengan media digital dan internet.

Hindu milenial lebih mengandalkan media digital dan internet untuk mengetahui, memahami, serta menghayati ajaran agamanya. Mereka seolah-olah kehilangan minat untuk menggali pengetahuan agamanya lebih dalam dengan membaca teks-teks sumber yang lebih otentik. Semua informasi keagamaan yang tersaji pada laman internet menjadi konsumsinya sehari-hari sekaligus membentuk religiusitasnya berdasarkan caranya memaknai dan menilai informasi tersebut. Kemampuan menyeleksi dan menentukan derajat keakuratan informasi keagamaan yang demikian beragam, pada gilirannya menentukan kedirian Hindu milenial. Mendapatkan pencerahan yang sarat makna atau malah tersesat dalam belantara hoax adalah konsekuensi paradoks kemanusiaan terbesar yang dihadapi Hindu milenial. Di sini-sekarang, moralitas harus dihadirkan sebagai kendali utama teknologi informasi.

Seiring disrupsi global sebagai perluasan rentang alternatif kehidupan dengan segala konsekuensi paradoksnya, juga ruang dan peluang bagi Hindu milenial untuk menatap masa depan Hindu yang lebih baik. Teknologi informasi tetap harus didudukkan sebagai alat atau sarana untuk menggapai tujuan kehidupan manusia. Menyelaraskan kesadaran instrumental dan kesadaran tujuan menjadi dimensi penting yang harus dikedepankan. Apabila dharma, artha, kama, dan moksa adalah tujuan kehidupan manusia, maka teknologi informasi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan tersebut. Memviralkan dharma pada laman-laman digital menjadi kewajiban Hindu milenial karena itulah landasan meraih artha, kama, dan moksa. Kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan dalam berinformasi menjadi syarat mutlak keberhasilannya.

Global, milenial, dan viral menjadi fenomena tunggal yang menyertai perkembangan teknologi informasi. Situasi ini menghadapkan generasi milenial pada berbagai paradoksal yang menantang, bahkan mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya juga menyediakan rentang alternatif yang lebih luas sebagai peluang dan kekuatan untuk meneguhkan kembali nilai-nilai tersebut sesuai tuntutan masyarakat kekinian. Mengubah tantangan dan ancaman ini menjadi peluang dan kekuatan adalah perintah moral bagi generasi Hindu milenial untuk mengoptimalkan kecerdasa, kreativitas, dan kecepatannya memasuki Revolusi Industri 4.0. Di sinilah, pembangunan sumber daya manusia Hindu yang berwawasan global dengan tetap berpegang pada nilai moral menemukan signifikansinya. Inilah tanggung jawab yang harus diemban generasi Hindu milenial.



BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...