modernitas

Adat Versus Modernitas
(Sabda, No. 06 Januari 2011:hal.37—38)

I Wayan Sukarma

Tradisi Bali setidak-tidaknya memiliki tiga sumber nilai, yaitu puri, griya, dan pura. Puri mengalirkan prinsip-prinsip moralitas, griya mengembangkan religiusitas, dan pura melestarikan sradha-bhakti. Selain berperan menjadi tempat suci untuk meneguhkan hubungan dengan Hyang Widhi, juga pura berfungsi untuk mempererat hubungan sesama umat Hindu. Ketiga sumber nilai inilah penyangga kehidupan desa pakraman, lembaga sosial tradisional, tempat berseminya tradisi Bali. Ini sebabnya dinamika dan dialektika komunitas tradisional ini begitu terikat dan tergantung pada kehidupan puri, griya, dan pura. Dikatakan terikat karena ketiganya merupakan dasar komitmen sosio-kultural warga desa pakraman dan dikatakan tergantung karena ketiganya merupakan simbol kasukertan desa pakraman. Begitulah tradisi Bali dengan spirit kolektivisme merupakan cara pandang orang Bali ketika hendak memelihara dan membangun dunia adat yang mereka warisi turun-temurun.
Akan tetapi, pada masa kini ketiga pilar tradisi Bali itu harus berhadapan dengan zaman kemajuan, suatu zaman yang hampir menindas seluruh masyarakat dan kebudayaan di dunia. Zaman kemajuan yang akrab dikenal modernisasi telah menciptakan kehidupan yang serba maju, efektif, dan efisien. Anak kandungnya yang disebut globalisasi, bahkan telah menyatukan ruang-ruang parsial dan waktu temporal sedemikian rupa sehingga dunia seolah-olah disatukan menjadi semacam kampung. Malahan kemajuan komunikasi dan informasi telah melipat dunia menjadi selebar layar televisi, dunia tanpa batas. Dengannya seolah-olah manusia mengalami perluasan inderawi sehingga menjangkau perkembangan kebudayaan di seluruh dunia dari sini-sekarang. Perluasan semacam ini telah menyebabkan ketiga pilar tradisi Bali tersebut tiba-tiba saja harus berhadapan dengan konstruksi budaya yang berdiri di atas prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, dan emansipasi. Proses deferensiasi budaya dan otonomi sosial semacam ini mendorong suatu perubahan sosial dan budaya secara massif yang berkaitan dengan masyarakat kapitalis dan industri. Akibatnya, desa pakraman senantiasa berada dalam proses pluralisasi nilai, norma, makna, dan simbol yang menjurus pada segmentasi budaya dan kemajemukan pandangan hidup.
Kalau meminjam rumusan Francis M. Abraham tentang modernisasi (dalam Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan), maka keberadaan desa pakraman tersebut tidak lepas dari proses komprehensif pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan ekspansi atau perluasan budaya. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan secara progresif tingkat kesejahteraan ekonomi warga desa pakraman secara umumnya. Mobilisasi sosial merupakan proses keterlibatan warga desa pakraman yang lebih besar dalam kelompok kelompok sekunder, pola pola baru, sosialisme antisipatoris, dan pembentukan kelompok referensi baru yang terpisah dari kelompok-kelompok tradisional. Kemudian, ekspansi atau perluasan budaya merupakan proses penyempitan bidang aksi warga desa pakraman yang bersifat preskriptif, perluasan rentangan alternatif alternatif, dan memulai pola pola sosialisasi dan tingkah laku baru.
Peningkatan kesejahteraan warga desa pakraman dapat diamati melalui kebutuhan dan perilaku komsumsi mereka misalnya, secara signifikan terjadi peningkatan konsumsi energi material. Kebutuhan akan tingkat teknologi yang semakin tinggi sehingga tanpa teknologi seolah-olah mereka tak berdaya. Dominannya sektor sektor sekunder dan tersier daripada sektor primer yang mendorong munculnya perilaku konsumtif, bahkan cenderung menjadi hedonis. Diversifikasi produksi dan distribusi yang mendorong kebutuhan semakin variatif dan kompleks. Pemisahan kerja dengan rumah tangga yang secara signifikan mempengaruhi perubahan pola hubungan anggota keluarga. Begitu juga telah terjadi peningkatan diferensiasi struktur ekonomi dan tumbuhnya spesialisasi peranan ekonomi termasuk unit unit kegiatan ekonomi produksi, konsumsi, dan pemasaran.
Semakin meluasnya keterlibatan sosial warga desa pakraman di luar lembaga-lembaga tradisional dapat diamati melalui, antara lain terjadi peningkatan partisipasi melalui perkumpulan sukarela dan kelompok-kelompok sekunder lainnya. Kesa¬daran sosial yang besar dipermudah oleh kemajuan transpor¬tasi dan komunikasi misalnya, undangan untuk upacara metatah dapat dikirim lewat pesan singkat telepon seluler. Revolusi pengetahuan dan perluasan gagasan yang melampaui sistem budaya dan tatanan sosial komunitas pakraman yang ditandai oleh semakin tingginya tingkat penetrasi pengetahuan dan keterampilan global ke wilayah desa pakraman. Manipulasi psikologis melalui penghalusan keterampilan ideasional yang didukung oleh media massa. Mobilitas sosial yang meningkat mengarah pada pencairan struktur kelas, bahkan mobilitas fisik yang meningkat telah mendorong ke arah urbanisasi. Integrasi politik melalui intensifikasi kekuasaan badan badan perundang undangan, administrasi, dan politik negara. Perubahan bentuk partisipasi khusus¬nya perluasan hak hak sipil dan sosial ke strata yang lebih rendah. Begitu juga telah terjadi perluasan bentuk bentuk konsumsi modern termasuk demokrasi bidang pendidikan.
Kemudian, terjadinya perluasan budaya di wilayah komunitas tradisional yang ditandai oleh proses penyempitan aksi yang bersifat preskriptif, seperti semakin tinggi tingginya tingkat permainan moral di wilayah desa pakraman. Peningkatan angka melek huruf, bahkan melalui pendidikan luar sekolah (kejar paket) telah sukses menciptakan masyarakat cerdas. Ekspos media massa yang lebih besar, bukan saja menyangkut urusan kegirangan, tetapi juga urusan kedukaan. Perluasan kawasan rekreasi, hiburan, dan nilai nilai budaya di luar keluarga, kekera¬batan, serta kelompok lokalitas misalnya, bukan hanya pesathian yang berkembang pesat, tetapi juga pusat-pusat karaoke semakin semarak. Sikap meragukan tradisi telah mendorong munculnya penilaian kembali terhadap lembaga¬-lembaga adat dan juga nilai nilai serta tujuan tradisional termasuk menyaji¬kan alternatif yang dapat menggiatkan sistem sistem yang asing. Selain itu, juga terjadi pembentukan struktur lembaga baru, prosedur baru, dan orientasi nilai yang kiranya mampu menghadapi tantangan perubahan yang berlangsung cepat.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa warga desa pakraman telah terperosok begitu dalam ke lorong zaman kemajuan. Dalam konteks ini wacana Ajeg Bali kedengarannya menjadi suara keterdesakan desa pakraman dalam gelombang perubahan yang berlangsung begitu cepat dan kompleks. Ini menandai daya tahan tradisi Bali begitu rapuh di tengah-tengah kuatnya terjangan modernisasi dan globalisasi. Identitas desa pakraman secara sosio-kultural menjadi semakin kabur dan baur di tengah-tengah benturan kebudayaan global. Memang tidak dapat dipungkiri, modernisasi dan globalisasi telah menghegemoni dan mendominasi masyarakat dan kebudayaan di dunia sehingga tidak ada satu bangsa pun yang dapat menolak kehadirannya. Ketakberdayaan ini sebagaimana diramalkan oleh Francis Fukuyama (dalam The End of History And The Last Man) ketika ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang menjadi pemenang dalam perang dingin akan menjadi akhir dari sejarah manusia. Ini sebabnya kebertahanan tradisi Bali pada masa kini begitu tergantung pada ketiga penyangganya terutama kesiapan mental warga desa pakraman menyikapi modernisasi dan globalisasi tersebut.
Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang kehidupan sehingga memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Selain berbagai dimensi kehidupan yang mengalami redefinisi, juga terjadi diferensiasi dimensi kehidupan secara meluas yang menunjukkan sifat relatif dari praktik sosial. Akibatnya, cara warga desa pakraman mempraktikkan agamanya juga mengalami perubahan yang ditandai dengan adanya transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan. Perubahan ini bukan hanya karena agama mengalami kontekstualisasi, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikannya merupakan budaya global dengan sistem nilai yang berbeda dan beragam. Dalam konteks ini, mengingat agama Hindu merupakan inti dari tradisi Bali sehingga desa pakraman perlu menata kehidupan beragama sebagaimana yang diwarisi secara turun-temurun. Dengan begitu, tradisi Bali tidak kehilangan semangat untuk menghadapi tantangan zaman.
Ini sebabnya agama Hindu begitu penting untuk membangun identitas dan jati diri desa pakraman karena kehidupan desa pakraman memang tidak bisa dipisahkan dari kahyangan tiga. Begitu juga prinsip tri hita karana perlu diturunkan sedemikian rupa karena di sini tempat tinggalnya kesejahteraan. Kesejahteraan ini jauh berbeda dengan konsep kesejahteraan yang diidolakan oleh modernisasi yang mengabaikan nilai ketuhanan dan kolektivitas. Pada nilai yang diabaikan inilah letak kelemahan modernisasi sehingga nilai-nilai ini sekaligus dapat menjadi kalimosadha untuk menghadapinya. Di sini wacana Ajeg Bali perlu dikumandangkan menjadi genderang perang untuk mencegah semakin berkembangnya ateisme dan individualisme ke wilayah desa pakraman. Pengembangan konsep kahyangan tiga dan tri hita karana perlu dilakukan terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mengingat kahyangan tiga merupakan inti-landasan (untuk membangun dan menata) sistem nilai (budaya) desa pakraman dan tri hita karana merupakan fondasi (untuk membangun dan menata) sistem norma (sosial) desa pakraman. Apabila harmoni pikiran terwujud dengan prinsip-prinsip hukum alam dan keselarasan tindakan terbentuk melalui prinsip-prinsip moral dan ketuhanan, maka keindahan hidup sudah pasti tercapai. Kepastian inilah sepenuhnya berada pada keajekan tradisi Bali. Keajekan tradisi ini menjadi cita-cita dan idola yang seharusnya diperjuangkan oleh ketiga pilar tradisi Bali dalam semangat mempertahankan desa pakraman dari gempuran modernisasi dan globalisasi.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...