KEBAIKAN DAN KELEMAHAN SISTEM MONARKI
MENURUT ARTHA SASTRA
I Wayan Budi Utama
PENDAHULUAN
Mulyono
(1990) mengartikan monarki adalah bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh raja.
Ada monarki absolut, yaitu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di
tangan satu orang raja. Di samping itu juga dikenal sistem moraki
konstitusional, yaitu bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya
(raja, ratu) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dan/atau undang-undang dasar.
Bentuk yang kedua inilah yang oleh Montesquieu seorang tokoh perintis ajaran
tentang pemisahan kekuasaan sebagai bentuk pemerintahan yang lebih baik. Ia
berkeyakinan bahwa bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi klasik yang
dibangun di atas kebajikan kewarganegaraan. Ia juga berkeyakinan bahwa yang
ideal itu tak akan tercapai (Lorens Bagus, 2002, 156). Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan dan kekuasaan yang ideal yang
dapat diberlakukan di manapun tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Kekuasan
merupakan suatu hal yang sangat menarik perhatian para pakar, karena hal ini
sangat erat kaitannya dengan kelangsungan hidup masyarakat dan negara. Berhasil
atau tidaknya suatu negara sangat tergantung kepada pelaksanaan kekuatan itu.
Kautiliya
termasuk salah satu di antara mereka yang menaruh perhatian besar terhadap
persoalan kekuasaan. Ia menyusun kitab Artha sastra berdasarkan berbagai kitab
Arthasastra yang disusun oleh Para Maha Rsi jaman dahulu yang merupakan pedoman
bagi raja/kepala negara dalam memperoleh dan memelihara Bumi.
Bila
kekuasaan itu dipegang oleh seorang raja, bagimanakah kira-kira kebaikan dan
kelemahan sistem monarki tersebut menurut Artha Sastra?
KERANGKA
TEORETIS
Terdapat
beragam definisi tentang kekuasaan, terkadang antara satu dengan lainnya
terkadang terdapat perbedaan-perbedaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar
belakang keilmuan dan sudut oandang yang berbeda. Budiarjo (1991) yang mengutip
pendapat Harold D.Laswell dan Abraham Kaaplan dalam bukunya Power and Society
mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang (kelompok)
lain, sehingga tingkah laku orang (kelompok) sesuai dengan keinginan orang yang
mempunyai kekuasaan. Pandangan ini diikuti oleh
Robert A Dahl dalam bukunya yang berjudul Modern Political Analysys (Astawa, 1996, 28)
Timbulnya
bentuk-bentuk stratifikasi kekuasaan disebabkan adanya rasa kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya disintegrasi masyarakat, apabila tidak terdapat
kekuasaan yang menguasainya. Dalam hal ini yang dimaksud disintegrasi adalah
pudarnya persatuan dan solidaritas
antara golongan, kelompok dalam suatu masyarakat. Situasi dan kondisi
seperti ini akan menimbulkan kekacauan dan perebutan kekuasaan dalam masyarakat
karena tidak adanya kontrol dari penguasa, sehingga terjadi kehancuran dalam
struktur masyarakat (Theodorson & Theodorson, 1970: 388, Astawa, 1996, 29).
Menurut
Astawa (1996) yang mengutip Max Iver dalam bukunya The Web of Government,
menyebutkan terdapat tiga sistem pelapisan kekuasaan (piramida kekuasaan),
yaitu seperti berikut.
Tipe pertama atau tipe kasta, adalah sistem pelapisan kekuasaan dengan garis-garis
pemisah yang tegas. Tipe seperti ini biasanya terdapat pada masyarakat
berkasta, dan tidak terjadi gerak masyarakat yang vertikal. Pelapisan kekuasaan
seperti ini adalah sebagai berikut. Penguasa tertinggi, maharaja, raja dan
sebagainya menduduki lapisan kekuasaan teratas; Lapisan kekuasaan berikutnya
adalah diduduki oleh kaum bangsawan, pendeta, cendekiawan, perwira dan tentara;
Selanjutnya lapisan kekuasaan yang diduduki oleh orang-orang yang bekerja di
pemerintahan seperti pegawai rendahan dan seterusnya; Lapisan kekuasaan yang
diduduki oleh para tukang, pelayan, petani dan buruh tani.
Tipe kedua atau tipe oligarki, mempunyai garis pemisah
yang tegas.Kesempatan diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh kekuasaan
tertentu, artinya warga yang menduduki lapisan kekuasaan tertentu diberikan
kesempatan untuk menduduki lapisan atas. Dengan demikian garis pemisah antara
satu lapisan dengan lapisan lainnya dapat ditembus berdasarkan
persyaratan-persyaratan tertentu. Tipe ini bisanya terdapat pada masyarakat
feodal yang telah berkembang.
Tipe ketiga atau tipe demokrasi. Tipe
ini menunjukkan kenyataan adanya garis
pemisah yang sifatnya lentur. Kelahiran tidak menentukan kedudukan seseorang
dalam lapisan kekuasan. Tinggi rendahnya lapisan kekuasaan seseorang ditentukan
oleh kemampuan atau mungkin faktor keberuntungan. Pelapisan kekuasaan secara
hirarkhis atau vertikal dapat digambarkan sebagai berikut. Lapisan pertama,
terdiri atas pemimpin-pemimpin politik, partai, organisasi besar, orang-orang
kaya; Lapisan kedua, terdiri dari pejabat administrasi, kelas-kelas atas dan
keahlian; Lapisan ketiga, terdiri atas ahli-ahli teknik, petani-petani, dan
pedagang-pedagang; Lapisan keempat, terdiri atas pekerja-pekerja rendahan,
buruh tani, petani rendahan (Sukanto, 1982 dalam Astawa, 1996: 30).
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, akan dicoba untuk
meneropong kebaikan dan kelemahan sistem moraki menurut Arthasastra.
SISTEM
MONARKI MENURUT ARTHASASTRA
Anton M
Mulyono (1990) mengartikan monarki adalah bentuk pemerintahan yang dikepalai
oleh raja. Ada monarki absolut yaitu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan
tertinggi di tangan satu orang raja. Disamping itu dikenal pula sistem moraki
konstitusional yaitu bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya (raja,
ratu) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dan/atau undang-undang dasar.
Struktur
pemerintahan menurut Arthasastra memposisikan raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Ada 4 (empat) pejabat tinggi yang paling dekat dengan raja yaitu Pradhana Mantri dan Puruhita
(pendeta istana) serta Senapati(panglima
perang) dan Yuvaraja (putra
mahkota). Posisi berikutnya adalah Menteri dan pejabat tinggi yang jumlahnya 18
(delapan belas) orang diantaranya dikenal dengan sebutan Samahartr
(perbendaharaan negara) dan Samnidhatr Pengumpul penghasilan negara),
Nagarika (Gubernur Jenderal), Rastapala (serupa dengan Gubernur). Semua pejabat
tinggi negara itu disebut Amatya (Astana, 1994 : 39). Di tangan para Amatya
inilah letak keberhasilan negara/kerajaan karenanya dibutuhkan para Amatya yang
tangguh dan cakap dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Apa yang
nampak dari komposisi tersebut adalah bahwa kekuasaan raja tidaklah absolut,
tetapi ia dibantu oleh pejabat-pejabat tinggi lainnya yang membantu raja dalam
bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain bahwa ada distribusi kekuasaan dalam
sistem morarki Arthasastra.
Menurut
Arthasastra, sistem monarki yang baik adalah kerajaan yang dipimpin oleh
seorang Raja Rsi. Seorang raja yang berkuasa harus dibekali dengan berbagai
pengetahuan dan kebijaksanaan sehingga dalam memerintah Raja tidak
sewenang-wenang. Sejak kecil seorang calon raja telah dididik sedemikian rupa
dengan penuh disiplin sehingga pada saatnya nanti ia siap memimpin kerajaan.
Dalam
kehidupan sehari-haripun raja telah diatur sedemikian rupa dengan jadwal
kegiatan yang ketat, sehingga sebagian besar waktunya adalah untuk kepentingan
kerajaan yang dipimpinnya. Tugas dan kewajiban seorang raja menurut
Arthasastra, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tuga) yaitu tugas eksekutif,
yudikatif dan administratif.
Di Bidang Eksekutif:
Melindungi
negara dari delapan jenis bencana seperti : kebakaran, banjir, kekacauan, wabah
penyakit, kelaparan, tikus, harimau, ular dan syaitan. Menjauhkan unsur-unsur
pengganggu kedmaian. Memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, mengorganisir
rakyat dalam menanggulangi bencana alam. Menunjuk menteri dan pejabat sipil dan
panglima tentara, berkonsultasi dengan Mantriparisad, lembaga intelijen negara.
Dia harus mengontrol potensi keuangan dan tentara dan selalu mengecek penerimaan
dan pengeluaran negara. Menetapkan kebijaksanaan luar negeri dan pergerakan
tentara.
Di Bidang Yudikatif :
Raja adalah lembaga yudikatif, tetapi ia bukan sumber
dari hukum. Kekuasaan terttinggi atas pengontrolan para hakim ada di tangan
raja, tetapi dia tidak boleh membuat atau mengubah hukum, raja hanya
mengadministrasikannya.
Tugas Administratif :
Kepala
negara/raja berwenang menunjuk dan mengontrol para menteri dan pejabat lainnya.
Seperdelapan bagian dari waktu harian raja digunakan untuk melakukan
tugas-tugas administratif dengan lembaga kementrian. Menunjuk pendeta istana,
Raja adalah panglima tertinggi dari tentara. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kewajiban seorang raja adalah menciptakan suasana yang mana rakyat dapat
mencapai dharma, artha dan kama berdasarkan kewajiban yang telah ditetapkan
(Astana, 1994: 38)
Dari
pemaparan sekilas di atas nampak bahwa sistem pelapisan kekuasaan yang
dikembangkan dalam Arthasastranya Kautiliua adalah tipe kasta. Tipe ini amat
dekat dengan sistem Monarki Konstitusional.
KEBAIKAN
DAN KELEMAHAN SISTEM MONARKI (ARTHASASTRA)
Untuk
dapat memberikan penilaian tentang kebaikan dan kelemahan sistem monarki
menurut Arthasatra, ternyata memunculkan banyak kesulitan. Kesulitan terbesar
adalah ketika mencoba mencari bahan banding untuk dapat dijadikan rujukan untuk
mampu memberikan penilaian terhadap sistem monarki yang dikembangkan oleh
Kautiliya. Artinya, paling tidak harus dirujuk sebuah sistem monarki lainnya
yang tingkat keberhasilannya sama dengan masa jaya raja Candra Gupta dimana
Kautiliya menjadi penasehatnya.
Oleh
karena itu pembahasan tentang kelebihan dan kelemahan sistem monarki menurut
Arthasastra tidak akan dibagi dalam dua kategori yang saling berhadapan, karena
dalam kelebihannya seringkali tersimpan kekurangannya.
Pandangan Kautiliya tentang raja.
Kautiliya
tidaklah banyak menghubungkan kebesaran
raja kepada teori asal yang bersifat kedewataan. Jabatan raja adalah suatu yang
bersifat manusiawi dan bukan suatu lembaga yang bersifat ilahi. Oleh karena itu
penetapan seorang raja melalui seleksi yang amat ketat serta sistem pendidikan
yang amat disiplin. Kautiliya yakin bahwa akal budi adalah tenaga yang
berkembang, tenaga penakluk dan ia percaya bahwa intelegensi yang kuat dan
jernih, jauh lebih penting. Senada dengan itu Machiavelli juga berpendapat
bahwa: Penguasa yang hanya mengandalkan nasib baik, akan runtuh di saat nasib
baik itu berubah. Oleh sebab itu, sangat penting bagi sang penguasa untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan waktu dalam pengembangan dirinya. Hanya
mereka yang sanggup menyesuaikan diri dengan tuntutan waktu yang akan
berkembang (Rapar, 2002: 410)
Tentang
Agama
Sikap
Kutiliya terhadap agama bersifat sekuler dan tidak apatis. Kautiliya bukan
im-moral (tidak bermoral) namun unmoral (bukan bermoral) dalam politiknya.
Politik yang diajarkan oleh Kautiliya terkadang nampak lebih menekankan pada
politik etis teleologikal. Kautiliya mengatakan : “ barang siapa yang menjadi
raja, walaupun wilayahnya membentang sampai ke ujung dunia, bila moralnya bejat
dan indriyanya tidak dikuasai, ia pasti segera binasa .Namun di sisi lainnya,
ia mengajarkan bahwa : raja ketika harus mempertahankan keutuhan negara, maka
raja harus siap untuk melakukan penghianatan, tipu daya, bahkan pencemaran tempat
suci sekalipun.
Dalam
menjaga keutuhan negara Kautiliya sangat menekankan pada aspek Danda (hukuman).
Namun pada masyarakat Hindu, meskipun ada penekanan pada danda namun selalu
dihubungkan dengan dharma. Dalam konsepsi India tentang pemerintahan, tidak ada
tempat untuk kemungkinan adanya tirani kekuatan yang memaksakan kesetiaan yang
bersifat mati kepada negara.
Pertanggungjawaban kepada ketertiban dan keamanan terletak pada raja dan
masyarakat, sebab dharma memelihara cita-cita kesetiaan yang jamak dan
kewajiban-kewajiban seseorang dalam kedudukan, status, kelompok, kepribadian
dan negara, dan perintah-perintah masyarakat selalu terbuka untuk
dipertanyakan bila mereka bertentangan
dengan dharma. Di sini nampak bahwa muatan-muatan demokrastis sangat kental.
Tentang
Sistem Hukum
Kautiliya
mengatakan : Hukum suci, kesaksian, sejarah dan maklumat raja-raja, adalah
empat kaki hukum. Dari yang empat dalam
urutan, yang berikutnya lebih tinggi dari yang disebutlebih dahulu. Dharma
adalah kebenaran abadi, memegang kuasanya di seluruh dunia. Maklumat maklumat
raja yang banyak jumlahnya mempunyai kekuatan hukum, dan hukum-hukum ini
mencakup lapangan petunjuk-petunjuk yang luas untuk mengatur harga, pajak,
keuntungan dan untuk perlindungan kekuasaan dan hak istimewa raja. Dari hirarki
hukum dimaksud besar kemungkinan bahwa raja akan bertindak sewenang-wenang.
PENUTUP
Dari
uraian tersebut nampak bahwa sistem monarki yang diajarkan Kautiliya dalam
Arthasastra, cenderung sebagai sistem monarki konstitusional, karena raja
didamping oleh Perdana Menteri dan Puruhita dalam menjalankan pemerintahannya.
Ajaran politik idealis realistis Kautiliya sering kali nampak sangat pragmatis
karena cenderung bersifat teleologikal.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anton M. Mulyono.,1990 Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka.
Astana, Made., 1994 Konsepsi
Ketatanegaraan/Politik Hindu, Warta Hindu Dharma, No.330.
Astawa, A A G.Oka.,1996.Stratifikasi Kekuasaan Pada
Masa Pemerintah an Raja Marakata di Bali Abad 11 Masehi, dalam Seri
Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I/1996-1997, Nopember 1996.
Lorens Bagus.,
2002 Kamus Filsafat,
Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rapar, J.H.,2002, Filsafat Politik,
Plato,Aritoteles, Augustinus, Machiavelli, Pt.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rao, M.V.Krisnha Studies in Kautiliya, Munshiram
Manoharlal Publishers Pvt.Ltd., Delhi, 1979