Enam Musuh: Pembuka Pintu Gerbang Neraka
I Wayan Sukarma
Agama itu sederhana – pelembagaan religiusitas. Menjadi rumit ketika agama terlibat dan ikut menentukan batas-batas dunia-kehidupan. Sederhana karena inti agama adalah ritual. Dalam agama Hindu ritual disebut acara yang terdiri atas upacara dan upakara. Menjadi rumit karena ritual menetapkan tata cara melakukan hubungan dengan Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa. Hubungan ini menyangkut pengalaman batin, karena itu sering disebut pengalaman religius. Apalagi agama Hindu dikontekstualisasikan dalam beranekaragam tradisi dan bahasa. Akibatnya, pengalaman religius menjadi tidak pernah sederhana. Pengalaman religius inilah dimensi misteri dari agama. Dimensi ini menyebabkan tafsir dan makna agama tidak pernah final. Ini sebabnya diperlukan aturan tentang penghayatan dan praktik agama. Apalagi pada masa kini agama begitu jauh terlibat dalam sistem sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Aturan ini semakin diperlukan untuk memelihara ketertiban dan menjaga keseimbangan dunia-kehidupan. Aturan semacam ini berisi kode moral. Kewajiban moral semacam ini dalam agama Hindu disebut Susila.
Susila menggariskan pedoman tingkah laku sesuai dengan pengalaman dan kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam kehidupan pribadi, sesama, dan masyarakat. Ini sebabnya Susila mencakup aspek moral yang begitu luas, bahkan termasuk ajaran moral yang bersifat universal. Berdasarkan cakupan moral ini, Susila dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, aturan moral yang dianut secara internal oleh umat Hindu misalnya, tentang makanan suci, hari suci, tempat suci, orang suci, dan yadnya. Kedua, aturan moral yang diterima oleh semua agama, yaitu pedoman tingkah laku yang berlaku umum dalam masyarakat, seperti jangan mencuri, jangan berdusta, jangan membunuh, dan jangan berzinah. Aturan moral kelompok pertama berlaku hanya bagi umat Hindu. Sementara itu, aturan moral kelompok kedua melampaui kepentingan agama Hindu, karena itu menjadi aturan moral yang berlaku universal.
Aturan moral agama Hindu, selain dalam rumusan positif juga dinyatakan dalam bentuk negatif, walaupun tidak setajam perintah dan larangan. Aturan moral dalam bentuk negatif misalnya, dijelaskan melalui konsep sad ripu. Seperti tema konsepnya, sad ripu terdiri atas enam macam musuh, yaitu (1) kama ‘nafsu’, (2) lobha ‘tamak’, (3) krodha ‘marah’, (4) mada ‘mabuk’, (5) moha ‘bingung’, dan (6) matsarya ‘iri hati’. Keenam musuh ini tidak menyerang diri-eksternal dari luar, tetapi diri-internal dari dalam diri. Apalagi keenam musuh ini lebih disamarkan melalui dusta dan kemunafikan, karena itu penanganannya cenderung terlambat. “Kasep tangkis”, kata Ki Jero Bendesa. Padahal keenam musuh ini mesti dikalahkan karena tujuan kehidupan adalah kemenangan. Kalah dari keenam musuh ini pintu gerbang neraka terbuka lebar menuju jurang kehancuran diri (Bhagawadgita, XVI:21).
Untuk mengalahkan keenam musuh dan menghindari pintu gerbang neraka itu musuh harus dikenali dahulu. Bila dicermati dengan seksama keenam musuh itu bersumber pada kama ‘nafsu’. Mengingat nafsu adalah azas dari karma ‘tindakan’, dasar komitmen moral. Hanya saja, bila nafsu terpenuhi akan memberikan kepuasan. Kepuasan inderawi ini hanya sementara karena kepuasan memunculkan nafsu akan kepuasan. Begitulah setiap kepuasan memunculkan nafsu akan kepuasan sehingga nafsu akan kepuasan semakin liar. Inilah lobha, tamak akan kepuasan inderawi. Walaupun ketamakan senantiasa terpuaskan, tetapi yang namanya tamak selalu merasa kurang puas. Inilah mada, mabuk karena ketamakan. Mabuk karena ketamakan menyebabkan tamak semakin tamak, bahkan tamak menjadi tidak terbatas. Inilah moha, bingung karena nafsu sendiri.
Sebaliknya, bila nafsu tidak terpenuhi akan menimbulkan kekecewaan. Tidak diragukan lagi kekecewaan begitu mudah menyulut kemarahan. Inilah krodha, marah karena kecewa. Kemarahan menyebabkan hilangnya kekuatan daya nalar. Hilangnya penalaran begitu mudah merangsang kecemburuan. Inilah matsarya, iri hati melihat kepusaan orang lain karena kegagalan diri sendiri. Walaupun kegagalan tidak menimbulkan ketamakan, tetapi iri hati dan marah terlalu jauh dari tata kerja akal sehat. Tanpa akal sehat berarti hilangnya daya beda. Tanpa daya beda membuat semakin terbatasnya pengenalan tentang realitas. Keterbatasan ini mendorong muncul kebingungan. Bingung tidak dapat menetukan kebenaran dan tidak bisa memilih kebaikan. Inilah moha, bingung karena marah dan iri hati. Jadi, kama ‘nafsu’, baik terpenuhi maupun tidak, selalu menyebabkan kebingungan. Akan tetapi, patut disadari bahwa orang bingung akan tersesat dan orang tersesat tidak pernah sampai di tujuan – kehidupan.
Tujuan kehidupan dalam agama Hindu disebut catur purusa artha. Seperti sebutannya, catur purusa artha terdiri atas empat macam tujuan, yaitu (1) kama, (2) artha, (3) dharma, dan (4) moksa. Kurang-lebih kama berarti nafsu, hasrat, dan keinginan. Artha berarti alat, material, dan harta-benda. Dharma berarti aturan, hukum, dan kewajiban. Moksa berarti keindahan, kebahagiaan, dan kebebasan. Sampai di sini kelihatannya muncul dua macam konsep tentang kama, bahkan berbeda dan berlawanan. Pada satu sisi kama menjadi musuh yang mesti ditundukan. Sebaliknya, pada sisi lain kama menjadi tujuan yang harus diraih. Kedua konsep kama yang berbeda dan berlawanan ini, juga membuat bingung. Akan tetapi, apa yang kelihatannya berbeda dan berlawanan sesungguhnya tidak sepenuhnya demikian. Kama dalam Susila adalah dasar tindakan, yaitu komitmen moral. Sebaliknya, kama dalam catur purusa arta adalah tujuan dari tindakan. Jadi, kama adalah dasar dan tujuan tindakan. Apabila tindakan adalah ciri-ciri kehidupan, maka tanpa kama tamatlah dunia-kehidupan.
Walaupun demikian, dalam dunia-kehidupan kama tidak dibiarkan liar, tanpa kendali. Catur purusa artha mengikat kama dengan dharma, artha, dan moksa. Kama dalam bentuk nafsu, hasrat, dan keinginan memang tidak terbatas. Ini sebabnya tindakan untuk memenuhi kama dibatasi oleh alat (artha), aturan (dharma), dan kebebasan (moksa). Apabila ketiga syarat ini belum terpenuhi, maka tindakan untuk memenuhi kama tidak dapat dilakukan. Misalnya, tanpa ikatan perkawinan, Ni Ketut Prawerti tidak memiliki kebebasan melakukan hubungan suami-istri dengan Gede Prawerta, apalagi berhasrat memiliki seorang putra. Ikatan perkawinan menetapkan hubungan suami-istri. Dari sini muncullah kewajiban suami-istri, swadharmaning suami-istri. Bila punya anak, juga akan muncul kewajiban kepada anak. Begitulah setiap ikatan akan memberi kebebasan. Begitu juga ikatan kama pada dharma, artha, dan moksa merupakan suatu bentuk kebebasan moral yang mesti dan harus dipejuangkan.
“Kama haruslah menjadi tujuan kehidupan pertama, bahkan dengan menghasratkannya saja, para Rsi zaman Weda mencapai moksa, kebebasan”, jawab Bima ketika Yudistira mengajukan pertanyaan, apakah tujuan pertama kehidupan? Sementara itu, Widura mengatakan dharma haruslah menjadi tujuan kehidupan pertama, bukan kama. Arjuna mengatakan artha dan dharma yang harus menjadi tujuan kehidupan pertama. Pendapat Arjuna ini didukung dan disetujui oleh adik kembarnya Nakula dan Sahadewa. Melihat saudaranya berbeda pendapat segera Yudistira menyahut, “Widura, karena kamu adalah pesehat kerajaan, pantaslah dharma menjadi tujuan pertama kehidupanmu, tetapi bukankah peperangan ini terjadi karena aku terlalu setia kepada dharma? Bima pendapatmu sesuai dengan karaktermu yang suka makan, teruslah berhasrat. Arjuna pendapatmu itu sesuai dengan sifat kepemimpinanmu. Bagaimana mungkin seorang pemimpin merasa senang, bila rakyatnya tidak sejahtera dan hidup dalam kekacauan. Akan tetapi, pertanyaan ini aku sampaikan karena setelah peperangan selesai, aku merasa kesepian, tidak ada lagi yang patut aku kerjakan”.
Dari dialog singkat tersebut dapat dipahami, tanpa musuh kehidupan menjadi begitu sepi dan sebaiknya, musuh membuat kehidupan bergairah. Seperti diceriterakan dalam perang Bharathayudha, badan Gatotkaca semakin bertambah besar setelah bertubi-tubi menerima pukulan musuh. Ceritera ini memberi inspirasi bahwa makna kehidupan sepenuhnya terletak pada seberapa kuat bertahan dari gempuran musuh dan seberapa banyak musuh yang dapat ditundukkan, bahkan seberapa banyak musuh yang dapat diciptakan. Apabila setiap orang dibesarkan oleh musuhnya, maka setiap orang memerlukan strategi bertahan dari serangan musuh dan siasat menyerang menundukan musuh. Untuk menundukan enam musuh asasi itu diperlukan strategi catur purusa artha, berupa kontrol dharma, dukungan artha, dan kendali moksa. Setiap tindakan kerja haruslah berdasarkan kontrol moral, dukungan sarana, dan kendali kebebasan. Dengan begitu, setiap orang dapat memimpin dirinya keluar dari kontradiksi nilai dan norma kehidupan.
Paradoks dunia-kehidupan telah menyebabkan setiap orang menjadi politikus sekaligus pemimpin. Setiap orang mesti menguasai kehidupannya sebab Rta memaksanya. Setiap orang harus memimpin kehidupannya karena Dharma memerintahkannya. Kemudian, agama menganjurkan, penguasaan dan kepemimpinan atas kehidupan harus diarahkan menuju ke titik akhir-pengabdian, realisasi-diri, kebebasan. Ketiga hukum kehidupan ini merupakan cara lain untuk menundukkan enam musuh, selain catur purusa artha. Anda berani menundukan enam musuh itu?