PENDIDIKAN UNTUK MANUSIA DEWASA
I Wayan Sukarma
”Pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan isinya”, demikian pandangan para filosof. Artinya, pembicaraan tentang pendidikan adalah perbincangan mengenai manusia itu sendiri. Perbincangan ini memunculkan beragam pandangan tentang manusia misalnya, manusia itu makhluk dimensional, bahkan multidimensional. Semakin banyak khazanah pemikiran yang hendak mengungkapnya, malahan lebih banyak lagi dimensi manusia yang tenggelam menjadi misteri. Misalnya, menurut Upanisad manusia itu Atman-Brahman dan Rg Veda mengatakan manusia itu seorang musafir, seorang margayayin. Walaupun begitu, manusia tidak berkelana pada ruang-ruang parsial dan temporal (dari satu titik ruang ke titik ruang yang lain). Para guru Vedik mengatakan Jalan (Marga) itu terbentang dari dunia realitas gerak-ke-luar menuju dunia realitas gerak-ke-dalam. Arah proses dunia itu berlangsung dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Kehidupan merupakan gerak-masuk-ke-dalam yang harus dan mesti dicapai, sedangkan benak merupakan gerak-masuk-ke-dalam yang dicapai oleh kehidupan manusia dalam proses dunia realitas yang tercerap inderawi. Dengan demikian, yang paling penting adalah proses dunia dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Keberhasilan kehidupan merupakan proporsional gerak-masuk-ke-dalam yang diusahakan, baik melalui jalan pengetahuan, jalan penyembahan maupun jalan tindakan.
Kemudian, Bhagavad Gita merinci manusia menjadi dua unsur asali, yaitu azas bendani dan azas rohani. Azas bendani merupakan unsur material dan azas rohani merupakan unsur nonmaterial, yaitu hidup yang menjadi jiwa seluruh makhluk. Rincian ini menegaskan, manusia bukan hanya merupakan realitas fisis-kuantitatif, tetapi juga realitas spiritual-kualitatif. Dimensi fisis-kuantitatif mungkin sudah jelas, tetapi dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap tertinggal dalam lambo kesadaran-manusiawi menjadi misteri. Inilah tantangan yang mendorong upaya manusia hendak mengungkap dan memahami dimensi dirinya secara utuh dan menyeluruh. Upaya ini ditujukan bagi perkembangan harkat-martabatnya yang pada hakikatnya merupakan sifat warisan dari sifat Tuhan (seperti sebuah gedung yang kokoh merupakan sifat warisan dari sifat batu yang kokoh membangun gedung itu). Akibat dari sifat warisan ini sudah menjadi persoalan sejak ikatan dua unsur asali dimulai, seperti diterangkan dalam Bhagavad Gita (II:14): ”hubungan sang roh dengan benda-benda jasmaniah menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar”. Kesabaran menerima akibat dari ikatan ini (dharma), bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit, tetapi usaha sadar manusia pada sepanjang eksistensi kehidupannya.
Begitulah manusia senantiasa berusaha mendidik dirinya di dalam dharma. Ia selalu mencoba membangun dan menemukan keselarasan antara pengetahuan dan perilakunya, ngelmu-laku. Manusia berusaha mengikis kemunafikan dan sifat-sifat hipokritnya. Ini menyiratkan, pendidikan merupakan persoalan yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Pendidikan tersebar dalam seluruh kegiatan kehidupan masyarakat manusia dan karenanya seluruh kegiatan kehidupan manusia senantiasa mengandung makna pendidikan. Pendidikan begitu jelas, ketika manusia mulat-sarira tafakur dalam permenungannya; ketika manusia bersama-sama melakukan kegiatan kemasyarakatan; ketika manusia menjalin hubungan berimbang dengan alam; bahkan pendidikan semakin jelas, ketika manusia dalam ibadat mengakui dan menyatakan hubungannya dengan Tuhan. Mengingat pengalaman manusia sepanjang eksistensi kehidupannya bermakna pendidikan sehingga seluruh kegiatan pendidikan berada dalam proses hidup dan perkembangan kehidupan manusia. Jika seluruh pendidikan merupakan persoalan kehidupan manusia, maka persoalan pendidikan juga mencakup seluruh persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Ini menegaskan, tujuan pendidikan juga menjadi tujuan kehidupan manusia.
Cakupan persoalan pendidikan itu menunjukkan, kegiatan pendidikan bukan hanya upaya untuk mengerti dimensi fisis-kuantitatif manusia, tetapi juga memahami misteri dimensi kehidupan spiritual-kualitatif. Memahami misterti ini bukanlah upaya mudah, bahkan kini menjadi semakin tidak mudah karena zaman kemajuan telah mendorong manusia begitu jauh terperosok ke lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonis-materialistik. Dimensi moralitas semakin tertindas di bawah dimensi rasionalitas sehingga dimensi kehidupan spiritual-transendental semakin terabaikan dan terlupakan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kontemporer dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok (padahal perkembangan manusia bergerak maju menuju ke masa depan). Pemaknaan kehidupan seperti ini menyebabkan kehidupan terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik pusatnya (manusia menjadi pusat jagad raya). Dalam keadaan demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segalanya dan karenanya ia memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan potensi alam dan sesamanya. Begitulah manusia terjebak pada sepanjang permainan kepentingan dan kekuasaan yang mendorongnya untuk mengikuti arah kehidupan dari gerak-ke-dalam menuju gerak-ke-luar. Untuk menghindari terlalu jauh keluar dari tujuan hidupnya, manusia perlu lebih erat terlibat dalam kegiatan pendidikan menuju kedewasaan dan kematangan diri.
Dalam kegiatan pendidikan pertumbuhan dan perkembangan manusia didorong menuju kedewasaannya hingga terbentuk kemandirian untuk mengelola kelangsungan kehidupannya. Kedewasaan ini ditandai, antara lain oleh semakin kuatnya fungsi akal untuk membedakan realitas kehidupan menjadi fakta-fakta; semakin meningkatnya kemampuan nalar untuk membangun keterhubungan fakta-fakta kehidupan menjadi pengetahuan bernilai kebenaran (baik abstrak, teoretis, maupun praktis); dan semakin luhurnya kearifan budi untuk memilih fakta-fakta kehidupan sesuai dengan harkat- martabatnya sendiri. Kedewasaan inilah kearifan sehingga manusia dapat menghargai keadilan, menghormati tatanan kehidupan, dan memuliakan kemanusiaannya. Dengan kedewasaannya, manusia berusaha menjaga harmoni kehidupan dalam lingkungan yang memberikannya pengalaman pendidikan. Penghayatan terhadap pengalaman ini menyebabkan manusia mampu menyatu-fokuskan segenap pikiran, perasaan, dan kehendaknya pada kegiatan produktif bagi pengembangan kodrat hidupnya (makhluk ciptaan). Pada gilirannya upaya ini membangun kesadaran tentang rasa-diri-manusia sehingga manusia tidak menganiaya kehidupan karena ia tahu harus melindunginya. Begitulah manusia dewasa secara mandiri bertanggung jawab terhadap pengelolaan kelangsungan kehidupannya. Walaupun kemandiriannya sudah terbentuk, bukanlah berarti manusia berhenti melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan.
Setelah kedewasaannya dicapai, manusia tetap melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan menuju kematangan dirinya. Kematangan ini ditandai, antara lain oleh semakin berkembangnya potensi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan intelektual membimbing manusia pada kebenaran, kecerdasan emosional melindungi manusia dalam kebajikan, dan kecerdasan spiritual menuntun manusia menuju keselamatan. Ketiga potensi kecerdasan ini digunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Dengan semakin berkembangnya ketiga potensi kecerdasan ini manusia sanggup menolong dirinya sendiri dan sesama, mampu menjaga kelestarian alam, dan sujud beriman kepada Tuhan. Begitulah dalam kegiatan pendidikan manusia berusaha menjadikan dirinya semakin bajik dan adil terhadap lingkungan yang menjadi kancah pendidikan itu sendiri. Dalam kegiatan pendidikan manusia berusaha berperilaku arif-berkeadilan terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Upaya manusia mendidik dirinya ini merupakan hakikat kegiatan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran (kehidupan). Dengan pembelajaran manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai kebenaran. Nilai kebenaran inilah yang menjadi landasan bagi terbentuknya perilaku bajik-berkeadilan dan dengannya masyarakat manusia membangun kebudayaan.
Kebudayaan inilah upaya manusia membangun keterhubungan berimbang dan berkeadilan, baik horizontal maupun vertikal. Secara horizontal misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya untuk membangun hubungan secara arif-berkeadilan dengan dirinya sendiri, sesama, alam, dan Tuhan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia berupaya mengembangkan moralitas (dalam rangka pengendalian diri) sehingga ia mampu mengelola kehidupannya menurut azas kecukupan (bukan menuruti keinginan). Azas kecukupan ini mewajibkan, manusia harus mengatur dan mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan pengetahuan dan kebutuhannya tanpa mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Upaya mengatur dan mengontrol tingkah laku ini sejalan dengan kodrat manusia yang mewarisi sifat-sifat Tuhan, sat-cit-ananda. Sifat-sifat ini berupa cipta, kemampuan mengerti kebenaran; karsa, kemampuan memahami kebaikan; dan rasa, kemampuan mengapresiasi keindahan. Sifat-sifat warisan ini dijadikan landasan untuk mendirikan filsafat-hidup (pengetahuan universal tentang asal, eksistensi, dan tujuan kehidupan); menentukan pedoman-hidup (pengetahuan tentang prinsip kebenaran untuk mencapai tujuan kehidupan); dan mengatur perilaku-hidup (pengetahuan tentang langkah-langkah kehidupan) searah dengan tujuan-hidup (mencapai kebenaran, kebaikan, dan keindahan).
Begitulah dharma mengikat manusia dalam tindakan sehingga karma tidak bisa dihentikan dan ditiadakan. Walaupun begitu, manusia dewasa-matang tidak terjebak dalam tindakannya sendiri karena ia mengapresiasi karma sebagai proses hidup yang berlangsung dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Ia memang berkelana, tetapi bukan dari dunia realitas gerak-ke-dalam menuju dunia realitas gerak-ke-luar. Ia pun sepenuhnya berpetualang pada sepanjang jalan-hidupnya dengan kendali budi, ’sang penentu’ filsafat-hidup, pedoman-hidup, perilaku-hidup, dan tujuan-hidup. Mengingat apresiasi kehidupan manusia sepenuhnya bersandar pada budi sehingga budilah yang menjadi inti dan sumber pendidikan. Dalam budinya manusia mengapresiasi proses hidup dan perkembangan kehidupannya karena melalui budilah manusia menjadi bagian integral dari Budi-Kosmis. Melalui budinya manusia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Mahat Yang Agung. Demikian juga bagi pemikiran Yunani manusia adalah bagian khas dari Logos, yaitu Sang Mahat itu sendiri. Kesatuan Budi inilah yang menjadi tujuan pendidikan dan sekaligus menjadi tujuan kehidupan manusia. Dalam kesatuan Budi, manusia tidak lagi memisahkan dunia-objektif dari dirinya, melainkan dirasakan menjadi miliknya sendiri. Ketika kepemilikan ini dilekatkan ke dalam diri seseorang, ternyata tak ada satupun yang harus dan mesti dicapai. Dengan begitu, manusia merasakan kepenuhan dan menjadi bahagia.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com