Radikalisme Agama



Waspada, Radikalisme di Sekitar Kita

I  W a y a n  S u k a r m a

Radikalisme, baik politik maupun agama sama-sama berbahaya. Sama-sama menimbulkan bencana, baik alam maupun kemanusiaan, bahkan kehidupan secara keseluruhan. Terhadap bahaya biasanya orang bersikap, antara lain menghadapi, menolak, dan menghindari. Menghindari bahaya dan akibatnya yang lebih mengerikan merupakan maksud yang hendak digambarkan dengan kata “waspada”. Seperti saran dari perayaan hari suci Galungan: menang dengan tidak mengalahkan, menaklukkan bahaya dengan waspada.     

Waspada” merupakan kata ekspresif untuk memper-ingat-kan, agar orang berhati-hati dan berjaga-jaga menghadapi ataupun mencegah munculnya bahaya. Dalam budaya Jawa, bahkan kata “ingat” dan “waspada” disandingkan menjadi ungkapan introspektif. Seperti “ojo dumeh eling lan waspodo”, ‘jangan mentang-mentang ingat dan waspada’ dan sak bejo-bejoning wong sing lali, isih bejo wong sing eling”,seuntung-untungnya orang yang lupa diri, tidak akan lebih untung daripada orang yang sadar diri’. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha merumuskannya seperti berikut, “begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada”, ‘sebahagia-bahagianya orang yang lupa, akan lebih bahagia orang yang ingat dan waspada’. Tetaplah ingat dan selalu waspada karena bahaya dapat muncul dari dalam diri sendiri dan datang dari luar: “sekitar kita”.   
Sikap ingat dan waspada terhadap bahaya memang penting ditumbuhkan dalam diri sendiri dan dikembangkan dalam masyarakat karena bahaya dapat menimbulkan bencana: kerugian materi, penderitaan batin, dan kesengsaraan jiwa. Dalam beraneka bentuk dan wujudnya bahaya dapat mengakibatkan kehancuran, kemusnahan, dan kelenyapan. Sejarah Nasional telah menunjukkan akibat dari bahaya ideologi komunis yang dikembangkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti “Gerakan 30 September”. Gerakan ini, juga telah mengakibatkan kehancuran tatanan sosial, kemusnahan perabadan, dan kelenyapan nyawa. Bukan hanya ideologi partai, bahkan ideologi agama bisa menimbulkan bahaya yang lebih mengerikan, seperti kisah dan sejarah Perang Salib (Crusade). Dibandingkan dengan ideologi partai memang ideologi agama dapat lebih efektif untuk membangun intensitas emosional dan membangkitkan sentimen masyarakat.   
Ideologi agama dapat lebih efektif untuk menggalang kekuatan sosial karena hidup keagamaan sebagai sistem organisasi psikologis cenderung mempengaruhi seluruh pribadi manusia. Dari segi psikologis, bahkan gaya hidup keagamaan sebagai pola organisasi kepribadian pengaruhnya menjangkau seluruh aspek kehidupan pribadi manusia, seperti agama, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Sifat transendental agama sebagai refrensi utama hidup keagamaan yang memungkinkan manusia memiliki makna hidup untuk menyatukan perbedaan pengalaman hidup menjadi keseluruhan yang utuh dan padu. Agama memberikan kerangka kehidupan kepada manusia dalam rangka menyatukan pemahaman tentang dirinya, masyarakat, dunia kehidupan, dan alam semesta. Agama menyediakan dan menjadi prinsip pemersatu yang menghubungkan pengetahuan dan sikap dengan tindakan-tindakan individu dalam konteks kehidupan sosial yang lebih luas.          
Agama telah menunjukkan keikutsertaannya mengatur dunia kehidupan yang lebih luas, bahkan mengambil peran di luar tanggung jawabnya. Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia sebagai makhluk Tuhan, tetapi juga menentukan hubungan-hubungan manusia pada beranekaragam bidang kehidupan. Agama tidak hanya menandai kelahiran dan kematian serta upacara kehidupan lainnya, tetapi agama secara aktif ambil bagian dalam menentukan batas-batas negara dan bangsa serta sekat-sekat kebudayaan dunia. Perhatikanlah “perlombaan peran” antara agama, pasar, dan negara dalam melakukan perubahan sosial dan kebudayaan. Apalagi melalui hubungan mesranya dengan negara, bahkan agama turut serta mewarnai demokrasi, kekuasaan, dan wacana politik lainnya. Partisipasi agama dalam menangani masalah-masalah kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, bahkan telah menggugah lahirnya partai politik berbasis agama.    
Implikasinya agama tidak hanya menggariskan dogma, moral, dan ritual bagi pemeluknya, tetapi juga aktif menentukan haluan negara dalam mewujudkan kedamaian, keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan sosial. Agama secara aktif menentukan bentuk-bentuk regulasi, pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan nasional. Pada gilirannya label agama pun tidak dapat dihindari melekat pada sistem pemerintahan, baik menyangkut tata kelola, tugas pokok dan fungsi, maupun tujuannya. Begitulah agama memberikan legitimasi kepada pemerintahan dan kenyataannya, juga pemerintahan tidak jarang menggunakan agama untuk melegitimasi kekuasaan politik. Agama relevan dalam melegitimasi “kemurnian dan kesucian politik” karena agama memiliki sifat dan sumber yang transenden. Agama sebagai refrensi transenden dipandang dapat menyuburkan politik sehingga kepadanya masyarakat menitipkan harapan: kehidupan sosial yang harmonis.   
Artinya, selain mempunyai otoritas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama mempunyai otoritas mengatur hubungan sosial dalam masyarakat. Otoritas ini dimungkinkan karena harkat dan kodrat manusia sendiri. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kewajiban mengabdi kepada agamanya; sebagai makhluk individu mempunyai kebebasan memenuhi kodratnya; dan sebagai makhluk sosial mempunyai tanggung jawab memanifestasikan kemanusiaannya. Otoritas ini menegaskan: segala hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Pemahaman inilah yang mudah ditafsirkan secara keliru: negara adalah perwujudan kehendak Tuhan, karena itu negara mesti dan harus diatur berdasarkan hukum agama. Dari sinilah muncul kelompok radikal agama yang menginginkan perubahan mendasar dalam kehidupan sosial dan politik berdasarkan agamanya: radikalisme agama.
Kelompok radikal adalah penganut radikalisme. Berasal dari bahasa Latin, kata “radix” berarti akar dan radikal berarti mengakar, mendasar, dan menyeluruh. Prinsip inilah yang mewarnai paham keagamaan sehingga kelompok radikal tampil dengan semangat fundamental dan fanatik yang tinggi. Semangat ini, juga membuat kelompok radikal seringkali memakai kekerasan dalam mengaktualisasikan kebenaran agamanya, baik dalam hidup keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam bentuk ekstremnya, kelompok radikal menghendaki perubahan sosial-politik secara mendasar dan menyeluruh, seperti mengganti dasar negara, undang-undang dasar, dan pemerintahan. Bahaya semacam ini menunjukkan bahwa agama sudah tidak lagi pahami sebagai tuntunan hidup untuk mencintai Tuhan, mengasihi sesama, dan menyayangi alam. Namun agama lebih dimaknai sebagai alat untuk merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan: politisasi agama.  
Kelompok radikal agama dapat muncul dari gaya hidup keagamaan terutama sikap penghayatan dan pengamalan agama yang literalis dan fundamentalis. Kelompok literalis menekankan pada pengamalan agama secara harfiah dan sama persis dengan Kitab Suci, karena itu tidak berkompromi dengan penafsiran. Kelompok fundamentalis mengamalkan agama dengan berpegang teguh pada azas-azas agama, karena itu menafsirkan Kitab Suci secara ketat, literalis, dan tertutup. Doktrinnya adalah kembali kepada ajaran agama yang asli, seperti tersurat dalam Kitab Suci. Hidup keagamaan yang membatasi peran akal-nalar semacam ini dapat muncul dalam semua agama terutama melalui aliran kepercayaan. Menghayati dan memahami agama secara radikal: mendalam dan menyeluruh adalah idola lembaga keagaman, namun tidak berlebihan menjadi radikalisme: menonjolkan semangat politisasi agama.
Kelompok yang mengamalkan agama dengan berporos pada keaslian ajaran dan otoritas Kitab Suci oleh Robert W. Crapps disebut penganut agama otoritas dengan jalan ketaatan. Penganut agama harus tunduk kepada otoritas yang terdapat pada hal-hal yang disucikan (seperti tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu historis) sebagai wahana bagi Tuhan menampilkan Diri dan menyampaikan kehendakNya. Lembaga keagamaan menjadi tempat kehadiran Tuhan dan penganut agama mewujudkan kesetiaannya. Agama orotitas memang dikuasai oleh konsep kekuasaan dan kontrol dengan pola mempertahankan struktur keagamaan dan menuntut kesetiaan. Ini sebabnya, lembaga keagamaan, petugas, dan tata tertib memiliki hak menuntut kesetiaan untuk menciptakan suasana ketaatan. Keutamaan penganut agama otoritas adalah menyerahkan diri kepada lembaga keagamaan untuk diatur, dikontrol, dan dikendalikan.  
Penganut agama menyerahkan diri sebagai bentuk penerimaan dan kesetiaan yang dilakukannya tanpa berpikir, tidak reflektif, dan naif atau lepas dari pendirian dan pendapat rasional. Kekuasaan yang mengatur, mengontrol, dan mengendalikan penganut agama dapat berasal dari salah satu atau gabungan antara Kitab Suci, lembaga keagamaan, hukum moral, dan tradisi. Mengingat iman menuntut kesetiaan dan ketaatan yang mutlak sehingga syahadat agama dan upacara keagamaan dapat menjadi media untuk memperluas kontrol dan kendali. Bukan hanya kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan, bahkan yang lebih penting adalah penganut agama dituntut setia dan taat kepada pejabat agama. Untuk itu, pejabat agama mendorong penganut agama mengorbankan prakarsanya dengan ganjaran perasaan lega karena merasa sudah melakukan hal yang benar.    
Begitulah agama otoritas mendorong ketaatan dan kesetiaan dengan menempatkan otoritas pada segala hal yang konkret dan dapat dinilai. Penganut agama tunduk-takluk pada kekuasaan dan tanggung jawab yang berada pada struktur organisasi, seperti ide-ide, gagasan, dan pemikiran yang terdapat dalam Kitab Suci, syahadat, dan aturan. Kekuasaan sepenuhnya dikendalikan pemimpin keagamaan dengan menempatkannya pada kedudukan yang memiliki orotitas mutlak atau dengan menganggap pendapatnya sebagai kebenaran tunggal yang terakhir. Otoritas mutlak itulah yang menjadi kekuatan pemimpin keagamaan dalam mempertahankan keberhasilan agama otoritas dengan memperkuat kedudukan dan perannya sehingga sanggup mendorong penganut agama melepaskan otonomi dirinya dan membiarkan dirinya dikontrol dan dikendalikan. Pada keinginan otoritas itulah penganut agama dengan jalan ketaatan suka rela menyerahkan diri.  
Sekali saja terjadi penyerahan diri itu, penganut agama akan mengalami kesulitan untuk melepaskan diri. Penyerahan diri itu adalah hubungan status agentis: suatu kondisi ketika orang melihat dirinya sebagai pelaku kebaikan yang sedang menjalankan kehendak benar dari pihak yang mempunyai otoritas. Akibatnya, penganut agama menerima otoritas keagamaan tanpa pertimbangan, baik secara akal maupun moral. Penganut agama menjadi naif dan suka rela menerima fungsi otoritas yang mengontrol dan mengendalikan dirinya tanpa memahami hakikat pengontrolan dan nilai pengendalian tersebut. Penganut agama tanpa daya kritis menerima ide, gagasan, pemikiran, dan menjalankan praktik keagamaan yang dikenakan padanya. Karena itu Erich Fromm menyayangkan gaya hidup keagamaan semacam ini yang disebutnya sama sekali tidak dewasa dan tidak diharapkan.  
Kesetiaan berlebihan kepada jabatan keagamaan dapat membuat sistem keagamaan semakin tertutup, karena itu dapat menimbulkan bahaya tidak toleran dan tidak tenggang rasa. Apalagi otoritas terletak pada struktur organisasi sehingga otoritas bentuk keagamaan berkaitan dengan jabatan keagamaan. Pejabat keagamaan bertugas menjaga bentuk-bentuk keagamaan, memelihara kebiasaan-kebiasaan praktik keagamaan, dan menjadi wahana otoritas. Pejabat keagamaan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadat, pendidikan, tugas suka rela, dan pelayanan berdasarkan aturan dan tata tertib. Syahadat, pengakuan iman, dan ajaran agama sebagai sumber ketaatan disusun sederhana agar mudah dipahami karena berfungsi sebagai tradisi keagamaan dan wahana mempertahanakan jabatan keagamaan. Dalam bentuk ekstremnya, agama otoritas mempunyai kegigihan yang berlebihan dalam membela iman sehingga menolak penganut agama lain yang berbeda.
Penghayatan agama yang eksklusif memang memiliki kecenderungan melahirkan kecintaan yang berlebihan kepada agama sendiri sehingga menimbulkan pandangan bahwa agama sendiri adalah kebenaran yang paling asli. Sikap memutlakkan kebenaran agama sendiri sebagai kebenaran terakhir inilah yang dapat melahirkan radikalisme agama, antara lain menilai agama orang lain palsu tidak mengandung kebenaran. Tidak jarang menilai agama orang lain sebagai agama yang keliru dan sesat, meremehkan dan menghina agama orang lain, serta menuduh dan menghakimi pemeluk agama lain berdasarkan ajaran agama sendiri. Radikalisme agama, juga dapat muncul dari tipologi agama, yaitu agama langit dan agama bumi. Agama langit adalah wahyu Tuhan yang paling sempurna dan agama bumi adalah ciptaan manusia berdasarkan akal, budi, dan khayalan.    
Tipologi agama yang mengarah pada pendeklarasian kesempurnaan agama sendiri dan pelucutan kecacatan agama orang lain merupakan suatu bentuk jebakan pendekatan dikotomis. Perayaan Galungan dan Kuningan misalnya, juga tidak lepas dari pendekatan itu karena lebih dimaknai sebagai peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Memahami dharma dan adharma saja tidak mudah, apalagi perlawanannya karena dharma tidak merumuskan dikotomi pahlawan dan pengkhianat. Begitu juga ketika Upanisad menyatakan, “Selain Brahman adalah Dharma”, tentu mustahil menempatkan Brahman dan Dharma sebagai dua konsep yang berbeda dan berlawanan. Apalagi, jika adharma dapat disejajarkan dengan amoral yang berarti netral dari penilaian moral, maka adharma dapat berarti netral dari penilaian dharma. Dengan demikian, adharma yang bukan dharma tidak berlawanan dengan dharma.
Dengan rumusan itu, juga dapat dikatakan bahwa Brahman yang bukan Dharma tidak berlawan dengan Dharma. Dalam rumusan lain dapat dikatakan bahwa Brahman dan Dharma dapat diterima sebagai kesatuan pemahaman (pengetahuan dan pengalaman) atas Satu Realitas. Barangkali dengan menghindari pendekatan dikotomis semacam itu dapat mencegah munculnya radikalisme agama dalam keberagamaan umat Hindu. Seperti yang dilakukan Ramanuja dengan pendekatan Wisistadwaita ketika memberikan jalan tengah dalam mendamaikan perdebatan tentang Brahman antara Madwa dengan pendekatan Dwaita dan Sankaracharya dengan pendekatan Adwaita. Keabsolutan Brahman sebagai Realitas Tertinggi dalam pendekatan Adwaita dan Brahman sebagai realitas yang berbeda dengan ciptaanNya dalam pendekatan Dwaita didamaikan lewat pendekatan Wisistadwaita dengan menyatakan bahwa Brahman memang bersifat transenden sekaligus imanen dalam ciptaanNya.
Serupa dengan Wisistadwaita, juga pendekatan Ardhanareswari menyatakan bahwa  realitas adalah kesepasangan dan kesetimbangan dua unsur (atau lebih) yang berbeda dan berlawanan, seperti roh dan benda atau laki-laki dan perempuan secara antropomorfis. Ardhanareswari terdiri atas kata “ardha” yang berarti setengah atau belahan; “nara” berarti manusia laki-laki; dan “iswari” berarti manusia perempuan. Dalam Manawadharmasastra 1.32 disebutkan bahwa “Tuhan membagi ketunggalan diriNya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan dan dariNya terciptalah segalanya”. Dalam Siwatattwa, juga disebutkan Bhatara Siwa sebagai kesepasangan dan kesetimbangan antara purusa dan pradana: aspek maskulin dan feminin. Bhatara Siwa sebagai Ardhanareswari adalah Siwa-Uma, Bhatara Guru, dan Hyang Wisesa dengan kemahaanNya. Pada kenyataannya dunia kehidupan bertahan karena perkawinan: kesepasangan dan kesetimbangan.    
Artinya, Hyang Widhi Wasa melalui Kitab Suci telah menyediakan jalan tengah untuk mendekati perbedaan ide tentang esensi, eksistensi, dan aktivitasNya. Apalagi agama Hindu mengafirmasi beranekaragam sistem ketuhanan sehingga pendekatan Wisistadwaita dan Ardhanareswari, kesepasangan dan kesetimbangan sekiranya dapat membuka sistem penghayatan agama yang dilakukan secara tertutup dan eksklusif. Misalnya, penghayatan terhadap Hyang Widhi Wasa, dewa-dewi, dan bhatara-bhatari, bahkan leluhur semuanya mempunyai porsi dan proporsi tersendiri. Penghayatan model ini mengajarkan: jenis-jenis perbedaan penghayatan agama yang terdapat dalam agama Hindu merupakan satu-satunya sendi yang membangun kemegahan agama Hindu. Keragaman penghayatan atas Yang Suci ini pun sejalan dengan perbedaan yang terdapat di bumi yang menyangga hukum alam. Seperti kemustahilan menemukan dua helai daun yang sama-persis.   
Itu sebabnya, usaha yang berlawanan dengan hukum alam, seperti menyeragamkan dunia kehidupan dengan satu cara hidup akan menemukan kegagalan. Sejarah agama-agama pun menunjukkan bahwa setiap gagasan ataupun cita-cita yang hendak mengikat seluruh dunia dengan satu agama selalu menemukan kegagalan. Dunia kehidupan dapat bertahan karena perbedaan, yaitu hukum alam yang bersifat mutlak. Perbedaan sebagai penyangga hukum alam menurut Alfred Nort Whitehead merupakan “aspek purba” Tuhan. Perbedaan adalah fakta yang mula-mula diciptakan Tuhan merupakan penilaian konseptual yang tidak bersyarat atas keserbaragaman objek-objek abadi. Disadari ataupun tidak bahwa objek-objek abadi itu memiliki relevansi nyata dari Tuhan. Apabila terlepas dari Tuhan, objek-objek abadi tidak direalisasikan dalam dunia aktual yang relatif, maka tidak akan terjadi konkresi.
Konkresi adalah proses entitas aktual menjadi entitas aktual yang lain, yaitu proses pembentukan bersama-sama suatu entitas aktual yang hendak mewujudkan dirinya menjadi suatu entitas aktual berdasarkan datum-datum yang ada di alam semesta. Konkresi sebagai proses subjektivikasi adalah proses menjadi bentuk tertentu berdasarkan datum-datum yang dihasilkan melalui proses objektivikasi entitas aktual. Peristiwa konkresi dapat terjadi lewat prehensi, yakni proses merasakan. Berdasarkan filsafat proses itu dapat dikatakan bahwa agama Hindu mewujudkan dirinya melalui proses subjektivikasi, proses objektivikasi, dan proses prehensi. Proses inilah realisasi keserbaragaman “objek-objek abadi” dalam “dunia aktual yang relatif” dengan menempatkan Tuhan sebagai pusatnya. Begitulah agama Hindu sebagai entitas aktual dalam dunia relatif terbentuk melalui proses saling mengenal dan merasakan antarsekte.  
Proses pengenalan tradisi-tradisi dan merasakan praktik-praktik asketik antarsekte itulah yang memungkinkan terjadinya peristiwa konkresi sehingga agama Hindu menjadi seperti bentuknya yang sekarang. Bersyukur juga dalam proses konkresi itu agama Hindu menemukan bentuknya yang utuh dan padu: tattwa, susila, dan acara, seperti persyaratan komponen suatu agama. Dalam proses konkresi itu dapat muncul potensi-potensi yang mungkin dalam pembentukan entitas aktual akan tumpang-tindih, seperti munculnya tradisi dan praktik agama yang beragam. Bukan hanya antara aliran kepercayaan, bahkan antara satu desa dan desa lainnya muncul tradisi dan praktik agama yang berbeda, bahkan tumpang-tindih. Aktivitas tumpang-tindih ini wajar muncul karena tumpang-tindih terjadi antara entitas-entitas aktual dan potensi-potensi kemunculan entitas aktual lainnya yang beragam satu sama lain.  
Dengan demikian, radikalisme termasuk penghayatan agama yang eksklusif lainnya berlawanan dengan keanekaragaman hukum alam yang menyangga agama Hindu. Oleh karena itu, sudah selayaknya prinsip keserbaragaman alam diperlakukan sebagai pasangan-setimbang dengan norma moral yang memuliakan kemanusiaan dan aturan agama yang mengagungkan ketuhanan. Pendekatan kesepasangan dan kesetimbangan yang disarankan tri hita karana ini menegaskan: kesempurnaan ajaran ketuhanan berada pada kemampuan menghormati prinsip-prinsip alam dan kesanggupan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Selebihnya adalah deskripsi normatif tentang kecongkakan ego, kesombongan pikiran, dan keangkuhan budi para pengabdi agama. Pengabdi agama yang lihai penuh ilusi mendorong pemeluk agama terjerumus dalam radikalisme sehingga frustrasi sekitar dasar-dasar agama, pening seputar literatur agama, dan kelimpungan mengoceh mengenai ajaran agama yang asli. Waspadalah!        

(Majalah Wartam Edisi 19/Oktober2016)    
  

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...