Pendidikan Hindu

Kemana Arah Pendidikan Hindu?

I  W a y a n  S u k a r m a

Pendidikan agama, karena bersifat ketuhanan sehingga tugas utama pendidikan Hindu menelusuri akar kedirian manusia hingga menembus selubung fenomena spiritual. Pendidikan Hindu tidak hanya membantu manusia menjadi karyawan dan cendekiawan, tetapi juga seniman. Bagi seniman dunia kehidupan merupakan arena mengekspresikan dan mendemonstrasikan kemuliaan harkat dan martabat manusia. Seniman bekerja melampuai keinginan, kewajiban, dan perolehan duniawi karena menyadari ketenteraman yang merupakan syarat kebahagiaan hanya diperoleh dari penguasaan atas diri sendiri.   

Pendidikan biasanya menjadi “kambing hitam” atas rendahnya kualitas akhlak, budi pekerti, dan sumber daya manusia. Masyarakat memahami pendidikan sebagai kegiatan mempermulia hidup dan tujuan pendidikan mewujudkan tujuan hidup sehingga pendidikan dianggap paling bertanggung jawab atas kegagalan hidup. Misalnya, anak nakal, remaja manja, pemuda tanpa kerja, dan pekerja tanpa tenaga dianggap kegagalan pendidikan. Entah karena kurang tanggap terhadap transformasi budaya, kurang sigap mengantisipasi perubahan sosial, ataupun larut dalam pergumulan ideologi. Perhatikanlah syarat masuk institusi pendidikan dan kerja! Seolah-olah terjadi situasi “saling lempar tanggung jawab” antara tiga pusat pendidikan. Ketika triguru belum sinkron dalam merencanakan pengembangan potensi manusia, kemanakah arah pendidikan Hindu? 
 
Arah pendidikan menentukan orientasi kurikulum, berupa jalan yang harus ditempuh menuju tujuan pendidikan. Taksonomi pendidikan (Bloom) misalnya, merangkum tujuan pendidikan untuk mengembangkan domain kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Komisi Pendidikan UNESCO menyarankan upaya pengembangan domain pendidikan itu bertumpu pada empat pondasi pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Tujuan belajar adalah berubah untuk tahu, melakukan, hidup bersama, dan menjadi – demi manusia tetap manusiawi. Bila ‘menjadi manusia Hindu’ adalah tujuan pendidikan Hindu dan tujuan pendidikan mewujudkan tujuan hidup, berarti arah pendidikan Hindu adalah pengembangan Dharma: atmanam mokshartam dan arthani jagadhita.

Hidup Cukup
Tujuan hidup catur purusa artha, dasar kepercayaan hidup panca sraddha, jalan hidup catur marga, tahapan hidup catur asrama, guru kehidupan catur guru, dan kebiasaan hidup panca yadnya sesungguhnya sudah menjelaskan arah pendidikan Hindu. Tugas pendidikan adalah mengembangkan Kesadaran Dharma. Manusia adalah refleksi atman, arthani atmanam, jiwa yang meraga. Kehidupan manusia adalah kesatuan artha (kekayaan), dharma (kewajiban), kama (kesenangan), dan moksha (keselamatan). Ini menunjukkan arah pendidikan, mengembangkan pengetahuan tentang kekayaan (arthasastra), pengetahuan tentang kewajiban (dharmasastra), pengetahuan tentang kesenangan (kamasastra), dan pengetahuan tentang keselamatan (mokshasastra). Mimamsa yang memusatkan penyelidikannya pada dharma menyimpulkan, keempat pengetahuan itulah landasan tindakan bagi orang yang menginginkan kehidupan. 

Dunia kehidupan adalah tindakan (karmamayam). Dunia muncul dari dan berlanjut karena tindakan, karma. Misalnya, Raju, filosof India pengagum Mimamsa merumuskan, karma adalah tindakan yang diperintahkan dharma dan dharma adalah tindakan yang diperintahkan Weda, karena itu karma adalah dharma. Dharma berarti suasana yang menghidupi serta mendukung manusia dan dunia. Weda adalah cukup dan bertindak atas perintahnya menjadi cukup. Berdasarkan nilainya, tindakan mengubah sifat-sifat dunia, bukan hanya duniawi, bahkan supraduniawi. Artinya, dasar dan arah pendidikan mengembangkan tindakan yang dalam panca sraddha disebut karmaphala. Manusia melalui tindakannya mempunyai kekuatan mengubah takdir dan nasib, bahkan lingkungannya,  entah terlahir kembali ataupun terselamatkan dalam kesatuan Tuhan.

Sederhananya, kurban (yadnya) merupakan bentuk eksternal dari hasrat, semangat (kama); dengan sarana kekayaan (artha) dan kewajiban moral (dharma) melahirkan tindakan (karma); menghasilkan tenaga, energi kembali kepada pelaku membentuk kama; karena itu mustahil terdapat tindakan yang hilang. Artinya, pengetahuan tentang pengelolaan kama menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara hasrat naluriah dan kewajiban sosial (tugas moral) dan kewajiban berkurban (tugas agama). Hidup bersama memang membutuhkan simpati atas situsasi (merasakan bersama) dan empati atas suasana (merasakan ke dalam). Berjuang dengan kemampuan sendiri untuk menentukan diri sendiri mutahil tanpa melibatkan lingkungan. Tegasnya, pendidikan membantu manusia bertindak untuk menyatukan bagian-bagian kehidupan menjadi kehidupan yang cukup. 

Hidup Bebas
Pendidikan memang upaya keras mewujudkan kehidupan yang cukup misalnya, memerangi penyimpangan mental dan sosial, memberadabkan masyarakat manusia, mengubah dan memurnikan unsur-unsur kebudayaan baru, melestarikan tradisi religius dan spiritual, serta merawat ilmu-ilmu duniawi. Tujuan pendidikan Hindu merangkum segenap tujuan kebudayaan dan agama Hindu, seperti penjelasan Radhakrishnan, Guru Besar dan Presiden India, kebudayaan Hindu tertuju kepada sesuatu yang transenden dan di luar jangkauan inderawi. Pencapaian tertinggi generasi masa lalu diraih karena kelekatan mereka dengan roh yang hingga kini menjadi teladan. Tujuan agama Hindu adalah kebangkitan spiritual. Mereka yang telah terbangkitkan akan terbebaskan dari khayalan semu tentang kasta dan ketamakan, kekuasaan dan kekayaan.

Artinya, semua manusia memiliki esensi ketuhanan yang sama, karena itu memiliki nilai dan hak dasar yang sama untuk meraih kebebasan dan keselamatan. Membebaskan badan (jasmani) dari penderitaan dan membebaskan tubuh (mental) dari kesengsaraan memang penting, tetapi sangatlah penting menyelamatkan jiwa (rohani) dari kemalangan. Cita-cita mewujudkan kehidupan yang bebas mengarahkan pendidikan membawa agama pada pencarian kebenaran dan kedamaian, bukan hanya kekuasaan dan kekayaan. Memaknai agama sebagai keberanian dan petualangan, bukan kepasrahan dan penyerahan. Memahami agama sebagai daya vital kewajiban moral yang mengakar pada tradisi. Dengan begitu, tradisi dan lembaga sosial lainnya yang mengemban pendidikan moral berkembang dinamis selaras dengan kesadaran masyarakat.

Pendidikan mendorong peran sosial agama dalam pembentukan umat manusia termasuk membangun spiritualitas individual. Kebangkitan spiritual terjadi hanya melalui permenungan murni yang hanya mungkin, bila pikiran, kehendak, dan perasaan sungguh-sungguh bebas. Radhakrishnan dan Zaehner, Pecinta Hinduisme mengingatkan, pikiran yang bebas memandang objek-objek dengan kerendahan hati. Kesucian diri yang menjadi syarat “mengalami” Tuhan ditandai dengan kerendahan hati, kemurnian hati, dan cinta kasih. Oleh karenanya, triguru bertanggung jawab atas kelambanan spiritual karena pendidikan bukan hanya sekadar suasana menghapal seloka dan mantra. Melainkan menanamkan nilai-nilai seloka dan mantra sehingga panca yadnya menjadi kebiasan yang lahir dari lubuk hati, sarana mencapai rasa kebersamaan dan kebebasan. 

Hidup Suksma
Kehidupan yang bebas bersumber pada martabat manusia, yaitu spiritual, kemanusiaan, dan harga diri. Pendidikan membantu manusia melindungi martabatnya dari “polusi duniawi”. Misalnya, perkembangan materialisme yang menggairahkan menimbulkan keegoisan dan arogansi, bahkan keraguan terhadap pemahaman tentang manusia adalah jiwa-raga. Tanpa jiwa, raga hanyalah mayat, karena itu status spiritual merupakan martabat utama manusia. Tugas pendidikan mengembangkan agama untuk menyinari kehidupan manusia dari dalam batin dan mendamaikan akal, budi, dan hati. Dengan begitu, keluarga, sekolah, dan institusi pendidikan lainnya, bukan hanya membantu manusia menjadi karyawan dan cendekiawan, bahkan menjadi seniman. Seorang seniman terbiasa bekerja dengan intuisi dan imajinasi melampaui intelek, ego, dan budi.   

Idealisme memang mendorong dan mengarahkan pendidikan menegakkan supremasi ruhani dalam diri manusia. Harapannya, status spiritual, martabat utama manusia tidak tercela karena hasrat dan keinginan (kama), harta benda dan kekayaan (artha), dan segala hal yang bersifat pisik belaka. Ketika mampu mempertahankan integrasi roh dengan badan dan tubuh, manusia pun memiliki intuisi langsung atas kesatuannya dan sanggup mengatasi kesadaran terbagi-bagi (sakala) dalam selubung fenomena kehadiran. Kenyataannya, manusia mesti dan harus berinteraksi dengan realitas misalnya, melalui persepsi dari luarnya, melalui intuisi dari dalamnya, dan melalui intelektual memahaminya. Artinya, manusia memiliki kedirian melampaui sifat realitas, karena itu membutuhkan pendidikan untuk mengapresiasi Spirit dan Suksma.


(Wartam Edisi 52 Mei 2019)

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...