NILAI-NILAI UNIVERSAL HINDU
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Prog. Magister Universitas Hindu Indonesia
I Pendahuluan
Nilai-nilai universal berlaku bagi seluruh umat manusia,
terlepas dari suku, ras, daerah, budaya, dan sebagainya. Agama-agama besar di
dunia jelas mengajarkan nilai-nilai universal tersebut. Agama Hindu yang
bersumber pada kitab suci Veda dan kesusastraan Veda dengan jelas mengajarkan
nilai-nilai universal. Sebutan “Sanatana Dharma” untuk agama Hindu mewakili
nilai-nilai universal ini. Agama Hindu relevan dengan segala tingkatan
intelektual, emosional manusia, latar belakang sosial-budaya, geografis, dan
sebagainya. Nilai-nilai universal ini masuk melalui berbagai media dan
diungkapkan dalam berbagai cara sesuai dengan kemampuan, keadaan, dan waktu.
Konsep ini melahirkan konsep kebudayaan Hindu yang beraneka rupa dalam
perwujudan tetapi satu dalam esensi.
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang multidimensional,
multikultural, multibentuk, nilai-nilai universal agama-agama perlu dikedepankan.
Agama diharapkan mampu sebagai perekat persaudaraan, persahabatan, dan
persatuan secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan agama dijadikan
sebagai alat kekuasaan, politik, ekonomi dapat menyeret agama-agama ke dalam
ruang sempit dan parsial, dan hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
orang-orang tidak lagi mempercayai keberadaan agama-agama. Gerakan-gerakan
fundamentalis pasti meniscayakan keberadaan agama-agama lain. Gerakan semacam
ini mengingkari kebhinekaan umat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Konflik
berbasis agama nampak meningkat di
berbagai belahan dunia. Jika kita sepakat ada nilai-nilai universal di dalam
setiap agama besar di dunia, apakah dalam agama Hindu nilai-nilai universal itu
dapat diidentifikasi; dan bagaimana hal itu dapat dirumuskan sebagai sebuah
tatanan yang mampu menata perilaku santun masyarakat ?
2. Universalisme Versus Relativisme
Agama Hindu
adalah salah satu agama besar dan tertua yang kaya dengan nilai-nilai
universal. Hanya saja, tradisi pembelajaran agama dalam lingkungan masyarakat
Hindu di Indonesia masih terpola pada satu sistem sehingga belum mampu
menggali, memahami, dan mensosialisasikan secara optimal nilai-nilai dimaksud
di lingkungan komunitas umat, terlebih lagi kepada lingkungan yang lebih luas.
Dalam kondisi masyarakat pluralistik, setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenal nilai-nilai universal setiap
agama besar di dalam rangka peningkatan kehidupan agama masing-masing. Untuk
itu, diperlukan keterbukaan dan ketulusan di dalam mengenal masing-masing
ajaran. Bagi Hindu kebenaran suatu nilai universal terletak pada pengalaman
mengalami nilai-nilai tersebut. Seseorang tidak cukup mengetahui ilmu agama,
tetapi merasakan kebenaran-kebenaran di dalam kitab suci di dalam pengalaman
hidup sehari-hari. Dengan demikian, agama adalah praktek dan disiplin dalam
kehidupan sehari- hari. Beragama bukan di tempat suci saja tetapi dimana saja.
Masyarakat dengan kebhinekaannya adalah medan
dimana setiap orang melaksanakan aktivitas agamanya. Kitab suci Veda
mengajarkan nilai-nilai univesal, mulai dari mantra, brahmana, aranyaka,
upanisad, viracarita, purana, darsana, dan sebagainya. Sumber-sumber ajaran Hindu di Indonesia,
seperti dalam lontar-lontar tattva, tutur mengenai eksistensi yang tunggal dan
yang banyak. Pembicaraan konsep ketuhanan, atman, dunia, dan hubungan
masing-masing realitas itu akan menyinggung nilai-nilai universal ajaran agama
Hindu.
Ekatva anekatva svalaksana Bhatara, sloka yang diambil
dari Jnana Siddhanta tersebut di atas, pada dasarnya menunjukkan bahwa dasar
srada Hindu di Indonesia mengakui adanya keragaman dalam yang tunggal dan Yang
Tunggal dalam keanekaragaman. Teks ini kemudian menjadi sumber inspirasi Mpu
Tantular mencetuskan slogan Bhinneka Tunggal Tan Hana Dharma Mangrwa sebagaimana
tercantum dalam kakawin Sutasoma.
Dalam konteks universalisme dan relativisme itu, Radhakrishnan dalam bukunya Indian Philosophy (1928) menyebutkan bahwa terdapat keselarasan yang seimbang antara Tuhan dan manusia dalam pemikiran Hindu. Dalam Hindu manusia adalah ciptaan Tuhan. Dunia seluruhnya tercipta karena pegorbanan Tuhan. Purusa Sukta berbicara tentang pengorbanan kekal yang melahirkan manusia dan dunia itu. Di dalam uraian itu seluruh dunia digambarkan sebagai ada yang tunggal dengan keleluasaan dan keagunggan tak terbandingkan, dihidupkan oleh satu roh, dan segala bentuk kehidupan terangkul dalam substansinya. Dengan demikian, kitab-kitab suci Hindu lebih menekankan pada aspek spiritual dan kontemplatif (kebudayaan Barat lebih bersifat ekslusif dan etis-rasional).
Bila
diaplikasikan secara sosial, maka dalam Hindu diafirmasi kebebasan akal yang
melekat pada setiap individu untuk mempertanyakan dan mengkritik
keyakinan-keyakinan kehinduan yang melekat dalam dirinya. Harold Coward (1989;
115-117) mengajukan postulat yang bersifat historik dan metafisik dalam
menujukkan posisi Hindu pada fenomena pluralisme. Historisitas Hindu — demikian
Coward — dilandasi oleh pemahaman karma,
samsara, dan jiva di samping juga adanya jalan pembebasan yang dapat
tercapai dengan jalan rohani (marga); sementara muatan metafisik terdapat dalam
tradisi Brahman yang memahami realitas sebagai “keberadaan murni” sejajar
dengan konsep ketakberubahan atma dalam tradisi Upanisad. Melalui argumentasi
inilah diperoleh sikap toleran Hindu yang disebut dengan “perspektivisme”;
diawali dengan penjelasan: “Seluruh alam (prakrti) tidak lain adalah
lambang realitas yang tertinggi”. Dalam rumusan yang sederhana, realitas mutlak
bisa dipahami lewat berbagai sudut. Penjelasan ini hendak mengungkapkan bahwa
spiritualitas Hindu adalah spiritualitas yang berorientasi pada kesejahteraan
umat manusia bersama-sama, bukan semata-mata kesejahteraan diri sendiri, untuk
kepentingan diri. Artinya, universalisme dapat bentuk dorongan untuk
kesejahteraan umat manusia, disarankan harus diwujudkan dalam bentuk praksis.
Dalam
konteks itu, tampaknya mantra dalam Athavaveda (7.54.1) dapat merefpleksikan
hal itu sebagaimana berbunyi berikut. “Samjňănam nah svebhih
samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, artinya:
Kami menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam)
dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarilah kami
tentang kesatuan (samjnanam). Somvir (2003:5) memberi gambaran mengenai
keanekaragaman sebagai berikut: ‘Busana’ kekayaan adalah keramahan, ‘busana’
orang kuat adalah ucapan halus, ‘busana’ pengetahuan adalah kedamaian, ‘busana’
orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ‘busana’ tapa tidak
lekas marah, ‘busana’ orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma
adalah tidak mencela agama orang lain. Universalisme terletak pada sifat
tidak mencela terhadap relativisme dan atau keanekaragaman agama yang ada. ‘Perintah’
itu terwakili dalam sloka Yayurveda (40:6) berikut.
Yastu
sarvàni bhùtàn yàtmannevànu pasyati
sarva
bhùtesu càmànamtato na vicikitsati.
Artinya:
Manusia
yang bisa memelihat semua mahluk dalam dirinya dan melihat rohnya pada mahluk
lain. Maka ia tidak akan merasa sedih dan ragu-ragu. Ketahuilah itu.
3. Universalisme dalam sistem Sosial
Salah satu
indikator yang dapat digunakan membedakan satu komunitas agama dengan yang lain
adalah pada sistem sosial, yaitu berupa tindakan berpola. Menurut saya,
terdapat beberapa tindakan sosial yang mampu dijadikan identitas kultural bagi
kemunitas Hindu di manapun berada. Sistem sosial dimaksud berkaitan dengan
perilaku yang dilandasi oleh konsep ahimsa, karma, sewa, persaudaraan,
dan tolong-menolong. Hal itu dapat direkontruksi melalui model berikut.
Ahimsa adalah atmospir bagi sistem sosial Hindu khas
yang dapat menjadi acuan tindakan umat Hindu di manapun. Ia menjadi sumbu
lahirnya perilaku standar umat Hindu lainnya. Karena itu, posisinya menjadi
sentral di antara perilaku karma, sewa, persaudaraan, dan tolong-menolong. Ahimsa
menjadi watak dasar perilaku adaptif dan responsif dengan situasi lingkungan
yang dinamik. Konsep ahimsa pertama kali terdapat dalam Rgveda yang
berasal dari bahasa Sansekerta adhavaram yang berkaitan dengan yadnya
(Somvir, 2003: 32).
a. ahimsa
b. karma
c. sewa
d. persaudaraan
e. tolong-menolong
Ahimsa adalah sifat menahan diri terhadap himsa
(kekerasan), yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan bagi mahluk yang
memiliki kesadaran, yaitu manusia atau binatang. Pandangan Hindu tidak terlalu
kaku memegang sesuatu yang bersifat sangat ideal, namun ia mengutuk semua sikap
yang berkompromi terhadap kekerasan. Pemakaian kekuatan yang tidak berdasar
adalah suatu kekerasan.
Dalam perspektif Hindu, ahimsa
bukan sebuah kondisi fisik, tetapi sikap mental mencintai. Non-kekerasan
sebagai suatu kondisi mental berbeda dengan sikap tak melawan. Non-kekerasan
tidak memiliki dendam dan kebencian. Dalam bahasa Sangsekerta Himsa,
atau kekerasan, berbeda dengan danda, atau hukuman. Himsa melukai
orang yang tidak bersalah; sedangkan danda adalah tindakan pengendalian
sah terhadap orang yang bersalah. Kekuatan bukanlah peletak hukum, melainkan
hamba hukum. Dharma, atau kebenaran, adalah prinsip yang mengatur, dan kekuatan
tunduk pada ketentuan-ketentuan. Metode-metode pengajaran kaum muda yang
brutal, hukuman terhadap pelanggar aturan yang kasar, akan dihilangkan. Yang
ideal dari ahimsa harus kita hormati sebagai tujuan yang berharga, dan
penyimpangan dari hal ini akan disesali.
Dalam
Rgveda (4.57.3) dijelaskan bahwa:”obat-obatan (oșadhīh), cahaya matahari
(dyāvah) menjadi baik bagi kita (nah), angkasa (antarikșam)
menjadi (bhawatu) penuh kebaikan (madhumat) bagi kita (nah).
Petani pemilik tanah (ksetrasyapatih) menjadi (astu) baik (madhumān)
bagi kita (nah). Kami pencinta ahimsa (arișyanta)
mengikuti jalan tersebut (enam anucarema)”. Makna yang terkandung dalam kutipan
di atas adalah betapa agungnya prinsip ahimsa bagi dasar berperilaku.
Lebih
lanjut dalam Rgveda (1.41.6) disebutkan bahwa “manusia yang mengikuti jalan
ahimsa (astŗtah), melalui atma dan pikirannya (tmanā) akan
memenangkan pikiran orang lain (viśvam ratnam), dan akan mendapatkan
kemakmuran (vasu) serta memiliki keturunan yang baik (tokam
acchāgacchati)”. Karena itu, tidak ada alasan bagi orang Hindu untuk
bertindak bertentangan dengan prinsip ahimsa, di samping bernilai
inventasi bagi kehidupan yang akan datang, nilai ini dapat pula membentuk
pencitraan diri dan kelompok.
Perilaku sosial khas lainnya yang dapat diidentifikasi sebagai ‘warna’
nilai universalisme Hindu adalah kerja (karma) dengan kreativitasnya dan
sifat jujur. Dalam Nitisatakam (2003: 96) disebutkan bahwa Seseorang
yang lahir di dunia ini dan tidak bekerja keras, ia disebut orang bodoh. Ia
hanya membuang-buang waktu dan tidak bisa berhasil dalam hidupnya. Nafas
bagaikan kayu cendana yang sangat berharga sehingga setiap manusia semasih
hidup perlu berbuat yang baik, jika tidak maka ia akan meninggal sia-sia.
Mutiara sangat berharga, tetapi apabila panci yang terbuat dari mutiara dibuat
hanya untuk memasak makanan biasa, tidak sepadan dengan nilai mutiara itu.
Demikian juga ladang kapas yang tidak begitu berharga dibandingkan bajak yang
berwarna emas dan berusaha membuat pematang dari bahan kapur yang mudah hanyut.
Inti sari uraian tersebut adalah seseorang perlu memanfaatkan badan yang
nilainya bagaikan emas dan mutiara untuk melaksanakan karma yang baik,
sebagaimana dinyatakan dalam sloka berikut.
Sthalyām vaidūryamayyām pacati ca laśunam
cāndanairindha nādyaih
sovarvarņair lāņgulāgráirvilikhati vasudhā
markatūlasya hetoh
chittvā karpūrakhandān vrttiriha kurute kodravāņām
samantāt
prāpyemām karmabhūmim carati na manujo yastapo
manda bhāgyah.
Dalam Nitisatakam sloka 97 dinyatakan bahwa “bukanlah warna, keturunan,
atau tingkah laku yang memberikan pahala, bukan pula pengetahuan maupun
pelayanan manusia bisa mendapatkan pahala, melainkan karma yang telah
dilakukan, seperti pohon-pohon berbunga dan berbuah pada musim tertentu. Keberhasilan
seseorang tidak ditentukan oleh wajah yang cantik atau jelek, keturunan, dan pendidikan. Pahala ditentukan
oleh karma yang dilakukan pada kehidupan
sebelumnya, bagaikan pohon yang ditanam menghasilkan bunga dan buah demikian
pula karma yang dilakukan pada kehidupan terdahulu buahnya dapat dirasakan pada
kehidupan sekarang (Naivākŗtih phalati
naiva kulam na śīlam; vidyā api naiva na ca yatnakŗtā api sev; bhāgyāni
pūrvatapasā khalu sancitāni; kāle phalanti puruşasya yathaiva vŗksāh).
Berbuat baik
tanpa pamrih merupakan ciri yang dapat diagungkan oleh seorang umat Hindu di
manapun berada. Kerja atas dasar penyerahan diri dan sebagai bentuk pengabdian
kepada-NYA di satu sisi akan mempu memberikan identitas kultural, di sisi lain
ia mampu memberikan perlindungan pada hidup ini, sebab karma yang baik
senantiasa akan memberi perlindungan pada hidup dan kehidupan ini, sebagaimana
tercantum dalam Nitisatakam sloka 99 berikut.
Vane raņe satru jalāgnimadhye
mahārņave parvatamastake vā
suptam pramattam vişamasthitam vā
rakşanti puņyāni purākŗtāni.
Pada saat berada di dalam hutan, dalam peperangan, dalam
air atau api, di samudra yang luas ataupun di puncak gunung, dalam keadaan tidur,
saat tidak sadar ataupun sadar, dan dalam kesulitan yang membahayakan, pada
saat itu hanya karma baik yang telah dilakukanlah yang dapat melindungi
seseorang. Pada saat manusia dalam kesulitan dan dalam peperangan atau tidak
ada yang dapat menolong, saat itulah karma yang baik muncul untuk melindungi
orang tersebut. Oleh karena itu setiap manusia perlu bekerja dan berbuat baik
bila ingin selamat dari kesulitan. Dalam Bhagavad Gita (3. Sloka 5.7.8)
disebutkan sebagai berikut.
kascity ksanam api
jatu tisthaty akarmakrit
kàryate
hy avasah karma
sarvaá
prakritijair gunaiá.
Artinya:
Walaupun
untuk sesaat jua tidak
seorangpun
untuk tidak berbuat,
karena
setiap manusia dibuat tidak berdaya
oleh
hukum alam, yang memaksanya bertindak.
Yas
twindriyàni manasà
niyamya
‘ rabhate ‘rjuna,
karmendriyaiá
karmaayogaam
asaktaá
sa wiúisyate.
Artinya:
Sesungguhnya
seseorang yang dapat mengendalikan
panca
indriyanya dengan pikiran, oh Arjuna,
dengan
panca indranya bekerja tanpa keterikatan,
ia
adalah sangat dihormati.
Niyatam
kuru karma tva÷
karma
jyàyo hy akarmaóaá,
úarìyatrà
‘ pi ca te
na
prasidhyed akarmaóaá.
Artinya:
Bekerjalah
seperti yang telah ditentukan
sebab
berbuat lebih baik daripada tidak berbuat, dan
bahkan
tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara tanpa
berkarya.
Uraian di atas secara tidak langsung telah menyinggung
arti penting sewa dan atau pengabdian sebagai bagian dari kerja itu
sendiri, sebagai lingkaran ketiga dari sistem sosial Hindu.
Lingkaran sistem sosial keempat adalah memupuk
rasa persaudaraan dan atau persatuan. Persaudaran adalah nilai universal yang
amat disarankan dalam berbagai kitab dan
kesusastraan Hindu. Dalam Rgveda (5.60.5) disebutkan “Wahai manusia tiada yang
besar tiada yang kecil di antara kalian. Semua adalah saudara, majulah demi
kemajuan. Para pemuda melaksanakan perbuatan
mulia, menghancurkan kejahatan, penyayang seperti orang tua mereka, dan setiap
hari berusaha mencapai cita-cita. Dengan demikian, semua manusia hidup dalam
kesejahtraan dan kebahagiaan (Ajyesthàso akanisthàsa ete sam bhrataro
vavrdhuh saubhagàya yuvà pità svapà rudra ssàm sudughà praúnih sudinà marubhyah).
Dalam Atharvaveda (18.3.73) disebutkan “etadà roha vaya unmrjànah svà lha brhadu
didayante; abhi prehi madhyato màpa hàsthàh pitrnàm lokam prathamo yo atra”.
Artinya adalah Wahai manusia, dengan menyucikan kehidupan ini tingkatkanlah
kemanjuan keluarga dan sahabatmu, milikilah banyak keunggulan. Majulah dan
jangan meninggalkan dunia sebelum waktunya. Hiduplah dalam lingkungan
masyarakat, karena hidup bermasyarakat adalah hal yang penting di dunia ini.
Lingkaran
keempat dari sistem sosial Hindu telah meletakan dasar bahwa sebagai orang
Hindu kita harus mampu berinteraksi dan
beradaptasi dengan lingkungan sosial atas dasar prinsip persaudaraan. Hanya
dengan dasar itu pula kita akan mampu membuat identitas kultural yang semakin
disegani, dan malahan menjadi referensi banyak pihak. Landasan mengenai prinsip
ini adalah Tat Twam
Asi (aku
adalah engkau) merupakan mahavakya yang bersumber dari Veda, yang
memiliki dimensi metafisika, fisika, etika sosial, dan landasan humanisme
Hindu.
Tat Twam Asi
berdasarkan konsep Advaita Vedanta (monisme) memandang manusia secara
esensial sama, bukan secara fenomenan sama. Sementara itu, Arthur Schoperhauer
pernah menulis ulasan mengenai kitab-kitab suci utama agama Hindu sebagai
berikut: “Di seluruh dunia, tidak ada naskah yang demikian indah dan luhurnya
dari Upanishad. Kitab tersebut merupakan hiburan kehidupanku, dan akan
menjadi hiburan dalam kematianku” (Smith, 1985: 17). Pernyataan Arthur
Schopenhauer, tentu bukan tanpa studi yang mendalam. Salah satu ajaran
Upanishad yang dimaksud Arthur Schopenhauer adalah Tat Twan Asi, yaitu:
“Sa ya
eso’nima aitad atmyam idam sarvam, tat satyam,
sa atma: tat twam asi, svetaketo, iti: bhuya eva ma, bhagavan,
vijnapayati iti, tatha, saumya, iti hovaca” (Chandogya Upanishad, IV,8.7).
Artinya:
“Itu yang mana merupakan esensi
halus seluruh jagat ini adalah untuk dirinya sendiri. Itulah kebenaran. Itulah
Atman. Engkau adalah itu, oh Svetaketu. Mohon junjunganku,
ajarkanlah hamba lebih jauh lagi”. “Baiklah sayangku”, kata beliau
Tat Twam Asi
adalah ajaran normatif, yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi
juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun.
Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas
atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang
dapat mengakibatkan penderitaan, ketidak seimbangan, disharmoni, bahkan
penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan
ajaran Tat Twam Asi. Jadi sebagai orang Hindu yang diajurkan menghindari
kekerasan, menganggap orang lain sebagai saudara besar, serta memperlakukan
orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri, bukanlah sekedar nilai
normatif yang diajarkan dan dihapalkan. Ia harus menjadi bagian tindakan sadar,
terencana, dan menjadi pilihan yang rasional bahwa itu yang terbaik. Jika telah
mampu melaksanakan hal ini, selanjutnya setiap orang Hindu harus mampu melaksanakan
lingkaran kelima, yaitu suka menolong dalam dimensi seluas-luasnya di antaranya
ber dana-punya.
Dana-punya mencakup pengertian yang luas, tidak
hanya berdimensi material tetapi juga nonmaterial. Karena itu, setiap orang
Hindu dapat melakukannya asalkan ada kemauan. Di antara sekian banyak bentuk
sedekah (dana), pemberian dalam bentuk ilmu pengetahuan mempunyai nilai yang
paling tinggi. Ini sesuai dengan kitab suci Bhagavadgita (II.33). “Persembahan
berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu dari pada persembahan materi.
Dalam keseluruhannya kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, O, Parta”.
Perbuatan dalam bentuk pengendalian indria hawa nafsu, tapa, brata, perbuatan baik, amal-sedekah dan ilmu pengetahuan dapat pula dikatagorikan sebagai dana-punya (Bhagavidgita, III.24-3). dapat dijabarkan dalam banyak hal sebagai berikut.
a. Menerima tamu dengan ramah, hangat dan sopan, sehingga tamu merasa senang dan dihormati.
b. Mengajarkan atau menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.
c. Menunjukkan jalan yang benar dan memberi nasihat kepada orang lain.
d. Menghibur hati orang yang sedang ditimpa musibah atau penderitaan.
e. Memberi pertolongan kepada seseorang yang sedang dalam keadaan berbahaya.
f. Membantu orang yang lemah, sakit, atau buta menyeberangkan jalan atau sungai.
g. Memberi informasi yang benar atau memberitahukan kabar yang benar kepada seseorang.
h. Membersihkan atau memperbaiki tempat-tempat umum, misalnya saluran air, taman, jalan, tempat ibadah, dsb.
Dalam kaitan dengan nilai universal yang terkandung dalam
konsep dana-punya, menurut
kitab Bhavishnya Purana, ada 20 bentuk dana (pemberian), yaitu sebagai berikut.
a. Godana : Seekor sapi dan anak lembu yang sehat dihadiahkan kepada seorang brahmana terpelajar naun miskin. Pemberian ini menyebabkan ia yang menghadiakan dana tersebut dapat meraih surga selama kurun waktu yang tak terhingga.
b. Vrishabha dana : Seekor sapi janatan (vrishabha) dihadiahkan sebagai penghapus dosa-dosa untuk tujuh keturunan.
c. Mahishi dana : Kerbau betina (mahishi) yang menghasilkan susu dihadiahkan. Pemberian ini dapat memenuhi segala keinginan duniawi pemberinya.
d. Bhumi dana : Menghadiahkan tanah (bhumi) yang dapat menghapus segala bentuk dosa-dosa yang pernah diperbuat.
e. Halapamktil dana : Sebuah bajak terbuat dari emas dan permata serta empat model sapi jantan muda terbuat dari emas yang dilekatkan pada sebuah garis/alur (pamkti) dengan bajak (hala). Benda ini dihadiahkan kepada seorang brahmana dalam rangka mencapai suatu tempat di surga selam tujuh keturunan.
f. Apaka dana : Seribu perangkat dapur dihadiahkan agar mendapatkan putra, pelayan dan kekayaan.
g. Griha dana : Sebuah rumah (griha) yang cantik dihadiahkan. Pemberian ini memungkinkan seseorang dapat hidup di Shivaloka.
h. Anna dana : Makanan (anna) dihadiahkan kepada orang-orang kelaparan. Tindakan ini memungkinkan seseorang yang melakukannya hidup di Vishnuloka.
i. Sthali dana : sebuah piring (sthali) terbuat dari tanah liat atau tembaga diisi makanan dan dihadiahkan. Tindakan ini dapat menghantar kepada suatu keadaan dimana terdapat stok makanan yang tak habis-habisnya dinikmati bagi yang melaksanakannya.
j. Shayya dana : Menghadiahkan sebuah tempat tidur (shayya) kepada seorang brahmana. Tindakan ini menyebabkan tercapainya surga.
k. Prapa dana : Prapa adalah stand sebagai tempat menyediakan air minum bagi pejalan. Tempat ini dibangun pada lintasan atau jalur pejalan kaki. Biasanya dibangun di bawah sebuah pohon yang teduh. Stand ini diisi dengan air dan ditinggalkan di bawah pengawasan seorang brahmana. Bentuk sedekah ini menghantarkan seseorang yang melakukannya mencapai surga.
l. Agnishtika dana : Pada musim dingin, khususnya, api (ageni) dinyalakan pada pagi dan malam hari sehingga dapat menghangatkan setiap orang. Tindakan ini menyebabkan terpenuhinya segala keinginan.
m. Dasi dana : Seorang pelayan (dasi) diserahkan kepada seorang brahmana, pelayan tersebut dibusanai dengan busana mahal dan dihiasi dengan perhiasan. Pemberian ini dilakukan oleh para apsara (penyanyi surga) di surga.
n. Vidnya dana : Ini merupakan pemberian buku, pulpen emas atau pot tinta perak kepada seorang brahmana. Pemberian ini juga menyebabkan seseorang mencapai surga
o. Hiranyagarbha dana : Orang-orang kelaparan diberikan makan dan patung emas dihadiahkan kepada brahmana. Ini juga menyebabkan seseorang mencapai surga.
p. Brahmana dana : Sebiji telur (anda) emas dipersiapkan dan patung Brahma, Vishnu dan Shiva terubat dari emas dan ditempatkan di atas telur tersebut. Telur tersebut lalu dihadiahkan kepada seorang brahmana bersama dengan pengeras kulit jari kaki (biasanya karena sepatu terlalu sempit), sepatu dan sebuah payung. Hal ini dapat menghapus dosa dan dapat mewujudkan semua tujuan seseorang yang melakukannya.
q. Kalpavriksha dana : Sebatang pohon (vriksha) emas dengan buah emas dibuat dan dihadiahkan kepada seorang brahmana. Hal ini menjamin bahwa seseorang yang melakukannya akan dapat hidup di Suryaloka dan di sanan ia akan dilayani oleh para apsara.
r. Saptasagara dana : Garam, susu, dan gula dihadiahkan kepada para brahmana sebagai penghapus dosa.
s. Dhanya parvat dana : Tumpukan (parvata) biji-bijian (dhanya), susu, emas dan mentega murni dihadiahkan kepada para brahmana.
t. Tulapurusha dana : Dua pasang piring timbangan digunakan untuk pemberian ini. Donor ditempatkan pada satu sisi piring timbangan (tula danda) dan biji-bijian, dadih, garam, perak dan emas ditempatkan pada sisi agar benar-benar seimbang. Hal ini menentukan jumlah sedekah yang harus disedekahkan. Setengahnya dihadiahkan kepada para brahmana, seperempatnya lagi diberikan kepada para pendeta yang memimpin upacara, seperempatnya lagi diberikan kepada yang memerlukannya. Tindakan ini menyebabkan yang melakukannya dapat hidup di Suryaloka.
Menurut Buku Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam Masa Pembangunan (1986 : 136 – 137) disebutkan :
a. Brahmadana, yaitu mengamalkan ilmu pengetahuan kepada orang lain terutama ilmu pengetahuan agama;
b. Abdhanyadana, yaitu menyelamatkan orang atau mahluk hidup dari mara bahaya atau memberikan perlindungan kepadanya.
c. Atidana, yaitu mengikhlaskan istri, putra-putri serta keluarga lain untuk melaksanakan dharma agama maupun dharma negara bilamana diperlukan.
d. Mahtidana, yaitu bertindak sebagai donor darah, mata, ginjal dan bila perlu mengorbankan jiwa sendiri (atmahuti).
Demikianlah yang disebutkan dalam Bavishya Purana. Disamping itu kitab Agni Purana, Varaha Purana, Matsya Purana dan Garuda Purana juga membahas masalah dana atau pemberian ini. Namun yang perlu dicermati dalam membaca kitab-kitab purana adalah bahwasannya kitab-kitab purana tersebut bersifat metodik-didaktif yang berfungsi untuk mendidik orang awam terhadap ajaran-ajaran Sruti yang bersifat sangat gaib dan rahasia. Misalnya, sepintas kelihatnnya gampang mencapai surga, hanya dengan menghadiahkan sapi atau tanah. Namun dalam konteks perkembangan peradaban sekarang yang perlu diperhatikan adalah semangat atau spirit kitab-kitab tersebut dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Veda.
4. Relativisme dalam Tatanan Fisikal
Namun demikian, pembuatan berbagai symbol agama ke dalam wujud fisik dapat menjadi ambivalen (mendua), karena acapkali hal itu dapat menyebabkan terjadinya interpretasi berbeda terhadapa simbol itu yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya kasus pelecehan.
3. Universalisme dalam Tatanan Ideal
Kesucian
Pratena
diksam apnoti
diksaya
apnoti daksinam
daksina
sraddham apnoti
sraddhaya
satya apyate.
(Yajurveda:
l9.30):
Melaui
pengabdian kita memperoleh kesucian.
Dengan
kesucian kita mendapat kemulyaan.
Dengan
kemulyaan kita mentdapat kehormatan.
Dan
dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.
Satya
Savita
satyadharma (Atharvaveda: l.24.l)
Tuhan (savita)
menjadikan kebenaran sebagai hukum keberadaan-Nya.
Keesaan Tuhan
Sad eva
saumya idam agra
àsìd ekam evà dvitìyam, tad haika àhuh,
asad evedam
agra àsìd ekam eàdvitìyam, tasmàd saj jàyata.
Chandogya
Upanisad:6.2.1
Pada
awalnya, o sayangku, ini hanya Ada
belaka, hanya tunggal tanpa yang kedua. bebarapa orang menyatakan: “Pada
awal-ulanya ini hanyalah Bukan Ada, tanpa yang kedua. dari yang Bukan Ada,
munculah yang ada.
Yato và
imàni bhùtàni jayante
yena jàtàni
jivànti
yat prayanti
abhisamvisanti
tad vijijnàsasva,
tad brahmeti
(Taitrirya
Upanisad: 3.1)
dari mana
semua yang ada ini lahir,
dengan apa
yang lahir ini hidup,
kemana
mereka masuk ketika kembali,
ketahuilah,
bahwa itulah Tuhan.
Lwir Bhatara
Siwa magawe jagat, Brahma rùpa siràn panrêsti jagat,
Wiûóu rùpa
siràn pangraksa ng jagat,
Rudra rùpa
siràn mralayakên ràt. Nahn tàwak niràn tiga, bheda nama.
(Bhuwanakosa:3.76)
sebagai
halnya Bhatara Siwa menciptakan dunia ini. Brahma wujud-Nya waktu menciptakan
dunia. Wisnu wujud-Nya ketika memelihara dunia. Rudra wujud-Nya ketika melebur
alam ini. Demikian tiga wujud-Nya. Hanya beda nama.
5. Penutup
Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan pada forum yang baik ini,
semoga bermanfaat. Akhirnya, saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada
hal-hal yang kurang berkenan. Yakinlah semua
itu karena keterbatasan saya sebagai manusia. Ucapan terima kasih patut
saya sampaikan kepada Kepala Kantor Perwakilan Pemerintah Propinsi Bali yang
telah mampu menyelenggarakan kegiatan seperti ini, semoga di masa mendatang
semakin bermakna.
Bacaan
Adeney, Bernard T. 2000. Etika Sosial Lintas
Budaya. Pustaka Teologi, Kanisius, Yogyakarta.
Ardhana,
Ketut. 2001. Bali Multibudaya.
Atmaja, Bawa
I Nengah. 2003. Manajemen Konflik Dari Perspektif Sosial Budaya.
Makalah disampaikan pada seminar nasional Forum Perguruan Tinggi se Bali. Denpasar: Dyana Pura.
Bhaidawy, Zakiyuddin. 2001. Dialog Global dan
Masa Depan Agama. Universitas Muhamadiyah Press, Surakarta.
Huntington, Samuel P. 2002. Benturan
Antarperadaban. Qalam, Yogyakarta.
Radhakrishnan. 1928. Indian Philosophy. The
Mac.millan Company, New York
------------------ 1948. Eastern Religions and Western Thouht. The Macmillan Company, New York.
------------------
1995. Religion and Society. Indus,
New Delhi.
Yudha
Triguna. 1990. Munculnya Kelas Baru dan Dewangsanisasi: Transformasi Ekonomi
dan Perubahan Sosial di Bali. Tesis S2. Yogyakarta:
Isipol UGM.
------------.1997. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran
Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali (Disertasi). Bandung: Universitas Pajajaran.
------------.2000a.
Mengenal Teori-Teori Pembangunan. Denpasar: Vidya Dharma.
------------.2000b.
Teori Tentang Simbol. Denpasar: Vidya Dharma.
------------.2000c
Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar:
Vidya Dharma.
------------.2000d. Kerukunan Antarumat
Beragama di Bali (Makalah, 19 Mei). Jakarta: DPP KNPI.
-----------.2000e. Model Interaksi Simbolik
dalam Masyarakat Heterogen di Bali (Makalah, 26 Juli). Pekanbaru, Riau:
IAIN Susqa.
------------.2001a. Segregasi dan Gerakan Sosial
Keagamaan (Makalah pada penataran Guru SMU se Bali,
Juli). SKB Kerobokan. Dipdikbud.
------------.2002b. Hindu dan Modernitas:
Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas. Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
------------.2002c. “Raga dan Jiwa Kebangsaan Indonesia:
Catatan Reflektif”. Patria. Jakarta:
Yayasan Patria.
------------.2002d.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali
dalam Dinamika Multikultural (Makalah,
). Denpasar: Balai Kajian.
------------.2002e. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif
Sosiologis dan Teologis Hindu (Makalah, 28 September). Denpasar: LBH APIK Jakarta.
------------.2002f. Potensi
Konflik dan Integrasi Antarumat Beragama (Makalah,
8-15 Oktober). Denpasar: Penataran Kerukunan Antarumat Beragama.
------------.2002g. “Reinterpretasi
dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Makalah Dialog
Budaya Regional, 28-29 Oktober). Yogyakarta:
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
------------.2002h. Kearifan Lokal Di
Lingkungan Keluarga (Makalah, 20 Desember). Denpasar: PPLH Bali.
------------.2002i. Konsepsi Sakral pada
Masyarakat Bali (Makalah, 20-21 Desember). Denpasar: Listbya.
------------.2003. “Paradigma Pendidikan Seni
Berbasis Kompetensi” (Makalah, Februari). Denpasar: STSI.
------------.2003. Spiritualitas Hindu,
Terorisme dan Nasionalisme Kita: Refleksi Peledakan Bom di Kuta Bali.
Denpasar: Warta Bali.
------------.2003. Masyarakat Sipil dalam
Tradisi Desa Pakraman untuk Masa Depan Masyarakat Bali
(Makalah, 14 Maret). Denpasar: Hotel Inna, Veteran.
------------.2003. Masyarakat Hindu dan
Perubahan Sosial (Makalah dalam Kegiatan PQDP Telkom, 28-30 April ).
Bedugul: Wisma PLN.
------------.2003. Mempraksiskan Prinsip Dasar
Mahavakya Tat Twam Asi (Makalah, 20 Mei), Art Centre, Denpasar:
FPKUB dan LKSD.
------------.2003. Manajemen Konflik dari
Perspektif Sosial Budaya. (Makalah, 6 Juni), Dyana Pura, Denpasar: Forum
Perguruan Tinggi se Bali.
Wahid,
Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Desantara, Jakarta.