Mahardhika

                          Mahardhika Digjaya

                         I W a y a n  S u k a r m a

“Merdeka atau Mati”, slogan pejuang kemerdekaan begitu bertuah menggugah semangat lepas dari penjajah. Sekarang, setelah tujuh puluh empat tahun merdeka sosmed meriah dengan slogan, “NKRI Harga Mati”. Tampaknya perjuangan tidak pernah selesai, entah untuk merdeka ataupun menang. 

Digjaya untuk mahardhika atau mahardhika untuk digjaya? Dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kiranya, kemerdekaan merupakan instrumen mengartikulasikan kebebasan dan mewujudkan eksistensi bangsa untuk meraih kemenangan – “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (Pembukaan UUD 1945). Sebelum proklamasi kemerdekaan dalam Mentjapai Indonesia Merdeka (1933) Soekarno menyatakan, “Kemerdekaan adalah jembatan emas”, “di seberang jembatan terdapat jalan bercabang dua. Pilih jalan yang menuju kemajuan kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan kelompok borjuis yang menguasai hajat hidup orang banyak”. Kemudian, dalam pidatonya (1 Juni 1945) Soekarno mengatakan, “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat dan memerdekakan hati bangsa kita!”.

Tampaklah pemimpin yang mahardhika memandang dan memanfaatkan suasana merdeka untuk kemahardhikaan rakyat dan bangsa. Kemerdekaan bagi rakyat menginspirasi dan mendorong kelahiran demokrasi: kebebasan dan kesetaraan beserta penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Demokrasi memungkinkan kemerdekaan mengalami proses pematangan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, seperti digambarkan dalam sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam proses memahardhikakan kemerdekaan penting bagi umat Hindu melaksanakan dharma agama dan dharma negara secara seimbang supaya digjaya, ‘menang’. Bhagawadgita pun menyimpulkan kehidupan memang dharma kuruksetra. Pemenangnya teguh melaksanakan dharma, baik kewajiban maupun keutamaan yang memberikan kebebasan. Menang, bukan hanya material dan spiritual, bahkan menang atas diri sendiri.

Peluang Menang
Kehidupan tidak seluruhnya berlangsung koorporatif dalam suasana damai, tetapi juga lazim berlangsung dalam tegangan konflik dan kompetisi berkepanjangan. Warna-warni interaksi sosial itu  berkenaan dengan upaya individu ataupun kelompok memahami dan menafsirkan norma-norma dan nilai-nilai yang membatasinya dalam mengekspresikan kebebasan. Pembatasan dan regulasi lainnya, justru peluang yang memungkinkan keleluasaan untuk bijak membuat pertimbangan dan keputusan, sabar merencanakan dan mengatur tindakan sehingga dapat membayangkannya kembali. Demokrasi memang toleran terhadap segala kemungkinan sekaligus intoleran terhadap intoleran itu sendiri (Karl Jaspers). Umat Hindu dapat memanfaatkan keleluasaan dan kemungkinan itu untuk mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, potensi dan kompetensi supaya digdaya dalam persaingan lokal dan global.

Bila mengacu pada warna dharma dan guna dharma, barangkali golongan sudra, kelompok pekerja dapat memanfaatkan keleluasaan dan kemungkinan itu untuk menguatkan komitmen beserta meningkatkan keterampilan dan kecakapan sehingga mampu mandiri dan bertanggung jawab secara profesional. Golongan wesya, kelompok wirausaha mengembangkan wawasan dan kepekaan bisnis untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menciptakan kemakmuran. Golongan ksatrya, kelompok pemimpin pemerintahan dapat mengembangkan visi dan misi kepemimpinan untuk mewujudkan kenyamanan, kemandirian, keadilan, dan kesejahteraan. Golongan brahmana, kelompok pemimpin agama mengembangkan tradisi keagamaan dan penghayatan agama, baik pribadi maupun bersama-sama. Kerja sama semua golongan tersebut dapat meningkatkan ‘daya saing’ karena keseluruhan lebih kuat daripada penjumlahan bagian-bagian.

Daya saing, entah kemampuan berpikir ataupun kesanggupan bertindak memang penting untuk menciptakan peluang persaingan, tetapi lebih penting memanfaatkannya untuk memenangkan persaingan. Hanya saja pemanfaatan daya saing dan sumber daya lainnya seringkali kurang efektif dan tidak produktif karena kelemahan kodrati misalnya, sad ripu, enam musuh. Karakter buruk ini meliputi kama (nafsu liar), lobha (serakah), krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan matsarya (dengki). Karakter ini mengurangi kebebasan sehingga orang yang berperingai buruk tidak mungkin bertanggung jawab dan cenderung menjadi pecundang. Pemenang hanyalah orang-orang yang mempunyai persiapan dan keberanian. Semakin matang persiapan berusaha dan keberanian mengambil tanggung jawab, semakin besar peluang menang.

Strategi Menang
Dalam rangka mematangkan persiapan, baik mental maupun spritual dibutuhkan pendidikan karena tujuan pendidikan adalah tujuan kehidupan, yaitu catur purusa artha. Untuk mengetahui, memahami, dan mengapresiasi kama (keinginan, kesenangan), artha (harta kekayaan), dharma (kewajiban, kebenaran), dan moksa (kebebasan, kebahagiaan). Landasannya panca sraddha, yaitu percaya kepada Sanghyang Widhi, atman (jiwa), karmaphala (prinsip tindakan), punarbhawa (reinkarnasi), dan moksa (kebebasan, kebahagiaan). Masanya sepanjang hayat, sejak brahmacari (masa muda), grehasta (masa berumah tangga), wanaprasta (masa kakek nenek), hingga bhiksuka (masa buyut). Fungsinya mengembangkan potensi manusia, supaya matang berpikir dan dewasa bertindak, yaitu mampu membedakan kenyataan dan sanggup memilih tindakan sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Hanya saja derajat kematangan dan kedewasaan, bahkan kemanusiaan, kemuliaan, dan sifat-sifat kemahardhikaan lainnya selalu berhadapan dengan kondisi, situasi, dan suasana lingkungan, seperti kelangkaan sumber daya alam, keterbatasan akses, dan ketidakadilan. Apalagi modernisasi berbagai bidang kehidupan membawa serta imperialisme baru, baik politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Untuk mengatasi ketimpangan antara kebebasan internal dan tekanan eksternal tersebut membutuhkan tiga daya, yaitu kreatif, aktif, dan destruktif. Kreatif, seperti Dewa Brahma menciptakan segalanya. Aktif, seperti Dewa Wisnu memelihara segala ciptaan. Destruktif, seperti Dewa Siwa memusnahkan segala ciptaan yang usang. Begitukah kekuatan pengetahuan, kebenaran, dan keadilan menghadapi perubahan nilai-nilai kehidupan sehingga memungkinkan perkembangan ide-ide baru.

Kepekaan pikiran menanggapi perubahan hingga membentuk gagasan dan menjadi konsep-konsep untuk memecahkan masalah kehidupan memang daya khas manusia. Daya ini bisa mengubah kesenangan, keinginan, dan hasrat (kama). Perubahan kama menyebabkan perubahan perbuatan dan tindakan (karma). Perubahan karma menyebabkan perubahan kebutuhan mengenai peralatan dan instrumen (artha) beserta aturan dan hukum (dharma). Rangkaian perubahan ini memungkinkan munculnya ‘tindakan bebas’, karena itu pelaku merasakan kelegaan, kebebasan, dan kebahagiaan (moksa). Pola tersebut toleran terhadap keberagaman dan perubahan yang menyertainya sehingga dapat menjadi strategi untuk mempertahankan semangat berusaha untuk memenangkan persaingan. Strategi ini mementingkan fokus pada keinginan menang karena fokus akan mengarahkan tindakan pada kemenangan.       
                             
Sang Pemenang
Menang memang awal dan akhir perjuangan. Menang untuk merdeka dan merdeka untuk menang. Suasana merdeka memungkinkan kebebasan memaknai kemerdekaan untuk memenangkan bidang-bidang kehidupan, seperti pergulatan kepentingan (politik), persaingan kebutuhan (ekonomi), dan kontestasi keperluan (sosial budaya). Pemenangnya hanyalah “orang-orang mulia” yang sukses melewati “jembatan emas”, jembatan mulia menuju kemuliaan “rakyat dan bangsa”. Pemenangnya memperoleh hadiah kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Pialanya bergulir dari masa ke masa misalnya, perebutan piala kekuasaan berlangsung setiap lima tahun. Untuk meneguhkan rasa hormat pada sejarah pemenang piala kekuasaan, Presiden Indonesia, antara lain Soekarno, M. Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Tohoh bangsa tersebut teladan kemenangan yang sukses melaksanakan dharma negara yang berorientasi pada jagadhita: kemakmuran dan kesejahteraan. Kemenangan tidaklah melulu perihal jasmaniah karena jasmani hanya mencerminkan perihal rohaniah. Upanisad menegaskan, manusia adalah refleksi atman. Mempertahankan kebebasan atman merupakan bentuk kemenangan sejati dalam melaksanakan dharma agama. Kehidupan tidaklah sepenuhnya jasmani yang tampak material, karena itu berhasrat hanya mengambil keuntungan material akan berakhir pada kekalahan. Hidup, bukanlah materi dan karenanya, kemakmuran dan kesejahteraan material sungguh berguna untuk mendukung Hidup. Pengetahuan tentang Hidup dan kewajiban yang menyertainya, bahkan membuat Senopati Drona dan Karna termasuk Senopati Bhisma yang dianugerahi menguasai kematiannya, ‘ikhlas menerima kematiannya’.

Wartam edisi 54 Agustus 2019






         







BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...