Korupsi



Melawan Korupsi dengan Tattwa, Susila, dan Acara

I  W a y a n  S u k a r m a

Tattwa, Susila, dan Acara memang dapat menjadi kalimosadha melawan korupsi. Secara psikologis perbuatan koruptif terbentuk karena lemahnya sraddha sehingga membutuhkan tattwa untuk menguatkannya. Hidup dengan mengandalkan diri pada sraddha berarti memuliakan kehendak Tuhan yang menjadi kodrat manusia melalui Susila, melakukan perbuatan baik. Pemuliaan ini berlangsung turun-temurun hingga menjadi tradisi kegamaan, yaitu Acara. Pembiasaan perbuatan yang baik sekiranya, dapat menangkal korupsi mewabah dan menggerogoti imunitas tatanan kehidupan.            

Korupsi mewabah, seperti virus atau bakteri menyerang sistem imun masyarakat, bangsa, dan negara. Bukan hanya bersarang dalam departemen dan parlemen, bahkan korupsi menggerogoti lembaga yudikatif. Alih-alih menegakkan konstitusi dan mengokohkan demokrasi, malahan koruptor mendemonstrasikan arogansi kekuasaan otoriter seiring dengan hasrat-liar mengumbar kesewenang-wenangan. Entah merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, kelompok, ataupun orang lain, ternyata korupsi sudah menyerang masyarakat sejak Pemilu. Seperti berita awal April, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus menerima suap 400 ribu amplop yang masing-masing berisi pecahan rupiah 20 ribu dan 50 ribu. Artinya, melawan serangan wabah korupsi sudah menjadi tugas semua elemen dan lapisan masyarakat termasuk kelompok agama.
Pemeluk agama Hindu memang mempunyai tugas melawan korupsi sesuai dengan harapan agama, berupa Dharma Agama dan Dharma Negara. Agama yang menjadi persoalan pribadi, seperti anggapan Vladimir Lenin, namun melalui ajaran guru wiwesa memberikan kewajiban kepada umat Hindu mendukung negara mewujudkan tujuannya. Apalagi upaya negara mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial sejalan dengan perjuangan umat Hindu mewujudkan jagadhita. Artinya, Dharma Negara bukanlah sarana kelas penguasa memberikan harapan palsu dan Dharma Agama bukan bentuk protes terhadap keadaan ekonomi yang buruk, seperti pandangan Karl Marx. Tegasnya, umat Hindu mempunyai kewajiban melawan segala bentuk korupsi yang menghambat terwujudnya jagadhita dengan tattwa, susila, dan acara.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

Tattwa: Sinar Kebenaran
Tattwa melayani dan memenuhi kebutuhan sraddha. Mustahil beragama tanpa sraddha dan omong kosong sraddha tanpa tattwa. Widhitattwa, pengetahuan tentang Sanghyang Widhi untuk melayani dan memenuhi kebutuhan Widhisraddha, kepercayaan kepada Sanghyang Widhi. Sraddha, kepercayaan, iman itulah yang membentuk kepribadian, identitas kehinduan yang membedakan umat Hindu dari umat agama lain. “Begitu sraddhamu, begitulah dirimu”, kepercayaanmu adalah dirimu (Bhagawadgita). Sraddha secara psikologis membentuk struktur kejiwaan, yang membentuk sikap dan tindakan keagamaan, dan yang membentuk lingkungan sosial dan budaya. Artinya, sraddha tidak hanya membentuk tindakan keagamaan, tetapi juga tindakan nonkeagamaan. Sraddha menjadi inti kebudayaan, pedoman dan andalan hidup umat Hindu mewujudkan catur purusa artha.         
Mengandalkan hidup pada sraddha berarti menyadari kelahiran sebagai manusia mewarisi kemuliaan Tuhan sehingga seluruh bagian kehidupan bernilai ketuhanan. Kemuliaan dan keutamaan manusia terletak pada kebijaksanaannya mengentaskan kebodohan dan kemiskinan dan kebajikannya memberantas kejahatan termasuk korupsi. Orang bijak melawan musuh dalam dirinya sendiri, seperti mengawasi dan mengontrol gerak-gerik kama dan lobha dengan mencegah niat curang, hasrat culas, dan keinginan licik. Orang bajik menyadari pikiran, ucapan, dan perbuatannya diketahui dan diawasi Sanghyang Widhi karena memahami Cadhu Sakti Sanghyang Widhi, yaitu Wibhu, Prabhu, Jnana, dan Kriya. Sanghyang Widhi Mahabesar, menyusupi, memenuhi segalanya; Mahakuasa atas segalanya; Mahatahu tentang segalanya; Mahakarya, pencipta, pemelihara, pelebur segalanya.  
Sanghyang Widhi tidak menyisakan ruang kosong untuk menyimpan dan menyembunyikan kejahatan, bahkan tidak menyediakan waktu senggang untuk menghindar dari akibatnya, seperti pola karmaphala. Penjahat, seperti koruptor senantiasa dikejar oleh kejahatannya dan dikutuk oleh kata hatinya. Apalagi Dewata Nawasanga, manifestasi Sanghyang Widhi yang menguasai ruang-waktu, juga menguasai organ badan dan elemen tubuh mengungkung ‘diri manusia’ dari segala penjuru. Ini sebabnya, Widhitattwa menyarankan berdoa, “Om ano bhadrah kratawo yantu wiswatah”, sebelum melakukan tindakan kerja. Pertimbangkanlah kebenaran pikiran dari segala penjuru, seperti simpulan  Sarasamuccaya, “Pikiranlah yang menentukan perkataan dan perbuatan”. Kilauan kebenaran pikiran itulah Kalimosadha, lima usada penakluk niat, hasrat, dan keinginan korupsi.                     
  
Susila: Cahaya Kebaikan 
Kalimosadha, pusaka suci Yudistira berisi lima loloh yang menguatkan badan, menyehatkan tubuh, dan menyelamatkan jiwa. Kelima macam jamu itu, berupa pedoman tingkah laku terdiri atas kecerdasan, kebenaran, kesusilaan, kesucian, dan kesentosaan. Kecerdasan dalam rumusan Howard Gardner, Psikolog Harvard, kemampuan menciptakan dan memecahkan masalah serta menciptakan sesuatu yang bernilai kebudayaan. Seperti kemampuan menggunakan bahasa dan angka, mengamati dunia visual dan spasial, menikmati keindahan, menyadari kekuatan dan kelemahan diri sendiri, peka atas ekspresi orang lain, menggunakan kekuatan dan kelenturan fisik, dan mengenali lingkungan. Orang cerdas yang terpelajar biasanya melakukan tindakan cerdas, memandang tindakannya sebagai kewajiban, tanpa motif kebutuhan, kepentingan, dan keperluan pribadi.
Tanpa motif dan pamrih pribadi, tindakan pun tidak menimbulkan penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Entah karena merugikan keuangan atau perekonomian negara, koorporasi ataupun orang lain demi memperkaya diri sendiri. Tindakan cerdas itulah menurut Thomas Aquinas, cara utama menuju bahagia. Menurutnya, cukup menjalani kodrat saja, kewajiban bawaan lahir yang diberikan Tuhan. Kodrat manusia adalah baik, karena itu manusia yang baik adalah manusia yang menjalani kodratnya, melakukan perbuatan baik. Artinya, perbuatan baik adalah kegiatan manusiawi karena hanya manusia yang melakukannya. Manusia secara sadar berkehendak melakukan suatu perbuatan, berkuasa memilih dan mengontrol perbuatannya, karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tanggung jawab kesusilaan itulah pendar kebaikan. Pantulan kebenaran yang menerangkan kesucian hati nurani yang universal ke dalam situasi parsial, spesifik, dan praktis. Kebenaran pikiran hanya menjelaskan dan mengokohkan nilai yang baik dan nilai yang buruk sehingga dalam mental muncul prinsip imperatif, berupa perintah dan larangan. Perintah dan larangan Sarasamuccaya (314) misalnya, “Tirulah perbuatan orang bajik dengan tekun dan teguh. Harta yang bertentangan dengan kebajikan tidak layak dipegang teguh. Walaupun tanpa harta, tetapi bermoral, bajik, dan susila, inilah sesungguhnya yang disebut kaya”. Makna kekayaan, bukan tentang harta benda yang sudah dimiliki, melainkan tentang harta benda yang sudah diberikan kepada yang membutuhkan.  
                    
Acara: Kebiasaan dan Pembiasaan  
Memberi dan menerima itulah prinsip dasar dari interaksi sosial yang melandasi seluruh konstruksi sosial. Cara berbagi dalam kehidupan bersama diteruskan turun-temurun melalui proses pembelajaran sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi. Dalam keberagamaan pun berlangsung proses pewarisan, berupa pembiasaan Tattwa dan Susila melalui yadnya sehingga tradisi keagamaan disebut Acara. Pembiasaaan ini dikuatkan dengan upacara dan upakara, tapa dan brata, dana dan punia. Intinya, tulus memberi dan ikhlas menerima. Memberi tanpa motif dan pamrih pribadi dan menerima seadanya tanpa syarat. Tulus-ikhlas itulah bentuk kurban suci yang menimbulkan perasaan lega, menggembirakan. Bila dengan tulus-ikhlas sudah menggembirakan, nafsu berkelimpahan harta pun tertindas ke bawah sadar.
Menindas nafsu-liar itulah khas manusia. Belajar menjadi manusia lebih baik melalui Acara daripada menjadi raja penjara karena korupsi. Acara menyarankan, bejalarlah kepada dewa, leluhur, guru, alam, dan sesama. Dengan spirit panca yadnya, Acara pun menjadi upaya penghayatan agama bersama-sama serta cara mudah dan indah membiasakan ‘hidup sederhana’. Kebiasaan memberikan, menghaturkan, dan mempersembahkan membuat kehidupan semakin sederhana karena beban-beban perolehan pikiran dan hasil-hasil tindakan kerja telah berkurang. Alih-alih membawa harta benda dan pengetahuan, bahkan badan pun terlupakan saat hembusan nafas terakhir. Sekali lagi Sarasamuccaya mengingatkan, hanya perbuatan bajik di dunia ini yang paling menentukan, karena itu pergunakanlah untuk memutus lingkaran kelahiran.        

Wartam, Edisi April 2019



                                                                            
                                       
                                       
                                                                                 

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...