ganesha

Kecemasan Sradha Pada Zaman Modern

I Wayan Sukarma

Ganesha dalam bentuk patung dari bahan pasir hitam dan batu padas begitu indah menghiasi kori, pintu gerbang rumah tempat tinggal dan sekolah sekitar Kota Denpasar (atau mungkin seluruh kabupaten di Bali). Bukan hanya itu, bahkan juga patung Ganesha dalam berbagai ukuran begitu gagah melengkapi ‘ruang-ruang industri kapitalis’. Perhatikan ruang-ruang kerja perkantoran, bahkan pada bagian depan ruang kendaraan menjadi tempat strategis memasang patung Ganesha ukuran kecil dari bahan fiber. Ini sebabnya, bukan hanya lingkungan sosial dan kebudayaan di wilayah perkotaan, bahkan juga lingkungan kerja memancarkan suasana religius-mistis. Padahal lazimnya kota dan perkotaan itu menjadi simbol kemajuan, yaitu suatu peradaban yang menjadi idola dan cita-cita modernisasi. Ini sebabnya religius-mistis di wilayah perkotaan menghadirkan suasana kontradiktif, seperti menggambarkan peperangan antara rasionalitas dan moralitas atau tradisionalitas melawan modernitas. Mengingat ide-ide dan gagasan tentang kemajuan begitu ambisius mengumbar rasionalitas dan mengabaikan moralitas sehingga pemasangan patung Ganesha yang bernuansa moralitas bisa dimaknai menjadi bentuk ‘perlawanan peradaban’. Lalu, siapakah Ganesha itu?

Ganesha juga akrab dipanggil Ganesh atau Gana saja bersaudara dengan Kala dan Kumara. Menurut pantheon dewa-dewa Hindu mereka adalah putra Dewa Siwa dan Dewi Durga. Siwa itu simbol kasih (suci) dan Durga itu simbol nafsu (shakti). Siwa itu azas roh dan Durga itu azas materi. Begitulah dari perkawinan mereka lahir Ganesha sebagai simbol ruang, Kala sebagai simbol waktu, dan Kumara sebagai simbol tindakan. Ruang-waktu-tindakan inilah prinsip yang melandasi seluruh pemikiran Barat (Ocedental) dan tujuannya untuk mencapai kebijaksanaan (philoshofia). Ketiga prinsip ini, bila disempurnakan dengan kasih (suci) dan nafsu (shakti) akan menjadi kebenaran-kebijaksanaan-kebahagiaan. Ketiga prinsip inilah yang melandasi seluruh pemikiran Timur (Oriental) dan tujuannya untuk mencapai jivanmukta atau moksa (kebebasan). Ini berarti tahapan-tahapan pemujaan kepada Dewa Siwa mesti dilakukan dengan terlebih dahulu memuja putra-putranya. Begitulah pengertian tentang ruang, waktu, dan tindakan merupakan titik tolak untuk memahami dan mencapai kesiwaan.

Dalam Ganapati Tatwa, Kakawin Smaradahana, Kakawin Siwaratrikalpa, dan Padma Purana, Ganesha dijelaskan berarti raja pikiran sebagai instansi moral tertinggi. Ganesha digambarkan berkepala gajah dan bertangan empat. Tangan kanan depan memegang patahan taring (danta), tangan kanan belakang memegang genitri (aksamala), tangan kiri depan memegang mangkok berisi kue (modaka), dan tangan kiri belakang memegang kapak (parasu). Selain itu, juga Ganesha memiliki ciri-ciri spesifik sesuai dengan sebutan untuknya, antara lain disebut Gajendrawadana, Gajawadana, dan Karimuka karena berkepala gajah. Disebut Waktratunda karena badannya gemuk. Disebut Lambodara karena perutnya buncit. Disebut Lambakarna karena telinganya lebar. Disebut Gajanana dan Winayaka karena sebagai dewa ilmu pengetahuan. Disebut Ganapati karena sebagai dewa perang. Disebut Ekadanta karena bertaring satu (taring kirinya patah). Disebut Wighneswara karena sebagai penguasa rintangan. Disebut Wighna-raja karena sebagai raja rintangan. Kemudian, disebut Wighna-ghna karena sebagai penghalau rintangan.

Ini sebabnya keberadaan Ganesha sebagai putra Dewa Siwa secara geneal harus dipandang mewarisi sifat-sifat ayahnya, Dewa Siwa sendiri. Sifat-sifat Dewa Siwa yang mungkin saja diwarisi oleh Ganesha, antara lain Rudra (kekuatan penghancur), Pasupati (penguasa binatang), Lingaraja (kekuatan alam), Nataraja (raja tarian), Yogiraja (pertapa mahaagung), Mahaguru (guru yoga), Augadha (pribadi terkendali), Mahakala (penguasa waktu), Sankara atau Sambhu (sumber kemakmuran), Mahesa atau Mahadewa (dewa tertinggi), Bhuteswara (raja para bhuta), Iswara atau Isa (dewa penguasa), Harihara (dewa yang bersatu dengan Wisnu). Malahan banyak sumber menjelaskan bahwa Ganesha sebagai Awighneswara dan Winayaka memiliki fungsi sebagai dewa perang, pelindung desa, penjaga pintu gerbang, panglukat, penolak hama dan penyakit tanaman, penolak bala dan mimpi buruk. Mungkin karena sifat-sifatnya ini Ganesha begitu berterima di hati pemujanya dan bhudi-sidhinya diharapkan melingkupi seluruh bidang kehidupan.

Kalau budhi-sidhi Ganesha seperti itu yang mengisi ruang kesadaran sradha umat Hindu, maka pemasangan patung Ganesha dapat diduga merupakan wujud bhakti mereka kepada Dewa Siwa. Kalau terjadi hal sebaliknya, maka dapat diduga bahwa pada zaman kemajuan ini umat Hindu sedang mengalami ‘kecemasan sradha’. Kecemasan ini dapat diduga, tidak lepas dari pengaruh proyek modernitas, yaitu upaya membebaskan manusia dari takhayul, dogma-dogma agama, kepercayaan tradisional, dan klaim-klaim kekuasaan tradisional lainnya. Kalau benar bahwa proyek modernitas ini sudah begitu kuat menanamkan pengaruhnya dalam keberagamaan umat Hindu di Bali, maka akan melahirkan kehidupan sosial keagamaan yang paradoksal dan ambigu. Pada satu sisi mereka ingin mengejar kemajuan teknis yang bersifat rasional, sedangkan pada sisi lain juga mereka ingin mempertahankan dogma-dogma agama dan kepercayaan tradisional – sebagaimana secara intens dikumandangkan melalui wacana Ajeg Bali.

Pada prinsipnya pergulatan antara rasionalitas dan moralitas memang senantiasa hadir dalam diri individu dan sosial pada setiap bangsa dan setiap zaman. Apalagi pada zaman kemajuan, ketika modernitas secara sistematis menanamkan pengaruhnya ke dalam pikiran individu dan tindakan sosialnya sehingga secara perlahan-lahan meminggirkan kepercayaan dan kebajikan tradisional. Modernitas dalam pertentangannya dengan tradisionalitas telah menjadi paradoks dalam diri individu dan sosial orang Bali. Baik sadar maupun tidak, paradoksal ini telah mendorong orang Bali memasuki wilayah persimpangan budaya. Bertahan dalam kepercayaan tradisional dengan konsekuensi ditinggalkan oleh kemajuan teknis atau sebaliknya, larut dalam arus modern meski harus kehilangan identitas dan jati diri.

Dikatakan kehilangan identitas dan jati diri karena lazimnya, manusia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merayakan nafsu-selera, hasrat, dan libidonya, sebagaimana diafirmasi dalam modernisasi. Gaya hidup materalis dan hedonis yang tersebar dalam teks-teks sosial memang begitu merangsang bagi penuhan nafsu-selera, hasrat, dan libido. Ini sebabnya kesadaran diri begitu tunduk pada nafsu-selera, hasrat, dan libido yang muncul dari alam bawah sadar ke permukaan kesadaran atau dari kesan-subjektif menuju kenyataan-objektif. Tidak bisa dihindari bahwa dorongan ini begitu kuat menciptakan permainan moral yang terus bergulir liar tanpa kontrol sosial bagi pemenuhan nafsu-selera, hasrat, dan libido. Akibatnya, praktik-praktik sosial menjadi semakin longgar yang memunculkan beragam nilai dan norma demi perayaan hasrat individu yang tidak jarang memicu munculnya tegangan dengan tradisi yang telah mapan.

Walaupun anggapan umum mengabaikan kontradiksi seperti itu, tetapi anggapan umum benar-benar sadar bahwa seseorang mungkin saja tertipu oleh ilusi optis. Kesalahan mungkin saja terjadi, seperti kesalahan dalam menentukan objek nafsu-selera, hasrat, dan libido. Apalagi begitu perbedaan antara kesan-subjektif dan kenyataan-objektif tertanam dalam kesadaran, maka kesadaran tidak berhenti pada kesulitan-kesulitan faktual. Mengingat ketika menangkap perbedaan ini, kesadaran menangkap dirinya sebagai subjek yang berbeda dari objek. Di sinilah manusia terjerumus jatuh ke dalam kesulitan mendasar tentang kemungkinan dia bisa yakin bahwa dirinya telah mencapai kepuasan inderawi berdasarkan objek yang sebenarnya dan bukan objek menurut anggapannya. Apabila begitu, maka juga dapat diduga bahwa pemasangan patung Ganesha pada zaman modern merupakan bentuk ‘manipulasi sradha’ yang mungkin saja dapat menjadi ‘obat bhakti’ untuk sementara waktu karena sradha senantiasa berkembang melampaui batas-batas pikiran dan kondisi objektif.

Dikatakan demikian karena kekuatan shakti begitu kuat-erat menguasi alam raya sehingga yang maya tampak nyata. Mungkin inilah petanda zaman kali yang membawa manusia hidup dalam dunia ilusi. Dalam pantheon dewa-dewa Hindu, Kali adalah Shakti dari Siwa, kekuatan Dewi Uma atau Parwati atau Durga, ibunda dari Ganesha. Dalam filsafat Sankhya dijelaskan bahwa Siwa (purusa) dan Shakti (prakrti) adalah dua azas yang hakikatnya berbeda dan berlawanan, tetapi selalu hadir dalam realitas dengan kesepasangannya. Siwa sendiri adalah simbol kesucian dan cinta kasih. Hakikat moral dan spiritual yang mengatasi segala keadaan dan keberadaan. Kondisi ideal yang menjadi orientasi seluruh ‘tradisi bijak-bajik’. Apabila Shakti hadir dalam ilusi kosmis relatif, maka sebaliknya Siwa hadir dalam kesunyataan absolut. Malahan Dharma Sunya menjelaskan bahwa Dewa Siwa adalah keheningan sempurna. Dalam wujud kasarnya beliau adalah alam semesta ini yang dilihat menjadi bangunan suci. Kalau diringkas menjadi Gunung Mahameru di Himalaya. Kalau diringkas menjadi meru seperti di Pulau Bali. Kalau lagi diringkas menjadi diri saya sendiri.

Ini sebabnya saya pun memasang patung Ganesha di ‘ruang bel¬ajar’ dan senantiasa memujanya, ‘shri Ganeshaya namah’, puja-puji ke hadapan Ganesha, dewa kebijaksanaan dan keberhasilan, sang penganugerah kesempurnaan pengetahuan sejati, Kebenaran-Kebijaksanaan-Kebahagiaan. Semoga tuntunan, perlindungan, dan kekuatan bhudi-sidhi Ganesha senantiasa mengawali setiap langkah pemuliaan harkat dan martabat manusia. Dengan begitu, kemajuan sains modern tidak harus dipertentangkan dengan kepercayaan tradisional. Mengingat bhudi-sidhi Ganesha sebagai dewa ilmu pengetahuan akan mendamaikan keduanya untuk kesempurnaan hidup dan kehidupan manusia.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...