PRODUKSI DAN TEKNOLOGI BANTEN

Banten di Era Mesin
(Majalah Sabda no. 21 April 2012:hal.34—35)    
                                                                                                   
I Wayan Sukarma

Acara itu salah satu aspek agama Hindu, selain tattwa, susila, dan lembaga agama. Acara menetapkan cara bagi penataan hubungan umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi Wasa, antara lain menentukan tempat, waktu, cara, sarana, dan bentuk hubungan itu diselenggarakan. Umat Hindu umumnya melaksanakannya secara rutin atau berkala dan insedental. Akan tetapi, pekerjaan di sektor formal yang menjadi ciri etos kerja birokratik dan kapitalistik yang menekankan pada produktivitas telah meminggirkan rutinitas acara karena dipandang tidak terkait langsung dengan proses produksi. Oleh karena itu, rasionalisasi berbagai praktik keagamaan dapat dipandang sebagai kewajaran. Masaiban misalnya, didelegasikan kepada pembantu rumah tangga karena semakin padatnya aktivitas di luar rumah. Hal ini menjadi solusi yang dipandang paling nyaman karena yang penting masaiban terlaksana, sedangkan aktor yang melaksanakannya tidak penting karena dipandang hanya menjadi instrumen. Acara sehari-hari menjadi tindakan yang begitu mekanis seturut dengan proses sosial ekonomis yang berlangsung.
Acara telah dipertukarkan secara massif dalam hubungan produksi sehingga konstruksinya tidak pernah bebas dari dimensi rasionalitas. Rasionalisasi acara tampaknya tidak hanya terjadi dalam upacara (tata cara pelaksanaan), tetapi juga dalam upakara (sarana upacara). Rasionalisasi upakara tampak pada penggunaan barang-barang hasil industri, seperti penggunaan jenis makanan dan minuman merk tertentu untuk memperkaya tampilan banten. Meluasnya penggunaan hasil-hasil teknologi modern dalam acara misalnya, tampak pada penggunaan canang haturan sehari-hari sudah lumrah dihiasi dengan permen, roti, rokok, dan kopi. Apalagi dominannya pertimbangan ekonomis dalam proses acara dibandingkan dengan pertimbangan maknawi. Dengan begitu acara telah memasuki sejarah perluasan mekanisme produksi, sebagaimana diafirmasi gagasan materialisme historis Marxian. Proses produksi yang digunakan untuk mempertahankan hidup dalam lingkup material, kultural, dan teknologi telah menentukan relasi sosial dan konsepsi mental umat Hindu. Hal ini mencerminkan konsepsi mental umat Hindu bahwa sarana upacara lebih dimaknai sebagai alat daripada makna religiusnya.
Menguatnya pengaruh industri dan teknologi dalam pembuatan sarana upacara, juga ditandai dengan penggunaan staples dalam majejahitan. Umat Hindu merasa lebih aman dan nyaman menggunakan staples dibandingkan dengan semat, seperti biasanya digunakan pada masa lalu. Artinya, industrialisasi telah menjadi kekuatan penting yang selain memperkenalkan pola organisasi produksi baru, juga memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Penyesuaian ini tidak saja karena teknologi bersifat dominatif, tetapi juga karena dalam modernisasi tradisi dipahami sebagai bagian dari masalah yang harus ditransformasi. Hal ini berkaitan erat dengan refleksivitas, yakni praktek sosial yang terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang terbaru dan yang paling praktis sebagai ciri dinamis dari modernitas. Dengan begitu penggunaan hasil produksi teknologi dalam sistem acara menjadi bentuk transformasi dari tradisi.
Selain acara rutin sehari-hari, juga umat Hindu melaksanakan acara berkala dalam bentuk rarahinan. Rarahinan beragam jenisnya, antara lain kajeng kliwon, anggara kasih, budha cemeng, dan buddha kliwon yang umumnya disebut rarahinan alit. Rarahinan agung, seperti pagerwesi, saraswati, galungan, kuningan, siwaratri, nyepi dan tumpek. Selain itu, juga terdapat jenis-jenis rarahinan yang dikaitkan dengan upacara tertentu, seperti soma ribek, sabuh mas, pamacekan agung, sugihan jawa, sugihan bali, panyekeban, panyajaan, dan panampahan. Di samping itu, juga dewasa ayu (hari-hari baik) yang terkait dengan piodalan di kahyangan tiga ataupun kahyangan jagat dan/atau yang berkaitan dengan individu misalnya, upacara otonan (hari kelahiran), mapandes (potong gigi), dan wiwaha (perkawinan). Khusus upacara yang disebutkan terakhir lebih banyak ditentukan oleh harti libur, bukan dewasa ayu sebagaimana lazim pada masa lalu. Artinya, hari libur alias waktu luang telah mengatasi dewa ayu karena hari-hari kerja jauh lebih penting dibandingkan dengan hari-hari religius.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan umat Hindu pada zaman kemajuan telah terdiferensiasi secara struktural sehingga melahirkan tata cara acara yang berbeda-beda. Misalnya, umat Hindu yang bekerja pada sektor publik harus mengatur waktunya sedemikian rupa sehingga pelaksanaan rarahinan ini tidak berbenturan dengan disiplin kerja. Pekerjaan pada sektor publik yang diatur menurut manajemen modern lebih mengutamakan disiplin waktu daripada bidang kehidupan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas lain di luar pekerjaan mulai terpinggirkan termasuk rarahinan. Apalagi modernisasi melalui perluasan jangkauan produksi teknologi telah menyediakan mekanisme untuk mengatasinya. Penerimaan ini bertali-kelindan dengan dominannya etos kerja kapitalistik yang menuntut umat Hindu yang bekerja pada sektor publik dapat mengatur waktunya secara proporsional.
Kesadaran modern dalam acara, juga dapat dilihat dari semakin meluasnya produksi teknologi upacara yang berlangsung di desa pakraman. Misalnya, karya agung dikelola dalam kerangka produksi yang bersifat mekanistik, terkendali, dan terukur dengan sebuah panitia. Dalam kepanitiaan ini setiap individu memiliki tugas menyelesaikan pekerjaannya sendiri-sendiri untuk menyelesaikan proses karya secara keseluruhan. Pembagian tugas yang tegas melalui pembentukan panitia karya merupakan fakta bahwa setiap bidang tugas merupakan komponen-komponen yang saling tergantung secara rasional, dapat dikendalikan, dan dapat dipersatukan. Bidang kegiatan yang dibentuk dalam kepanitiaan ini tidak ubahnya seperti komponen-komponen produksi yang menyelesaikan pekerjaan secara terpisah-pisah. Ciri yang paling umum dalam produksi teknologi seperti ini adalah kesadaran pekerja tentang bidang pekerjaannya yang bersifat mekanistis, dapat direproduksi, dan terukur. Ini berarti bahwa upacara kolektif sesungguhnya merupakan kolektivitas semu karena setiap individu hanya menjadi komponen yang melaksanakan bidang pekerjaannya sendiri yang hasilnya kemudian dipersatukan untuk kepentingan bersama.
Sistem upacara yang dikelola dengan model produksi teknologi seperti ini, tampaknya diobjektivikasi dengan membangun model upacara yang dapat diterima secara rasional. Upacara dalam konstruksi budaya modernitas dibangun di atas kerangka produksi bahwa kekuatan-kekuatan produksi mencakup bahan mentah, hasil-hasil akhir, dan seluruh metode kerja yang dipakai dalam proses produksi termasuk alat-alat dan keahlian mereka yang berkerja. Secara umum proses ini ditandai dengan mekanisasi upacara dan masuknya barang-barang hasil industri modern menjadi upakara. Hal ini menjadi momen eksternal yang memasuki ruang kesadaran umat Hindu sehingga mendorong mereka mendefinisikan kembali upacara, baik individu maupun kolektif. Semakin dominannya produksi teknologi dalam acara menunjukkan bahwa kesadaran modern berupa produksi teknologi menjadi kesan eksternal yang dicerap. Kesan ini secara intensional membangun struktur kognitif dan konsepsi mental sehingga melahirkan dorongan psikis untuk mendefinisikan kembali tata cara upacara. Proses redefinisi ini dilakukan dengan mengobjektivikasi kesan eksternal yang terbangun dalam struktur kognitifnya yang kemudian diafirmasi menjadi disposisi tindakan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keinginan umat Hindu untuk meniru tata cara upacara yang sebelumnya dilakukan orang lain. Rupanya penggunaan alat-alat teknologi modern dalam upacara dipandang lebih mudah dan praktis, bila dibandingkan dengan cara-cara tradisional. Penerimaan ini menjadi momen internalisasi yang dikenangkan terus-menerus dalam kesadaran individu sehingga penggunaan alat-alat teknologi modern menjadi pola kebiasaan, bahkan menjadi budaya baru yang sejalan dengan budaya modernitas.
Penerimaan ini menegaskan bahwa redefinisi upacara dalam kerangka fungsionalisme-struktural menampakkan diri dalam budaya kontemporer yang diterima melalui interaksi dinamis antara subjek dan objek, intersubjektivitas umat Hindu dalam mekanisme sosial yang lebih luas. Budaya kontemporer ini tampaknya menjadi semakin fungsional dengan semakin banyaknya umat Hindu yang bekerja pada sektor-sektor formal. Artinya, pentingnya pembagian waktu kerja secara tegas dapat mempermudah pelaksanaan upacara sehingga tidak menghambat karier dalam pekerjaaan. Ini menegaskan bahwa pelaksanaan acara sehari-hari harus didefinisikan ulang sehingga tidak berbenturan dengan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pada bidang kehidupan lain misalnya, pengembangan karier. Mengingat pekerjaan pada sektor formal yang didominasi etos kerja birokratik dan kapitalistik memang lebih mengedepankan produktivitas kerja.
Dengan demikian, pemisahan secara tegas antara peran rumah tangga dan pekerjaan telah menyebabkan upacara tidak lagi menjadi fokus pekerjaan rumah tangga sehingga lebih sering terlupakan. Padahal upacara dipandang masih penting dan dibutuhkan, karena itu upacara menjadi masalah yang harus diselesaikan. Masalah inilah yang mendorong umat Hindu mendefinisikan ulang upacaranya dengan menerima mekanisme produksi teknologi menjadi solusi yang paling pakrtis. Pemecahan masalah ini didukung dan diperkuat oleh peningkatan struktur ekonomi yang memungkinkan memproduksi sarana upacara dengan cepat, praktis, dan efisien karena dominannya ekonomi uang. Jadi, uang menyebabkan penyebaran barang-barang produksi dan teknologi dalam upacara dan perluasannya dalam keberagamaan umat Hindu. Apalagi umat Hindu yang berdomisili di perkotaan karena kota menjadi tempat barang-barang hasil produksi dan teknologi di konsumsi.



BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...