Tri Hita Karana
Tri Hita Karana Era Milenial
I Wayan Sukarma
Adil terhadap alam, palemahan subur, hidup pun makmur.
Arif dengan sesama, pawongan damai, hidup pun sejahtera.
Sraddha-bhakti kepada Tuhan, parhyangan tenteram, hidup pun bahagia.
Tri Hita Karana menggambarkan dunia manusia sebagai jaring kehidupan nan megah karena manusia sejak lahir menenun ikatan sekaligus melekat dengan alam, sesamanya, dan Tuhan. Ibarat laba-laba terjerat dalam jaring ciptaannya, demikian pula manusia terikat dan tergantung pada jaring kehidupan yang diciptakannya sendiri untuk membebaskan dan menyelamatkan hidup. Rahasia keterikatan yang membebaskan dan ketergantungan yang menyelamatkan, berada dalam rumusan ‘harmoni’, yakni ikatan esensial yang melahirkan kewajiban, dharma. Semakin adil terhadap alam, palemahan semakin subur, hidup pun semakin makmur. Semakin arif dengan sesama, pawongan semakin damai, hidup semakin sejahtera pula. Semakin sraddha-bhakti kepada Tuhan, parhyangan semakin tenteram, juga hidup menjadi semakin bahagia.
Kearifan lokal Bali tersebut cenderung lebih mengutamakan kehendak-budi (kebaikan) dan ekspresi perasaan (keindahan), dibandingkan akal-pikiran (kebenaran). Semangat membangun jaring kehidupan terus berlanjut hingga era milenial yang lebih rasional. Era yang lahir dari kandungan globalisasi ini terutama ditandai meningkatnya kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi. Misalnya, kesemarakan media sosial menandai intensitas pemanfaatan teknologi digital dan internet. Aplikasi digital, bahkan telah mengubah pola persebaran informasi dan komunikasi menjadi serba online. Tidak hanya ekonomi dan politik, juga pendidikan yang berbasis interaksi manusiawi kini dilangsungkan melalui interaksi digital, e-learning. Kondisi ini tentu mempengaruhi Tri Hita Karana era milenial terutama perilaku manusia dalam memperjuangkan harmoni kehidupan.
Paradoks Digital
Kehadiran teknologi digital kini menjadi jaring kehidupan yang menjerat serta mengikat umat Hindu milenial dalam membina hubungannya dengan alam, sesama, dan Tuhan. Kendati pada titik tertentu, juga teknologi digital menjadikan manusia semakin berjarak dengan dunianya. Lihat misalnya, seorang dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk bergumul dengan smartphone-nya. Ia tidak mempedulikan orang lalu lalang di sekitarnya, melupakan kewajiban merawat lingkungan, bahkan melalaikan kewajiban sembahyang. Kehidupan nyata seakan telah kehilangan signifikansinya sebagai ruang interaksi yang produktif karena interaksi melalui dunia maya jauh lebih menyenangkan bagi manusia milenial. Apalagi dunia maya menyediakan kebebasan yang lebih besar untuk mengekspresikan segala kehendak, pikiran, dan perasaan manusia.
Dunia maya telah menjadi ruang yang paling produktif untuk mengkspresikan kecintaan manusia terhadap alam, keakrabannya dengan sesama, dan kepercayaannya kepada Tuhan. Unggahan swafoto, video, dan status di media sosial menjadi salah satu cara manusia milenial menarasikan Tri Hita Karana. Walaupun sebaliknya, pemikiran, ujaran, dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip Tri Hita Karana juga bertebaran di media sosial. Paradoks ini menjadi keniscayaan atas sifat dan karakter manusia yang multidimensional. Artinya, teknologi digital menyediakan ruang yang sama bagi setiap ekspresi sehingga menantang manusia milenial untuk menemukan sendiri nilai harmoni sebagai prinsip dasar Tri Hita Karana, dalam belantara informasi digital dengan segala paradoksnya.
Implikasi terburuk budaya massa termasuk internet sebagaimana diungkapkan para kritikus modernisasi dan globalisasi adalah kegagalan menghadirkan kemungkinan pencerahan yang sarat makna. Mengingat media digital berpretensi menciptakan audien tunggal, yakni penerima informasi sekaligus penentu makna. Menerima informasi yang disajikan media digital memerlukan sikap selektif untuk memilah dan memilih. Padahal informasi itu sendiri acapkali mencampuradukkan fakta, opini, bahkan imajinasi orang yang menyampaikannya sehingga mengaburkan kebenarannya. Selain itu, juga audien acapkali gagal dalam memaknai informasi tersebut karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman sehingga melemahkan sikap kritis mereka. Apalagi jika rasio, emosi, dan moral tidak bekerja secara seimbang dalam memaknai informasi yang samar dan sumir.
Kendati begitu, bukan berarti bahwa media digital tidak memiliki andil dalam menghadirkan pencerahan umat manusia. Meningkatnya literasi masyarakat tidak lepas dari semakin intensifnya akses terhadap informasi digital. Oleh karenanya, kritik moral terhadap konten informasi digital menjadi keharusan bagi setiap audien agar terhindar dari pengaruh negatifnya. Di sinilah, agama menemukan posisi serta peran sentralnya untuk membangun kesadaran intelektual, moral, dan spiritual manusia milenial dalam menghadapi derasnya arus informasi digital. Kesadaran ini akan memampukan manusia milenial untuk memanfaatkan dan mendayagunakan teknologi digital sebaik-baiknya, dalam rangka menata serta membangun kembali interaksinya dengan alam-lingkungan, sesama, dan Tuhan sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga dalam perubahan.
Menatap Era Baru Tri Hita Karana
Era milenial menandai satu tahap pencapaian peradaban manusia. Kemajuan teknologi informasi menggantikan pola-pola aktivitas manusia dari era-era sebelumnya terutama digitalisasi berbagai bidang kehidupan. Seiring dengan itu, interaksi manusia dengan alam-lingkungan, sesama, dan Tuhan pun mengalami perubahan yang demikian drastis. Proses perubahan yang begitu cepat dan massif menciptakan kejutan budaya (culture shock) terutama generasi tradisional. Setiap manusia sibuk dengan dunianya masing-masing dan smartphone menjadi dunia baru yang digumuli sepanjang waktu. Di sana manusia milenial berusaha menemukan dan mengekspresikan dirinya. Alam, manusia, dan Tuhan berangsur-angsur menjadi realitas imajiner yang terpampang pada layar digital. Melalui layar itu pula, manusia mencukupkan interaksi dengan ketiganya.
Terlepas dari segala paradoks era milenial, Hindu mengamanatkan agar setiap perubahan senantiasa disikapi secara arif dan bijaksana sebagai realitas sejarah yang tidak mungkin dilawan. Ajaran catur yuga menegaskan bahwa setiap perubahan zaman bermula dari menurunnya kesadaran manusia dan zaman baru menandai munculnya kesadaran baru. Artinya, kesadaran menjadi penentu berhasil-tidaknya manusia dalam merenangi perubahan. Atas dasar itu, reorientasi kesadaran Tri Hita Karana menatap era milenial menjadi keharusan bagi seluruh umat Hindu sehingga harmoni kehidupan dapat terus dipelihara. Diperlukan upaya mendefinisikan kembali kesadaran manusia mengenai Tri Hita Karana era milenial dalam konteks ‘kesadaran instrumen’ yang senantiasa berubah dan ‘kesadaran tujuan’ yang konstan.
Kesadaran instrumen mengamanatkan bahwa alat-alat kehidupan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manakala kebutuhan manusia berkembang, maka teknologi juga akan berkembang. Terpenuhinya seluruh kebutuhan manusia memiliki korelasi langsung dengan tujuan hidup manusia. Oleh karenanya, alat dan tujuan tidak mungkin dapat dipisahkan secara tegas karena setiap tujuan meniscayakan alat dan alat muncul karena tujuan. Kedua kesadaran ini mencerminkan hakikat dharma. Dharma adalah alat untuk mencapai tujuan (trivarga), juga sebaliknya dharma menjadi tujuan hidup (catur purusa artha). Era milenial menyediakan alat kehidupan berupa teknologi digital untuk memudahkan hidup manusia. Alat ini harus dimanfaatkan dengan prinsip-prinsip dharma sehingga manusia terarah pada jalur tujuan hidupnya.
Pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat mencapai harmoni kehidupan dengan alam-lingkungan, sesama manusia, dan Tuhan adalah prinsip Tri Hita Karana era milenial. Di sini, kebenaran (satyam), kebaikan (sivam), dan keindahan (sundaram) hendaknya menjadi spirit utama dalam menerima, menelaah, ataupun mengekspresikan beragam informasi digital. Pemikiran yang benar dan ujaran yang baik harus menjadi panduan perilaku dalam dunia digital agar manusia tidak berjarak dengan kebahagiaan. Keunggulan teknologi digital dalam menyebarluaskan informasi yang menembus batas usia, bangsa, budaya, dan agama hendaknya dimanfaatkan untuk menebarkan spora-spora kebajikan kepada seluruh umat manusia. Dengan demikian, kehadirannya benar-benar bermanfaat sebagai sarana manusia untuk melaksanakan kewajiban hidupnya (dharmaning kahuripan).
Teknologi digital terbukti mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi simpati dan empati massa. Fungsinya sebagai media komunikasi, mengakumulasikan kehendak, pemikiran, dan perasaan para penggunanya sehingga bukan saja rasionalitas manusia yang dipengaruhi, melainkan juga emosi dan kepercayaannya. Kendati dalam sifat paradoksnya, juga kekuatan ini acapkali menjadi bumerang kemanusiaan ketika dimanfaatkan untuk menyalurkan berita bohong dan ujaran kebencian.
Oleh karena itu, bijak berwacana adalah rambu-rambu yang harus dipatuhi sebagaimana nasihat sastra bahwa dari wacana manusia mendapatkan teman, musuh, kebahagiaan, juga kematian. Alangkah mulianya bila teknologi digital mampu menggugah kesadaran lingkungan, kemanusiaan, dan ketuhanan sehingga Tri Hita Karana menemukan kemuliaannya menjadi spirit harmoni kehidupan.
Wartam, edisi 53, Juni 2019
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com