PERUBAHAN MORALITAS PAKRAMAN
(Dharmasrti, Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, Volume XII Oktober 2012, Pascasarjana Unhi, Denpasar)
I Wayan Sukarma
Abstrak
Manusia
dalam berbagai aktivitasnya tidak dapat lepas dari aturan hidup karena
dengannya mereka memiliki kebebasan moral. Patut disadari bahwa aturan moral
bukanlah barang sesuatu yang bersifat absolut. Melainkan aturan moral selalu
berubah seturut dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Aturan-aturan moral
mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan nilai dan norma dalam
masyarakat, bahkan ketika nilai ditentang dan norma dilanggar muncul
perkembangan baru misalnya, modernisasi. Demikian juga susila, moralitas agama Hindu yang dipraktikkan di desa pakraman (di Bali) senantiasa
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan pakraman.
Perubahan ini, bukan hanya terjadi pada domain palemahan dan pawongan,
tetapi juga pada domain parhyangan.
Ini sebabnya krama desa dituntut
melakukan revitalisasi nilai dan norma moral yang dijadikan panduan untuk
membangun pakramannya.
Kata
Kunci: Moralitas Pakraman.
1. Pendahuluan
Susila berasal dari dua suku kata, yaitu “su” berarti baik dan
“sila” berarti tingkah laku. Jadi, susila
berarti tingkah laku yang baik (Sudharta dan Punyatmaja, 2001:32; Sura
dkk., 2002:111). Ajaran susila dalam
agama Hindu menurut Sura dkk. (2002:111) mencakup aspek yang begitu luas dan
beberapa di antaranya merupakan ajaran moral yang diajarkan secara universal
oleh semua agama. Sejalan dengan ini, Bertens (2007:36) menegaskan bahwa secara
umum aturan moral dalam suatu agama dapat dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama, aturan moral yang dianut secara
internal oleh penganutnya misalnya, tentang makanan yang haram, ibadat, dan
puasa. Kedua, aturan moral yang
diterima oleh semua agama, seperti jangan mencuri, jangan berdusta, jangan
membunuh, dan jangan berzinah. Aturan moral kelompok pertama menekankan pada
aturan moral yang unik dan khas berlaku bagi penganut agama tertentu, sedangkan
kelompok kedua melampaui kepentingan suatu agama sehingga menjadi aturan yang
berlaku umum dalam masyarakat. Malahan bidang ini banyak diambil oleh institusi
hukum dalam hal penegakannya.
Aturan-aturan moral mengalami perubahan
sejalan dengan perkembangan nilai dan norma dalam masyarakat, bahkan ketika
nilai ditentang dan norma dilanggar muncul perkembangan baru misalnya,
modernisasi. Hal ini terjadi karena modernisasi dengan berbagai salurannya
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya pergeseran nilai dan
norma moral masyarakat. Berkaitan dengan perkembangan nilai dan norma moral
dalam masyarakat mordern, bahkan Bertens (2007:31) menegaskan bahwa situasi
etis dalam dunia modern ditandai tiga ciri yang paling menonjol, yaitu (1)
pluralisme moral, (2) munculnya
masalah-masalah etis yang tidak terduga, dan (3) semakin tingginya kepedulian
etis yang bersifat universal.
Pertama, pluralisme moral ditandai dengan semakin banyaknya sumber
moral yang menjadi referensi masyarakat untuk menata tingkah laku moralnya
(Bertens, 2007:31). Rujukan-rujukan moral ini memasuki ruang kesadaran
individu, bahkan saling bertumpang-tindih sehingga memunculkan tingkah laku
yang beragam. Oleh karena itu, diperlukan ukuran yang tegas untuk menentukan
baik dan buruknya suatu perbuatan. Dalam agama Hindu menurut Sura (1985:40--41)
ada tiga ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan baik dan buruknya
perbuatan, yaitu (1) desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan); (2) pratyaksa
(pengamatan), anumana (logika), agama (petunjuk orang yang dapat
dipercaya); dan (3) sastratah (sastra
agama), gurutah (ajaran guru), dan swatah (pengalaman sendiri). Ukuran
pertama mengindikasikan bahwa moral Hindu bersifat akomodatif terhadap tradisi
lokal dan kebiasaan masyarakat setempat. Ukuran kedua menekankan pada metode
yang digunakan dalam mempertimbangkan perbuatan. Kemudian, ukuran ketiga
mengungkapkan sumber-sumber nilai moral yang dapat dijadikan pedoman perbuatan.
Implikasi teoretis yang muncul bahwa moralitas Hindu merupakan hasil konstruksi
yang bersifat cair (fluid) melalui
interaksi dinamis antara manusia dan lingkungan.
Kedua, interaksi dinamis yang disertai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan dalam dunia
modern muncul masalah-masalah etis yang tidak terduga (Bertens, 2007:32). Dalam
konteks Hindu kondisi ini dapat dicermati melalui konsep sarjana dan sujana. Idealisme
kesarjanaan ditandai dengan karakter ilmuwan yang kritis, rasional, logis,
objektif, dan terbuka, sedangkan idealisme kesujanaan
merujuk pada integritas moral kecendekiawanan (Suriasumantri, 1981:48). Untuk
itu Siswomihardjo (2010:14) menegaskan bahwa secara ideal ilmu pengetahuan dan
teknologi diharapkan dapat mengambil peran dalam pembangunan masyarakat, baik
pada tataran teleologis, etis, maupun integratif. Pada tataran teleologis, ilmu
pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan
pembangunan. Pada tataran etis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam kemanusiaannya. Sementara itu,
pada tataran integratif, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu
meningkatkan kualitas struktur dan kultur masyarakat. Sebaliknya, pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengabaikan moralitas akan menyebabkan munculnya
kejutan-kejutan moral.
Ketiga, gejala semakin tingginya kepedulian etis yang bersifat
universal di seluruh dunia yang melampuai batas-batas negara-bangsa. Dalam hal
ini, globalisasi tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam
bidang moral. Munculnya gerakan-gerakan perjuangan moral yang aktif pada taraf
internasional dan kerja sama antarnegara dalam membangun kesadaran moral yang
terorganisasi pada bidang hak asasi manusia dan lingkungan merupakan bukti
tingginya kepedulian etis universal (Bertens, 2007:33). Implikasinya, pola-pola
moral tradisional harus dikomunikasikan secara intensif dengan pola-pola moral
yang bersifat universal. Malahan karena kuatnya tarikan modernitas seringkali
menyebabkan pola moral tradisional kehilangan landasan berpijak karena begitu
pesatnya perubahan sosial-religius. Oleh karena itu, diperlukan kerja rasio
untuk meletakkan fundamen bagi norma-norma dan nilai-nilai etis. Menempuh cara
hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan tingkah laku berdasarkan alasan-alasan
rasional (Bertens, 2007:35). Dengan demikian, rasionalisasi nilai dan norma
moral tradisional yang dikomunikasikan dengan nilai dan norma moral universal
merupakan ciri yang menonjol dalam masyarakat modern.
Ini berarti bahwa modernitas telah
memberikan kesan kepada individu dalam mengkonstruksi pilihan-pilihan moralnya.
Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai moral dalam berbagai institusi
dan pranata sosial dalam masyarakat. Padahal dalam konteks sosial dan budaya,
agama dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia
dan Tuhan, mengatur hubungan antara manusia dan sesama, dan mengatur hubungan
antara manusia dan lingkungan (Kahmad, 2000:12; Suparlan dalam Robertson,
1998:v). Model hubungan semacam ini menurut Gunadha (2009:2) dalam agama Hindu
disebut tri hita karana yang berisi
tiga konsep, yaitu palemahan (lingkungan
alam), pawongan (lingkungan sosial),
dan parhyangan (lingkungan
keagamaan). Ketiga hukum ini merupakan landasan moral desa pakraman, yaitu prinsip moral yang mengatur dan menata tingkah
laku warga desa pakraman. Perkembangan nilai dan norma masyarakat desa pakraman yang tradisional dalam
masyarakat modern inilah merupakan tema yang hendak diugkap tulisan ini.
2. Moral dan
Agama
Moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) berarti kebiasaan, adat (Bertens, 2002:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas,
2005:754--755) moral diartikan (a) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi
pekerti; susila; (b) kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (c) ajaran kesusilaan yang
dapat ditarik dari suatu cerita. Dari kata dasar “moral” muncul istilah-istilah
yang berkaitan, antara lain “moralitas”, “amoral”, dan “immoral”. Moralitas
berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk. Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral; di luar
suasana moral; nonmoral. Sementara itu, immoral
berarti bertentangan dengan moral yang baik; secara moral buruk; tidak etis
(Bertens, 2002:7).
Kata yang dekat dengan moral adalah kata
“etik” dan “etika”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:309) dijelaskan bahwa etik berarti (1)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai yang
mengandung benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Kemudian, etika diartikan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Walaupun memiliki arti yang berbeda,
kata “moral”, “etik”, dan “etika” sering kali digunakan secara bergantian dalam
masyarakat, baik lisan maupun tertulis. Ketiga kata ini memang dapat digunakan
untuk mengatakan pengertian yang sama, yaitu nilai dan norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya (Bertens,
2002:6).
Moral mempunyai hubungan erat dengan
agama. Dalam tingkah laku sehari-hari motivasi yang terpenting dan terkuat bagi
tingkah laku moral adalah agama (Bertens, 2002:35). Agama merupakan sesuatu
yang bersifat sosial karena representasi religius adalah representasi kolektif
yang mengungkapkan realitas kolektif. Keyakinan dan ritual-ritual agama
merupakan ekspresi simbolis dari kenyataan sosial (Durkheim, 2003:10). Malahan
Nottingham (2002:15--16) menegaskan bahwa hubungan antara anggota kelompok dan
hal-hal yang sakral dalam beberapa hal erat hubungannya dengan nilai-nilai
moral kelompok itu. Aturan moral memang tidak hanya bersumber pada agama,
tetapi keanekaragaman adat kebiasaan kelompok timbul dari keanekaragaman
konsepsi kelompok tersebut tentang Yang Sakral. Demikian juga adat dan
kebiasaan bersumber dari ajaran agama. Artinya, moralitas mengimplikasikan
sebuah sistem aturan praktis tingkah laku manusia dalam masyarakat sesuai
dengan agama yang dianut. Dalam hal ini, moralitas merupakan teknik
pengungkapan diri, ia memberi bentuk konkret bagi impian-impian, membantu
mengaktualisasikan visi melalui detail-detail yang praktis. Malahan Dasgupta
(1994:4) menegaskan bahwa moralitas akan kehilangan signifikansinya, bila
dipisahkan dari agama, bahkan dalam pencapaian spiritualitas.
Signifikansi agama sebagai sumber nilai
moral dijelaskan Bertens (2002:30), bahkan ditegaskan bahwa agama merupakan
sumber nilai dan norma moral yang paling penting. Agama dalam kaitannya dengan
praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah laku yang
diusahakan oleh masyarakat. Agama digunakan untuk menangani masalah-masalah
yang tidak dapat dipecahkan dengan teknologi ataupun teknik organisasi yang
diketahui (Haviland dalam Kahmad, 2000:119). Agama dalam konteks sosial telah
mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu dan
masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada
pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian, agama tidak hanya mengikat
individu dengan Yang Ilahi, tetapi juga manusia yang satu dengan yang lainnya
sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial (Bleeker, 2004:98; Keene,
2006:6). Dalam konteks ini, Wattimena (2007:xi) menegaskan bahwa agama
merupakan satu bentuk legitimasi yang efektif dalam kehidupan sosial dan
budaya.
Agama merupakan sesuatu yang bersifat
budaya karena agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada
kehidupan manusia dan penjelasan yang paling holistik tentang seluruh realitas.
Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi penganutnya, agama berisi
ajaran tentang kebenaran tertinggi (summum
bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia serta petunjuk-petunjuk hidup
selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan,
beradab, dan manusiawi (Kahmad, 2000:63). Dengan demikian, agama sebagai sistem
keyakinan dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga
agama dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan warga masyarakat agar
tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya (Kahmad,
2000:64).
Ketika pengaruh agama menjadi kuat terhadap
sistem nilai kebudayaan suatu masyarakat, maka sistem nilai kebudayaan itu
terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang
menjadi kerangka acuannya. Apabila agama menjadi inti dari kebudayaan suatu
masyarakat, maka fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan
membantu masyarakat untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.
Pengalaman beragama (religious experience),
yaitu penghayatan kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan,
kemampuan, dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi
(Maman dkk., 2006:1). Penghayatan inilah yang menjadi landasan moral agama.
Moral agama menggariskan pedoman tingkah laku yang menetapkan tingkah laku yang
sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dari kepercayaan terhadap Tuhan
dalam hidup pribadi, masyarakat, dan dunia (Hardjana, 2005:51). Pedoman tingkah
laku seperti ini dalam agama Hindu disebut susila.
Susila merupakan bagian integral dari kerangka dasar agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara.
3. Perubahan
Moralitas Pakraman
Ikatan kesatuan wilayah yang terwujud
dalam bentuk komunitas desa pakraman diatur dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 03, Tahun 2001.
Dalam Perda tersebut dijelaskan bahwa desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan
tiga (kahyangan desa) yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangga sendiri. Dari Perda ini dapat ditemukan enam unsur pokok yang
membentuk desa pakraman, yaitu (1)
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun-temurun, (3) dalam ikatan kahyangan
tiga (kahyangan desa), (4)
mempunyai wilayah tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6)
berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari keenam unsur itu dapat dipahami
bahwa Perda tersebut hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu.
Seperti dijelaskan Sirtha (Astra dkk. (Ed), 2003:71) bahwa agama Hindu yang
dianut oleh masyarakat Bali memberikan corak yang khas bagi desa pakraman. Kegiatan masyarakat adat
dijiwai oleh agama Hindu yang dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kahyangan Tiga sebagai
tempat pemujaan menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam
melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dasar komitmen dan tujuan desa pakraman adalah tri hita karana, yaitu sukerta tata palemahan, sukerta tata
pawongan, dan sukerta tata
parhyangan.
Palemahan dari kata “lemah” berarti tanah, yakni tanah tempat
tinggal atau lingkungan alam; pawongan dari
kata “wong” berarti orang, yakni segala hal yang bersangkut-paut dengan
kehidupan sosial orang Bali; dan parhyangan
merupakan tempat suci pemujaan bagi umat Hindu (Atmaja, 1996:61--66;
Gunadha, 2009:2). Ketiganya merupakan kesatuan yang membangun hubungan harmonis
antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Ketiga macam hubungan ini
menjadi sumber kesejahteraan hidup jasmani (jagadhita) dan hidup rohani (moksa) secara selaras dan seimbang (Mantra, 1996:15). Ketiga macam hubungan ini menjadi landasan
moral desa pakraman, sebagaimana
ditegaskan Geriya (2000:63) bahwa
selain agraris dan kepentingan khusus, juga sistem kemasyarakatan orang Bali
bertumpu pada kekerabatan, seperti banjar
dan desa pakraman.
Tri hita karana sebagai landasan moral desa pakraman, seperti dijelaskan Gunadha (2009:2) bahwa substansi awig-awig desa pakraman dijiwai oleh
agama Hindu. Awig-awig ini merupakan
penjabaran dari tri hita karana,
yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan. Palemahan atau wilayah, berupa perwujudan hubungan antara manusia
dan alam sekaligus menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Pawongan sebagai perwujudan hubungan
manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial untuk
menjaga rasa aman dan nyaman termasuk ketenteraman bersama. Kemudian, parhyangan sebagai konkretisasi tempat
pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan
hubungan dengan Hyang Widhi Wasa dalam wujud ritual.
3.1 Moralitas Palemahan
Palemahan berarti tanah, bumi, dan pertiwi memiliki keistimewaan
tersendiri dalam konteks budaya Bali karena konsep ini berkaitan dengan
keharmonisan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal ini sejalan dengan asumsi
bahwa tanah adalah lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan manusia, yaitu
tempat manusia berpijak, bertempat tinggal, mencari makan, hidup, bahkan hingga
kematiannya. Ini merupakan konsepsi lingkungan secara empiris dikaitkan dengan
segala sesuatu yang berada di tanah, seperti flora, fauna, sumber mineral,
bahkan aktivitas sosiokultural (Purwanto, 2000:67). Artinya, keterikatan
manusia dengan lingkungan alam membangun sistem nilai yang menjadi bagian dari
agama dan kebudayaannya.
Kesadaran religius krama desa pakraman terhadap tanah mengalir dari Weda sebagai teks
autentik agama Hindu menuju konteks sosioreligius. Dalam Atharvaveda, XII.1.12 dijelaskan,
“bumi adalah ibu kita, kita adalah putra-putranya”. Serupa dengan itu dalam Yajurveda
XXV.17 disebutkan, “bumi adalah ibu dan langit adalah ayah
kita”. Secara mitologis dijelaskan dalam Brahmanda
Purana bahwa Prthivi atau Dewi
Basundari adalah anak dari Prthu yang
berwujud lembu dan diberi tugas untuk mengeluarkan “susu”, berupa semua hasil
bumi yang berguna bagi kehidupan manusia (Sandi dan Pudja, 1979:86). Demikian
juga secara filosofis, ajaran Samkhya menjelaskan
bahwa tanah (prthivi) adalah bagian dari panca mahabhuta, yaitu unsur
dasar pembentuk alam semesta (bhuwana
agung) dan makhluk hidup (bhuwana alit) (Sura, 2003:11; Suamba, 2003:23; Yasa, 2009:73). Ini menegaskan bahwa agama Hindu
mengajarkan bahwa tanah sebagai dasar eksistensi manusia sekaligus sebagai
penganugerah kemakmuran.
Artinya, kepercayaan terhadap tanah
memang telah menjadi dasar environmentalisme Hindu dalam konteks agraris yang
bersifat sosioreligius. Dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar
kepercayaan terhadap tanah ditunjukkan dengan berbagai ritual. Hal ini ditandai
dengan berbagai tradisi religius yang berhubungan dengan tanah, seperti bhuta yajna dan ritual agraris lainnya
sebagai wujud ikatan religius umat Hindu terhadap tanah (Sutrisno,
2005:72--75). Ikatan religius ini, juga ditegaskan dalam puja prthivi stava, yaitu mantra yang secara khusus dilantunkan
untuk memuja prthivi dalam
pelaksanaan upacara yajna oleh para pendeta di Bali
(Goudriaan dan Hooykaas, 1971:419--420).
Perlakuan krama desa pakraman terhadap tanah di dalam keluarga dapat dilihat
dari penataan ruang pekarangan rumah tempat tinggal menurut konsep tri mandala, yaitu uttama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Uttama mandala adalah ruang parhyangan ditandai dengan keberadaan merajan; madya mandala adalah
ruang pawongan ditandai dengan rumah
tempat tinggal dan aktivitas sosial lainnya; sedangkan nista mandala adalah areal pekarangan rumah yang tidak termasuk
dalam dua mandala tersebut, seperti
tempat membuang sampah dan selokan. Konsep ruang ini membangun tingkah laku
etis krama desa pakraman yang
dibingkai dalam konsep suci-cemer. Tingkah
laku hidup bersih di uttama mandala dilaksanakan
dengan menjaga kebersihan dan kesucian merajan
dengan alat-alat khusus digunakan untuk itu. Alat-alat kebersihan yang
biasa digunakan untuk di areal madya dan
nista mandala tidak boleh digunakan
untuk membersihkan merajan.
Berbeda halnya dengan kebersihan di merajan, tingkah laku hidup bersih di
areal madya dan nista mandala tidak menampakkan hal yang sama. Tingkah laku hidup
bersih di kedua ruang ini begitu bergantung pada kesadaran setiap anggota
keluarga tentang kebersihan. Hal ini menimbulkan fenomena perbedaan tingkah
laku hidup bersih di merajan dan di
lingkungan rumah tinggal. Pada umumnya kebersihan di merajan lebih terjaga dibandingkan dengan lingkungan rumah lainnya.
Kesadaran menjaga kebersihan selokan misalnya, masih belum sepenuhnya
dilaksanakan dalam tingkah laku hidup bersih sehari-hari.
Artinya, penataan areal parhyangan menjadi prioritas bila
dibandingkan dengan areal lainnya karena kondisi merajan dapat menunjukkan religiusitas keluarga bersangkutan.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan dramaturgis Goffman (Ritzer &
Goodman, 2006:93) bahwa aktor memainkan tingkah laku yang berbeda pada bagian
depan (front region) dan bagian
belakang (back region) dalam
interaksi sosialnya. Rupanya, areal parhyangan
cenderung diperlakukan menjadi bagian depan yang mendapat perhatian lebih
dalam hal kebersihan dan penataannya. Sebaliknya, tingkah laku hidup bersih
yang sama seperti di merajan sebagai front stage, ternyata tidak sepenuhnya diimplementasikan pada bagian belakang (back stage), yakni di madya dan nista mandala. Dengan kata lain, moral agama tidak sepenuhnya mampu
menginternal dalam diri krama desa
pakraman sehingga menjadi pedoman tingkah laku. Hal ini dimungkinkan karena
penataan ruang tempat tinggal tidak didominasi oleh pertimbangan moral, tetapi
juga konsumsi simbolis dan estetisasi kehidupan. Penataan palemahan keluarga sedapat mungkin disusun menjadi satu kesatuan
estetis sehingga tidak jarang renovasi rumah tempat tinggal berpengaruh secara
menyeluruh pada ruang lainnya.
Hal ini menegaskan bahwa kecenderungan
estetisasi kehidupan telah melemahkan nilai etis dalam tingkah laku krama desa pakraman dalam bidang palemahan. Dalam hal ini, nilai historis
merajan sebagai warisan leluhur
bergeser maknanya menjadi areal yang dapat dipertukarkan secara sosial menjadi
objek estetitasi dan konsumsi simbolik. Keberadaan merajan dimaknai tidak sebatas nilai guna dan fungsinya menjadi
ruang sakral keluarga, tetapi juga konsumsi citra yang mengekspresikan diri dan
status sosial. Implikasinya bahwa penataan areal merajan tidaklah semata-mata karena kesadaran moral untuk
memuliakan nilai religius, tetapi merupakan moralitas yang dikomunikasikan
dengan nilai-nilai modern sehingga melahirkan tingkah laku yang berbeda. Dalam
hal ini tanah telah diperlakukan sebagai barang kultural yang dipertukarkan
dalam arena sosial berdasarkan status kepemilikan, fungsi, dan pemanfaatannya
(Atmaja (ed), 2003:146).
Dengan demikian, pandangan terhadap
tanah (lemah), baik dalam teks Hindu maupun konteks budaya
Bali dipahami sebagai sesuatu yang keramat (tenget),
ternyata nilainya telah bergeser menjadi ruang material yang dipertukarkan dalam
arena sosial. Ruang palemahan keluarga
dipahami secara spasial sehingga melahirkan tingkah laku dramaturgis dalam
rangka konsumsi simbolis, citra, dan estetisasi. Begitu juga ikatan historis
tanah warisan leluhur semakin melemah karena sudah tanah warisan leluhur itu
sudah menjadi komoditas. Malahan palaba
pura yang membangun ikatan hisoris-religius, juga tidak luput dari gejala komodifikasi. Dalam hal ini,
modernisasi tidak dapat dihindari melahirkan tingkah laku komodifikasi untuk
tujuan pragmatis.
3.2 Moralitas Pawongan
Perubahan nilai moral krama desa pakraman bukan hanya terjadi
pada ranah palemahan, tetapi juga terjadi pada ranah pawongan. Dalam agama Hindu terdapat
konsep-konsep etis yang mengatur tingkah laku manusia, antara lain (a) tri kaya parisudha, yaitu pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika) yang harus disucikan; (b) catur paramitha, yaitu suka menolong (maitri), cinta kasih (karuna), menghargai orang lain (upeksa), menyenangkan hati orang lain
(mudita); (c) catur guru bhakti, yaitu bhakti
kepada orang tua (guru rupaka),
guru di sekolah (guru pangajian),
pemerintah (guru wisesa), dan Tuhan (guru swadyaya) (Sudharta &
Punyatmaja, 2001:52--57). Konsep-konsep etis ini pada dasarnya dipraktikkan
secara beragam dalam latar sosial dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam pergaulan sehari-hari moralitas mewujudkan diri dalam bentuk tata krama,
yaitu adat sopan santun, basa-basi (Depdiknas, 2005:1147). Demikian halnya
dengan moralitas yang dipahami dan dipraktikkan krama desa pakraman pada bidang pawongan
dapat dilihat dalam wujud tata krama pergaulan. Dalam Pedoman dan Kriteria Lomba Desa Pakraman/Desa Adat (Tim Penyusun,
2009:45) dijelaskan bahwa ukuran etis dalam pawongan
meliputi tata wicara (sopan santun
dalam berbicara), tata busana (sopan
santun dalam berbusana), dan tata bhoga (sopan
santun dalam hal makanan). Secara implisit, ukuran-ukuran etis ini dipraktikkan
dalam ranah sosial dan budaya.
Dalam konteks tata wicara dapat dilihat dari salah satu unsur kebudayaan yang
memegang peran penting dalam penanaman budi pekerti anggota keluarga, yaitu
bahasa. Bahasa sebagai satuan budaya merupakan gambaran kesadaran kolektif krama desa pakraman yang ditunjukkan
dengan penggunaan bahasa Bali. Melalui bahasa Bali nilai-nilai budi pekerti
ditanamkan karena dalam bahasa Bali terdapat sor-singgih basa yang mengharuskan setiap individu memilih kata
yang dipandang “baik”. Sor-singgih basa
Bali ini sekaligus menjadi pedoman bagi seseorang untuk memosisikan diri
sesuai dengan status sosialnya dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya,
saat komunikasi berlangsung antara anak dan orang tua, anak memiliki kewajiban
untuk berbahasa Bali halus, singgih.
Dalam proses komunikasi inilah pemahaman tentang sor-singgih basa Bali diperlukan sehingga pilihan kata yang
digunakan benar-benar menunjukkan sopan santun dan rasa hormat kepada orang
tua. Hal ini menjadi modal penting bagi anak ketika memasuki dunia sosial
berikutnya.
Akan tetapi, modernitas yang melibatkan
struktur perasaan dan revisi kronis atas pengetahuan perlahan-lahan telah
memarginalkan penggunaan bahasa Bali dalam tradisi keluarga. Hal ini ditandai
dengan munculnya gejala bahwa orang tua lebih senang mengajarkan bahasa
Indonesia, bahkan bahasa asing kepada anaknya. Akibatnya, tidak sedikit orang
mengeluhkan bahwa anaknya semakin melemah dalam
penguasaan bahasa Bali. Artinya, penggunaan bahasa Bali mulai
terpinggirkan, baik dalam keluarga maupun sekolah. Menurut Lash (2004:83) bahwa
kemajuan telah membangun struktur perasaan masyarakat yang memosisikan bahasa
Bali sebagai pengetahuan tradisional yang kuno dan kolot. Sebaliknya,
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing dipandang lebih modern dan menjadi
pertanda kemajuan. Terkait dengan melemahnya penggunaan bahasa Bali dalam
keluarga cenderung disebabkan oleh pertimbangan rasional yang lebih
mengedepankan nilai guna dan efektivitas komunikasi. Perubahan cara pandang ini
menunjukkan terjadinya disorientasi nilai dalam keluarga yang ternyata lebih
mengedepankan rasionalitas daripada moralitas.
Artinya, bahasa Bali tidak lagi memiliki
nilai penting sebagai media komunikasi antaranggota keluarga, apalagi menjadi
sumber nilai moral dan budaya. Malahan keberadaannya menjadi sangat formal
sehingga hanya diposisikan sebagai mata pelajaran yang kadar kesulitannya
dipandang menyamai, bahkan melebihi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Semakin
terpinggirkannya bahasa Bali dalam ranah komunikasi lokal telah menunjukkan
terjadinya alienasi masyarakat Bali dari budayanya sendiri. Dalam hal ini,
kuatnya rasionalitas yang lebih mengedepankan nilai guna dan manfaat praktis
bahasa secara sistemik telah meminggirkan bahasa Bali sebagai media interaksi
sosial dan sumber nilai moral (Schacht, 2009:245).
Melemahnya nilai moral tersebut, juga
dapat diamati dari penggunaan bahasa Bali dalam pergaulan generasi muda,
remaja, dan anak-anak. Kata-kata dalam bahasa Bali yang cenderung kasar,
seperti “kleng ci…” tidak asing
terdengar lagi dalam sebuah proses komunikasi. Ungkapan ini memang tidak
dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa marah kepada lawan bicara, tetapi justru
menandakan hubungan karib. Baik disadari maupun tidak, orientasi generasi muda
dan remaja terhadap nilai bahasa Bali telah mengarah pada penjiplakan “bahasa
gaul” sebagai model budaya pop di Indonesia yang marak belakangan ini. Budaya
pop kemudian, juga merambah dunia komunikasi berbahasa Bali. Fase menjiplak
atau meniru ini menurut Adorno dan Horkheimer (Tester, 2003:107) disebut
sebagai pengasingan (alienasi) dan bukan sekadar paradoks intelektual.
Gejala sejenis juga dapat dilihat pada tata busana Bali. Menurut Widana
(2010:8) busana mencerminkan nilai-nilai moral dan kultural dengan kandungan
makna kesederhanaan, kesopanan, dan kesusilaan. Akan tetapi, sesungguhnya tidak
ditemukan ketentuan yang pasti tentang penggunaan busana ke pura. Parisada Hindu Dharma Indonesia
telah melakukan pembahasan tentang busana adat Bali dalam seminar kesatuan
tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu. Dalam Kumpulan Hasil Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
I–XIV (1994:23) dijelaskan bahwa busana daerah atau adat Bali adalah busana
yang mempunyai keterikatan dengan (1) daerah Bali sebagai wilayah dan (2)
pelaksanaan adat Bali. Lebih lanjut, busana adat Bali dibedakan lagi menurut
komposisi (kelengkapan) dan jenisnya, yaitu payas
agung, busana jangkep, busana madya, dan busana alit.
Fenomena keseragaman busana ini
menunjukkan konstruk budaya modern yang berdiri di atas prinsip-prinsip rasio,
subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear,
objektivitas, otonomi, emansipasi, dan oposisi biner (Haryono, 2005:35). Dalam
hal ini, perbedaan busana sembahyang dan
ke setra dapat dipahami sebagai
bentuk konstruksi budaya yang memisahkan secara tegas antara suci dan cemer. Keabsolutan warna putih sebagai simbol kesucian mendorong krama desa pakraman menggunakan busana
warna putih untuk sembahyang, sedangkan
warna hitam dan/atau gelap sebagai simbol kesedihan digunakan ke setra. Walaupun begitu, juga krama desa pakraman terus-menerus
mengkonstruksi busana sembahyangnya. Mengingat konstruksi ini bersifat cair
sehingga tingkah laku berbusana krama
desa pakraman juga mengalami perubahan secara terus-menerus.
Hal ini ditunjukkan hasil penelitian
Widana (2010:155) tentang penampilan selebritis umat Hindu saat mengikuti
upacara persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha Denpasar. Kecenderungan
perubahan yang terjadi adalah busana yang tidak lagi berpegang pada format
etis, tetapi lebih mengedepankan aspek estetis, bahkan penonjolan unsur-unsur
kemewahan (glamour) dan sensualitas.
Kemudian, Widana (2010:159) juga mengklasifikasikan penampilan selebritis umat
Hindu ke pura sebagai tubuh modernis
yang estetis, yaitu tubuh yang ditampilkan lebih indah dengan atribut yang
sesuai dengan perkembangan mode terbaru. Tubuh modernis ini menekankan pada
usaha untuk mengekplorasi, bahkan mengeksploitasi tubuh dengan konsep
artifisial yang kasual atau fashionable dan
sekaligus sarat dengan ekspresi simbol materialistik.
Tidak jauh berbeda dengan perubahan
nilai moral pada tata busana, juga terjadi perubahan pada tata bhoga, yaitu tingkah laku krama
desa pakraman dalam hubungannya dengan tradisi makan. Dalam pemahaman tradisional
tradisi makan tidak hanya mengandung nilai material sebagai pengisi perut,
tetapi juga berhubungan dengan nilai moral. Pemahaman ini ditandai dengan tata
cara atau aturan makan yang merefleksikan nilai etis dan mitis. Misalnya, tidak
boleh makan sebelum menghaturkan saiban,
tidak boleh makan di depan pintu, tidak boleh mengambil makanan dari piring
orang lain, tidak boleh makan langsung dari tempat penyajiannya, tidak boleh
makan sambil berbicara, dan tidak boleh makan sampai mengeluarkan suara kecapan.
Malahan juga jenis makanan mengandung nilai etis misalnya, hanya makanan sukla yang disuguhkan kepada tamu. Akan
tetapi, nilai moral dalam kaitannya dengan tata boga ini mulai mengalami
pengenduran seiring dengan modernisasi yang sedang berlangsung.
Perubahan dari tradisi mebat ke tradisi catering misalnya, dapat dipandang sebagai bentuk penerimaan
inovasi sosial. Inovasi ini sesungguhnya mengandung konsekuensi moral, yakni
semakin lemahnya semangat kebersamaan dan kolektivitas yang dapat dibangun melalui
tradisi mebat. Pada saat mebat sesungguhnya krama desa pakraman
sedang membangun identitasnya sebagai masyarakat komunal-ekspresif-religius
(Yasa, 2010). Komunalitas dibangun dengan mengerjakan pembuatan makanan secara
bersama-sama dan dalam hal ini setiap aktor mengambil peran dan fungsinya
masing-masing. Ekspresivitas ditandai dengan kebebasan setiap aktor untuk
mengkomunikasikan ide tentang rasa dan jenis makanan yang akan disajikan. Dalam
proses komunikasi ini, tanpa disadari bahwa mereka telah membangun konsensus
bersama. Sementara itu, religiusitas dibangun melalui kesadaran bahwa makanan
yang hendak dihidangkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberhasilan sebuah yadnya.
Nilai inilah yang tampaknya mulai
bergeser dengan masuknya pemikiran modern yang lebih mengedepankan
rasionalitas, yaitu efektivitas dalam pencapaian tujuan. Dalam hal ini, catering (jasa boga) dipandang menjadi
pilihan yang paling rasional untuk mendapatkan makanan yang dihidangkan secara
cepat dan efisien. Dalam hal ini, pasar telah menjadi arena sosial baru yang
mengakomodasi pergeseran ide dari mebat
ke catering sehingga nilai uang lebih
dominan dibandingkan dengan nilai komunalitas dan religius. Malahan catering telah menjadi pola konsumsi
yang menunjukkan identitas kelas sosial dan dengannya citra diri dibangun
(Barker, 2005:145).
3.3 Moralitas Parhyangan
Moralitas pakraman berikutnya dapat dicermati melalui tingkah laku dalam parhyangan. Unsur parhyangan merupakan salah satu bagian dari tri hita karana yang menguraikan hubungan manusia dengan Tuhan
selaku pencipta. Hubungan ini dijelaskan dalam Pedoman dan Kriteria Penilaian Desa Pakraman/Desa Adat (Tim
Penyusun, 2009:43) bahwa tingkah laku dalam konteks parhyangan meliputi persembahyangan, aktivitas seni dan budaya
keagamaan, pemahaman ajaran agama Hindu, dan sasana kapamangkuan. Pedoman ini menunjukkan upaya penyeragaman
doktrin moral dalam parhyangan yang
dianggap terbaik bagi krama desa pakraman.
Doktrin moral dalam persembahyangan
meliputi pedoman persembahyagan, seperti trisandya,
kramaning sembah, matirtha, mabija, dan dharmawacana
(Tim Penyusun, 2009:41). Implikasinya
bahwa persembahyangan dipandang memenuhi standar moral “baik”, bila mengikuti
pedoman tersebut. Oleh karena itu, tingkah laku yang ditunjukkan dalam
persembahyangan juga relatif seragam. Artinya, standar moral dalam
persembahyangan yang ditetapkan telah mendorong munculnya konsensus baru bagi kraman desa pakraman. Akibatnya, keteraturan
dan ketertiban persembahyangan hanya hadir di permukaan secara seremonial.
Kemudian, juga standar moral dalam ranah
parhyangan dapat ditelusuri dalam
aktivitas seni dan budaya keagamaan. Kesenian Bali pada prinsipnya dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu seni sakral (wali), seni sakral-profan (bebali),
dan seni profan (balih-balihan). Seni
wali adalah seni yang disakralkan
karena berkaitan dengan upacara keagamaan. Seni bebali adalah seni yang sesungguhnya bukan sakral, tetapi dapat
dipentaskan dalam upacara keagamaan. Sementara itu, seni balih-balihan adalah seni profan yang berfungsi sebagai hiburan
belaka (Bandem & Dibya, 1975:4). Berdasarkan pengelompokan ini dapat
dipahami bahwa aktivitas seni dan budaya keagamaan yang berhubungan dengan parhyangan adalah kesenian wali.
Wali atau seni sakral tidaklah dimaknai sebagai tontonan semata,
tetapi mewujudkan sebuah simbol sakral yang terkandung berbagai macam nilai di
dalamnya. Nilai tersebut dapat bersifat sangat fundamental dalam kehidupan sosial
religius masyarakatnya karena dikaitkan dengan sebuah ritual. Hal ini sejalan
dengan pandangan Hadi (2006:12) bahwa seni dalam ritual merepresentasikan
keyakinan mistis pemeluknya. Demikian juga pendapat Suamba (Triguna, ed.,
2005:17) menegaskan bahwa kesenian Bali mengalir dari konsep Siwa Nataraja, yaitu Siwa sebagai penari kosmis yang
gerakan-gerakannya mengandung nilai estetik, filsafat, dan mistik yang tinggi.
Krama desa pakraman memang mewarisi berbagai jenis seni sakral yang
dilaksanakan dalam kaitannya dengan ritual keagamaan. Walaupun demikian,
berkembangnya Bali menjadi daerah wisata dunia telah membawa perubahan yang
signifikan terhadap keberadaan seni wali.
Hal ini terutama sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 9, Tahun 1969 yang menjelaskan bahwa terdapat empat kebutuhan dasar
wisatawan, yaitu (1) akomodasi, (2) transportasi, (3) jasa, dan (4) atraksi.
Tidak dapat dihindari bahwa pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk
memenuhi kepentingan tersebut. Atraksi wisata termasuk di dalamnya pementasan
kesenian Bali menjadi salah satu prioritas penting dalam pembangunan
kepariwisatawan.
Kesenian Bali yang dipentaskan untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan ternyata telah merambah pada seni sakral (wali). Salah satu di antaranya ditandai
dengan munculnya ruang-ruang pertunjukan wisata, seperti Stage Barong & Kecak Dance di desa pakraman. Tempat ini mementaskan tari Barong dan Kecak secara
terjadwal dengan sasaran penonton utamanya adalah wisatawan. Kenyataan
menunjukkan bahwa setiap pementasan tari Barong dan Kecak di tempat ini cukup
ramai dikunjungi wisatawan. Padahal
tari Barong selama ini dipandang sakral karena Barong itu sendiri diyakini
sebagai perwujudan dari Bhatara Siwa (Ratu
Bagus). Pergeseran nilai kesakralan tari Barong ini dapat dipahami
berdasarkan pandangan Soedarsono (1999:34) bahwa atraksi wisata memiliki lima
ciri utama, yaitu (1) tiruan dari aslinya, (2) singkat atau padat atau bentuk mini
dari aslinya, (3) penuh variasi, (4) ditanggalkannya nilai-nilai sakral, magis,
mistis, dan simbolis, serta (5) harganya yang murah.
Artinya, seni sakral sebagai atraksi
budaya telah mereduksi berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, baik bentuk,
fungsi, maupun maknanya. Bentuk pementasan seperti aslinya, tetapi dengan
durasi yang lebih singkat menjadi ciri penting pementasan seni sakral di arena
wisata. Kemudian, fungsi hiburan yang lebih menonjol memungkinkan terjadinya
perubahan pakem lakon karena kreasi dan variasi yang lebih menghibur. Sementara
itu, makna sakral, magis, mistis, dan simbolis yang terkandung dalam seni
sakral memang sengaja dihilangkan atau paling tidak dipinggirkan. Pada
akhirnya, kepentingan ekonomi menjadi tujuan akhir yang diperjuangkan oleh
aktor dan agen dengan melakukan profanisasi seni sakral.
Selanjutnya, ukuran moral dalam parhyangan ditelusuri dalam peningkatan
pemahaman terhadap ajaran agama Hindu. Hal ini dapat dicermati dari
keterlibatan krama desa pakraman
dalam pembinaan keagamaan. Dalam hal ini, pembinaan keagamaan yang dimaksud
meliputi dharma wacana, dharma thula,
dharma yatra, dharma gita, dharma sadhana, dan dharma santi (Krisnu, 1998:9).
Lebih lanjut dapat dijelaskan pengertian dari konsep-konsep tersebut sebagai
berikut.
(1)
Dharma wacana adalah ceramah umum yang membawa
sentuhan rohani dan bersifat ceramah satu arah karena tidak tersedia waktu
untuk tanya jawab.
(2)
Dharma thula adalah mempertimbangkan dharma dengan saling mengisi renungan
yang bersifat memperluas dan memperdalam penafsiran terhadap materi yang
dibahas. Bentuknya berupa diskusi dua arah.
(3)
Dharma yatra adalah perjalanan suci menuju
tempat-tempat suci, sumber mata air (tirtha
yatra).
(4)
Dharma gita adalah penyuluhan dengan cara atau
melalui media seni membaca kakawin,
kidung, sloka, dan jenis dharma gita lainnya.
(5)
Dharma sadhana adalah kegiatan melatih diri, baik
secara individual maupun berkelompok untuk melaksanakan ajaran agama, baik
renungan mendalam maupun kegiatan keagamaan yang sifatnya praktik langsung.
(6)
Dharma santi adalah kegiatan saling mengunjungi,
menjalin rasa keakraban, kasih sayang, antara umat yang satu dengan yang
lainnya (Krisnu, 1998:10).
Pada dasarnya keenam metode pembinaan
ini merupakan cara untuk meningkatkan pemahaman umat Hindu terhadap ajaran
agama. Rupanya, dalam kurun waktu belakangan ini pembinaan-pembinaan tersebut
cukup marak dilaksanakan. Misalnya, dharma
wacana dan dharma thula sudah
mulai biasa dilaksanakan, seperti di banjar,
desa pakraman, sekolah-sekolah, kantor-kantor swasta dan pemerintah, bahkan
melalui media cetak dan elektronik.
Demikian juga, dharma yatra,
dharma gita, dharma sadhana, dan dharma
santi menunjukkan kegairahan yang mengesankan.
Seturut dengan itu, maraknya sekaa santi ternyata tidak disertai
dengan perkembangan yang sama dalam bidang kesusasteraan Hindu. Kesemarakan sekaa santi tampaknya lebih banyak
memainkan fungsi instrumental, yakni kelengkapan dalam pelaksanaan ritual
dibandingkan dengan media apresiasi kesusastraan. Malahan tidak jarang menjadi
legitimasi moral bahwa anggota santi merupakan
penganut agama yang taat dan paham ajaran Hindu. Kemudian, juga tingginya minat
krama desa pakraman untuk
melaksanakan dharma yatra dan/atau tirtha yatra sampai ke luar Bali, bahkan
India dapat dipandang sebagai media rekreasi spiritual. Hal ini sejalan dengan
pandangan Nottingham (2004:31) bahwa pada zaman modern, agama diharapkan dapat
berperan penting menjadi sistem nilai yang mendorong masyarakat untuk
menyelesaikan permasalahan hidupnya. Dalam hal ini, pendalaman ajaran agama
yang lebih bersifat praktis tampaknya lebih mendominasi dibandingkan dengan
internalisasi yang bersifat idealisitik. Implikasinya bahwa standar-standar
moral dibangun melalui pendalaman ajaran agama sering kali menimbulkan paradoks
dalam praktiknya. Mengingat pertimbangan praktis lebih dapat mengafirmasi
ajaran agama “yang baik” secara kontekstual daripada “yang benar” secara
tekstual. Oleh karena itu, pergeseran-pergeseran nilai moral menjadi gejala
yang diterima secara massif oleh krama
desa pakraman.
Selain itu, perubahan moral pada ranah parhyangan dapat ditelusuri dalam sasana kapamangkuan. Pamangku adalah
rohaniwan Hindu golongan ekajati yang
mempunyai tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan upacara (nganteb) sampai pada tingkatan tertentu sehingga sasananya dibedakan dengan sasana kasulinggihan (dwijati). Sasana kapamangkuan berarti disiplin hidup dan aturan-aturan yang
harus dilaksanakan pamangku dalam
melaksanakan kewajibannya (Tim Penyusun, 2002:3). Selanjutnya, dijelaskan bahwa
disiplin kehidupan pamangku meliputi
pakaian dan perlengkapan, aturan kacuntakan, dan larangan atau babratan (Tim Penyusun, 2002:25--31).
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu VI
tahun 1980 (Tim Penyusun, 2002:25) ditetapkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, pamangku agar berpakaian
serba putih, dandanan rambut wenang
agotra (bercukur), berambut panjang, anyondong
(disanggul dengan rapi), dan
menutup kepala dengan destar putih.
Kemudian, perlengkapan yang boleh digunakan saat nganteb, antara lain genta, dupa, sasirat dari ambengan, bunga, dan janur, pasepan,
caratan, menyan astangi, sangku, tatabuh arak berem, canting, bunga dengan dulang sebagai alasnya (Tim Penyusun,
2002:26). Ini merupakan aturan normatif yang harus diikuti pamangku dalam melaksanakan kewajibannya.
Aturan normatif ini ternyata mengalami
pergeseran dalam praktiknya. Misalnya,
pakaian serba putih yang sesungguhnya dimaksudkan untuk membedakan identitas pamangku dengan walaka lainnya, ternyata menjadi semakin tidak jelas. Hal ini
terjadi mengingat krama desa pakraman
yang bersembahyang ke pura banyak
yang menggunakan pakaian yang serba putih tidak ubahnya seperti pamangku. Pada sisi yang lain, busana pamangku dan kelengkapan upacara yang
disiapkan juga menghadirkan kejutan-kejutan moral yang tidak seluruhnya mampu
diafirmasi secara bijak. Misalnya, tidak jarang pamangku memakai aksesoris yang dapat dikatakan berlebihan, seperti
cincin dengan batu permata tertentu, kacamata hitam, handphone, dan sasari yang
dibungkus amplop.
Dalam hal ini, busana pamangku telah menjadi mengalami
estetisasi dan meterialisasi. Mengingat masuknya industri modern menjadi bagian
dari aksesoris pamangku yang tidak
memiliki korelasi langsung dengan fungsi busana pamangku dalam pelaksanaan tugas kapamangkuan. Malahan makna sesari
sebagai bentuk penghargaan krama desa
pakraman kepada pamangku telah
dikemas dalam wadah amplop sehingga mengaburkan nilai antara penghargaan dan
upah.
4. Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat
dipahami bahwa budaya modernitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan moralitas pakraman.
Perubahan moralitas pakraman ini
disebabkan oleh perluasan budaya, pertumbuhan ekonomi, dan mobilisasi sosial.
Perubahan ini ditandai, antara lain penerimaan barang-barang hasil industri,
baik dalam lingkungan parhyangan, pawongan, maupun palemahan. Dalam lingkungan palemahan,
tanah telah kehilangan pesona sakralnya karena lebih dimaknai sebagai barang
komoditas. Dalam lingkungan pawongan,
kode moralitas telah kehilangan landasan tradisi karena tingkah laku religius
lebih dimaknai dalam konteks kekinian. Kemudian, dalam lingkungan parhyangan, terjadi perubahan
pengetahuan moral agama sesuai dengan masalah yang ditimbulkan oleh zaman
kemajuan.
Daftar Kepustakaan
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali pada Era Globalisasi: Pulau
Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (Hasil Penelitian – Studi Kasus pada
Berbagai Desa), Singaraja.
Bandem, I Made & I Wayan Dibia. 1975. Pengembangan Tari Bali. Denpasar: ASTI.
Barker, Chris. 2005. Culture
Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
____________. 2007. Perspektif
Etika Baru: 55 Esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
Gunadha, Ida Bagus. 2009. Strategi
Pemberdayaan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali. Denpasar: Program Magister
Ilmu Agama dan Kebudayaan, Unhi Denpasar.
Hadi, Hardono. 2007. Kepemimpinan
Religius Transformasi. Yogyakarta: Satunama.
Krisnu, Tjokorda Raka. 1997/1998. Himpunan Keputusan dan Aturan tentang
Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama. Denpasar: Kantor Departemen Agama
Kota Denpasar.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Nottingham, Elizabeth K. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robertson, Roland (Ed.). 1998. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Schacht, Richard. 2009. Alienasi:
Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Sirtha, I Nyoman. 2003. ”Peranan Desa Pakraman dalam
Mewujudkan Jagadhita di Era Globalisasi”. Dalam Astra, I Gde Semadi dkk.
(peny.). 2003. Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural. Denpasar : Kerja sama
Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi,
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media.
Siswomihardjo dan Koento Wibisono. 2003. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai
Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filasafat UGM. Yogyakarta: Liberty.
Sudharta, Tjok. Rai, Ida Bagus Oka
Puniatmadja, 2001. Upadesa. Surabaya:
Paramita.
Sura, I Gde dkk. 1999. Siwatattwa.
Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah
Propinsi Bali.
Suriasumantri, Jujus S. 1981. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Triguna,
Ida Bagus Gde Yudha. 1990. “Munculnya Kelas Baru dan Dewangsanisasi
Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yasa, I Wayan Suka dkk. 2009. Yoga Margi Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu
Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya Dharma.
Wattimena, Reza A.A. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik (Locke
- Rousseau - Habermas). Yogyakarta: Kanisius.
Widana, I Gusti Ketut. 2010. “Fenomena Penampilan
Selebritis Umat Hindu pada Upacara Persembahyangan di Pura Jagatnatha
Denpasar”. Tesis – Tidak
Dipublikasikan. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
I Wayan Sukarma
Abstrak
Manusia
dalam berbagai aktivitasnya tidak dapat lepas dari aturan hidup karena
dengannya mereka memiliki kebebasan moral. Patut disadari bahwa aturan moral
bukanlah barang sesuatu yang bersifat absolut. Melainkan aturan moral selalu
berubah seturut dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Aturan-aturan moral
mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan nilai dan norma dalam
masyarakat, bahkan ketika nilai ditentang dan norma dilanggar muncul
perkembangan baru misalnya, modernisasi. Demikian juga susila, moralitas agama Hindu yang dipraktikkan di desa pakraman (di Bali) senantiasa
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan pakraman.
Perubahan ini, bukan hanya terjadi pada domain palemahan dan pawongan,
tetapi juga pada domain parhyangan.
Ini sebabnya krama desa dituntut
melakukan revitalisasi nilai dan norma moral yang dijadikan panduan untuk
membangun pakramannya.
Kata
Kunci: Moralitas Pakraman.
1. Pendahuluan
Susila berasal dari dua suku kata, yaitu “su” berarti baik dan
“sila” berarti tingkah laku. Jadi, susila
berarti tingkah laku yang baik (Sudharta dan Punyatmaja, 2001:32; Sura
dkk., 2002:111). Ajaran susila dalam
agama Hindu menurut Sura dkk. (2002:111) mencakup aspek yang begitu luas dan
beberapa di antaranya merupakan ajaran moral yang diajarkan secara universal
oleh semua agama. Sejalan dengan ini, Bertens (2007:36) menegaskan bahwa secara
umum aturan moral dalam suatu agama dapat dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama, aturan moral yang dianut secara
internal oleh penganutnya misalnya, tentang makanan yang haram, ibadat, dan
puasa. Kedua, aturan moral yang
diterima oleh semua agama, seperti jangan mencuri, jangan berdusta, jangan
membunuh, dan jangan berzinah. Aturan moral kelompok pertama menekankan pada
aturan moral yang unik dan khas berlaku bagi penganut agama tertentu, sedangkan
kelompok kedua melampaui kepentingan suatu agama sehingga menjadi aturan yang
berlaku umum dalam masyarakat. Malahan bidang ini banyak diambil oleh institusi
hukum dalam hal penegakannya.
Aturan-aturan moral mengalami perubahan
sejalan dengan perkembangan nilai dan norma dalam masyarakat, bahkan ketika
nilai ditentang dan norma dilanggar muncul perkembangan baru misalnya,
modernisasi. Hal ini terjadi karena modernisasi dengan berbagai salurannya
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya pergeseran nilai dan
norma moral masyarakat. Berkaitan dengan perkembangan nilai dan norma moral
dalam masyarakat mordern, bahkan Bertens (2007:31) menegaskan bahwa situasi
etis dalam dunia modern ditandai tiga ciri yang paling menonjol, yaitu (1)
pluralisme moral, (2) munculnya
masalah-masalah etis yang tidak terduga, dan (3) semakin tingginya kepedulian
etis yang bersifat universal.
Pertama, pluralisme moral ditandai dengan semakin banyaknya sumber
moral yang menjadi referensi masyarakat untuk menata tingkah laku moralnya
(Bertens, 2007:31). Rujukan-rujukan moral ini memasuki ruang kesadaran
individu, bahkan saling bertumpang-tindih sehingga memunculkan tingkah laku
yang beragam. Oleh karena itu, diperlukan ukuran yang tegas untuk menentukan
baik dan buruknya suatu perbuatan. Dalam agama Hindu menurut Sura (1985:40--41)
ada tiga ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan baik dan buruknya
perbuatan, yaitu (1) desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan); (2) pratyaksa
(pengamatan), anumana (logika), agama (petunjuk orang yang dapat
dipercaya); dan (3) sastratah (sastra
agama), gurutah (ajaran guru), dan swatah (pengalaman sendiri). Ukuran
pertama mengindikasikan bahwa moral Hindu bersifat akomodatif terhadap tradisi
lokal dan kebiasaan masyarakat setempat. Ukuran kedua menekankan pada metode
yang digunakan dalam mempertimbangkan perbuatan. Kemudian, ukuran ketiga
mengungkapkan sumber-sumber nilai moral yang dapat dijadikan pedoman perbuatan.
Implikasi teoretis yang muncul bahwa moralitas Hindu merupakan hasil konstruksi
yang bersifat cair (fluid) melalui
interaksi dinamis antara manusia dan lingkungan.
Kedua, interaksi dinamis yang disertai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan dalam dunia
modern muncul masalah-masalah etis yang tidak terduga (Bertens, 2007:32). Dalam
konteks Hindu kondisi ini dapat dicermati melalui konsep sarjana dan sujana. Idealisme
kesarjanaan ditandai dengan karakter ilmuwan yang kritis, rasional, logis,
objektif, dan terbuka, sedangkan idealisme kesujanaan
merujuk pada integritas moral kecendekiawanan (Suriasumantri, 1981:48). Untuk
itu Siswomihardjo (2010:14) menegaskan bahwa secara ideal ilmu pengetahuan dan
teknologi diharapkan dapat mengambil peran dalam pembangunan masyarakat, baik
pada tataran teleologis, etis, maupun integratif. Pada tataran teleologis, ilmu
pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan
pembangunan. Pada tataran etis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam kemanusiaannya. Sementara itu,
pada tataran integratif, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu
meningkatkan kualitas struktur dan kultur masyarakat. Sebaliknya, pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengabaikan moralitas akan menyebabkan munculnya
kejutan-kejutan moral.
Ketiga, gejala semakin tingginya kepedulian etis yang bersifat
universal di seluruh dunia yang melampuai batas-batas negara-bangsa. Dalam hal
ini, globalisasi tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam
bidang moral. Munculnya gerakan-gerakan perjuangan moral yang aktif pada taraf
internasional dan kerja sama antarnegara dalam membangun kesadaran moral yang
terorganisasi pada bidang hak asasi manusia dan lingkungan merupakan bukti
tingginya kepedulian etis universal (Bertens, 2007:33). Implikasinya, pola-pola
moral tradisional harus dikomunikasikan secara intensif dengan pola-pola moral
yang bersifat universal. Malahan karena kuatnya tarikan modernitas seringkali
menyebabkan pola moral tradisional kehilangan landasan berpijak karena begitu
pesatnya perubahan sosial-religius. Oleh karena itu, diperlukan kerja rasio
untuk meletakkan fundamen bagi norma-norma dan nilai-nilai etis. Menempuh cara
hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan tingkah laku berdasarkan alasan-alasan
rasional (Bertens, 2007:35). Dengan demikian, rasionalisasi nilai dan norma
moral tradisional yang dikomunikasikan dengan nilai dan norma moral universal
merupakan ciri yang menonjol dalam masyarakat modern.
Ini berarti bahwa modernitas telah
memberikan kesan kepada individu dalam mengkonstruksi pilihan-pilihan moralnya.
Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai moral dalam berbagai institusi
dan pranata sosial dalam masyarakat. Padahal dalam konteks sosial dan budaya,
agama dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia
dan Tuhan, mengatur hubungan antara manusia dan sesama, dan mengatur hubungan
antara manusia dan lingkungan (Kahmad, 2000:12; Suparlan dalam Robertson,
1998:v). Model hubungan semacam ini menurut Gunadha (2009:2) dalam agama Hindu
disebut tri hita karana yang berisi
tiga konsep, yaitu palemahan (lingkungan
alam), pawongan (lingkungan sosial),
dan parhyangan (lingkungan
keagamaan). Ketiga hukum ini merupakan landasan moral desa pakraman, yaitu prinsip moral yang mengatur dan menata tingkah
laku warga desa pakraman. Perkembangan nilai dan norma masyarakat desa pakraman yang tradisional dalam
masyarakat modern inilah merupakan tema yang hendak diugkap tulisan ini.
2. Moral dan
Agama
Moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) berarti kebiasaan, adat (Bertens, 2002:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas,
2005:754--755) moral diartikan (a) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi
pekerti; susila; (b) kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (c) ajaran kesusilaan yang
dapat ditarik dari suatu cerita. Dari kata dasar “moral” muncul istilah-istilah
yang berkaitan, antara lain “moralitas”, “amoral”, dan “immoral”. Moralitas
berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk. Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral; di luar
suasana moral; nonmoral. Sementara itu, immoral
berarti bertentangan dengan moral yang baik; secara moral buruk; tidak etis
(Bertens, 2002:7).
Kata yang dekat dengan moral adalah kata
“etik” dan “etika”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:309) dijelaskan bahwa etik berarti (1)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai yang
mengandung benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Kemudian, etika diartikan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Walaupun memiliki arti yang berbeda,
kata “moral”, “etik”, dan “etika” sering kali digunakan secara bergantian dalam
masyarakat, baik lisan maupun tertulis. Ketiga kata ini memang dapat digunakan
untuk mengatakan pengertian yang sama, yaitu nilai dan norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya (Bertens,
2002:6).
Moral mempunyai hubungan erat dengan
agama. Dalam tingkah laku sehari-hari motivasi yang terpenting dan terkuat bagi
tingkah laku moral adalah agama (Bertens, 2002:35). Agama merupakan sesuatu
yang bersifat sosial karena representasi religius adalah representasi kolektif
yang mengungkapkan realitas kolektif. Keyakinan dan ritual-ritual agama
merupakan ekspresi simbolis dari kenyataan sosial (Durkheim, 2003:10). Malahan
Nottingham (2002:15--16) menegaskan bahwa hubungan antara anggota kelompok dan
hal-hal yang sakral dalam beberapa hal erat hubungannya dengan nilai-nilai
moral kelompok itu. Aturan moral memang tidak hanya bersumber pada agama,
tetapi keanekaragaman adat kebiasaan kelompok timbul dari keanekaragaman
konsepsi kelompok tersebut tentang Yang Sakral. Demikian juga adat dan
kebiasaan bersumber dari ajaran agama. Artinya, moralitas mengimplikasikan
sebuah sistem aturan praktis tingkah laku manusia dalam masyarakat sesuai
dengan agama yang dianut. Dalam hal ini, moralitas merupakan teknik
pengungkapan diri, ia memberi bentuk konkret bagi impian-impian, membantu
mengaktualisasikan visi melalui detail-detail yang praktis. Malahan Dasgupta
(1994:4) menegaskan bahwa moralitas akan kehilangan signifikansinya, bila
dipisahkan dari agama, bahkan dalam pencapaian spiritualitas.
Signifikansi agama sebagai sumber nilai
moral dijelaskan Bertens (2002:30), bahkan ditegaskan bahwa agama merupakan
sumber nilai dan norma moral yang paling penting. Agama dalam kaitannya dengan
praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah laku yang
diusahakan oleh masyarakat. Agama digunakan untuk menangani masalah-masalah
yang tidak dapat dipecahkan dengan teknologi ataupun teknik organisasi yang
diketahui (Haviland dalam Kahmad, 2000:119). Agama dalam konteks sosial telah
mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu dan
masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada
pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian, agama tidak hanya mengikat
individu dengan Yang Ilahi, tetapi juga manusia yang satu dengan yang lainnya
sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial (Bleeker, 2004:98; Keene,
2006:6). Dalam konteks ini, Wattimena (2007:xi) menegaskan bahwa agama
merupakan satu bentuk legitimasi yang efektif dalam kehidupan sosial dan
budaya.
Agama merupakan sesuatu yang bersifat
budaya karena agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada
kehidupan manusia dan penjelasan yang paling holistik tentang seluruh realitas.
Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi penganutnya, agama berisi
ajaran tentang kebenaran tertinggi (summum
bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia serta petunjuk-petunjuk hidup
selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan,
beradab, dan manusiawi (Kahmad, 2000:63). Dengan demikian, agama sebagai sistem
keyakinan dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga
agama dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan warga masyarakat agar
tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya (Kahmad,
2000:64).
Ketika pengaruh agama menjadi kuat terhadap
sistem nilai kebudayaan suatu masyarakat, maka sistem nilai kebudayaan itu
terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang
menjadi kerangka acuannya. Apabila agama menjadi inti dari kebudayaan suatu
masyarakat, maka fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan
membantu masyarakat untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.
Pengalaman beragama (religious experience),
yaitu penghayatan kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan,
kemampuan, dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi
(Maman dkk., 2006:1). Penghayatan inilah yang menjadi landasan moral agama.
Moral agama menggariskan pedoman tingkah laku yang menetapkan tingkah laku yang
sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dari kepercayaan terhadap Tuhan
dalam hidup pribadi, masyarakat, dan dunia (Hardjana, 2005:51). Pedoman tingkah
laku seperti ini dalam agama Hindu disebut susila.
Susila merupakan bagian integral dari kerangka dasar agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara.
3. Perubahan
Moralitas Pakraman
Ikatan kesatuan wilayah yang terwujud
dalam bentuk komunitas desa pakraman diatur dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 03, Tahun 2001.
Dalam Perda tersebut dijelaskan bahwa desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan
tiga (kahyangan desa) yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangga sendiri. Dari Perda ini dapat ditemukan enam unsur pokok yang
membentuk desa pakraman, yaitu (1)
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun-temurun, (3) dalam ikatan kahyangan
tiga (kahyangan desa), (4)
mempunyai wilayah tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6)
berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari keenam unsur itu dapat dipahami
bahwa Perda tersebut hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu.
Seperti dijelaskan Sirtha (Astra dkk. (Ed), 2003:71) bahwa agama Hindu yang
dianut oleh masyarakat Bali memberikan corak yang khas bagi desa pakraman. Kegiatan masyarakat adat
dijiwai oleh agama Hindu yang dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kahyangan Tiga sebagai
tempat pemujaan menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam
melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dasar komitmen dan tujuan desa pakraman adalah tri hita karana, yaitu sukerta tata palemahan, sukerta tata
pawongan, dan sukerta tata
parhyangan.
Palemahan dari kata “lemah” berarti tanah, yakni tanah tempat
tinggal atau lingkungan alam; pawongan dari
kata “wong” berarti orang, yakni segala hal yang bersangkut-paut dengan
kehidupan sosial orang Bali; dan parhyangan
merupakan tempat suci pemujaan bagi umat Hindu (Atmaja, 1996:61--66;
Gunadha, 2009:2). Ketiganya merupakan kesatuan yang membangun hubungan harmonis
antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Ketiga macam hubungan ini
menjadi sumber kesejahteraan hidup jasmani (jagadhita) dan hidup rohani (moksa) secara selaras dan seimbang (Mantra, 1996:15). Ketiga macam hubungan ini menjadi landasan
moral desa pakraman, sebagaimana
ditegaskan Geriya (2000:63) bahwa
selain agraris dan kepentingan khusus, juga sistem kemasyarakatan orang Bali
bertumpu pada kekerabatan, seperti banjar
dan desa pakraman.
Tri hita karana sebagai landasan moral desa pakraman, seperti dijelaskan Gunadha (2009:2) bahwa substansi awig-awig desa pakraman dijiwai oleh
agama Hindu. Awig-awig ini merupakan
penjabaran dari tri hita karana,
yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan. Palemahan atau wilayah, berupa perwujudan hubungan antara manusia
dan alam sekaligus menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Pawongan sebagai perwujudan hubungan
manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial untuk
menjaga rasa aman dan nyaman termasuk ketenteraman bersama. Kemudian, parhyangan sebagai konkretisasi tempat
pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan
hubungan dengan Hyang Widhi Wasa dalam wujud ritual.
3.1 Moralitas Palemahan
Palemahan berarti tanah, bumi, dan pertiwi memiliki keistimewaan
tersendiri dalam konteks budaya Bali karena konsep ini berkaitan dengan
keharmonisan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal ini sejalan dengan asumsi
bahwa tanah adalah lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan manusia, yaitu
tempat manusia berpijak, bertempat tinggal, mencari makan, hidup, bahkan hingga
kematiannya. Ini merupakan konsepsi lingkungan secara empiris dikaitkan dengan
segala sesuatu yang berada di tanah, seperti flora, fauna, sumber mineral,
bahkan aktivitas sosiokultural (Purwanto, 2000:67). Artinya, keterikatan
manusia dengan lingkungan alam membangun sistem nilai yang menjadi bagian dari
agama dan kebudayaannya.
Kesadaran religius krama desa pakraman terhadap tanah mengalir dari Weda sebagai teks
autentik agama Hindu menuju konteks sosioreligius. Dalam Atharvaveda, XII.1.12 dijelaskan,
“bumi adalah ibu kita, kita adalah putra-putranya”. Serupa dengan itu dalam Yajurveda
XXV.17 disebutkan, “bumi adalah ibu dan langit adalah ayah
kita”. Secara mitologis dijelaskan dalam Brahmanda
Purana bahwa Prthivi atau Dewi
Basundari adalah anak dari Prthu yang
berwujud lembu dan diberi tugas untuk mengeluarkan “susu”, berupa semua hasil
bumi yang berguna bagi kehidupan manusia (Sandi dan Pudja, 1979:86). Demikian
juga secara filosofis, ajaran Samkhya menjelaskan
bahwa tanah (prthivi) adalah bagian dari panca mahabhuta, yaitu unsur
dasar pembentuk alam semesta (bhuwana
agung) dan makhluk hidup (bhuwana alit) (Sura, 2003:11; Suamba, 2003:23; Yasa, 2009:73). Ini menegaskan bahwa agama Hindu
mengajarkan bahwa tanah sebagai dasar eksistensi manusia sekaligus sebagai
penganugerah kemakmuran.
Artinya, kepercayaan terhadap tanah
memang telah menjadi dasar environmentalisme Hindu dalam konteks agraris yang
bersifat sosioreligius. Dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar
kepercayaan terhadap tanah ditunjukkan dengan berbagai ritual. Hal ini ditandai
dengan berbagai tradisi religius yang berhubungan dengan tanah, seperti bhuta yajna dan ritual agraris lainnya
sebagai wujud ikatan religius umat Hindu terhadap tanah (Sutrisno,
2005:72--75). Ikatan religius ini, juga ditegaskan dalam puja prthivi stava, yaitu mantra yang secara khusus dilantunkan
untuk memuja prthivi dalam
pelaksanaan upacara yajna oleh para pendeta di Bali
(Goudriaan dan Hooykaas, 1971:419--420).
Perlakuan krama desa pakraman terhadap tanah di dalam keluarga dapat dilihat
dari penataan ruang pekarangan rumah tempat tinggal menurut konsep tri mandala, yaitu uttama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Uttama mandala adalah ruang parhyangan ditandai dengan keberadaan merajan; madya mandala adalah
ruang pawongan ditandai dengan rumah
tempat tinggal dan aktivitas sosial lainnya; sedangkan nista mandala adalah areal pekarangan rumah yang tidak termasuk
dalam dua mandala tersebut, seperti
tempat membuang sampah dan selokan. Konsep ruang ini membangun tingkah laku
etis krama desa pakraman yang
dibingkai dalam konsep suci-cemer. Tingkah
laku hidup bersih di uttama mandala dilaksanakan
dengan menjaga kebersihan dan kesucian merajan
dengan alat-alat khusus digunakan untuk itu. Alat-alat kebersihan yang
biasa digunakan untuk di areal madya dan
nista mandala tidak boleh digunakan
untuk membersihkan merajan.
Berbeda halnya dengan kebersihan di merajan, tingkah laku hidup bersih di
areal madya dan nista mandala tidak menampakkan hal yang sama. Tingkah laku hidup
bersih di kedua ruang ini begitu bergantung pada kesadaran setiap anggota
keluarga tentang kebersihan. Hal ini menimbulkan fenomena perbedaan tingkah
laku hidup bersih di merajan dan di
lingkungan rumah tinggal. Pada umumnya kebersihan di merajan lebih terjaga dibandingkan dengan lingkungan rumah lainnya.
Kesadaran menjaga kebersihan selokan misalnya, masih belum sepenuhnya
dilaksanakan dalam tingkah laku hidup bersih sehari-hari.
Artinya, penataan areal parhyangan menjadi prioritas bila
dibandingkan dengan areal lainnya karena kondisi merajan dapat menunjukkan religiusitas keluarga bersangkutan.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan dramaturgis Goffman (Ritzer &
Goodman, 2006:93) bahwa aktor memainkan tingkah laku yang berbeda pada bagian
depan (front region) dan bagian
belakang (back region) dalam
interaksi sosialnya. Rupanya, areal parhyangan
cenderung diperlakukan menjadi bagian depan yang mendapat perhatian lebih
dalam hal kebersihan dan penataannya. Sebaliknya, tingkah laku hidup bersih
yang sama seperti di merajan sebagai front stage, ternyata tidak sepenuhnya diimplementasikan pada bagian belakang (back stage), yakni di madya dan nista mandala. Dengan kata lain, moral agama tidak sepenuhnya mampu
menginternal dalam diri krama desa
pakraman sehingga menjadi pedoman tingkah laku. Hal ini dimungkinkan karena
penataan ruang tempat tinggal tidak didominasi oleh pertimbangan moral, tetapi
juga konsumsi simbolis dan estetisasi kehidupan. Penataan palemahan keluarga sedapat mungkin disusun menjadi satu kesatuan
estetis sehingga tidak jarang renovasi rumah tempat tinggal berpengaruh secara
menyeluruh pada ruang lainnya.
Hal ini menegaskan bahwa kecenderungan
estetisasi kehidupan telah melemahkan nilai etis dalam tingkah laku krama desa pakraman dalam bidang palemahan. Dalam hal ini, nilai historis
merajan sebagai warisan leluhur
bergeser maknanya menjadi areal yang dapat dipertukarkan secara sosial menjadi
objek estetitasi dan konsumsi simbolik. Keberadaan merajan dimaknai tidak sebatas nilai guna dan fungsinya menjadi
ruang sakral keluarga, tetapi juga konsumsi citra yang mengekspresikan diri dan
status sosial. Implikasinya bahwa penataan areal merajan tidaklah semata-mata karena kesadaran moral untuk
memuliakan nilai religius, tetapi merupakan moralitas yang dikomunikasikan
dengan nilai-nilai modern sehingga melahirkan tingkah laku yang berbeda. Dalam
hal ini tanah telah diperlakukan sebagai barang kultural yang dipertukarkan
dalam arena sosial berdasarkan status kepemilikan, fungsi, dan pemanfaatannya
(Atmaja (ed), 2003:146).
Dengan demikian, pandangan terhadap
tanah (lemah), baik dalam teks Hindu maupun konteks budaya
Bali dipahami sebagai sesuatu yang keramat (tenget),
ternyata nilainya telah bergeser menjadi ruang material yang dipertukarkan dalam
arena sosial. Ruang palemahan keluarga
dipahami secara spasial sehingga melahirkan tingkah laku dramaturgis dalam
rangka konsumsi simbolis, citra, dan estetisasi. Begitu juga ikatan historis
tanah warisan leluhur semakin melemah karena sudah tanah warisan leluhur itu
sudah menjadi komoditas. Malahan palaba
pura yang membangun ikatan hisoris-religius, juga tidak luput dari gejala komodifikasi. Dalam hal ini,
modernisasi tidak dapat dihindari melahirkan tingkah laku komodifikasi untuk
tujuan pragmatis.
3.2 Moralitas Pawongan
Perubahan nilai moral krama desa pakraman bukan hanya terjadi
pada ranah palemahan, tetapi juga terjadi pada ranah pawongan. Dalam agama Hindu terdapat
konsep-konsep etis yang mengatur tingkah laku manusia, antara lain (a) tri kaya parisudha, yaitu pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika) yang harus disucikan; (b) catur paramitha, yaitu suka menolong (maitri), cinta kasih (karuna), menghargai orang lain (upeksa), menyenangkan hati orang lain
(mudita); (c) catur guru bhakti, yaitu bhakti
kepada orang tua (guru rupaka),
guru di sekolah (guru pangajian),
pemerintah (guru wisesa), dan Tuhan (guru swadyaya) (Sudharta &
Punyatmaja, 2001:52--57). Konsep-konsep etis ini pada dasarnya dipraktikkan
secara beragam dalam latar sosial dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam pergaulan sehari-hari moralitas mewujudkan diri dalam bentuk tata krama,
yaitu adat sopan santun, basa-basi (Depdiknas, 2005:1147). Demikian halnya
dengan moralitas yang dipahami dan dipraktikkan krama desa pakraman pada bidang pawongan
dapat dilihat dalam wujud tata krama pergaulan. Dalam Pedoman dan Kriteria Lomba Desa Pakraman/Desa Adat (Tim Penyusun,
2009:45) dijelaskan bahwa ukuran etis dalam pawongan
meliputi tata wicara (sopan santun
dalam berbicara), tata busana (sopan
santun dalam berbusana), dan tata bhoga (sopan
santun dalam hal makanan). Secara implisit, ukuran-ukuran etis ini dipraktikkan
dalam ranah sosial dan budaya.
Dalam konteks tata wicara dapat dilihat dari salah satu unsur kebudayaan yang
memegang peran penting dalam penanaman budi pekerti anggota keluarga, yaitu
bahasa. Bahasa sebagai satuan budaya merupakan gambaran kesadaran kolektif krama desa pakraman yang ditunjukkan
dengan penggunaan bahasa Bali. Melalui bahasa Bali nilai-nilai budi pekerti
ditanamkan karena dalam bahasa Bali terdapat sor-singgih basa yang mengharuskan setiap individu memilih kata
yang dipandang “baik”. Sor-singgih basa
Bali ini sekaligus menjadi pedoman bagi seseorang untuk memosisikan diri
sesuai dengan status sosialnya dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya,
saat komunikasi berlangsung antara anak dan orang tua, anak memiliki kewajiban
untuk berbahasa Bali halus, singgih.
Dalam proses komunikasi inilah pemahaman tentang sor-singgih basa Bali diperlukan sehingga pilihan kata yang
digunakan benar-benar menunjukkan sopan santun dan rasa hormat kepada orang
tua. Hal ini menjadi modal penting bagi anak ketika memasuki dunia sosial
berikutnya.
Akan tetapi, modernitas yang melibatkan
struktur perasaan dan revisi kronis atas pengetahuan perlahan-lahan telah
memarginalkan penggunaan bahasa Bali dalam tradisi keluarga. Hal ini ditandai
dengan munculnya gejala bahwa orang tua lebih senang mengajarkan bahasa
Indonesia, bahkan bahasa asing kepada anaknya. Akibatnya, tidak sedikit orang
mengeluhkan bahwa anaknya semakin melemah dalam
penguasaan bahasa Bali. Artinya, penggunaan bahasa Bali mulai
terpinggirkan, baik dalam keluarga maupun sekolah. Menurut Lash (2004:83) bahwa
kemajuan telah membangun struktur perasaan masyarakat yang memosisikan bahasa
Bali sebagai pengetahuan tradisional yang kuno dan kolot. Sebaliknya,
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing dipandang lebih modern dan menjadi
pertanda kemajuan. Terkait dengan melemahnya penggunaan bahasa Bali dalam
keluarga cenderung disebabkan oleh pertimbangan rasional yang lebih
mengedepankan nilai guna dan efektivitas komunikasi. Perubahan cara pandang ini
menunjukkan terjadinya disorientasi nilai dalam keluarga yang ternyata lebih
mengedepankan rasionalitas daripada moralitas.
Artinya, bahasa Bali tidak lagi memiliki
nilai penting sebagai media komunikasi antaranggota keluarga, apalagi menjadi
sumber nilai moral dan budaya. Malahan keberadaannya menjadi sangat formal
sehingga hanya diposisikan sebagai mata pelajaran yang kadar kesulitannya
dipandang menyamai, bahkan melebihi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Semakin
terpinggirkannya bahasa Bali dalam ranah komunikasi lokal telah menunjukkan
terjadinya alienasi masyarakat Bali dari budayanya sendiri. Dalam hal ini,
kuatnya rasionalitas yang lebih mengedepankan nilai guna dan manfaat praktis
bahasa secara sistemik telah meminggirkan bahasa Bali sebagai media interaksi
sosial dan sumber nilai moral (Schacht, 2009:245).
Melemahnya nilai moral tersebut, juga
dapat diamati dari penggunaan bahasa Bali dalam pergaulan generasi muda,
remaja, dan anak-anak. Kata-kata dalam bahasa Bali yang cenderung kasar,
seperti “kleng ci…” tidak asing
terdengar lagi dalam sebuah proses komunikasi. Ungkapan ini memang tidak
dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa marah kepada lawan bicara, tetapi justru
menandakan hubungan karib. Baik disadari maupun tidak, orientasi generasi muda
dan remaja terhadap nilai bahasa Bali telah mengarah pada penjiplakan “bahasa
gaul” sebagai model budaya pop di Indonesia yang marak belakangan ini. Budaya
pop kemudian, juga merambah dunia komunikasi berbahasa Bali. Fase menjiplak
atau meniru ini menurut Adorno dan Horkheimer (Tester, 2003:107) disebut
sebagai pengasingan (alienasi) dan bukan sekadar paradoks intelektual.
Gejala sejenis juga dapat dilihat pada tata busana Bali. Menurut Widana
(2010:8) busana mencerminkan nilai-nilai moral dan kultural dengan kandungan
makna kesederhanaan, kesopanan, dan kesusilaan. Akan tetapi, sesungguhnya tidak
ditemukan ketentuan yang pasti tentang penggunaan busana ke pura. Parisada Hindu Dharma Indonesia
telah melakukan pembahasan tentang busana adat Bali dalam seminar kesatuan
tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu. Dalam Kumpulan Hasil Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
I–XIV (1994:23) dijelaskan bahwa busana daerah atau adat Bali adalah busana
yang mempunyai keterikatan dengan (1) daerah Bali sebagai wilayah dan (2)
pelaksanaan adat Bali. Lebih lanjut, busana adat Bali dibedakan lagi menurut
komposisi (kelengkapan) dan jenisnya, yaitu payas
agung, busana jangkep, busana madya, dan busana alit.
Fenomena keseragaman busana ini
menunjukkan konstruk budaya modern yang berdiri di atas prinsip-prinsip rasio,
subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear,
objektivitas, otonomi, emansipasi, dan oposisi biner (Haryono, 2005:35). Dalam
hal ini, perbedaan busana sembahyang dan
ke setra dapat dipahami sebagai
bentuk konstruksi budaya yang memisahkan secara tegas antara suci dan cemer. Keabsolutan warna putih sebagai simbol kesucian mendorong krama desa pakraman menggunakan busana
warna putih untuk sembahyang, sedangkan
warna hitam dan/atau gelap sebagai simbol kesedihan digunakan ke setra. Walaupun begitu, juga krama desa pakraman terus-menerus
mengkonstruksi busana sembahyangnya. Mengingat konstruksi ini bersifat cair
sehingga tingkah laku berbusana krama
desa pakraman juga mengalami perubahan secara terus-menerus.
Hal ini ditunjukkan hasil penelitian
Widana (2010:155) tentang penampilan selebritis umat Hindu saat mengikuti
upacara persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha Denpasar. Kecenderungan
perubahan yang terjadi adalah busana yang tidak lagi berpegang pada format
etis, tetapi lebih mengedepankan aspek estetis, bahkan penonjolan unsur-unsur
kemewahan (glamour) dan sensualitas.
Kemudian, Widana (2010:159) juga mengklasifikasikan penampilan selebritis umat
Hindu ke pura sebagai tubuh modernis
yang estetis, yaitu tubuh yang ditampilkan lebih indah dengan atribut yang
sesuai dengan perkembangan mode terbaru. Tubuh modernis ini menekankan pada
usaha untuk mengekplorasi, bahkan mengeksploitasi tubuh dengan konsep
artifisial yang kasual atau fashionable dan
sekaligus sarat dengan ekspresi simbol materialistik.
Tidak jauh berbeda dengan perubahan
nilai moral pada tata busana, juga terjadi perubahan pada tata bhoga, yaitu tingkah laku krama
desa pakraman dalam hubungannya dengan tradisi makan. Dalam pemahaman tradisional
tradisi makan tidak hanya mengandung nilai material sebagai pengisi perut,
tetapi juga berhubungan dengan nilai moral. Pemahaman ini ditandai dengan tata
cara atau aturan makan yang merefleksikan nilai etis dan mitis. Misalnya, tidak
boleh makan sebelum menghaturkan saiban,
tidak boleh makan di depan pintu, tidak boleh mengambil makanan dari piring
orang lain, tidak boleh makan langsung dari tempat penyajiannya, tidak boleh
makan sambil berbicara, dan tidak boleh makan sampai mengeluarkan suara kecapan.
Malahan juga jenis makanan mengandung nilai etis misalnya, hanya makanan sukla yang disuguhkan kepada tamu. Akan
tetapi, nilai moral dalam kaitannya dengan tata boga ini mulai mengalami
pengenduran seiring dengan modernisasi yang sedang berlangsung.
Perubahan dari tradisi mebat ke tradisi catering misalnya, dapat dipandang sebagai bentuk penerimaan
inovasi sosial. Inovasi ini sesungguhnya mengandung konsekuensi moral, yakni
semakin lemahnya semangat kebersamaan dan kolektivitas yang dapat dibangun melalui
tradisi mebat. Pada saat mebat sesungguhnya krama desa pakraman
sedang membangun identitasnya sebagai masyarakat komunal-ekspresif-religius
(Yasa, 2010). Komunalitas dibangun dengan mengerjakan pembuatan makanan secara
bersama-sama dan dalam hal ini setiap aktor mengambil peran dan fungsinya
masing-masing. Ekspresivitas ditandai dengan kebebasan setiap aktor untuk
mengkomunikasikan ide tentang rasa dan jenis makanan yang akan disajikan. Dalam
proses komunikasi ini, tanpa disadari bahwa mereka telah membangun konsensus
bersama. Sementara itu, religiusitas dibangun melalui kesadaran bahwa makanan
yang hendak dihidangkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberhasilan sebuah yadnya.
Nilai inilah yang tampaknya mulai
bergeser dengan masuknya pemikiran modern yang lebih mengedepankan
rasionalitas, yaitu efektivitas dalam pencapaian tujuan. Dalam hal ini, catering (jasa boga) dipandang menjadi
pilihan yang paling rasional untuk mendapatkan makanan yang dihidangkan secara
cepat dan efisien. Dalam hal ini, pasar telah menjadi arena sosial baru yang
mengakomodasi pergeseran ide dari mebat
ke catering sehingga nilai uang lebih
dominan dibandingkan dengan nilai komunalitas dan religius. Malahan catering telah menjadi pola konsumsi
yang menunjukkan identitas kelas sosial dan dengannya citra diri dibangun
(Barker, 2005:145).
3.3 Moralitas Parhyangan
Moralitas pakraman berikutnya dapat dicermati melalui tingkah laku dalam parhyangan. Unsur parhyangan merupakan salah satu bagian dari tri hita karana yang menguraikan hubungan manusia dengan Tuhan
selaku pencipta. Hubungan ini dijelaskan dalam Pedoman dan Kriteria Penilaian Desa Pakraman/Desa Adat (Tim
Penyusun, 2009:43) bahwa tingkah laku dalam konteks parhyangan meliputi persembahyangan, aktivitas seni dan budaya
keagamaan, pemahaman ajaran agama Hindu, dan sasana kapamangkuan. Pedoman ini menunjukkan upaya penyeragaman
doktrin moral dalam parhyangan yang
dianggap terbaik bagi krama desa pakraman.
Doktrin moral dalam persembahyangan
meliputi pedoman persembahyagan, seperti trisandya,
kramaning sembah, matirtha, mabija, dan dharmawacana
(Tim Penyusun, 2009:41). Implikasinya
bahwa persembahyangan dipandang memenuhi standar moral “baik”, bila mengikuti
pedoman tersebut. Oleh karena itu, tingkah laku yang ditunjukkan dalam
persembahyangan juga relatif seragam. Artinya, standar moral dalam
persembahyangan yang ditetapkan telah mendorong munculnya konsensus baru bagi kraman desa pakraman. Akibatnya, keteraturan
dan ketertiban persembahyangan hanya hadir di permukaan secara seremonial.
Kemudian, juga standar moral dalam ranah
parhyangan dapat ditelusuri dalam
aktivitas seni dan budaya keagamaan. Kesenian Bali pada prinsipnya dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu seni sakral (wali), seni sakral-profan (bebali),
dan seni profan (balih-balihan). Seni
wali adalah seni yang disakralkan
karena berkaitan dengan upacara keagamaan. Seni bebali adalah seni yang sesungguhnya bukan sakral, tetapi dapat
dipentaskan dalam upacara keagamaan. Sementara itu, seni balih-balihan adalah seni profan yang berfungsi sebagai hiburan
belaka (Bandem & Dibya, 1975:4). Berdasarkan pengelompokan ini dapat
dipahami bahwa aktivitas seni dan budaya keagamaan yang berhubungan dengan parhyangan adalah kesenian wali.
Wali atau seni sakral tidaklah dimaknai sebagai tontonan semata,
tetapi mewujudkan sebuah simbol sakral yang terkandung berbagai macam nilai di
dalamnya. Nilai tersebut dapat bersifat sangat fundamental dalam kehidupan sosial
religius masyarakatnya karena dikaitkan dengan sebuah ritual. Hal ini sejalan
dengan pandangan Hadi (2006:12) bahwa seni dalam ritual merepresentasikan
keyakinan mistis pemeluknya. Demikian juga pendapat Suamba (Triguna, ed.,
2005:17) menegaskan bahwa kesenian Bali mengalir dari konsep Siwa Nataraja, yaitu Siwa sebagai penari kosmis yang
gerakan-gerakannya mengandung nilai estetik, filsafat, dan mistik yang tinggi.
Krama desa pakraman memang mewarisi berbagai jenis seni sakral yang
dilaksanakan dalam kaitannya dengan ritual keagamaan. Walaupun demikian,
berkembangnya Bali menjadi daerah wisata dunia telah membawa perubahan yang
signifikan terhadap keberadaan seni wali.
Hal ini terutama sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 9, Tahun 1969 yang menjelaskan bahwa terdapat empat kebutuhan dasar
wisatawan, yaitu (1) akomodasi, (2) transportasi, (3) jasa, dan (4) atraksi.
Tidak dapat dihindari bahwa pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk
memenuhi kepentingan tersebut. Atraksi wisata termasuk di dalamnya pementasan
kesenian Bali menjadi salah satu prioritas penting dalam pembangunan
kepariwisatawan.
Kesenian Bali yang dipentaskan untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan ternyata telah merambah pada seni sakral (wali). Salah satu di antaranya ditandai
dengan munculnya ruang-ruang pertunjukan wisata, seperti Stage Barong & Kecak Dance di desa pakraman. Tempat ini mementaskan tari Barong dan Kecak secara
terjadwal dengan sasaran penonton utamanya adalah wisatawan. Kenyataan
menunjukkan bahwa setiap pementasan tari Barong dan Kecak di tempat ini cukup
ramai dikunjungi wisatawan. Padahal
tari Barong selama ini dipandang sakral karena Barong itu sendiri diyakini
sebagai perwujudan dari Bhatara Siwa (Ratu
Bagus). Pergeseran nilai kesakralan tari Barong ini dapat dipahami
berdasarkan pandangan Soedarsono (1999:34) bahwa atraksi wisata memiliki lima
ciri utama, yaitu (1) tiruan dari aslinya, (2) singkat atau padat atau bentuk mini
dari aslinya, (3) penuh variasi, (4) ditanggalkannya nilai-nilai sakral, magis,
mistis, dan simbolis, serta (5) harganya yang murah.
Artinya, seni sakral sebagai atraksi
budaya telah mereduksi berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, baik bentuk,
fungsi, maupun maknanya. Bentuk pementasan seperti aslinya, tetapi dengan
durasi yang lebih singkat menjadi ciri penting pementasan seni sakral di arena
wisata. Kemudian, fungsi hiburan yang lebih menonjol memungkinkan terjadinya
perubahan pakem lakon karena kreasi dan variasi yang lebih menghibur. Sementara
itu, makna sakral, magis, mistis, dan simbolis yang terkandung dalam seni
sakral memang sengaja dihilangkan atau paling tidak dipinggirkan. Pada
akhirnya, kepentingan ekonomi menjadi tujuan akhir yang diperjuangkan oleh
aktor dan agen dengan melakukan profanisasi seni sakral.
Selanjutnya, ukuran moral dalam parhyangan ditelusuri dalam peningkatan
pemahaman terhadap ajaran agama Hindu. Hal ini dapat dicermati dari
keterlibatan krama desa pakraman
dalam pembinaan keagamaan. Dalam hal ini, pembinaan keagamaan yang dimaksud
meliputi dharma wacana, dharma thula,
dharma yatra, dharma gita, dharma sadhana, dan dharma santi (Krisnu, 1998:9).
Lebih lanjut dapat dijelaskan pengertian dari konsep-konsep tersebut sebagai
berikut.
(1)
Dharma wacana adalah ceramah umum yang membawa
sentuhan rohani dan bersifat ceramah satu arah karena tidak tersedia waktu
untuk tanya jawab.
(2)
Dharma thula adalah mempertimbangkan dharma dengan saling mengisi renungan
yang bersifat memperluas dan memperdalam penafsiran terhadap materi yang
dibahas. Bentuknya berupa diskusi dua arah.
(3)
Dharma yatra adalah perjalanan suci menuju
tempat-tempat suci, sumber mata air (tirtha
yatra).
(4)
Dharma gita adalah penyuluhan dengan cara atau
melalui media seni membaca kakawin,
kidung, sloka, dan jenis dharma gita lainnya.
(5)
Dharma sadhana adalah kegiatan melatih diri, baik
secara individual maupun berkelompok untuk melaksanakan ajaran agama, baik
renungan mendalam maupun kegiatan keagamaan yang sifatnya praktik langsung.
(6)
Dharma santi adalah kegiatan saling mengunjungi,
menjalin rasa keakraban, kasih sayang, antara umat yang satu dengan yang
lainnya (Krisnu, 1998:10).
Pada dasarnya keenam metode pembinaan
ini merupakan cara untuk meningkatkan pemahaman umat Hindu terhadap ajaran
agama. Rupanya, dalam kurun waktu belakangan ini pembinaan-pembinaan tersebut
cukup marak dilaksanakan. Misalnya, dharma
wacana dan dharma thula sudah
mulai biasa dilaksanakan, seperti di banjar,
desa pakraman, sekolah-sekolah, kantor-kantor swasta dan pemerintah, bahkan
melalui media cetak dan elektronik.
Demikian juga, dharma yatra,
dharma gita, dharma sadhana, dan dharma
santi menunjukkan kegairahan yang mengesankan.
Seturut dengan itu, maraknya sekaa santi ternyata tidak disertai
dengan perkembangan yang sama dalam bidang kesusasteraan Hindu. Kesemarakan sekaa santi tampaknya lebih banyak
memainkan fungsi instrumental, yakni kelengkapan dalam pelaksanaan ritual
dibandingkan dengan media apresiasi kesusastraan. Malahan tidak jarang menjadi
legitimasi moral bahwa anggota santi merupakan
penganut agama yang taat dan paham ajaran Hindu. Kemudian, juga tingginya minat
krama desa pakraman untuk
melaksanakan dharma yatra dan/atau tirtha yatra sampai ke luar Bali, bahkan
India dapat dipandang sebagai media rekreasi spiritual. Hal ini sejalan dengan
pandangan Nottingham (2004:31) bahwa pada zaman modern, agama diharapkan dapat
berperan penting menjadi sistem nilai yang mendorong masyarakat untuk
menyelesaikan permasalahan hidupnya. Dalam hal ini, pendalaman ajaran agama
yang lebih bersifat praktis tampaknya lebih mendominasi dibandingkan dengan
internalisasi yang bersifat idealisitik. Implikasinya bahwa standar-standar
moral dibangun melalui pendalaman ajaran agama sering kali menimbulkan paradoks
dalam praktiknya. Mengingat pertimbangan praktis lebih dapat mengafirmasi
ajaran agama “yang baik” secara kontekstual daripada “yang benar” secara
tekstual. Oleh karena itu, pergeseran-pergeseran nilai moral menjadi gejala
yang diterima secara massif oleh krama
desa pakraman.
Selain itu, perubahan moral pada ranah parhyangan dapat ditelusuri dalam sasana kapamangkuan. Pamangku adalah
rohaniwan Hindu golongan ekajati yang
mempunyai tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan upacara (nganteb) sampai pada tingkatan tertentu sehingga sasananya dibedakan dengan sasana kasulinggihan (dwijati). Sasana kapamangkuan berarti disiplin hidup dan aturan-aturan yang
harus dilaksanakan pamangku dalam
melaksanakan kewajibannya (Tim Penyusun, 2002:3). Selanjutnya, dijelaskan bahwa
disiplin kehidupan pamangku meliputi
pakaian dan perlengkapan, aturan kacuntakan, dan larangan atau babratan (Tim Penyusun, 2002:25--31).
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu VI
tahun 1980 (Tim Penyusun, 2002:25) ditetapkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, pamangku agar berpakaian
serba putih, dandanan rambut wenang
agotra (bercukur), berambut panjang, anyondong
(disanggul dengan rapi), dan
menutup kepala dengan destar putih.
Kemudian, perlengkapan yang boleh digunakan saat nganteb, antara lain genta, dupa, sasirat dari ambengan, bunga, dan janur, pasepan,
caratan, menyan astangi, sangku, tatabuh arak berem, canting, bunga dengan dulang sebagai alasnya (Tim Penyusun,
2002:26). Ini merupakan aturan normatif yang harus diikuti pamangku dalam melaksanakan kewajibannya.
Aturan normatif ini ternyata mengalami
pergeseran dalam praktiknya. Misalnya,
pakaian serba putih yang sesungguhnya dimaksudkan untuk membedakan identitas pamangku dengan walaka lainnya, ternyata menjadi semakin tidak jelas. Hal ini
terjadi mengingat krama desa pakraman
yang bersembahyang ke pura banyak
yang menggunakan pakaian yang serba putih tidak ubahnya seperti pamangku. Pada sisi yang lain, busana pamangku dan kelengkapan upacara yang
disiapkan juga menghadirkan kejutan-kejutan moral yang tidak seluruhnya mampu
diafirmasi secara bijak. Misalnya, tidak jarang pamangku memakai aksesoris yang dapat dikatakan berlebihan, seperti
cincin dengan batu permata tertentu, kacamata hitam, handphone, dan sasari yang
dibungkus amplop.
Dalam hal ini, busana pamangku telah menjadi mengalami
estetisasi dan meterialisasi. Mengingat masuknya industri modern menjadi bagian
dari aksesoris pamangku yang tidak
memiliki korelasi langsung dengan fungsi busana pamangku dalam pelaksanaan tugas kapamangkuan. Malahan makna sesari
sebagai bentuk penghargaan krama desa
pakraman kepada pamangku telah
dikemas dalam wadah amplop sehingga mengaburkan nilai antara penghargaan dan
upah.
4. Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat
dipahami bahwa budaya modernitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan moralitas pakraman.
Perubahan moralitas pakraman ini
disebabkan oleh perluasan budaya, pertumbuhan ekonomi, dan mobilisasi sosial.
Perubahan ini ditandai, antara lain penerimaan barang-barang hasil industri,
baik dalam lingkungan parhyangan, pawongan, maupun palemahan. Dalam lingkungan palemahan,
tanah telah kehilangan pesona sakralnya karena lebih dimaknai sebagai barang
komoditas. Dalam lingkungan pawongan,
kode moralitas telah kehilangan landasan tradisi karena tingkah laku religius
lebih dimaknai dalam konteks kekinian. Kemudian, dalam lingkungan parhyangan, terjadi perubahan
pengetahuan moral agama sesuai dengan masalah yang ditimbulkan oleh zaman
kemajuan.
Daftar Kepustakaan
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali pada Era Globalisasi: Pulau
Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (Hasil Penelitian – Studi Kasus pada
Berbagai Desa), Singaraja.
Bandem, I Made & I Wayan Dibia. 1975. Pengembangan Tari Bali. Denpasar: ASTI.
Barker, Chris. 2005. Culture
Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
____________. 2007. Perspektif
Etika Baru: 55 Esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
Gunadha, Ida Bagus. 2009. Strategi
Pemberdayaan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali. Denpasar: Program Magister
Ilmu Agama dan Kebudayaan, Unhi Denpasar.
Hadi, Hardono. 2007. Kepemimpinan
Religius Transformasi. Yogyakarta: Satunama.
Krisnu, Tjokorda Raka. 1997/1998. Himpunan Keputusan dan Aturan tentang
Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama. Denpasar: Kantor Departemen Agama
Kota Denpasar.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Nottingham, Elizabeth K. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robertson, Roland (Ed.). 1998. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Schacht, Richard. 2009. Alienasi:
Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Sirtha, I Nyoman. 2003. ”Peranan Desa Pakraman dalam
Mewujudkan Jagadhita di Era Globalisasi”. Dalam Astra, I Gde Semadi dkk.
(peny.). 2003. Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural. Denpasar : Kerja sama
Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi,
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media.
Siswomihardjo dan Koento Wibisono. 2003. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai
Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filasafat UGM. Yogyakarta: Liberty.
Sudharta, Tjok. Rai, Ida Bagus Oka
Puniatmadja, 2001. Upadesa. Surabaya:
Paramita.
Sura, I Gde dkk. 1999. Siwatattwa.
Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah
Propinsi Bali.
Suriasumantri, Jujus S. 1981. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Triguna,
Ida Bagus Gde Yudha. 1990. “Munculnya Kelas Baru dan Dewangsanisasi
Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yasa, I Wayan Suka dkk. 2009. Yoga Margi Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu
Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya Dharma.
Wattimena, Reza A.A. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik (Locke
- Rousseau - Habermas). Yogyakarta: Kanisius.
Widana, I Gusti Ketut. 2010. “Fenomena Penampilan
Selebritis Umat Hindu pada Upacara Persembahyangan di Pura Jagatnatha
Denpasar”. Tesis – Tidak
Dipublikasikan. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Universitas Hindu Indonesia Denpasar.