Hindupreneurship

Menabur Benih Hindupreneurship

I Wayan  Sukarma

Akar dari kesejahteraan materi adalah kerja. Tanpa kerja, kehancuran akan mendatangi semua yang telah maupun yang belum diperoleh. Hanya melalui kerja, orang berhak menerima imbalan dan mendapatkan kekayaan melimpah (Kautilya Arthasastra, XIX.6.35 – 36).

Masa depan agama dalam percaturan global ditentukan oleh kemampuannya menjawab empat persoalan masyarakat, yakni kesejahteraan (prosperity), kebahagiaan (happiness), kemanusiaan (humanity), dan kebebasan (freedom). Urutan keempatnya pun harus demikian menurut penanda zaman kali (kaliyuga). Dominannya kekuatan materi menempatkan pencapaian material (artha) sebagai orientasi pertama dan utama dalam kehidupan manusia. Artha juga yang menentukan standar nilai untuk mengukur tingkat kebahagiaan individu. Upaya manusia untuk meraih kemajuan materi (artha) acapkali tidak selalu diimbangi nilai-nilai moralitas sehingga kemanusiaan terdegradasi sampai pada titik nadirnya. Pada akhirnya, agama mengemban tanggung jawab untuk membebaskan manusia dari belenggu artha demi terwujudnya kebahagiaan hidup berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Pada prinsipnya, kaliyuga menunjukkan terbentuknya tatanan dunia baru yang  tidak mungkin lagi memisahkan antara kehidupan sosial, budaya, dan agama, dengan dunia ekonomi. Untuk itu, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi umat Hindu tidak dapat ditunda lagi. Hindupreneurship, di sini—kini, menemukan panggilannya sebagai gagasan penting untuk membangun masa depan umat Hindu yang sejahtera, bahagia, dan berperikemanusiaan. Kekalahan di tanah sendiri dalam persaingan ekonomi dengan penduduk pendatang sebagaimana fenomena di Bali, serta minimnya jumlah pengusaha Hindu pada level nasional maupun internasional, menunjukkan betapa masih lemahnya spirit kewirausahaan umat Hindu. Padahal Hindu mendudukkan pencapaian material (jagadhita) dan pembebasan spiritual (moksa) sebagai tujuan hidup tertinggi.

Hindupreneurship merupakan domain ekonomi (vartta), yang dalam Kautilya Arthasastra berhubungan erat dengan aktivitas praktis. Artinya, diperlukan keberanian untuk sementara waktu ‘memisahkan’ dunia ekonomi dengan agama, karena berpotensi menghambat keberhasilannya. Kautilya Arthasastra IX.4, juga mengatakan, ‘kekayaan akan berlalu dari orang-orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari para dewa (anugraha), karena keuntungan (artha) hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja.” Dengan kata lain, artha hanya mungkin dicapai melalui usaha dan kerja (karma) dalam dimensi sekularitasnya. Kendati demikian, juga Kautilya Arthasastra tidak menafikan religiusitas dengan mengatakan bahwa dharma mengikat seluruh aktivas kehidupan. Ini mengisyaratkan pentingnya religiusitas sebagai pengendali moral bagi seluruh aktivitas, termasuk ekonomi.

Dimensi sekuler-religius dalam aktivitas ekonomi Hindu meniscayakan untuk menggali benih-benih Hindupreneurship melalui trasformasi nilai-nilai kehinduan yang selaras dengan upaya meraih kesejahteraan materi (artha). Artha adalah bagian integral dari empat tujuan hidup tertinggi (catur purusa artha) sehingga tidak dapat dilepaskan dari dharma, kama, dan moksa. Secara holistik dan integral, keempatnya membangun relasi kausal dan resiprokal, seperti tiada artha tanpa dharma, juga tiada dharma tanpa artha; ataupun tiada kama tanpa artha, dan sebaliknya; begitu seterusnya. Dengan kata lain, keempat bagian catur purusa artha merupakan kesatuan dasar sekaligus tujuan hidup manusia. Transformasi nilai-nilai inilah yang ditawarkan sebagai benih Hindu-preneurship, baik ideal maupun praksis.

Kama: Hasrat Berwirausaha
‘Semua bersumber dari kama. Tiada dharma dan artha tanpa kama, bahkan dharma dan artha tiada berguna tanpa kama.’ Begitu kata Bhima dalam Santiparwa, ketika menjawab pertanyaan Yudhistira tentang kedudukan catur purusa artha. Kama sebagai dasar tindakan bermakna hasrat, keinginan, minat, motivasi; sedangkan sebagai tujuan berarti kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan (happiness). Segala tindakan pasti muncul dari hasrat, lalu berkembang menjadi minat, dan menimbulkan motivasi untuk mewujudkannya. Berawal dari hasrat untuk memiliki sesuatu, manusia meminati objek-objek yang dipandang dapat memenuhi hasratnya, kemudian ia termotivasi melakukan tindakan untuk mendapatkannya. Demikianlah cara kerja hasrat (kama) sebagai elemen psikis yang paling potensial menentukan lahirnya suatu tindakan.

Hindupreneurship, kewirausahaan Hindu, harus dimulai dengan menggugah hasrat umat Hindu untuk berwirausaha. Sepanjang hasrat ini tidak muncul, maka semua upaya hanyalah isapan jempol belaka. Menyajikan gambaran masa depan dunia niscaya dijadikan pemantik hasrat berwirausaha umat Hindu, juga membuka cakrawala mereka tentang peluang-peluang usaha yang potensial. Tujuannya agar mereka dapat mengenali minatnya tentang jenis wirausaha apa yang hendak digeluti. Langkah berikutnya adalah membangun motivasi mereka untuk mulai membangun usahanya. Motivasi dapat lahir dari luar (because of motive), misalnya melalui ajakan dan dukungan. Akan tetapi, tidak kalah pentingnya membangun motivasi dari dalam (in order to motive) sehingga umat menggambarkan sendiri masa depannya.

Artha: Kalkulasi Ekonomis
Motivasi saja tentu tidaklah cukup untuk membangun usaha tanpa dibarengi kalkulasi ekonomis yang tepat. Kalkulasi ini bertalian erat dengan modal, prediksi laba-rugi, dan potensinya ke depan. Supaya kalkulasi ini tepat, Manawadharmasastra dalam sejumlah sloka-nya mengajarkan kompetensi dasar yang harus dimiliki wirausahawan, seperti memahami kualitas permata, zamrud, logam, kain, wewangian, dan rempah-rempah (MDS.IX.329); kualitas ladang, cara bercocok-tanam, serta ukuran panjang dan berat (MDS.IX.330); kualitas barang dagangan, keadaan ekonomi suatu negara, potensi untung-rugi, dan cara memelihara ternak yang baik (MDS.IX.331); mengetahui berapa pekerjanya layak digaji dan semua peraturan tentang jual-beli (MDS.IX.332). Tentu saja pengetahuan ini dapat dikembangkan sesuai bidang usaha yang digeluti.

Hindu juga mengajarkan cara mengelola dan mengembangkan usaha seperti penjelasan Kautilya Arthasastra berikut ini. Keuntungan dapat diperoleh dengan segera (dagangan terjual cepat), melalui tawar-menawar; menghemat biaya membayar pekerja (ongkos produksi); selalu produktif; meminimalisasi bahaya (spekulasi berlebihan); berlaku adil kepada pembeli; dan bekerja sama dengan orang-orang yang berpotensi memberinya keuntungan lebih besar (membangun relasi bisnis). Kemudian, setelah usaha berjalan lancar, orang tidak boleh lekas berpuas diri dengan keuntungan yang telah diraih, tetapi harus berani mencari tantangan baru untuk mendapatkan keuntungan lebih besar (KAS.IX.4). Pemikiran bisnis Hindu Kuno tersebut tampaknya masih cukup relevan dalam era kekinian, walaupun diperlukan intepretasi yang lebih aktual.

Dharma: Moral dan Etos Kerja
Hindupreneurship dalam ranah sekuler dan religius terikat pada aturan-aturan moral (dharma) yang berlaku spesifik. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang aturan yang berlaku dalam bisnis menjadi demikian penting. Setiap wirausahawan harus memahami seluruh peraturan jual-beli yang berlaku di setiap negara. Pengetahuan ini menunjukkan bahwa Hindu telah mengenal bisnis antarnegara. Pebisnis juga dibenarkan melakukan satyanrta, yakni tindakan antara kejujuran dan kebohongan. Misalnya, seorang penjual harus jujur dengan kualitas barang dagangannya, tetapi boleh berbohong soal modal dan keuntungannya (Manawadharmasastra.IV.6). Dalam urusan meminjamkan uang, orang boleh mengatakan tidak memiliki uang kepada orang yang tidak dipercayainya, tetapi wajib mematuhi perjanjian, misalnya waktu tempo dan bunganya.

Selain itu, Kautilya Arthasastra, IX.4 juga mengingatkan tentang pelanggaran moral yang dapat menghancurkan usaha, yaitu nafsu, kemarahan, ketakutan, rasa belas kasihan, rasa malu, angkuh, keterikatan pada benda-benda, kepatuhan berlebihan pada aturan kebajikan, kelalaian, iri hati, sifat dermawan yang berlebihan, mudah menyerah, dan meyakini keuntungan adalah hadiah para dewa. Artinya, keteguhan dan keuletan dalam bekerja (karma) merupakan penentu keberhasilan wirausahawan, kendatipun ada nilai kemanusian dan religiusitas yang sedikit terabaikan. Doktrin purusakara dalam Kautilya Arthasastra menyatakan bahwa seorang harus terlatih pada bidangnya, karena tanpa itu kehilangan potensi kemanusiannya. Kualitas pekerjaan dan barang tidak boleh menurun sedikitpun, karena sama saja dengan menurunkan kekayaan. 

Moksa: Spirit Pembebasan
Meraih artha dengan mematuhi aturan dharma sesungguhnya juga merupakan upaya pembebasan jiwa, baik dalam konsepsi bebas dari (freedom of-) maupun bebas untuk (freedom for-). Artha mungkin saja menciptakan belenggu material sehingga jiwa terkungkung di dalamnya. Akan tetapi, pencapaian material juga dapat membebaskan jiwa dari belenggu duka (duhka) akibat ketiadaan artha yang justru dapat menghambat untuk menuju tahap pencapaian yang lebih tinggi. Dalam ajaran catur ashrama terang dijelaskan bahwa melampaui tahapan-tahapan kehidupan dengan sempurna merupakan jalan meraih kebebasan. Bagi masyarakat kebanyakan, tahap grehasta tidak mungkin lepas dari artha sehingga memenuhinya adalah perintah dharma. Meraih artha tanpa terbelenggu olehnya, itulah jalan pembebasan. 

Dalam konteks sosioreligius, Hindupreneurship menawarkan satu jalan untuk membebaskan umat Hindu dari keterbelakangan ekonomi, pendidikan, sosial, moral, dan spiritual. Dengan Hindupreneurship pula, umat Hindu memiliki kebebasan untuk membangun masa depan Hindu Dharma yang lebih cerah, melalui pemanfaatan artha sesuai petunjuk sastra agama. Sarasamuccaya telah menjelaskan, sebaik-baiknya artha adalah apabila digunakan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan (artha), merealisasikan kesenangan dan kebahagiaan (kama), serta memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, moralitas, dan spiritualitas (dharma). Hindupreneurship, sekali lagi tidak bertentangan dengan dharma, bahkan ia merupakan perintah dharma. Oleh karena itu, menumbuhkan semangat kewirausahaan seluruh umat Hindu sesuai dengan swadharma dan guna-karma masing-masing adalah jawaban masa depan. 

Wartam edisi 53 Juli 2019

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...