I W a y a n S u k a r m a
Fajar nusantara terpancar di bumi Pesut Mahakam, sejak Pallawa ditatahkan. Sungai Mahakama menjadi saksi purba bahwa negara sejahtera, Kutai Martadipura dan Kartanegara Hindu pernah lahir di bumi ini. Kini, Kutai telah dipilih kembali menjadi Ibu untuk mengasuh seluruh anak negeri mewujudkan ‘Kartanegara’ dalam naungan NKRI. Babad Tanah Kutai Kartanegara menyingkap tabir kebenaran bahwa dari sini sejarah bangsa dimulai, dari sini pula masa depan menanti.
Kutai Kartanegara telah ditetapkan menjadi lokasi ibukota negara Republik Indonesia yang baru bersama Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemindahan ibukota negara ini telah dilakukan dengan berbagai pertimbangan rasional, seperti ketersediaan lahan, minimnya risiko dari bencana alam, ketercukupan air, pertumbuhan ekonomi, letak geografis, serta beban kependudukan di Jakarta dan pulau Jawa saat ini. Meskipun pemerintah sudah menjelaskan bahwa perpindahan ibukota negara telah melalui kajian selama tiga tahun, tetapi rencana tersebut tidak sepenuhnya bebas dari pro dan kontra masyarakat dengan argumentasi serta harapan masing-masing. Respons terhadap perubahan sosial dan budaya memang selalu memunculkan tiga kelompok sikap, yakni progresif, konservatif, dan moderat.
Tidak mustahil, sikap umat Hindu pun terbelah pada tiga kelompok tersebut, walaupun tidak menyuarakannya secara lantang. Mengingat bagi Hindu, pemerintah adalah guru wisesa yang dalam ajaran catur guru dipercaya sebagai penuntun dan pelindung menuju keselamatan dalam hidup bernegara. Masyarakat sebagai sisya senantiasa diajarkan untuk menjadi pemuja dan pelayan setia yang mempercayakan, mengandalkan, sekaligus menyerahkan keselamatan jiwanya pada sang guru. Apalagi dharma negara menetapkan kewajiban kepada umat Hindu untuk tetap setia pada pemerintah dan seluruh regulasinya. Mendoakan semoga ibukota negara baru mampu menjadi ‘perahu dharma’ untuk menyeberangkan seluruh masyarakat Indonesia ke gerbang kesejahteraan mungkin menjadi pilihan sikap religius yang paling bijak.
Kendati begitu, umat Hindu pasti memiliki memori tersendiri dengan Kutai, bahkan mengendap pada alam bawah sadar yang siap meletup kapanpun. Mengingat kata Kutai pasti muncul ketika umat Hindu mempelajari sejarah perkembangan agama Hindu nusantara. Akan tetapi, data sejarah tentang Kutai terbilang minim apabila dibandingkan kerajaan-kerajaan Hindu lainnya. Malahan dalam penelusuran laman elektronik, acapkali pemberitaan tentang ‘Kutai Hindu’ tidak sebanding dan seekspresif wacana mengenai Kutai di bawah Kesultanan Islam. Dalam praktik wacana, fenomena semacam ini bukan hal yang terlampau mengejutkan karena sejarah ditulis oleh pemenang. Mengulik Babad Kutai Kartanegara adalah panggilan hasrat untuk merangkai kembali jejak-jejak Kutai Hindu yang mulai memudar.
Kutai Martadipura
Babad Kutai Kartanagara mengalir dari hasrat purba ‘Kama’ (Muara Kaman) atau ‘Mahakama’ (Mahakam) para leluhur nusantara untuk membangun peradabannya melalui interaksi dengan kebudayaan India–Hindu. Penyatuan ini terpatri dalam yupa, tugu batu yang ditemukan di Muara Kaman dan sekitar daerah aliran sungai (DAS) Mahakam. Sri Narendra Kudungga mewakili budaya pribumi yang belum tersentuh budaya Hindu, tetapi ia berani membuka diri untuk mempelajari agama dan budaya Hindu. Hasrat ini mungkin saja dipicu oleh satu keunggulan budaya Hindu yang belum dimiliki oleh masyarakat Borneo waktu itu, yakni aksara. Tidak disangkal lagi, interaksi kebudayaan di Kutai ini menjadi tonggak awal tradisi literal nusantara.
Sejarah bermula ketika suatu masyarakat mulai mengenal tulisan, sekaligus menandai lenyapnya era kegelapan sejarah, nirlekha. Dari aksara Pallawa yang terpahat pada tujuh yupa itu pula, sejarah Kutai Martadipura atau Kutai Martapura mulai tersingkap jelas. Baris demi baris kalimat Sanskerta berkisah banyak hal tentang Kutai Martadipura, baik yang terungkap langsung maupun yang diungkap para sejarawan kemudian hari. Ahli sejarah memperkirakan umur prastasi itu dari perbandingan usia huruf yang sama dan telah ditemukan di India sekitar 400 masehi, serta usia batu yang digunakan (palaeologhy). Prasasti dalam yupa ini menjadi petunjuk sejarah terpenting mengenai kehidupan keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan masyarakat Kutai Martadipura.
Dalam aspek keagamaan, yupa tersebut mengisahkan tentang persembahan (daksina) ribuan ekor sapi oleh Sri Maharaja Mulawarmman kepada para brahmana yang telah berhasil melaksanakan yajna utama. Pelaksanaan yajna besar (sautrasutra) dan penghargaan yang tinggi kepada para brahmana mencirikan kuatnya pengaruh agama Weda, khususnya mazhab Brahmana (Wedic-Brahmanism). Apabila dibaca dari teori Brahmana yang disampaikan J.C. van Leur, masuknya Hindu ke daerah Borneo diperkirakan dibawa oleh para brahmana dan didukung para ksatrya dan weisya pada masa berikutnya. Perkembangan Hindu di Kutai tidak dapat dilihat sebagai bentuk hegemoni, tetapi melalui proses dialektis yang panjang dengan sistem religi lokal sebelum akhirnya dimapankan sebagai agama negara.
Proses dialektis pada aspek keagamaan tampaknya juga berkaitan erat dengan proses sosial terutama dalam konteks interaksi dan pembentukan struktur sosial. Interaksi masyarakat pribumi dengan masyarakat Hindu India meniscayakan terjadinya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai sosial baru. Para brahmana sebagai kelas sosial tertinggi dalam struktur masyarakat Hindu dihargai karena kebajikan dan kecakapan keagamaannya. Kehidupan sosial dan politik juga mulai ditata dengan melibatkan peran penguasa lokal dan kaum ksatrya India. Masuknya kaum weisya ke Borneo berkaitan erat dengan terbukanya jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sungai Mahakam menjadi jalur transportasi yang efektif bagi para pedagang untuk melakukan interaksi ekonomi yang produktif dalam masyarakat.
Berdirinya negara Kutai Martadipura sebagai institusi sosial politik terbesar menjadi puncak perkembangan sosial masyarakat Kutai. Sri Narendra Kudungga oleh para ahli sejarah diyakini adalah penguasa lokal karena nama ‘Kundungga’ minim sentuhan kultur India. Dari segi politik kebudayaan, pengukuhan penguasa lokal sebagai raja dapat dibaca sebagai bentuk negosiasi budaya agar orang-orang India-Hindu di Kutai tidak dipandang sebagai musuh atau penjajah yang ingin menguasai wilayah mereka. Akan tetapi, karakter penyebaran Hindu di berbagai wilayah yang adaptif dengan tradisi lokal tampaknya lebih dominan daripada sekedar politik kebudayaan. Tatanan politik Hindu semakin mapan ketika penerus tahta Kutai mulai mendapatkan gelar yang kental nuansa hinduistik.
Nama Aswawarmman dan Mulawarmman yang disebutkan dalam prasasti yupa di Kutai menunjukkan semakin kuatnya pengaruh unsur-unsur budaya Hindu di Kutai. Aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta mulai diperkenalkan dan membangun budaya literal yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Walaupun tidak ditemukan bukti-bukti tentang perkembangan kesusasteraan Hindu di Kutai, tetapi besar kemungkinan teks-teks kesusasteraan Hindu dari India telah dibaca pada masa itu seiring dengan munculnya tradisi literal. Keberadaan sungai Mahakam juga memberikan pengaruh tersendiri terhadap perkembangan peradaban sungai di Kutai Martadipura. Apalagi peradaban Hindu di India hampir seluruhnya berpusat di sungai, seperti Gangga, Yamuna, dan Sindhu, sehingga transformasi budaya dapat berlangsung secara intensif.
Kutai Kartanegara
Kekuasaan Kutai Martadipura mulai meredup pada masa pemerintahan Sri Maharaja Dharma Setiawarmman sekitar abad ke-16 masehi. Salah satu sebab kemundurannya adalah berkembangnya kerajaan baru di Tanjung Kutai (‘Tanjung Kute’) seperti disebutkan dalam kitab Negarakertagama. Beberapa tulisan sejarah juga menyebutnya Kutai Kartanegara yang dipandang sebagai negara vassal dari Singasari sekitar abad ke-13 dilandasi keterkaitan nama Kartanegara dengan ‘Kertanegara’, raja Singasari. Seiring keruntuhan Singasari dan lahirnya imperium Majapahit, negara Kutai Kartanegara beralih menjadi wilayah kekuasaan Majapahit dan kitab Negarakertagama memberi keyakinan mengenai hal tersebut. Bukan tidak mungkin, dukungan Majapahit menempatkan Kutai Kartanegara sebagai kekuatan baru yang menyaingi Kutai Martadipura, laksana matahari kembar.
Sekitar abad ke-16, raja Kutai Kartanegara yang bergelar Aji Pangeran Sinum Panji Mandapa berhasil menaklukkan raja Kutai Martadipura, Sri Maharaja Dharma Setiawarmman dalam sebuah pertempuran. Kemudian terjadinya penggabungan dua kerajaan ‘Kutai’ tersebut yang dinamai “Kutai Kartanegara ing Martadipura’. Kata ‘ing Martadipura’ mengisyaratkan terjadinya pemindahan pusat kekuasaan dari Tanjung Kutai ke Martadipura atau Martapura. Sampai pada masa ini, Hindu masih tetap menjadi agama negara yang pengaruhnya menyebar ke berbagai wilayah di Borneo, bahkan hingga ke Serawak, Malaysia. Akan tetapi, masuknya Islam yang dibawa dua ulama besar, Tuan Ri Bandang dari Minangkabau dan Ri Tiro dari Aceh, menutup lepikan Babad Kutai Kartanegara-Hindu.
Dalam perkembangan berikutnya, Babad Kutai Kartanegara ditulis oleh sultan-sultan Islam dan berakhir setelah memasuki masa kemerdekaan. Kini, babad baru Kutai Kartanegara sebagai pusat peradaban nusantara siap untuk ditulis kembali. Bukan atas nama Hindu ataupun Islam, tetapi atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hadirnya kartanegara, negara yang adil, makmur, dan sejahtera, tentunya menjadi harapan seluruh elemen bangsa Indonesia menyambut ibukota baru. Umat Hindu yang pernah menancapkan jejak kartanegara di bumi Kutai, kini mendapat panggilan kembali untuk ikut berperan mewujudkan harapan itu. Peran inilah yang sedang ditunggu, sejauhmana umat Hindu mampu berkontribusi untuk mengawal Sang Mahakama mengalirkan kesejahteraan ke seluruh persada nusantara.
(Wartam edisi 56 Ok 2019)