RINGKASAN DISERTASI
HEGEMONI
MODERNITAS
DALAM
RELIGIUSITAS UMAT HINDU
DI KOTA
DENPASAR
I Wayan Sukarma
NIM
0690371016
Pascasarjana Universitas Udayana
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbedaan ras, bahasa, agama, dan tradisi sosial
memberikan tugas kepada manusia untuk menciptakan tatanan dunia-kehidupan dan menemukan
jalan hidup. Dengan jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda dan
berlawanan dapat hidup berdampingan, damai, dan mengambil langkah-langkah
konstruktif untuk mencapai martabat dan kemuliaan bagi semua. Akan tetapi, pada
kenyataan dalam pengalaman empiris sehari-hari tidak jarang ditemukan penyakit
sosial yang bersumber dari kesenjangan antara lembaga-lembaga sosial dan tujuan
dunia-kehidupan. Kesenjangan ini melahirkan krisis dalam dunia-kehidupan, baik
pada aspek sosial, budaya, maupun agama. Krisis ini merupakan tragedi
kemanusiaan yang bersifat universal, bahkan pada dimensi moralitas telah
terjadi pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan yang telah mapan
pada taraf yang mencengangkan. Krisis ini adalah era kegelapan intelektual dan
barbarisme etik sehingga persoalan rekonstruksi sosial berdasarkan idola-idola
agama menjadi penting (Radhakrishnan, 2003:4 dan 7).
Memosisikan agama menjadi sumber moralitas dan kemanusiaan
dalam rekonstruksi sosial merupakan gagasan yang sejalan dengan misi teori
kritis. Pengembangan ilmu pengetahuan ditekankan pada peran pentingnya dalam
proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dapat meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Pengembangan pengetahuan seperti ini, juga menjadi cita-cita
luhur agama (Radhakrishnan, 2003:28; Lubis, 2006:51). Ini berarti bahwa kaitan
antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan sebagaimana hubungan antara cara dan
tujuan. Radhakrishnan (2010:7) menegaskan bahwa “dalam hiruk-pikuk semangat
mengupayakan cara itu, kita tidak boleh melupakan tujuan”. Begitu juga Maman,
dkk. (2006:2) mengimbau, agar pembangunan, pengembangan, pembinaan, dan
pelestarian agama menjadi agenda penting dan niscaya karena agama memiliki
peran transformatif bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada
masa depan.
Imbauan ini dapat dimengerti menjadi relevansi dan
pentingnya penelitian agama dalam pendekatan kontekstual terutama dalam terma
modernitas karena proses modernisasi tidak dapat menghindari. Analisis
masyarakat modern terutama tentang kemunculan dan pengaruh modernitas dalam
kehidupan modern satu di antaranya diungkapkan oleh George Simmel. Menurut
Simmel (Ritzer & Goodman, 2003:551) modernitas ditentukan oleh dua sisi
yang saling berhubungan, yaitu kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat
modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan
penyebaran modernitas dan perluasannya. Dalam hal ini, juga Kota Denpasar
menjadi pusat penyebaran dan perluasan modernitas sejalan dengan proses
pembangunan. Penyebaran dan perluasan modernitas seperti ini, apabila dicermati
berdasarkan pandangan Gramsci tentang hegemoni (Simon 2004:19; Bocock, 2007:16),
maka modernitas adalah kekuatan hegemonik yang secara signifikan mempengaruhi
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar. Fakta bahwa modernitas merupakan
ideologi hegemonik dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar merupakan
pesan intelektual dan moralitas bagi kajian budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Mengapakah muncul
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar?
1.2.2 Bagaimanakah bentuk
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar?
1.2.3 Bagaimanakah respons
terhadap hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini hendak memahami dan mendeskripsikan
fakta-fakta religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar secara holistik dan
komprehensif sesuai dengan tradisi kajian budaya. Pengungkapan fakta ini
diarahkan untuk memperoleh gambaran pengetahuan dan pemahanan tentang hegemoni
modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar. Lingkup
pengungkapannya sebagaimana tujuan khusus di bawah ini.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui dan
memahami kejelasan tentang munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas
umat Hindu di Kota Denpasar.
1.3.2.2 Untuk mengetahui dan
memahami kejelasan tentang bentuk hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu di Kota Denpasar.
1.3.2.3 Untuk mengetahui dan
memahami kejelasan tentang respons terhadap hegemoni modernitas dalam
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diabdikan pada kebangkitan peran ilmu-ilmu
sosial, humaniora, kebudayaan, dan keagamaan dalam khazanah kajian budaya.
Kebangkitkan peran kajian budaya diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kebebasan
kehidupan beragama dalam kerangka multikulturalisme sehingga kerukunan umat
beragama menjadi kenyataan. Dalam hal ini, secara lebih khusus ditujukan bagi
terciptanya kerukunan dan ketenteraman dalam religiusitas umat Hindu di Kota
Denpasar. Dengan demikian, setidak-tidaknya manfaat penelitian ini dapat
ditekankan pada dua dimensi, yaitu teoretis dan praktis.
1.4.1
Manfaat Teoretis
1.4.1.1 Pendekatan. Penelitian
ini diharapkan dapat menawarkan alternatif pendekatan posmodern dalam ilmu-ilmu
sosial terutama dalam bidang sosial keagamaan, yaitu memandang kemunculan suatu
kehidupan sosial keagamaan baru sebagai respons sosial keagamaan individu-individu
sebagai anggota masyarakat. Respons sosial keagamaan tersebut melalui
perantaraan pemaknaan atau pemikiran mereka terhadap kehidupan sosial keagamaan
terdahulu. Kehidupan sosial keagamaan, baik yang terdahulu maupun yang baru
dipandang dapat memberikan pengalaman belajar kepada umat Hindu di Kota
Denpasar dalam membangun pola pemikiran atau pemaknaan.
1.4.1.2 Koreksi. Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk menyempurnakan hasil penelitian atau pemikiran teoretik
terdahulu terutama yang berkaitan dengan perubahan kehidupan sosial keagamaan.
Dalam hal ini, sesuai dengan objek penelitian, yakni pemikiran teoretik tentang
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu.
1.4.1.3 Penguatan. Penelitian ini diharapkan menghasilkan
sejumlah fakta yang dipandang dapat memperkuat, baik hasil penelitian maupun
pandangan teoretik terdahulu terutama yang berkaitan dengan proposisi-proposisi
yang dihasilkan. Dalam hal ini, proposisi-proposisi yang dimaksudkan sesuai
dengan objek penelitian ini, yakni hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu.
1.4.2
Manfaat Praktis
1.4.2.1
Pemerintahan Kota
Denpasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan
pengambilan kebijakan dalam pembangunan yang tujuan dan akibatnya berkaitan
dengan religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
1.4.2.2
Lembaga agama dan adat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi pertimbangan etis dalam
praksis kehidupan terutama dalam religiusitas, baik bagi elite keagamaan,
lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga adat, maupun umat Hindu di Kota
Denpasar.
1.4.2.3
Peneliti lain. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi peneliti lain
terutama tentang kajian sosiologi agama dan khususnya yang berminat terhadap
Program Studi Kajian Budaya sehingga kebangkitan peran kajian budaya
benar-benar menemukan panggilannya.
II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian
Pustaka
Studi tentang hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu dalam khazanah kajian budaya belum banyak dilakukan sehingga data
sekunder yang dapat menunjang penelitian ini masih terbatas. Walaupun demikian,
dapat diketengahkan hasil pengungkapan yang dilakukan oleh Titib (2006) tentang
Persepsi Umat Hindu di Bali terhadap
svarga, naraka, dan moksa dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya.
Menurutnya dalam paradigma aksiologi dengan teori religi (agama), teori
perubahan, teori intertekstualitas, teori hermeneutik, dan teori persepsi
diperoleh temuan, antara lain adanya persamaan persepsi umat Hindu tentang svarga, naraka, dan moksa dengan
persepsi svarga, naraka, dan moksa dalam Svargarohanaparva Jawa Kuno, dengan
perbedaan ekspresi penggambaran svarga,
naraka, dan moksa tersebut. Persepsi ini merupakan konsep kunci dalam
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar. Pemahaman terhadap konsep svarga, naraka, dan moksa secara signifikan berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan
perilaku keagamaan. Pemahaman terhadap ketiga konsep ini dapat dijadikan
petunjuk dalam melakukan interpretasi dan pemahaman terhadap respons umat Hindu
terhadap hegemoni modernitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Sementara itu, Widiana (2006) melakukan penelitian tentang
“Fenomena Sampradaya dalam Dinamika Agama Hindu di Bali” dengan temuan bahwa sampradaya memiliki bentuk keimanan yang
sama dengan agama Hindu, yaitu panca
sradha. Kehadiran sampradaya di
Bali disambut antusias oleh sebagian masyarakat Hindu yang mengalami “kehausan”
spiritual, sedangkan sebagian lainnya menanggapi dengan kecurigaan bahwa sampradaya dapat mengganggu tatanan
religiusitas masyarakat Hindu di Bali. Kehadiran sampradaya di Bali kurang berdampak terhadap lembaga desa pakraman, tetapi berdampak pada
hubungan kurang harmonis antara Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali
dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Temuan ini dijadikan landasan untuk
mengungkap respons terhadap hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu
di Kota Denpasar.
Berbeda penelitian tersebut, Jayakumara (2007) melakukan
penelitian terhadap upaya umat Hindu dalam membangun identitas sosial-budayanya
di tengah-tengah umat Islam dan Kristen di Desa Banguntapan, Yogyakarta. Dengan
meminjam gagasan Ben Anderson tentang ‘sinkretisme dinamik’ ditemukan bahwa komunitas
Hindu di Banguntapan mencari identitas budaya Hindunya. Dalam pencarian
identitas budaya ini komunitas Hindu melakukan formalisasi preferensi religius
pada Hindu karena kekuatan eksternal, berupa formalisasi agama dari aparatur
negara begitu stigmatis. Dalam perspektif triad Bergerian konsolidasi infrastruktur
keagamaan, justru membuat friksi dalam institusi agama itu sendiri dan berimbas
pada pemarginalan komunitas Hindu secara sosial. Pemarginalan ini tidak
menjadikan tingginya konflik antaragama ataupun internal institusi Hindu karena
konflik lebih banyak terjadi di wilayah laten. Minimnya konflik manifes
merupakan pengandaian deduktif, yaitu sinkretisme dinamik yang secara bersamaan
komunitas melakukan rearansemen atas
identitas kehinduan secara simultan melakukan peleburan (will to unity)
sekaligus olah jiwa (will to power) atas kekuatan eksternal yang
mengelilinginya. Identitas budaya Hindu senantiasa berupa suatu proses
kemenjadian atau pencarian terus-menerus. Hal ini sama artinya dengan
mengatakan bahwa tidak ada identitas yang final sehingga tidak terdapat makna
apa pun pada yang disebut identitas. Dinamika religiusitas umat Hindu di
Banguntapan dalam membangun identitasnya dapat diasumsikan tidak jauh berbeda
dengan respons terhadap hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di
Kota Denpasar.
Kegamangan penampilan identitas umat Hindu di Kota
Denpasar diungkap oleh Widana (2009) dalam tesisnya tentang “Fenomena
Penampilan Selebritis Umat Hindu pada Upacara Persembahyangan di Pura
Jagatnatha Denpasar”. Penelitian ini memang tidak dikatakan bertumpu pada
pendekatan teori kritis, tetapi pengungkapan fakta religiusitas umat Hindu di
Kota Denpasar dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu penampilan umat Hindu
tradisional, modern, dan posmodern. Ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan tentang penampilan umat Hindu antara ke pura dan ke tempat hiburan. Implikasinya muncul sekularisasi;
ambiguitas, alienasi, anomi, dan reduksi etis. Penampilan selebritis umat Hindu
dalam persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha ini dapat dijadikan titik tolak
untuk memahami hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota
Denpasar.
Selain perubahan penampilan umat Hindu secara fisikal karena
pengaruh modernisasi, juga pergeseran orientasi religiusitas orang Bali menuju tattwa dikaji Triguna (1994). Kajian ini
diberi judul “Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali
(Pitana (ed), 1994:73--92). Kajian ini tidak lepas dari wacana identitas dan
subjektivitas karena inti kajiannya diletakkan pada dua masalah yang berkaitan
dengan kelompok penganut paham keagamaan. Pertama,
pelaksanaan ritualisme dalam agama Hindu di Bali, dan kedua, tanggapan dari kelompok pembaru terhadap pelaksanaan
ritualisme. Ditemukan adanya perbedaaan tafsir terhadap ajaran Hindu berkaitan
dengan tiga kerangka dasar ajaran agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan upacara. Perbedaan tafsir telah mengakibatkan
lahirnya dua kelompok penganut paham keagamaan. Pertama, kelompok pemeluk agama Hindu yang lebih menekankan pada upacara di atas tattwa dan susila disebut
penganut ritualisme. Kedua, kelompok
pemeluk agama Hindu yang lebih menekankan pada tattwa di atas susila dan
upacara disebut penganut tattwaisme. Kontradiksi kedua kelompok
paham keagamaan ini sejalan dengan gagasan modernisme bahwa yang tradisional
merupakan lawan dari yang modern. Kedua kelompok ini merupakan respons terhadap
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Selain itu, Triguna (1997) juga mengungkap keberagamaan
umat Hindu di Bali dengan fokus kajian pada pengaruh mobilitas kelas dan
konflik terhadap penafsiran kembali simbolisme masyarakat Hindu di Bali. Diungkapkan
bahwa bahwa masyarakat dan kebudayaan Hindu di Bali digerakkan oleh interaksi
kekuatan eksternal dan internal. Interaksi dengan kebudayaan luar ditandai
dengan munculnya konflik kepentingan kelompok triwangsa dengan jabawangsa
dan friksi kelompok yang mempertahankan Hindu bercorak Bali dengan Hindu
bercorak India. Munculnya kelas sosial baru dari golongan jabawangsa memperkuat posisi tawar-menawar mereka di hadapan
kekuasaan kelompok triwangsa. Mobilitas
kelas melahirkan konflik mendalam antara triwangsa
dengan jabawamgsa. Dalam format yang
lebih khusus bahwa konflik terjadi antara Brahmanawangsa
sebagai tradisionalis dengan Bhujangga
Waisnawa, Pasek, dan Pande sebagai
kelompok modernis terutama dalam usaha mempertahankan dan merebut kekuasaan
keagamaan. Temuan ini relevan dengan respons terhadap hegemoni modernitas dalam
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Selanjutnya, Azis dan Sudjanggi (2006) menemukan adanya
keresahan dan kegelisahan berkaitan dengan kehadiran kelompok sampradaya terutama Sai Studi Grup.
Keberadaan kelompok penganut Sai Studi Grup di Bali sejak 1993 dikatakan sangat
kontroversial, baik terhadap lembaga dan elite agama maupun masyarakat lokal.
Perbedaan yang mencolok dengan agama Hindu, antara lain menyangkut konsep awatara, yaitu penganut Sai Studi Grup
menganggap Sai Baba sebagai awatara
yang patut dipuja, sebagaimana orang telah memuja Rama atau Sri Krisna.
Sementara itu, menurut penentang ajaran Sai Baba bahwa tokoh Rama dan Krisna
bersifat simbolik sehingga berada di dalam ide. Setiap manusia pada dasarnya
adalah awatara karena memperoleh
pancaran sinar Tuhan dan diharapkan berusaha mencapai kondisi spiritual
sebagaimana disimbolkan pribadi Rama dan Krisna. Temuan tentang pertentangan
antara kelompok masyarakat lokal dan kelompok penganut Sai Baba ini, juga
digunakan sebagai dasar acuan dalam pengungkapan respons terhadap hegemoni
modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Ini menunjukkan bahwa penelitian tentang hegemoni
modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar masih penting dan
relevan karena dapat melengkapi kajian terdahulu. Di samping substansi
materialnya, juga penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu berdasarkan
pendekatan dan paradigma karena penelitian ini dilakukan dalam tradisi kajian
budaya. Artinya, penelitian ini menempatkan kebudayaan sebagai pusat kajian
dalam kaitannya dengan fungsi kebudayaan dalam memberikan bentuk historis pada
struktur sosial. Dalam konteks ini, agama sebagai sistem keyakinan dijadikan
inti dari sistem nilai dalam kebudayaan, tetapi dalam dunia praksis sosial
melahirkan praktik agama yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan munculnya
praktik agama yang beragam sesuai dengan pluralisasi nilai, norma, dan makna
yang menyertainya.
2.2 Konsep
2.2.1
Hegemoni Modernitas
Hegemoni dari akar kata hegeisthai (bahasa Yunani) berarti memimpin, kepemimpinan,
kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Kemudian, secara leksikografis
hegemoni berarti kepemimpinan (Ratna, 2005:180). Oleh karena berisi unsur
kepemimpinan termasuk persetujuan dari kelompok yang dihegemoni sehingga di
dalamnya mengandung ideologi. Dengan kata lain, hegemoni adalah suatu
organisasi konsensus yang tidak dipaksakan dari atas, tidak berkembang secara
bebas dan tidak disengaja, tetapi diperoleh melalui negosiasi dan konsensus.
Dalam hegemoni bahwa pembentukan gagasan menjadi proses penting yang menurut
Gramsci dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu bahasa, pendapat umum, dan
folklor. Kata kunci “hegemoni” adalah sistem pemerintahan suatu negara yang
didasarkan pada pembentukan atau pembinaan konsensus melalui kepemimpinan
budaya (Maliki, 2003:186; Ratna, 2005:184).
Kemudian, modernitas dari akar kata “modern” dalam bahasa
Latin modernus berarti zaman baru.
Dalam perkembangannya menghasilkan beberapa istilah turunan lainnya, seperti
modernisme, modernisasi, dan modernitas (Haryono, 2005:32--33). Calinescu
(Haryono, 2005:32) menjelaskan bahwa modernitas adalah kondisi sosiobudaya
masyarakat yang menyiratkan perubahan paradigma yang diperoleh dengan jalan
pintas dari bentuk lama ke bentuk baru. Modernitas teridentifikasi sebagai
konstruk budaya modern yang berdiri di atas prinsip-prinsip rasio, subjek,
identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi,
emansipasi, dan oposisi biner (Haryono, 2005:35). Selain itu, Abraham
(1991:206) menjelaskan bahwa modernisasi merupakan suatu proses komprehensif
pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan ekspansi budaya yang melahirkan
modernitas. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai proses peningkatan secara
progresif tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk pada umumnya. Mobilisasi
sosial didefinisikan sebagai proses keterlibatan yang lebih besar dalam
kelompok‑kelompok sekunder, pola‑pola baru, sosialisme antisipatoris, dan
pembentukan kelompok referensi baru yang terpisah dari yang tradisional.
Berdasarkan penjelasan di atas hegemoni modernitas adalah
organisasi konsensus berdasarkan modernitas. Dalam hal ini, hubungan
persetujuan antara kelas hegemonik dan kelas sosial lainnya dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan
ekspansi budaya.
2.2.2
Religiusitas Umat Hindu
Religiusitas tercipta berkat pengalaman mengenai yang
ilahi, yaitu rasa dan kesadaran akan hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhan.
Dikatakan “hubungan” karena berkat pengalaman religius manusia menjadi tahu
tentang hubungan antara dirinya dan Tuhan yang telah menciptakan dan
memberikannya eksistensi. Dikatakan “ikatan” karena manusia bersedia mengikatkan
diri pada Tuhan sebagai asal, penyelenggara, dan tujuan hidupnya (Hardjana,
2005:45). Kemudian, dari penghayatan kesadaran mengenai hubungan dan ikatan
kembali dengan Tuhan menurut Hardjana (2005:51-52) munculah agama dengan empat
unsur utamanya, yaitu dogma, doktrin atau ajaran; ibadat atau kultus; moral
atau etika; dan lembaga atau organisasi. Dogma agama merumuskan hakikat Tuhan
yang dikenal, dialami, dipercaya, dan kehendakNya untuk manusia dan dunia.
Ritual agama menetapkan cara yang seharusnya bagi penataan hubungan manusia
dengan Tuhan meliputi di mana dan kapan hubungan itu diadakan, serta cara dan
bentuk hubungan manusia dengan Tuhan itu diselenggarakan. Moral agama
menggariskan pedoman perilaku, yakni pedoman yang menetapkan perilaku yang
sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dan kepercayaan terhadap Tuhan dalam
hidup pribadi, masyarakat, dan dunia. Lembaga agama mengatur hubungan antara
penganut agama dan hubungan mereka dengan pemimpin agamanya dalam rangka
penghayatan religiusitas secara bersama-sama.
Berikutnya, umat Hindu dijelaskan dari kata “umat” yang dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia
(2007:1334) berarti para penganut atau pemeluk suatu agama atau nabi.
Koentjaraningrat (1989:80) menjelaskan bahwa umat adalah kesatuan sosial yang
menganut sistem keyakinan atau agama tertentu. Seturut dengan itu,
Hendropuspito (1984:53--55) menegaskan bahwa umat beragama diikat oleh kesatuan
iman keagamaan. Dalam kesatuan iman ini umat agama menerima kepercayaan yang
sama, melaksanakan ritual bersama, tunduk pada hukum moral yang diajarkan
agama, dan mengakui pemimpin keagamaannya. Sementara itu, Hindu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas,
2005:402) berarti agama yang berkitab suci Weda; kebudayaan yang berdasarkan
agama Hindu; sebutan penduduk asli India. Kemudian, sejak diterbitkannya Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 5 September 1958 secara
legal formal Hindu menjadi agama resmi di Indonesia. Dengan demikian, Hindu
adalah agama resmi di Indonesia yang berdasarkan kitab suci Weda. Jadi, umat
Hindu adalah pemeluk agama Hindu.
Dengan demikian, religiusitas umat Hindu adalah
keberagamaan umat Hindu meliputi aspek dogma, ritual, moral, dan lembaga
keagamaan. Dogma agama merumuskan ajaran tentang Tuhan yang diyakini oleh umat
Hindu. Ritual agama menetapkan cara hubungan umat Hindu dengan Tuhan. Moral
agama menggariskan pedoman tingkah laku umat Hindu yang sesuai dengan
pengalaman dan kepercayaan terhadap Tuhan. Kemudian, lembaga keagamaan yang
mengatur hubungan umat Hindu dengan pemimpin agamanya dalam rangka penghayatan
religiusitas secara bersama.
2.3
Landasan Teori
2.3.1 Teori
Modernitas
Analisis masyarakat modern terutama tentang kemunculan dan
pengaruh modernitas dalam kehidupan modern dijelaskan oleh empat orang
teoretisi sosiologi klasik, yaitu Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan
George Simmel. Menurut Marx modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis.
Menurut Weber modernitas ditentukan oleh perkembangan rasionalitas formal.
Menurut Durkheim modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan
kesadaran kolektif. Menurut George Simmel modernitas ditentukan oleh dua sisi
yang saling berhubungan, yaitu kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat
modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan
penyebaran modernitas dan perluasannya (Ritzer & Goodman, 2003:551).
Selain itu, Giddens (2005:201) melukiskan kehidupan modern
dengan konsep panser-raksasa (modernitas-juggernaut). Modernitas dalam bentuk
panser-raksasa ini digambarkan begitu dinamis. Kehidupan modern adalah sebuah
dunia yang tidak terkendali (runaway
world) dengan langkah, keluasan cakupan, dan kedalaman perubahan yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Modernitas tidak mengikuti
satu jalan tunggal, bukan satu bagian, tetapi terdiri atas sejumlah bagian yang
berlawanan dan saling bertentangan. Bayangan tentang panser-raksasa adalah
bayangan tentang sesuatu yang bergerak melalui rentang waktu dan ruang fisik.
Citra panser-raksasa dimaksudkan untuk menerangkan bahwa mekanisme modernitas
jauh lebih besar kekuasaannya dibandingkan dengan agen yang mengemudikannya
(Ritzer & Goodman, 2003:553; Giddens, 2005:203).
Modernitas memperoleh dinamismenya melalui tiga aspek
penting, yaitu pemisahan waktu dan ruang (distanciation),
keterlepasan (disembedding), dan
refleksivitas (reflexivity).
Pemisahahan waktu dan ruang tidak bersifat unilinier, tetapi bersifat
dialektik. Dalam masyarakat pramodern waktu selalu dikaitkan dengan ruang dan
pengukuran waktu biasanya tidak tepat. Dengan modernisasi waktu dibakukan
ukurannya dan kaitannya dengan ruang diputus, baik waktu maupun ruang
“dikosongkan” dari isinya, tidak ada waktu dan ruang yang istimewa, dan keduanya
menjadi bentuknya yang murni. Dalam masyarakat pramodern umumnya ruang
dintentukan oleh kehadiran secara fisik, sehingga ditentukan oleh ruang yang
dilokalisasi. Dengan datangnya modernitas, ruang semakin lama semakin
dilepaskan dari lokal dan tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak
fisik semakin lama semakin besar peluangnya. Tempat semakin menjadi phantasmagonic, yaitu tempat terjadinya
peristiwa sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari
tempat terjadinya peristiwa itu (Ritzer-Goodman, 2003:555; Giddens,
2005:22).
Pemisahan waktu dan ruang atau diskontinuitas modernitas
adalah penting bagi modernitas karena alasan berikut, (1) memungkinkan
tumbuhnya organisasi rasional, seperti birokrasi dan negara-bangsa dengan
dinamisme dan kemampuanya untuk menghubungkan otoritas lokal dan global; (2)
kehidupan modern ditempatkan dalam pengertian radikal dari sejarah dunia dan
itu dapat menimbulkan kesan bahwa sejarah membentuk masa kini; (3) pemisahan
ruang dan waktu seperti itu merupakan syarat utama bagi sumber kedua dinamisme
dalam modernitas, yaitu keterlepasan. Keterlepasan menyebabkan hubungan sosial
menjadi terangkat dari konteks lokal ke tingkat yang melintasi ruang dan waktu
yang tidak terbatas. Ada dua tipe mekanisme keterlepasan, yaitu tanda simbolik
terutama uang dan sistem keahlian terutama sistem kecakapan teknis atau
keahlian profesional. Kemudian, refleksivitas berarti praktik sosial
terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi baru yang paling praktis
sehingga mengubah ciri-ciri modernitas itu sendiri. Malahan segala sesuatu
terbuka untuk direfleksikan dalam kehidupan modern termasuk refleksi itu
sendiri (Ritzer & Goodman, 2003:557; Giddens, 2005:25).
2.3.2
Teori Hegemoni
Teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci merupakan sebuah
pandangan hidup dan cara berpikir dominan yang di dalamnya sebuah konsep
tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat, baik secara institusional
maupun perorangan. Konsep tentang kenyataan menjadi ideologi yang mendiktekan
seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius, politik, dan
seluruh hubungan sosial dalam makna intelektual dan moral. Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni
merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas
bawah aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak
dengan kekerasan, tetapi melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus. Konsensus inilah yang
menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam
kerangka yang ditentukan lewat birokrasi. Di sini terlihat adanya usaha untuk
menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa (Simon, 2000:101).
Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penguasaan masyarakat
kelas dominan terhadap masyarakat kelas bawah berlangsung melalui dua tahapan. Pertama, masyarakat kelas dominan
melakukan penguasaan kepada masyarakat kelas bawah menggunakan ideologi.
Ideologi dipahami sebagai gagasan, makna, dan praktik-praktik sosial yang
menyokong kelas sosial dominan. Ideologi menyediakan tata tingkah laku moral,
yaitu suatu kesatuan yang diyakini berupa konsepsi tentang dunia dan norma
perilaku yang sesuai. Kedua,
masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga
tanpa disadari masyarakat kelas bawah dengan sukarela mendukung kekuasaan masyarakat
kelas dominan (Simon, 2000:104; Barker, 2005:79).
2.3.3 Teori
Tindakan Komunikatif
Teori Tindakan Komunikatif (The Theory of Communicative Action) dikemukakan oleh Jurgen
Habermas. Habermas (Hardiman, 2009c:102) mengajukan tesis bahwa proses rasionalisasi
yang berjalan seimbang akan terjadi dalam dua “jalur”, bahkan yang satu tidak
boleh menggantikan yang lain. Pada taraf subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan
rasionalisasi meliputi perkembangan kekuatan produksi, kemajuan dan perluasan
kontrol teknis atas alam dan proses objektif. Pada taraf kerangka kerja
institusional atau dunia-kehidupan sosial-budaya, rasionalisasi diwujudkan
dalam komunikasi melalui medium bahasa dengan jalan menyingkirkan pembatasan
komunikasi. Tanda-tanda adanya rasionalisasi pada taraf ini, kalau dalam
masyarakat terdapat diskusi umum yang bebas dari dominasi, pengurangan tingkat
represi pada norma sosial, pengurangan kekakuan atau kekerasan, penerapan norma
secara luwes, dan masih memungkinkannya refleksi. Artinya, interaksi manusia
selalu mengandalkan bahasa dan dalam struktur ucapan dapat ditemukan landasan
esensial bagi bentuk organisasi sosial.
Berdasarkan atas praksis,
Habermas (2007:412) membedakan dua macam proses rasionalisasi dalam masyarakat.
Pertama, rasionalisasi pada taraf
subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan adalah perkembangan
kekuatan-kekuatan produksi, perluasan kemampuan untuk mengontrol alam secara
teknis atau emansipasi masyarakat dari kendala-kendala alamiahnya. Kedua, rasionalisasi pada taraf
kerangka-kerja institusional terjadi dalam masyarakat, kalau berlangsung
penyingkiran pembatasan-pembatasan komunikasi, pengurangan tingkat penindasan,
pengurangan tingkat kekerasan, kemudahan menerima rezeki, dan proses
individuasi. Dengan mengikuti tradisi teori kritis, Habermas sudah berusaha
keras menemukan landasan bagi pembenaran adanya penilaian evaluatif dan
klaim-klaim terhadap emansipasi manusia.
2.4 Model
Penelitian
Gambar 2.1: Diagram Model Penelitian Hegemoni Modernitas
dalam Religiusitas Umat Hindu di Kota Denpasar
III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan posmodernisme dan paradigma kritis dengan bertumpu pada teori
modernitas, teori hegemoni, dan teori tindakan komunikatif. Rancangan
penelitian tentang hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota
Denpasar digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.1: Diagram Rancangan Penelitian Hegemoni
Modernitas dalam Religiusitas Umat Hindu di Kota Denpasar.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Denpasar, Provinsi
Bali berdasarkan pertimbangan berikut.
(1) Sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang meneliti di
lokasi terpilih terutama berkaitan dengan tema hegemoni modernitas dalam
religiusitas umat Hindu.
(2) Keunikan religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar justru
karena kota adalah ikon kemajuan sehingga religiusitas umat Hindu berkaitan
langsung dengan proses modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi,
yakni proses yang menciptakan modernitas.
(3) Lokasi yang dipilih memungkinkan untuk pengambilan informasi
dan/atau data, baik berdasarkan pendekatan dan paradigma yang digunakan maupun
terutama ditinjau dari aspek penghematan waktu, tenaga, dan biaya yang
diperlukan untuk melakukan penelitian lapangan.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
tentang hegemoni modernitas dan religiusitas umat Hindu. Data ini diperoleh
dengan mencermati dan memahami agama Hindu dalam praktik sosial sehingga penelitian
ini mengkaji nilai yang bersifat subjektif. Sifatnya yang subjektif sehingga
jenis data ini dapat digolongkan menjadi data kualitatif. Demikian juga data
tertulis berupa gagasan dan pemikiran para ahli yang digunakan membangun
kosistensi analitis penelitian disajikan secara naratif. Data semacam ini dapat
digolongkan menjadi data kualitatif.
Pendekatan kontekstual mengharuskan pengumpulan data
dilakukan langsung dalam kehidupan sosial keagamaan umat Hindu di Kota
Denpasar. Data yang bersumber langsung pada pengalaman empiris dalam kehidupan
sosial keagamaan umat Hindu di Kota Denpasar diposisikan menjadi data utama.
Sumber data utama ini diklasifikasikan menjadi sumber data primer. Selain
dimensi korespondensi pada tataran eksistensial, juga penelitian ini menekankan
pentingnya dimensi koherensi pada tataran analitis. Untuk itu diperlukan
pemikiran-pemikiran atau pandangan-pandangan para ahli yang relevan dengan tema
penelitian ini. Data ini diperoleh dari bahan-bahan tertulis, seperti
buku-buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen, dan data statistik diposisikan
menjadi data tambahan atau pendukung. Sumber data tambahan ini diklasifikasikan
menjadi sumber data sekunder.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Penentuan informan dilakukan secara purposif, yakni
informan yang diwawancarai adalah orang yang diyakini mampu memberikan informasi
yang diperlukan. Keyakinan terhadap kemampuan informan ditentukan berdasarkan
kriteria berikut.
(1)
Memiliki kemampuan komunikasi, pengetahuan, pengalaman,
loyalitas, dan kesediaan untuk memberikan informasi berkaitan dengan masalah
penelitian.
(2)
Memiliki kemampuan dan kesediaan memberikan informasi atau
data tentang keadaan dirinya sendiri dan orang lain serta situasi dan kondisi
lingkungannya.
(3)
Memiliki kompetensi dalam hal keterangan atau data tertentu
misalnya, dosen, pejabat, pimpinan organisasi, pedagang, tokoh agama dan adat,
atau yang sejenis dengan ini.
3.5 Instrumen Penelitian
Peneliti merupakan instrumen terpenting yang berfungsi
menggunakan instrumen penelitian lainnya untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, berupa
alat perekam gambar, perekam suara, pedoman observasi, pedoman wawancara, dan
alat tulis-menulis.
3.6 Teknik
Pengumpulan Data
3.6.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri buku-buku
dan majalah ilmiah yang berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu hegemoni
modernitas dan religiusitas umat Hindu. Penelusuran kepustakaan yang pertama
dilakukan dengan memeriksa daftar kepustakaan milik penulis sendiri. Oleh
karena hasilnya belum memadai dari segi keperluan penyusunan konsep dan teori
termasuk fakta-fakta yang dapat menunjang penelitian ini kemudian, penelusuran
kepustakaan dilanjutan dengan memeriksa daftar kepustakaan milik guru, sahabat-sejawat,
dan perpustakaan Universitas Udayana dan Universitas Hindu Indonesia. Setelah
buku-buku dan majalah ilmiah terkumpul kemudian, dilakukan pembacaan secara
teliti dengan menandai tema-tema yang sekiranya sejalan dan dapat menudukung
penelitian ini hingga dipandang layak untuk disajikan menjadi laporan
penelitian.
3.6.2 Observasi
Observasi dilakukan terhadap aktivitas religius umat Hindu
di Kota Denpasar meliputi dogma, ritual, moral, dan lembaga keagamaan, baik
yang dilaksanakan secara rutin maupun insedental. Aktivitas religius yang
berkaitan dengan dogma agama, berupa kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa
diamati melalui tempat-tempat pemujaan. Aktivitas religus yang berkaitan dengan
ritual diamati melalui perayaan hari-hari suci agama Hindu, seperti Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Tumpek, dan rarahinan lainnya, baik dirayakan di
dalam keluarga maupun di banjar dan desa pakraman termasuk ritual yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Denpasar. Tingkah laku religus umat Hindu
diamati melalui komitmen moral dan tujuan desa
pakraman, yaitu mewujudkan tata
sukerta palemahan, tata sukerta tata
parhayangan, dan tata sukerta
pawongan. Kemudian, lembaga keagamaan diamati melalui peran dan fungsinnya
dalam membangun dan menata religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
3.6.3 Wawancara
Wawancara diawali dengan mengenalkan diri kepada informan
yang belum dikenal dan menyampaikan tujuan kedatangan peneliti kepadanya.
Kepada informan yang sudah dikenal, peneliti menghubungi yang bersangkutan
melalui telepon untuk menyampaikan maksud dan menentukan jadwal wawancara. Setelah
mendapatkan ijin merekam dari informan, penulis meminta kepada informan, agar
terlebih dahulu menyebutkan identitasnya, seperti nama, umur, pekerjaan, dan
alamat. Kemudian, dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan yang peneliti
sampaikan sesuai dengan pedoman wawancara yang sudah disiapkan. Bila penjelasan
yang diberikan belum lengkap, apalagi keluar dari tema pertanyaan, peneliti
mengulang dan menekankan kembali inti pertanyaan hingga mendapatkan penjelasan
yang memadai untuk disajikan. Seluruh proses wawancara diakhiri dengan ucapan
terima kasih dan penulis pamit mohon diri.
3.6.4 Studi Dokumen
Studi dokumen digunakan untuk mengumpulkan data tentang
subjek berkaitan dengan caranya mendefinisikan dirinya sendiri, orang lain,
lingkungan, situasi yang sedang dihadapi, dan tindakan-tindakannya. Dalam hal
ini dokumen yang analisis, antara lain Data Seksi Urusan Agama Hindu Kantor
Depertemen Agama Kota Denpasar (2008); Data Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan
Kota Denpasar 2008; Notulen Dinas Pertanian, Pangan, dan Holtikultura Kota
Denpasar 2008; Data Keagamaan Kota Denpasar pada Sekretariat Kantor Departemen
Agama Kota Denpasar 2008; Data Seksi Pendidikan Agama Hindu Kantor Departemen
Agama Kota Denpasar 2008; Data Direktorat Jenderal Bimas Hindu 2008; Uraian
Tugas Seksi Urusan Agama Hindu Kantor Departermen Agama Kota Denpasar 2008;
Rencana Kerja dan Anggaran Kantor Departemen Agama Kota Denpasar 2008; dan Dipa
Kantor Departeman Agama Kota Denpasar 2008.
3.7 Teknik
Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan dan Biklen (1982:239)
merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara,
catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang terhimpun untuk memperoleh
pengetahuan mengenai data tersebut dan mengomunikasikan apa yang telah
ditemukan. Karena data yang diperoleh berupa kata-kata, kalimat-kalimat,
paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif,
analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif-interpretatif. Menurut
Miles dan Huberman (1992:25) analisis deskriptif-interpretatif dilakukan
melalui tiga jalur kegiatan yang merupakan satu-kesatuan (saling mengait),
yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) menyimpulkan atau
verifikasi.
Proses analisis data dilakukan sejak pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan, sebagaimana disajikan dalam
bentuk diagram sebagai berikut.
Gambar 3.2: Bagan proses analisis data: pengumpulan,
reduksi, penyajian, dan penyimpulan (Sumber: Miles dan Huberman, 1992:25).
3.8 Teknik
Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan
menggabungkan teknik informal dan
formal. Teknik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis data secara
deskriptif naratif dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah.
Sebaliknya, teknik penyajian formal adalah penyajian hasil analisis data dalam
bentuk gambar, bagan, diagram, tabel, foto-foto, dan yang sejenisnya. Teknik
penyajian formal ini digunakan untuk mendukung kualitas deskripsi narasi hasil
analisis. Keseluruhan sajian uraiannya akan dibagi menjadi delapan bab dengan
mempedomani teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku dalam kalangan
akademis. Dalam hal ini, sebagaimana dianjurkan Nawawi (2007:188--224) juga
sebagaimana dijelaskan dalam Buku Pedoman
Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Disertasi (2003 dan 2010) yang
dikeluarkan oleh Program Pascasarjana Universitas Udayana.
IV. HASIL PENELITIAN
Munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu di Kota Denpasar karena konstruksi historis, fungsionalitas modernisasi,
pilihan rasional, disposisi hasrat, dan intensionalitas kesadaran modern. Pertama, konstruksi historis ditandai
dengan munculnya uniformisasi agama Hindu, formalisasi agama Hindu,
terbentuknya lembaga pendidikan Hindu, dan gerakan politik Parisada. Seluruh
proses ini telah menempatkan religiusitas umat Hindu pada struktur kekuasaan
sehingga menerima hegemoni modernitas sebagai keniscayaan. Kedua, fungsionalitas modernisasi ditandai dengan munculnya
pembangunan perkotaan, diferensiasi dan otonomisasi struktural, serta pembinaan
desa pakraman. Dalam hal ini,
modernisasi yang disebarluaskan melalui pembangunan perkotaan telah membangun
struktur dan kultur modernitas yang dipandang fungsional dalam religiusitas
umat Hindu di Kota Denpasar. Ketiga, pilihan
rasional ditandai dengan munculnya dua jenis rasionalitas, rasionalisasi agama,
masuknya sampradaya ke desa pakraman. Budaya modernitas yang
memunculkan dua jenis rasionalitas, yaitu rasionalitas bertujuan dan
rasionalitas instrumental telah mendorong umat Hindu untuk merasionalisasikan
agamanya, juga ketika berbagai arus pemikiran Hindu modern memasuki ranah
tradisional. Di sini hegemoni modernitas diterima sebagai pilihan rasional
dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar. Keempat, disposisi hasrat ditandai dengan munculnya hasrat sebagai
otonomi personal, perayaan hasrat, dan perubahan karakter krama desa pakraman. Modernitas diterima karena mengafirmasi
kebebasan dan otonomi individu seluas-luasnya termasuk dalam religiusitas
sehingga schizofrenia menandai
munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Hal ini, juga didukung oleh perubahan karakter krama desa pakraman yang tampaknya mendukung pemodernan
religiusitas. Kelima, intensionlitas
kesadaran modern ditandai dengan munculnya refleksivitas kesadaran atas
modernitas, munculnya kesadaran sekuler, dan rekontekstualisasi agama dari
publik ke privat. Artinya, modernitas direfleksikan umat Hindu dalam kesadaran
religiusnya setara dengan kesadaran sekuler lainnya sehingga karakter
religiusitas umat Hindu dikontekstualisasikan kembali dalam urusan-urusan
privat.
Bentuk hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu
di Kota Denpasar meliputi hegemoni modernitas dalam dogma agama, hegemoni
modernitas dalam ritual agama, hegemoni modernitas dalam moral agama, dan hegemoni modernitas dalam lembaga keagamaan. Pertama, bentuk hegemoni modernitas
dalam dogma agama ditandai dengan diterimanya konsep agama negara berupa dogma
monoteis, seperti sosialisasi padmasana.
Dalam konteks ini, meskipun padmasana dan
teologi monoteis sesungguhnya telah terdapat dalam teks agama Hindu, tetapi
sosialisasi ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan formalitas agama
sebagaimana negara mengarahkannya. Kedua,
bentuk hegemoni modernitas dalam ritual ditandai dengan produksi teknologi
ritual, mekanisme pasar, ritual massal, dan birokratisasi ritual. Modernitas
yang ditandai dengan dominannya rasionalitas instrumental telah menempatkan
ritual keagamaan hanyalah instrumen dalam religiusitas sehingga hasil akhir
lebih penting dibandingkan proses. Dalam hal ini, produksi teknologi, mekanisme
pasar, ritual-ritual massal, dan birokratisasi ritual mendapatkan makna
praktisnya untuk memenuhi kebutuhan keagamaan dalam kehidupan modern. Ketiga, bentuk hegemoni modernitas dalam
moral agama ditandai dengan perluasan budaya dan ekonomi dalam moralitas palemahan, moralitas pawongan, dan moralitas parhayangan. Dalam hal ini,
rasionalitas mengatasi moralitas sehingga bentuk-bentuk komodifikasi kultural,
estetisasi kehidupan, dan konsumsi simbolis diterima dalam moralitas umat Hindu
di Kota Denpasar. Keempat, bentuk
hegemoni modernitas dalam lembaga keagamaan umat Hindu di Kota Denpasar
ditandai dengan diferensiasi lembaga keagamaan dan hegemoni lembaga sekunder.
Diferensiasi lembaga ditunjukkan dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga
komplementer yang mengurusi religiusitas umat Hindu, seperti lembaga
pendidikan, lembaga berbasis soroh, dan
lembaga nonreligius lainnya. Malahan peran lembaga-lembaga sekunder ini semakin
dominan dibandingkan dengan peran lembaga primer yang memang dibentuk untuk
urusan keagamaan.
Respons terhadap hegemoni modernitas dalam religiusitas
umat Hindu di Kota Denpasar ditandai dengan terjadinya redefinisi agama,
konversi internal, dan deprivatisasi agama. Pertama,
redefinisi agama terjadi dalam dogma, ritual, moral, dan lembaga keagamaan.
Redefinisi dogma berlangsung secara dialektis antara dogma monoteis dan dogma
tradisional sehingga melahirkan respons yang ambigu. Redefinisi ritual
berlangsung melalui proses produksi teknologi, mekanisme pasar, ritual massal,
dan birokratisasi. Redefinisi moral berlangsung dalam kerangka etika diskursus.
Redefinisi lembaga keagamaan ditandai dengan redefinisi perannya melalui
penyesuaian habitus dengan lingkungan sosial dan budaya modern. Kedua, konversi internal berlangsung
dalam tiga kecenderungan, yaitu mistikal, ideologi keagamaan, dan ekletik.
Kecenderungan mistikal ditandai dengan semakin berkembangan fenomena kamar suci
dan masuknya umat Hindu ke kelompok-kelompok kebatinan. Sementara itu,
kecenderungan konversi ideologi keagamaan ditandai dengan masuknya umat Hindu
ke kelompok-kelompok sampradaya yang
secara ideologi berlawanan dengan agama tradisional-formal. Berikutnya,
kecenderungan ekletik ditandai dengan semakin berkembangnya pemikiran
humanis-fungsional dalam religiusitas umat Hindu yang menempatkan nilai
kemanusiaan di atas teologis. Ketiga, deprivatisasi
agama terjadi dalam dua kecenderungan, yaitu ideologisasi agama dan
revitalisasi nilai agama. Respons ini ditandai dengan hadirnya kembali agama
sebagai alat legitimasi ideologi-ideologi sekuler, khususnya politik dan
ekonomi. Sementara itu, juga agama dihadirkan untuk merevitalisasi pembangunan
dan pemberdayaan bidang-bidang kehidupan sekuler lainnya.
V. TEMUAN BARU
Pertama, rekaman jejak munculnya
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar menunjukkan
bahwa individu dan kelompok memang memiliki hasrat berubah. Dalam hal ini,
modernitas menjadi bentuk ideal bagi perubahan tersebut sehingga menerima
modernitas sebagai kewajaran. Malahan negara melalui wacana pembangunanisasi
telah menjadi agen perubahan (the agent
of change) yang hendak membawa masyarakat pada kemajuan dalam segala bidang
kehidupan. Oleh karena itu, modernisasi yang di Indonesia lebih kenal dengan
pembangunanisasi memaksa setiap individu dan masyarakat untuk menerima
modernisasi dalam kehidupannya. Tidak terkecuali, ketika agama telah menjadi
objek pembangunan sehingga hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu
tidak dapat dihindarkan. Artinya, hegemoni modernitas berjalan seiring dengan
peran negara dalam pembangunan. Dengan demikian, semakin kuat peran negara
dalam pembangunan agama, juga semakin kuat pengaruh hegemoni modernitas dalam
religiusitas.
Kedua, modernisasi di Kota
Denpasar berlangsung seiring dengan pembangunan perkotaan yang lebih
mengutamakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi daripada bidang kehidupan
lainnya. Artinya, Kota Denpasar telah menjadi tempat modernitas diitensifkan
atau dipusatkan dan pertumbuhan ekonomi mempercepat proses penyebarluasannya,
sebagaimana diafirmasi Teori Modernitas yang dikemukakan George Simmel.
Implikasinya, pengaruh perluasan modernitas tidak dapat dihindari termasuk
pengaruhnya terhadap religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar, bila
dibandingkan dengan kabupaten-kabupten lainnya di Bali. Demikian juga, apabila
modernitas dipahami menjadi lawan tradisionalitas, maka penggerusan nilai-nilai
tradisional akan berlangsung lebih cepat di Kota Denpasar. Hal itu terjadi
mengingat tingkat intensitas interaksi masyarakat Kota Denpasar dengan
modernitas juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Hal
ini ditemukan dalam berbagai bentuk hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu di Kota Denpasar, yaitu mulai terpinggirkannya nilai-nilai tradisional
dan sebaliknya, semakin diterimanya nilai-nilai modern dalam religiusitas umat
Hindu.
Ketiga, hegemoni modernitas dalam
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar bukan realitas sosioreligius yang
final, tetapi senantiasa dikomunikasikan melalui interaksi dinamis dan adaptasi
dialektis dalam berbagai konteks. Pada satu sisi modernitas cenderung
mengarahkan individu dan masyarakat pada sekularisasi kehidupan sebagaimana
diafirmasi dari gagasan Cassanova. Akan tetapi, pada sisi lain agama masih
memiliki pesona menjadi sumber nilai kehidupan. Oleh karena itu, redifinisi
agama, konversi internal, dan deprivatisasi agama menjadi kecenderungan respons
terhadap hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Redefinisi agama dan konversi internal merupakan respons yang cenderung muncul
karena agama telah memasuki wilayah privat. Sebaliknya, deprivatisasi agama
merupakan respons yang cenderung muncul karena masih kuatnya pesona agama dalam
ruang publik. Artinya, religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar mengalami
konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi terus-menerus sesuai dengan
perubahan zaman.
Berdasarkan temuan di atas dapat dipahami bahwa hegemoni
modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar merupakan organisasi
konsensus yang dibangun dalam persetujuan, baik melalui kepemimpinan moral dan
intelektual maupun tindakan komunikatif. Modernitas secara nyata menjadi kekuatan
hegemonik yang memosisikan agama menjadi subordinat. Citra modernitas dibangun
dan disebarluaskan oleh agen dan struktur, baik intelektual tradisional maupun
organis di dalam dan melalui pembangunan. Modernitas dalam religisuitas menjadi
momen yang dieksternalisasi oleh agen, diobjektivikasi dalam struktur, dan
diinternalisasi oleh aktor dalam kesadaran reflektif. Dalam kesadaran reflektif
inilah hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu mendapatkan penerimaan
yang berbeda dan beragam. Dengan demikian, hegemoni modernitas dalam
religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar memunculkan diferensiasi struktural
dan pluralitas agama.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu di Kota Denpasar karena konstruksi historis, fungsionalitas modernisasi,
pilihan rasional, disposisi hasrat, dan intensionalitas kesadaran modern.
Konstruksi historis ditandai dengan munculnya uniformisasi agama Hindu,
formalisasi agama Hindu, terbentuknya lembaga pendidikan Hindu, dan gerakan
politik Parisada. Fungsionalitas modernisasi ditandai dengan munculnya
pembangunan perkotaan, diferensiasi dan otonomisasi struktural, serta pembinaan
desa pakraman. Pilihan rasional
ditandai dengan munculnya dua jenis rasionalitas, rasionalisasi agama, masuknya
sampradaya ke desa pakraman. Disposisi hasrat ditandai dengan munculnya hasrat
sebagai otonomi personal, perayaan hasrat, dan perubahan karakter krama desa pakraman. Intensionalitas
kesadaran modern ditandai dengan munculnya refleksivitas kesadaran atas
modernitas, munculnya kesadaran sekuler, dan rekontekstualisasi agama dari
publik ke privat.
Bentuk hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di
Kota Denpasar meliputi hegemoni modernitas dalam dogma agama, hegemoni
modernitas dalam ritual agama, hegemoni modernitas dalam moral agama, dan
hegemoni modernitas dalam lembaga keagamaan. Bentuk hegemoni modernitas dalam
dogma agama ditandai dengan diterimanya konsep agama negara berupa dogma
monoteis, seperti sosialisasi padmasana.
Bentuk hegemoni modernitas dalam ritual ditandai dengan produksi teknologi
ritual, komodifikasi ritual, ritual massal, dan birokratisasi ritual. Bentuk
hegemoni modernitas dalam moral agama ditandai dengan perluasan budaya dan
ekonomi dalam moralitas palemahan,
moralitas pawongan, dan moralitas parhayangan. Bentuk hegemoni modernitas
dalam lembaga keagamaan umat Hindu di Kota Denpasar ditandai dengan
diferensiasi lembaga keagamaan dan hegemoni lembaga sekunder.
Respons terhadap
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar ditandai
dengan terjadinya redefinisi agama, konversi internal, dan deprivatisasi agama.
Redefinisi agama terjadi dalam dogma, ritual, moral, dan lembaga keagamaan.
Redefinisi dogma berlangsung secara dialektis antara dogma monoteis dan dogma
tradisional sehingga melahirkan respons yang ambigu. Redefinisi ritual
berlangsung melalui proses produksi teknologi, mekanisme pasar, ritual massal,
dan birokratisasi. Redefinisi moral berlangsung dalam kerangka etika diskursus.
Redefinisi lembaga keagamaan ditandai dengan redefinisi perannya melalui
penyesuaian habitus dengan lingkungan sosial dan budaya modern. Konversi
internal berlangsung dalam tiga kecenderungan, yaitu mistikal, ideologi
keagamaan, dan ekletik. Deprivatisasi agama terjadi dalam dua kecenderungan,
yaitu ideologisasi agama dan revitalisasi nilai agama.
6.2 Saran
Penelitian ini
menunjukkan bahwa pendekatan posmodernisme dan paradigma kritis dapat digunakan
untuk memahami realitas sosioreligius masyarakat kontemporer, karena itu kepada
peneliti lain disarankan menggunakannya pada lokasi penelitian lainnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan religiusitas umat
Hindu inheren dalam tugas dan fungsi pemerintah sebagai agen perubahan sosial,
karena itu kepada Pemerintah Kota Denpasar disarankan merevitalisasi dan
merekontekstualisasi nilai-nilai religius Hindu sejalan dengan pembangunan
bidang kehidupan sekuler lainnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa modernitas
yang ditandai dengan diferensiasi struktural secara sistematis telah melemahkan
peran Parisada bersamaan dengan menguatnya peran lembaga sekunder, karena itu
kepada P.H.D.I dan P.D.H.B disarakan melakukan konsolidasi internal dan
meningkatkan peran dalam pembinaan umat Hindu. Penelitian ini menunjukkan bahwa
hegemoni modernitas secara sistematis telah melemahkan nilai-nilai tradisional,
karena itu kepada umat Hindu di Kota Denpasar disarankan mengenangkan kembali
penghayatan dan praktik agamanya agar lebih menyadari arah perkembangan religiusitasnya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abdullah, Amien. 2005. Kitab Suci Agama-Agama. Jakarta: Teraju.
Abdullah, Irwan, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abraham, Francis M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Umum Pembangunan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah
Pengantar Komprehensif. Jakarta: Jalasutrra.
Adlin, Alfathri. 2006. Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi
Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan
Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Al-fayaadl, Muhamad. 2005. Derrida.Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Ali, Muhammad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Althusser, Luis. 2010. Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Anandakusuma, Rsi. 1986. Silsilah Orang Suci dan Orang Besar di Bali.
Denpasar: CV Kayumas.
Anandakusuma, Rsi. 1987. Wariga Dewasa. Denpasar: CV Kayumas.
Anonim. 1989/1990. Himpunan Kesatuan Tafsir terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu I – XV, 1989/1990. Denpasar: Pemerintah Daerah
Provinsi Tk I Bali.
Anonim. 1994. Sundarigama. Diperbanyak oleh Pemerintah
Kabupaten Dati II Badung.
Appadurai, A. 1993. “Disjuncture
and Difference In the Global Cultural Economy” dalam Featherstone, M. (ed).
1993. Global Culture, Nationlism,
Globalization and Modernity. Hal:295-310. London:SAGE Publication.
Ardana, I Gusti Gde. 1982. Hinduisme di Bali. Denpasar: Upada
Sastra.
Ardika, I Wayan dan Darma Putra
(Ed). 2004. Politik Kebudayaan dan
Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana Balimangsi
Press.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan
Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM Press.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arsana, Dira. 2006. “Dunia Malam
Pariwisata”. Artikel. Bali Post Edisi
Kamis 25 Mei 2006.
Assegaf, Abd. Rachman. 2007. Desain Riset Sosial-Keagamaan: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Gema Media.
Astra, I Gde Semadi. 1997.
”Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII – XIII: Sebuah Kajian Epigrafis”. Disertasi tidak dipublikasikan.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali
pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (Hasil
Penelitian – Studi Kasus pada Berbagai Desa), Singaraja.
Avalon, Arthur. (Penerjemah:
K.Nila). 1996. Mahanirvana Tantra: Arthur
Avalon’s Tantra of the Great Liberation. Denpasar: Upada Sastra.
Ayatrohaedi.ed.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) Jakarta:
Pustaka Jaya.
Azis, Abdul. 2006. Esai-Esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva
Pustaka.
Baba, Bangali. 1982. The Yogasutra of Patanjali. New Delhi:
Motilal Banarsidas.
Badudu, J.S. & Moh. Zein.
1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bagus, I Gusti Ngurah
(Penyunting). 2003. Masalah Budaya dan
Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar: Program Studi Magister (S2)
Universitas Udayana.
Bakker, F.L. 1993. The Struggle of the Hindu Balinese
Intellectuals: Developments In Modern
Hindu Thinking in Independent Indonesia.
Amsterdam: VU University Press.
Bakri, Syamsul dan Mudhofir. 2004. Jombang-Kairo, Jombang-Chicago, Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur Dalam Pembaruan Islam di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.
Bandem, I Made & I Wayan Dibia. 1975. Pengembangan Tari Bali. Denpasar: ASTI.
Barker, Chris. 2005. Culture Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta:
PT Bentang Pustaka.
Barthes, Roland. 1990. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa.
Bandung: Jalasutra.
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Belger, Brigitte and Hansfried
Keliner. 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Bendesa, I Komang Gde. 1997.
“Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan Ekonomi di Bali dalam Konteks
Pembangunan yang Berwawasan Budaya” dalam Mokshartham
Jagadhita. Denpasar: Upada Sastra.
Berger, Peter L. 1967. The
Capitalist Revolution: Fifty
Propositions About Prosperity,
Equality, and Liberty. New York: Basic Books, Inc.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Black, James A. dan Dean J.
Champion. 2001. Metode dan Masalah
Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami
Hegemoni. Yogyakarta: Jalasutra.
Bogdan, H.R dan Biklen S.K. 1982.
Qualitative Reseach for Education, An
Introduction to Theory and Mothods. Boston: Allyn anda Bacon Inc.
Bosch, F.D.K. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di
Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Bourdieu, Piere. 2010. Aneka Produksi Kultural Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Budiana, I Nyoman (Ed.). PHDI Setengah Abad: Menuju Paradigma
Milenium Budaya. Denpasar: ESBE.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif:
Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Sketsa, Penilaian,
Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius.
Capra, Fritjop. 2003. The Hidden Connections. Yokyakarta:
Jalasutra.
Casanova, Jose. 2003. Agama Publik di Dunia Modern: Public
Religion in the Modern World. Surabaya: Pustaka Eureka; Malang: ReSIST, dan
Yogyakarta: LPIP.
Chaney, David. 2008. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif
(Penerjemah Nuraeni). Yogyakarta. Jalasutra.
Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta:
Kencana Predana Media Group.
Dayuh, I Nyoman. 2009.
“Pasemetonan Yoga Seger Uger Sanur: Studi Surya Namaskara”. Tesis. Tidak dipublikasikan. Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.
Denzin, Norman K. & Yvonnas
S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative
Research. (Penerjemah: Dariyatmo, Badrus Samsul Fata, Abi, dan John
Rinaldi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
Durkheim, Emile. 2003. Sejarah Agama (The Elementary Forms of the
Religious Life). Yogyakarta: IRCiSoD.
Dwipayana, A.A.G.N. Ari. 2005. Globalism: Pergulatan Politik Representasi
atas Bali. Denpasar: Uluangkep Press.
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Hanindita.
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta:
Ikon Teralitera.
Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fathroni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freud, Sigmund. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Frawley, David. 1999. Etika Konversi Keagamaan. (20/04/2006, PRAJNA JOURNAL APRIL – JUNE).
Geertz, Clifford and Hildred
Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad
XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas
(penterjemah: Nurhadi).Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Goris. R. 1968. Sekte-Sekte di Bali. Denpasar.
Gourdiaan, T. and C. Hooykaas.
1971. Stuti and Stava (Bhauddha, Saiva and Vaishnava of Balinese
Brahaman Priest). Amsterdam, London: North Holland Publishing Company.
Griffin, David Ray. 2005. Tuhan & Agama dalam Dunia Post Modern.
Yogyakarta: Kanisius.
Gunadha, Ida Bagus. 2009. Strategi Pemberdayaan Adat, Budaya, dan
Agama Hindu Bali. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Unhi Denpasar.
Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan II: Kritik atas Rasio
Fungsionalis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hadi, Hardono. 2007. Kepemimpinan Religius Transformasi.
Yogyakarta: Satunama.
Hadi, Y. Sumadiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama.Yogakarta: Buku
Pustaka.
Hadiwijono, Harun. 2002. Sejarah Filsafat Barat 1 dan 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas:
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana. A.M. 2005. Agama, Religiusitas, dan Spiritualitas. Bandung:
Tarsito.
Harker, Richard; Cheeelen Mahar;
Chris Wilkes. 2009. (Habitus x Modal)
+ Ranah = Praktik, Pengantar Paling
Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Harrison, Lawrence P. dan Samuel
P. Hutington (editor). 2006. Kebangkitan
Peran Budaya. Jakarta: LP3ES.
Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan
Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Haryono, Yudhie. M. 2005. Melawan dengan Teks. Yogyakarta: Resist
Book.
Hendropuspito. 1986. Sosiologi Agama. Yaogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Kommarudin. 2009. Wisdom of Life. Jakarta: Kompas.
Horkheimer, Max dan Theodor W.
Adorno. 2003. Dialektika Pencerahan.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Hutington, Samuel P. 2003. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.
Ibrahim, Abd. Syukur &
Machrus Syamsudin. 1985. Penemuan Teori
Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha
Nasional.
Inglehart, Ronald. 1997. Modernization and Posmodernization:
Cultural, Economic, and Political Change in Forty-Three Societies.
Princeton: Princeton University Press.
Irsan, Abdul. 2007. Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi.
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Jacob, Teuku. 2006. Manusia Makhluk Gelisah: Melalui Lensa
Bioantropologi, Surakarta: Muhammadyah University Press.
Jamil, Mukhsin M. 2008. Agama-Agama Baru di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jais, Ahmad. 1980. Masalah-masalah Mistik dan Tasawuf.
Bandung: PT Al-Ma’arif.
Jayakumara, I Gde. 2007.
“Pencarian Identitas Budaya Hindu (Studi Komunitas Hindu di Kelurahan
Banguntapan, Banguntapan, Yogya”. Tesis- Tidak
Dipublikasikan. Yogyakarta: Program Centre for Religion and Cross Cultural
Studies, Universitas Gajah Mada.
Jendra, I Wayan. 2007. Sampradaya: Kelompok Belajar Weda, Aliran
dalam Agama Hindu, dan Budaya Bali. Denpasar: PT Empat Warna Komunikasi.
Johnson, Doyle Paul. 1986a. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Juergensmeyer, Mark. 2003. Terorisme Para Pembela Agama. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualititif Bidang
Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kajeng dkk. 1997. Sarasamuscaya. Jakarta: Bimas Hindu
Depag RI.
Kaplan, David & Robert. A.
Manners. 2002. Teori Kebudayaan.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Kasturi. 1999. Pancaran Kebijaksanaan (Jnana Vahini). Surabaya: Paramita.
Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius.
Kerlinger, N. Fred. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Kholiludin, Tedi. 2009. Kuasa Negara Atas Agama. Semarang:
RaSAIL Media Group.
Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: PT
Mizan.
Kleden, Ignas. 1987. Masalah Kemiskinan Sosial-Budaya di
Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Klostermeier, Klaus K. 1988. A Short Introduction to Hinduism. Oxford
University Press.
Koentjaraningrat. 1989. Sejarah Teori Antropolgi I. Jakarta:
Universitas Indonesia Pers.
Krishna,
Anand. 2006. “Bali Perlu Kelompok Spiritual”. Artikel. Majalah Taksu 165:
November – Desember/VII/2006.
Krisnu,
Tjokorda Raka. 1997/1998. Himpunan
Keputusan dan Aturan tentang Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
Denpasar: Kantor Departemen Agama Kota Denpasar.
Kunarwoko, A. 1994. “Agama
sebagai Komunitas Iman yang Diagonal dan Transformatif dalam Berperanserta pada
PJP II”. Makalah Disampaikan dalam Dialog
Nyepi 1916 Saka. Jakarta.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta:
Kanisius.
Lavine, T.Z. 2002. Petualangan Filsafat: Dari Sokrates ke
Sartre. Yogyakarta: Jendela.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta:
Rineka Cipta.
Leahy, Louis. 2001. Sanis dan Agama dalam Konteks Zaman Ini.
Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor:
Akademia.
Lubis, Debbie A. (Penerjemah).
2006. Agama dan Politik Amerika.
Jakarta: Yayasan Obor.
Lyotard, Jean-Francois. 2004. Ziarah Postmodernisme. Surabaya: Pustaka
Eureka.
Macdonell, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus (Kematian
Strukturalisme & Kelahiran Posstrukturalisme dari Althusser hingga
Foucoult). Jakarta: Teraju.
Magnis, Franz-Suseno. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas.Yogyakarta : Kanisius.
Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya:
LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat).
Maman, K.H; Deden Ridwan; M. Ali
Mustofa; dan Ahmad Gaus. 2006. Metode
Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Ragamwidya: Religiositas Hal-Hal
Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.
Mantik, Nyoman S. dkk. (Ed).
2009. ”Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia” dalam PHDI Setengah Abad: Sebuah Retrospeksi.
Mantra, I.B. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar:
Yayasan Dharma Sastra.
Manuaba, Ida Pedanda Bang Buruan.
2006. “Jangan Over Acting”. Artikel. Majalah Taksu 165: November – Desember/VII/2006.
Marayana, I Gde. 2006. ”Sistem
Kalender Bali”. Makalah. Disampaikan
dalam Pendidikan dan Pelatihan Wariga pada Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Bali, 13 Desember 2006. Denpasar.
Marx, Karl. 2004. Kapital. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Miall, Hugh; Oliver Ramsbotham;
dan Tom Woodhouse. 2002. Resolusi Damai
Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik
Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Miles & Huberman. A. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Moleong,
Lexy J. 1998. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Monier, Sir Williams Monier.
1990. Sanskrit – English Dictionary. New
Delhi: Motillah Banarsidass.
MPLA Daerah Tingkat I Bali.
1991/1992. Desa Adat dan Pelestarian
Lingkungan Hidup. Denpasar: Proyek Pemantapan Lembaga Adat.
Mulder, Neils. 2001. Agama, Hidup Sehari-hari, dan Perubahan Budaya
(Jawa, Muang Thai, dan Filiphina)
. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Revolusi Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Sri.1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang:
Sebuah Tunjauan Filosopis. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Mulyono, Irmayanti dan Budianto.
2004. Ideologi Budaya. Jakarta:
Yayasan Kota Kita.
Nala, Ngurah dan I Gusti Ketut
Adia Wiratmadja. 1986. Murddha Agama
Hindu. Denpasar: Upadasastra.
Nasution,
S. 1988. Metode Research (Penelitian
Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Nawawi, H. Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Noorsalim, Mashudi; M.
Nurkhoiron; Ridwan Al-Makasarry (ed). 2007. Hak
Minoritas: Multikuturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta: The
Interaksi Foundation.
Nordohlt, Henk Schulte dan Gerry
Van Klinken. 2007. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.
Nottingham, Elizabeth K. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta:
Rajawali Grafindo Persada.
Nuryanto, M. Agus. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta:
Resit Book.
O’dea, Thomas F. 1992. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.
Jakarta: CV Rajawali.
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta:
Qalam.
Pamecutan, I Gusti Ngurah Oka.
2007. Perjalanan Parisada Bali (Parisada
Dharma Hindu Bali). Denpasar: Yayasan Kerti Budaya.
Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pelly, Usman dan Menanti Asih.
1994. Teori-Teori Sosial Budaya.
Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemerintah Kota Denpasar. 2008. Selayan Pandang Kota Denpasar 2008.
Denpasar.
Phalgunadi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu.
Denpasar: Program Pascasarjana (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia.
Piliang,
Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat,
Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Pitana, I Gde (Ed.). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar:
Bali Post.
Popper, Karl R. 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta : LP3ES.
Pradnya, I Made & I Nyoman
Oka. 2006. “Sai Baba Bukan Sampradaya”. Artikel.
Majalah Taksu 163: September –
Desember/VII/2006.
Puspa, Ida Ayu Tari. 2010.
“Komodifikasi Ritual pada Griya-griya di
wilayah Desa Pakraman Sanur”. Disertasi.
Tidak Dipublikasikan. Program Kajian Budaya, Universitas Udayana. Denpasar.
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar:
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Rakhmat, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. Bandung: Mizan Media
Utama.
Rama, Swami. 2005. Hidup dengan Para Rsi Himalaya.
Surabaya: Paramita.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian
Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George & Goodman,
Douglas J. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prenada Media.
Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas Posreligius Eksplorasi
Hermeneutis Tranfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche.
Yogyakarta: Qalam.
Robertson, Roland (Ed.). 1998. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Sahlins, Marshall. 1976. Culture and Practice Reaseon. Chicago:
University of Chicago Press.
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Santosa, Listiyono dkk. 2010. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Sarasastra, Gde. 2002.
“Perkembangan Agama Hindu di Bali”. Artikel.
dalam Majalah Sarad No. 27 Juni 2002.
Schacht, Richard. 2009. Alienasi: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Schoorl, J.W. 1991. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Schrarf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Prenada Media.
Setia, Putu. 1999. ”Beragama Yang
Benar”. Artikel. Majalah Raditya.
Simon, Roger. 2000. Gagasan Gagasan Politik Gramsci. (Terj.
Kamdani dan Imam) Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sirtha, I Nyoman. 2003. ”Peranan
Desa Pakraman dalam Mewujudkan Jagadhita di Era Globalisasi”. Dalam Astra, I
Gde Semadi dkk. (peny.). 2003. Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural. Denpasar : Kerja sama
Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan
Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media.
Siswomihardjo dan Koento
Wibisono. 2003. Ilmu Pengetahuan Sebuah
Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk
Memahami Filsafat Ilmu. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filasafat UGM.
Yogyakarta: Liberty.
Smith, Huston. 2001. Kebenaran yang Terlupakan: Kritik atas Sains
dan Modernitas. Yogyakarta: IRCiSoD.
Soebandi, Ktut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Panyungsungan
Jagat. Denpasar: Kayumas Agung.
Soeka, Gde. 2004. Trimurti Tattwa. Denpasar: Kayumas.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik: Perspektif
Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Averroes Press.
Soetriono & SRDm Rita
Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Sofwan, H. Ridin. 2007. Mengungkap Seluk-beluk Aliran Kebatinan di
Indonesia. Semarang: CV Aneka Ilmu.
Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan
Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sturrock, John. 2004. Strukturalisme Post-strukturalisme dari
Levi-Strauss sampai Derrida, Terjemahan dari Structuralism and Since.
Surabaya: Jawa Post Press.
Suamba, I.B. Putu (Ed.). 1996. Yajna: Sebuah Basis Kehidupan. Denpasar:
Warta Hindu Dharma.
Suamba, I.B. Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar:
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Subagya, Rahmat. 1976. Kepercayaan Kebatinan Kerohanian dan Agama.
Yogyakarta: Kanisius.
Subyantoro, Arief & F.X.
Suwarto. 2006. Metode & Tekhnik
Penelitian Sosial. Yogyakarta: ANDI.
Sudarsana, Ida Bagus. 2007. Dewa Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma
Acarya.
Sudharta,
Tjok. Rai, Ida Bagus Oka Puniatmadja, 2001. Upadesa.
Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok. Rai dan I Wayan
Surpha. 2006. Parisada Hindu Dharma
dengan Konsolidasinya. Surabaya: Paramita.
Sudibya, I Gde. 1995. “Peranan
Umat Hindu dalam Pembangunan Ekonomi” dalam Mokshartham
Jagadhita. Denpasar: Upada Sastra.
Sugiarto, R. dan Gde Pudja. 1982.
Sweta Swatara Upanisad. Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Depag RI.
Sugiarto, Bambang. I. 2006. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Suhandji-Waspodo T.S. 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif Global.
Malang: Insan Cendekia.
Sukarma, I Wayan. 2009.
“Pemurnian Tradisi dalam Komunitas Adat”. Artikel.
Sarad, Nomor 109 Mei 2009:hal.19.
Sukarma, I Wayan dan Wayan Budi
Utama (Ed.). 2010. Canang Sari
Dharmasmrti. Denpasar: Widya Darma.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan
Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
Qalam.
Supartha, I Gusti Ngurah. 2004. Karya Agung Mamungkah dan Ngenteg Linggih
Pura Dalem Swargan. Gianyar: Desa Pakraman Kedewatan.
Suprayogo, Imam dan Tobroni.
2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Supono, Eusta. 2002. Agama Solusi atau Ilusi? Kritik atas Kritik
Agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Sura, I Gde dkk. 1999. Siwatattwa. Denpasar. Proyek Peningkatan
Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah Propinsi Bali.
Suriasumantri, Jujus S. 1981. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Sutaba, I Made. 1980. Prasejarah Bali. Denpasar: Yayasan
Purbakala Bali.
Sutopo dan Adi Suryanto. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia
Sutrisno, Mudji dan Hendar
Putranto (Ed.). 2004. Hermeneutika
Pascakolonial-Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius.
Suyanto, Bagong dan Sutinah
(Ed.). 2005. Metode Penelitian Sosial:
Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.
Suyono, Seno Joko. 2007. Tubuh yang Rasis. Yaogyakarta: Lanskap
Zaman.
Swidler, Leonard dan Paul
Mojzres. 2000. Religious Faith. London:
Oxford University.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta:
Prenada Media.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Tilaar, A.R. 2004. Multikultularisme: Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT
Gramedia Midiasarana Indonesia.
Tim Penyusun. 2002. Panca Yadnya. Denpasar: Proyek
Peningkatan Sarana/ Prasarana Kehidupan Beragama Pemerintah Propinsi Bali.
Tim Penyalin dan Penerjemah.
2002. Tutur Gong Besi, Tutur Lebur
Gangsa, Turur Angkus Prana. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Tim Redaksi. 2007. “Sampradaya Marakkan Bali”. Artikel. Tabloid Suluh Bali
Edisi VI/Th.I/9 – 22 November 2007. Denpasar.
Tim. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.
Titib, I Made. 2007. Persepsi Umat Hindu di Bali terhadap Svarga,
Naraka, dan Moksa dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya. Surabaya: Paramita.
Thoha, Miftah. 1995. Kepemimpinan dalam Manajemen Suatu
Pendekatan Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Trijono, Lambang. 2004. The Making of Ethik and Religious Conflicts in Southeast Asia: Cases and Resolutions. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 1990. “Munculnya Kelas Baru
dan Dewangsanisasi Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Trublood, David. 1965. Philosophy of Religion (Filsafat Agama). Jakarta: Bulan Bintang.
Turner, Brian S. 2003. Agama & Teori Sosial. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Tuhuleley, Said; Adde Marup WS.;
Haedar Nashir (Ed.). 2003. Masa Depan
Kemanusiaan. Yogyakarta: Jendela.
Wattimena, Reza A.A. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik (Locke - Rousseau - Habermas).
Yogyakarta: Kanisius.
Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama. Yogyakarta: IRCiSoD.
Wibisono, Koento.1982. Arti Perkembangan (Menurut Filsafat Positivisme Aguste Comte).Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Widana, I Gusti Ketut. 2010.
“Fenomena Penampilan Selebritis Umat Hindu pada Upacara Persembahyangan di Pura
Jagatnatha Denpasar”. Tesis – Tidak
Dipublikasikan. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Widiana, I Gusti Ketut. 2006.
“Fenomena Sampradaya dalam Dinamika Agama Hindu di Bali”. Tesis – Tidak Dipublikasikan.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Widnyana,
Ida Bhujangga Rsi Oka. 2000. “Swadharma Sadhaka”. Makalah. Disajikan dalam Pendalaman Sradha di Denpasar.
Yasa, I Wayan Suka dkk. 2009. Yoga Margi Rahayu. Denpasar: Fakultas
Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya
Dharma.