BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA
I Wayan Sukarma
I PENDAHULUAN
Perkembangan kemajuan zaman yang disertai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada berbagai bidang kehidupan akhirnya, membuka pola interaksi antarmasyarakat dari berbagai latar belakang. Demikian juga globalisasi yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang industri, investasi, informasi, dan individualisasi memberi peluang dan sangat memungkinkan jaringan informasi dan komunikasi semakin terbuka. Hal ini menciptakan jarak dan batas-batas kebudayaan bangsa-bangsa di dunia semakin kabur dan mendorong semakin cepat terwujudnya bumi ini sebagai sebuah desa dunia. Dalam hal ini kapitalisme dan materialisme telah secara nyata superaktif memainkan perannya dan menggeser konsentrasi nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke arah netral yang gersang tak bertuan. Selanjutnya hal ini, juga akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan sosial budaya masyarakat dan penurunan kepercayaan terhadap sradha agama.
Hal ini Sebagaimana dijelaskan oleh Sukarma (Dharmasmrti, Volume II (2004:110) bahwa peningkatan kebutuhan hidup yang diiringi oleh peningkatan pendapatan akan berpengaruh secara signifikan pada pola hidup masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumeristis. Pola hidup ini, jika tidak disertai dengan peningkatan pendapatan yang memadai, maka cenderung akan memicu tindakan kriminal dan praktek-praktek premanisme dalam berbagai demensi dan skalanya. Di samping itu kekeliruan pemahaman terhadap adat, budaya, dan agama akibat dari pergeseran orientasi serta terjadinya dekadensi moral yang sangat akut akan melahirkan generasi yang amoral dan kontra produktif terhadap pembangunan. Akhirnya, pengertian dan pemahaman tentang jati diri dan integritas diri sebagai umat Hindu semakin jauh dari arti dan maknanya yang sesungguhnya.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa apabila mencermati situasi dan kondisi tersebut maka agama Hindu harus dipahami secara lebih komprehensip dan holistik. Dikatakan demikian karena bila agama Hindu dipahami secara parsial, yaitu menekankan hanya pada salah satu aspeknya saja maka tidak akan dapat memberikan hasil yang optimal. Walaupun pada prakteknya dalam kehidupan beragama sehari-hari tidaklah mungkin melaksanakan Upacara tanpa memperhatikan Susila dan berpedoman pada Tattwa, atau sebaliknya. Dengan demikian pemahaman agama Hindu secara holistik yang lebih mantap merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali. Mengingat pemahaman terhadap agama yang lebih holistik dan komprehensip merupakan jaminan kecilnya kemungkinan pembacaan terhadap agama secara cauvis dan dangkal. Dengan demikian tidak terjadi, seperti apa yang diibaratkan oleh Svami Vivekananda (2004) bahwa pemeluk agama bagaikan katak yang hidup di dalam sumur kecil. Katak sumur bertanya, “apakah samudera itu lebih luas dari sumurku?”. Jadi, pembacaan yang tepat terhadap agama dapat menyempurnakan citta, buddhi, dan ahamkara, yakni identitas dan jati diri dari makhluk yang disebut manusia.
Kesempurnaan ini memberikan kekuatan dan kekuasaan kepada manusia sebagai pengatur yang sanggup mempengaruhi dunia dan juga sekaligus sebagai yang diatur yang mampu menerima pengaruh dari dunia. Dalam perbuatan mengatur dan diatur tersebut perbuatan manusia dibentuk dan diwarnai oleh tri guna dan dinilai dengan tri kaya parisuda. Oleh karena itu, agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai triguna dan tri kaya parisuda ini perlu dilakukan terhadap teks-teks tattwa Hindu. Artinya, di samping Acara dan Susila, juga Tattwa merupakan salah satu aspek agama Hindu yang harus dan mesti dipahami secara baik dan benar. Akan tetapi dalam pengalaman empiris kehidupan beragama sehari-hari masyarakat Hindu di Bali memiliki minat yang relatif rendah terhadap tattwa. Ini berarti mereka belum mengerti dan memahami konsep ketuhanan (brahmawidya) yang telah menyusupi dan melingkupi sradha-bhaktinya.
Bhuwana Kosa merupakan salah satu lontar termasuk jenis tattwa yang dipandang sebagai lontar tertua dan sumber dari lontar-lontar tattwa yang bercorak Siwaistik. Akan tetapi, masyarakat Hindu di Bali yang menganut agama Hindu paham Siwasiddhanta dengan ajaran Siwatattwa belum memiliki perhatian yang serius dan sungguh-sungguh untuk lebih memahami lontar Bhuwana Kosa. Sehubungan dengan itu, kajian ini hendak memahami dan mendeskripsikan konsep brahmavidya dalam Bhuwana Kosa merupakan kajian yang relevan berdasarkan keperluan umat Hindu di Bali.
Jadi, pada dasarnya kajian ini hendak memahami dan mendeskripsikan konsep brahmavidya dalam Bhuwana Kosa. Dengan demikian, dapat disajikan pertanyaan masalah sebagai berikut. Apakah yang dimaksud dengan brahmavidya dalam agama Hindu? Bagaimanakah brahmavidya dalam Bhuwana Kosa? Berdasarkan permasalahan tersebut maksud kajian ini pada hakikatnya diarahkan untuk mencapai tujuan kajian seperti berikut. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang konsep brahmavidya dalam agama Hindu. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang brahmavidya dalam Bhuwana Kosa.
II. PEMBAHASAN
2.1 Brahmavidya dalam Agama Hindu
Dalam ilmu agama khususnya dalam bidang brahmavidya atau yang dalam agama lain disebut dengan teologi dikenal berbagai ajaran (isme) yang oleh Panitiya Tujuh Belas (1986:12) dijelaskan sebagai paham yang menggambarkan hubungan kepercayaan manusia dengan Tuhan, seperti monoteisme, politeisme, panteisme, monisme, dan henoteisme. Isme artinya kepercayaan atau ajaran. Imam Suprayogo dan Tobroni, (2001:39) mengatakan bahwa monoteisme adalah paham yang berpendapat Tuhan itu hanya satu, Esa, tunggal, dan tak terbilang. Politeisme adalah paham yang mengimani, menyembah, dan memuja banyak Tuhan. Di dalamnya terdapat animisme, dinamisme, dan paganisme yang intinya berpendapat bahwa ada penguasa-penguasa lain di dunia ini selain Tuhan yang berupa benda-benda alam, roh-roh halus, dewa-dewa, makhluk halus, bahkan manusia. Menurut Rahardjo (dalam Imam Suprayogo dan Tobroni, 2001:40) bahwa henoteisme adalah paham yang mengkonsentrasikan diri pada Tuhan yang tunggal, tetapi dalam mitos masih mengakui adanya Tuhan-Tuhan lain.
Menurut Bagus (2002:1092) teologi (brahmavidya) adalah ilmu tentang Allah. Sesungguhnya brahmavidya merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksistensi menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari indrawi tunggal. Objeknya adalah Allah: eksistensi-Nya, esensi-Nya, dan aktivitas-Nya. Dikatakan pula jelaslah bahwa ilmu tentang Allah tidak memberikan pengetahuan tentang Allah yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi sehari-hari. Pernyataan-pernyataan tentang Allah tidak memberikan suatu pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata pengetahuan yang bersifat analogis.
Syukur (dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58) mengatakan bahwa brahmavidya adalah pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang apa yang diwahyukan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa brahmavidya adalah refleksi ilmiah tentang Tuhan. Artinya, brahmavidya adalah ilmu yang ‘subjektif’ yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertakwa berdasarkan wahyu.
Wahono (dalam Abd’Ala, 2002:161) mengatakan bahwa ada empat pilar dalam teologi (brahmavidya) pembebasan, yaitu kemerdekaan yang bersifat kemandirian, kesaudaraan, keadilan sosial, dan kerakyatan dalam arti cinta kepada kemanusiaan. Melalui keempat pilar tersebut, Wahono mengantarkan teologi (brahmavidya) Kristiani kepada keterjangkauan dalam bentuknya yang lebih bersifat praktis sehingga umat Kristiani dapat mengembangkan suatu kehidupan baru yang lebih damai dan sejahtera yang diterangi iman.
Sebagai ilmu yang mempelajari ketuhanan brahmavidya tentu tidak mungkin mampu mempelajari dan mengungkap secara tuntas mengenai hakikat Tuhan karena gejala-Nya tidak tampak dan tak terukur. Oleh karena itu Pedikso (dalam Supryogo dan Tobroni, 2001:58) mengatakan bahwa brahmavidya sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan melalui konteksnya. Dapat juga dikatakan bahwa brahmavidya adalah refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya.
Sementara itu, Darmaputera (dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58) mengemukakan bahwa brahmavidya adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara “teks” dan “konteks”, antara “kerygma” yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa brahmavidya adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dengan cara lain dapat juga dikatakan bahwa brahmavidya adalah pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
Sementara itu, Pudja (1999:3) mengatakan brahmavidya atau brahma jnana tattva adalah ilmu tentang Tuhan. Jadi, dalam kitab suci Hindu ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dinamakan brahma vidya atau brahma tattva jnana. Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya, Yang Maha Kuasa. Vidya atau Jnana kedua-duanya artinya sama yaitu ilmu. Tattva berarti hakikat tentang Tat atau “Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman. Tattva Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan brahmavidya dalam agama Hindu adalah brahma tattwa jnana, yaitu ilmu tentang Tuhan. Ajaran Hindu adalah bersifat monoteistis, yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dikatakan demikian karena di dalam Chandogya-Upanisad, IV.2.1 ditegaskan “Ekam Eva Advityam Brahman”, (“Hanya ada satu Tuhan (Brahman) tidak ada yang kedua”). Pada mantram Trisandhya dikatakan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit”. (‘Tuhan hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua)’). Di dalam Rg. Weda I.164.46. disebutkan “Ekam Sat Viprah bahudha vadanti”, (“Hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama”). Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan, “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh”. (‘Lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang lainnya’). Demikian pula dalam mantra, Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diwujudkan sebagai pranawa dengan suku kata suci OM.
Dalam Siwa Tattwa (1999:25) disebutkan bahwa Tuhan dalam agama Hindu Indonesia adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini berarti Yang Menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Dalam sastra-sastra, baik lontar maupun dalam puja astawa saat upacara keagamaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa disebut dengan Bhatara Siwa. Artinya, umat Hindu di Indonesia termasuk di Bali yang telah memeluk agama Hindu secara turun temurun adalah memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa.
Dalam Siwa Tattwa dijelaskan pula bahwa ajaran-ajaran seperti tersebut di atas sering disebut ajaran Saivasiddhanta. Di Indonesia Saivasiddhanta ini tampak jalinannya dengan ajaran Upanisad (terutama Svetasvatara), kitab-kitab Purana, Samkya, Yoga, Vedanta, dan dari kitab-kitab Tantra. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa semua ajaran-ajaran itu mengalir dari kitab suci Weda. Artinya, Weda adalah sumber pertama ajaran agama Hindu walaupun wujud dan pelaksanaannya dalam kehidupan beragama Hindu berbeda-beda, tetapi hakikat jiwa dan semangatnya adalah sama.
Dalam Weda Tuhan disebut Brahman. Dikatakan bahwa Brahman itu yang pertama ada, satu adanya, bersifat abadi, tak terbinasakan, pencipta, pemelihara, pelebur, raja alam semesta, cahaya tertinggi, pelindung, dan sebagai inti alam semesta. Demikian pula kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari Brahman Tertinggi sebagai satu tanpa yang kedua, tanpa atribut atau penetapan-penetapan, yang identik dengan sang diri terdalam dari manusia. Ia merupakan subyek murni yang eksistensinya tak dapat ditolak menjadi dunia eksternal atau objekltif. Dalam hal ini dapat dikatakan Brahman memiliki dua aspek, yaitu Saguna Brahman dan Nirguna Brahman.
Nirguna Brahman disebut Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi adalah Brahman yang bebas dari guna, Brahman yang tak terbatas, tak terkondisikan dan tanpa sifat. Ia tidak dapat dipahami. Dalam Bhagawadgita. VIII. 3 Sri Bhagavan bersabda, “Yang kekal abadi, maha Agung, adalah Brahman; persemayaman-Nya dalam badan individu dinamakan adhyatman; karma adalah nama yang diberikan kepada persembahan yang melahirkan makhluk hidup di dunia”. Ia tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa sebab, tidak berpribadi. Ia tak berawal, tiada pertengahan, tiada berakhir, berada di mana-mana. Dalam Bhagawadgita. IX. 18 dijelaskan bahwa “Aku adalah tujuan, pengemban, penguasa, Aku adalah saksi, tempat kediaman, tempat perlindungan; Aku adalah kawan, asal mula, akhir kesudahan; Aku adalah dasar, tempat penyimpanan, benih abadi. Bhagawadgita. IX. 19 “Aku adalah pemberani, kehangatan, menahan dan menurunkan hujan, Aku adalah keabadian dan kematian, sat dan asat, wahai Arjuna.
Saguna Brahman yang juga disebut Apara Brahman adalah Ia yang Kuasa yang terbatas, yang tersangkut dengan dunia pengalaman dan jiwa perseorangan. Ia adalah Isvara. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IV.6 bahwa “Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku”. Ia yang menciptakan, memelihara, dan melebur dunia ini. Hal ini diuraikan dalam Bhagwadgita, XIV. 3 dan 4, yaitu “Kandungan Ku adalah Maha Brahma (prakrti) dimana aku meletakkan benih (kehidupan) di dalamnya dan dari sanalah adanya semua kelahiran makhluk ini, wahai Arjuna”. “Apapun wujud yang lahir itu, wahai Arjuna, pada kandungan siapapun, Maha Brahma adalah kandungannya dan Aku adalah bapak pemberi benih”. Manawa Dharmasastra, I. 8, juga menjelaskan bahwa “Tuhan menciptakan dari dirinya sendiri semua makhluk hidup yang beraneka ragam”. Ia yang hadir di mana-mana, maha tahu, maha kuasa, pengendali jiwa perseorangan, dan pengendali alam semesta. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IX. 4 bahwa “Alam semesta ini diliputi oleh-Ku dengan wujudKu yang tak nyata”. Ia adalah penguasa hukum karma dan moral. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita. IX. 17 bahwa “Aku adalah Bapa, Ibu, Pelindung, dan Datuk alam semesta ini, Aku adalah objek ilmu pengetahuan, pensuci, Aku adalah Omkara, dan juga Rg, Sama, dan Yayuh”.
Tuhan yang Maha Tinggi digambarkan pada Bhagawadgita. VII. 7 “Tak ada yang lebih tinggi dari pada-Ku, wahai Arjuna, yang ada disini semua terikat pada-Ku bagaikan rangkaian mutiara pada seutas tali”. Tuhan sebagai inti dari semesta dan hakikat dari manusia diuraikan dalam Bhagwadgita. VII. 8 “Aku adalah rasa dalam air, wahai Arjuna; Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari, Aku adalah pranava dalam semua Veda, Aku adalah suara di-ether dan kemanusiaan pada manusia”. Tuhan sebagai nyawa semua insani dijelaskan dalam Bhagwadgita, VII.9 bahwa “Aku adalah keharuman lembutnya tanah dan benderang nyalanya api; Aku adalah nyawanya semua insani dan semangat tapa bratanya para pertapa”. Tuhan sebagai benih abadi dan maha tahu diuraikan dalam Bhagwadgita, VII:10 bahwa “Ketahuilah, wahai Partha, Aku ini adalah benih abdi dari semua makhluk; Aku adalah akal dari kaum intelektual, Aku adalah cemerlangnya sinar cahaya”. Tuhan sebagai tujuan dan keinginan pada semua makhluk dijelaskan dalam Bhagawadgita, VII:11 bahwa “Aku adalah kekuatan dari orang yang kuat, bebas dari keinginan dan nafsu; Aku adalah keinginan pada semua makhluk yang tidak bertentangan dengan dharma, wahai Arjuna”.
Sementara itu, sehubungan dengan keyakinan inklusif Brahmanisme dan Non-Brahmanisme, Yayasan Sanatana Dharma Surabaya (2000:20-21) menyajikan sebagai berikut.
(1) Hanya ada satu realitas yang biasanya disebut Brahman dan dunia bukanlah nyata atau palsu.
(2) Doktrin emanasi merupakan pemikiran terbaik dalam Pancatantra dan Bhagavata Purana. Di sini emanasi yang lebih awal belum terkontaminasi ketimbang emanasi berikutnya. Dengan jalan yang sama, satya yuga dan treta yuga lebih baik dari yuga berikutnya.
(3) Secara umum Hinduisme mengajarkan siklus penciptaan dan peleburan tanpa akhir.
(4) Dengan doktrin emanasi selanjutnya timbul ajaran involusi (keterlibatan).
(5) Dewa atau para dewa tiada lain adalah manifestasi realitas tunggal yang disebut Brahman. Oleh karena itu, avataravada merupakan implikasi alami dari emanasi. Dikatakan demikian, karena segala sesuatunya merupakan manifestasi dari Brahman, maka jiva dapat mencari dan mencapai penyamaan dengan-Nya.
(6) Umumnya Hinduisme mengajarkan doktrin avidya sebagai penyebab utama kemunculannya di dunia, melalui siklus kelahiran dan kematian serta penderitaannya.
(7) Adanya badan disebabkan oleh karma dan itu merupakan noda. Ia merupakan produk avidya dan dapat dilenyapkan hanya melalui jnana.
8) Bahkan serangga dan pepohonan merupakan emanasi dari Brahman, sehingga mereka juga merupakan objek penghormatan, pemuliaan, dan ahimsa.
Dalam Siwatattwa dijelaskan bahwa Tuhan sebagai Parama Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang masih murni, belum dipengaruhi oleh Acetana (Maya), belum menggunakan kesaktiannya, yaitu Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman. Tuhan sebagai Sada Siwa adalah Tuhan yang mulai kena pengaruh Acetana (Maya), sehingga memiliki guna, sakti, dan swabhawa. Dalam hal ini, Tuhan sudah menggunakan kesaktiannya atau kekuatannya, yaitu Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Sebaliknya, Tuhan sebagai Siwa (Siwatma) adalah Tuhan yang menjadi sumber hidup, yaitu sebagai atma atau jiwa jagat dan seluruh makhluk.
Masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal Brahma Vidya atau Brahma Jnana Tattwa dengan sebutan Tattwa yang berarti hakikat tentang Tat atau “Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman. Hal ini diterima sebagai salah aspek dari agama Hindu di Indonesia (termasuk di Bali), di samping Susila dan Acara (Upacara). Ketiganya itu, yaitu tattwa, susila, dan acara dikenal sebagai kerangka dasar agama Hindu di Bali. Ajaran tattwa lebih dikenal dengan sebutan Siwatattwa yang merupakan kelompok lontar tattwa yang bersifat siwaistik. Termasuk ke dalam golongan ini, antara lain Buana Kosa, Wrspatitattwa, Tattwajnana, Sang Hyang Mahajanana, Ganapatitattwa, Buana Sangksepa, dan Jnanasiddhanta. Lontar yang disebutkan pertama sajalah yang akan dijadikan pusat bahasan pada kajian ini seperti dijelaskan berikut di bawah ini.
2.2 Brahmavidya dalam Bhuwana Kosa
Bhuwana Kosa adalah sebuah lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang bercorak Siwaistik. Lontar ini terdiri atas sebelas bab yang disebut dengan patalah dan 487 sloka. Poko-pokok isi secara keseluruhan Bhuwana Kosa (Brahma Rahasyam) alih aksara dan alih bahasa, 1994, diterjemahkan oleh tim penerjemah yang terdiri atas Rai Mirsha, Sura, Maka, Djapa, Sujana dan Sunu diterbitkan oleh Upada Sastra di Denpasar dapat distrukturisasi sebagai berikut.
(1) Patalah I berjudul Brahma Rahasyam, Pretamah Patalah terdiri atas 33 sloka.
(2) Patalah II berjudul Brahma Rahasyam, Dwitiyah Patalah terdiri atas 20 sloka.
(3) Patalah III berjudul Brahma Rahasyam, Tritiyah Patalah terdiri atas 80 sloka.
(4) Patalah IV berjudul Buana Kosa, Catur Patalah terdiri atas 76 sloka.
(5) Patalah V berjudul Brahma Rahasyam, Panca Patalah terdiri atas 52 sloka.
(6) Patalah VI berjudul Jnana Siddhanta, Pretamah Patalah terdiri atas 4 sloka.
(7) Patalah VII berjudul Basma Mantra terdiri atas 30 sloka.
(8) Patalah VIII berjudul Jnana Sangksepa terdiri atas 40 sloka.
(9) Patalah IX berjudul Buana Kosa, Nawa Patalah terdiri atas 44 sloka.
(10) Patalah X berjudul Siddhanta Sastra, Dasa Patalah terdiri atas 35 sloka.
(11) Patalah XI berjudul Buana Kosa, Siwopadesa Samaptam terdiri atas 75 sloka.
Secara garis besarnya isi Buana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama Brahmarahasyam dan kedua Jnanarahasyam. Brahmarahasyam berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dan Bhatara Siwa tentang Siwa yang bersifat sangat rahasia. Percakapan ini diuraikan dalam patalah I sampai dengan patalah V. Selanjutnya, Jnanarahasyam berisi percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara, yaitu tentang pengetahuan untuk memahami Siwa yang bersifat rahasia. Percakapan ini diuraikan dari patalah VI sampai dengan patalah XI.
Tuhan dalam Buana Kosa disebut dengan Bhatara Siwa, Yang Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas, tak termusnahkan, dan sebagainya. Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, I. 19, yaitu “Tan kareketan mala, tan palwir, tan pagatra, wypaka, yonggwan Sang Hyang Astasiwa, tar pacala, wisesa ya”, (Tanpa dosa, tanpa wujud, tanpa rupa, tetapi menguasai atau memenuhi alam. Itu tempat bersemayam Sang Hyang Astasiwa, sangat utama tanpa cela). Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, IV.44 disebutkan bahwa “Gunottamah niralambhah, nirgotra nissaraninah, ati parama sunyantam, nirbhanan niskalam prabhuh. Uttama ta sira dening asta guna, nirrassraya tar pagotra, tan pawak, atisaya ta sira ring wisesa, sunya malilang tejanira”, (Beliau sangat utama, karena memiliki delapan keakhlian, tanpa bantuan, tanpa rupa dan tanpa wujud, sangat sakti, sinar beliau sangat halus dan cemerlang).
Bhatara Siwa sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam alam Brahma dijelaskan dalam Buana Kosa. II. 14, yaitu “Na rupam (ia yang tanpa rupa), na warnnam (tanpa warna), na rasam (tanpa rasa), na gandham (tanpa bau), na sabdam (tanpa suara), asparam (tak teraba), anamayam (tak terkena sakit), acintyam (tak terpikirkan), anadi madhyantam (tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas), asangkirnnan (tak tercampur), agatham (tanpa wujud), aracanam (tanpa rupa dan warna), adwityam (tak ada yang melebihi dalam hal keunggulan), na calitam (tak goyah), alinggakam (tanpa lingga), acyutam (tak susut), aksayam (tidak berkurang), anirgatam (tanpa perbuatan), aspreham (tanpa keinginan), agarbbha janma maranam (tidak lahir dari kandungan dan tanpa kematian), arogam (tanpa sakit), asokam (tanpa susah), awedhanam (tanpa penderitaan), asangsaram (tanpa sangsara), nirmalam (tanpa noda), na kalam (tanpa waktu), na kasam (tanpa angkasa), na samwatsara (tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan malam), asandhyangsam (tanpa senja kala), na muhurta (tanpa kurun waktu), na welakastam (tanpa matahari berjalan kearah utara, tanpa matahari berjalan di tengah-tengah), na daksinayanam (tanpa matahari berjalan di garis Khatulistiwa), animepyam (tanpa kerdip, tenang), sunyam (sepi), dhyawan (selalu ingat), waran (utama), satyam (setia), witam (sangat sepi dan hampa), swaccam (bersih), kewalyam (hampa), nirasrayam (tanpa bantuan atau perlidungan), Siwam (ia juga disebut Siwa), moksam (ia itu kebebasan yang sejati), nirasradham (tanpa iri hati), nirbanam (itu nirwana), Param Brahma (ia adalah Brahma tertinggi), nirakaram (tidak dapat diumpamakan), na bhaya (tidak terkena bahaya), amretam (tanpa kematian), etam brahmani (demikian wujud alam Brahma).
Bhatara Siwa berada di mana-mana, sangat halus, tak terjangkau, dan tak terpikirkan oleh panca indriya dan pikiran manusia. Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, II.17, yaitu “Bhatara Siwa wyapaka, sira suksma tar keneng angen-angen, kadyangga ning akasa, tan kagrehita dening manah, mwang indriya”. (Sang Hyang Siwa ada di mana-mana, tetapi sangat halus tidak dapat dibayangkan atau dipikirkan. Beliau bagaikan angkasa tidak terjangkau oleh pikiran dan panca indriya). Bhatara Siwa, juga dikatakan menguasai pengetahuan, tanpa awal, tanpa pertengahan, dan tanpa akhir seperti diuraikan dalam Buana Kosa, IV:40, yaitu “Tan padi tan pamaddhya tan panta, wihikan ta sireng sarwwijnana kabeh, nitya ta sira haneng tapo loka, tan kena ring tuhapati”, (Tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Beliau menguasai semua pengetahuan, selalu tinggal di Tapa Loka, terhindar dari ketuaan dan kematian).
Ia tak terbatas digambarkan secara terbatas. Oleh karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti Brahma, Wisnu, Iswara atau Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa, Pasupati, Sarwajna, sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Dalam Buana Kosa, III:9 ditegaskan bahwa “Nihan wibhaga munggwirikang tattwa kabeh, Sarwajnana ngaranya yang andel ing prethiwi, Bhawa ngaranira yang andel ing toya, Pasupati ngaranira yan andel ing Sang Hyang Agni, Isana ngaranira yan umandel ing bayu”, (Itulah perincian Bhatara yang berada pada semua tattwa, Sarwajna namanya bila Ia berada pada tanah, Bhawa namanya bila Ia berada pada air, Pasupati namanya bila Ia berada pada api, Isana namanya bila Ia berada pada angin).
Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana dalam Panca Brahma. Dalam Rg. Veda I. 164. 46 disebutkan bahwa “Indram mitram Varuna agnim ahur atho dvyah sasuparno garutman, ekam sad vipra bahudha vadanty agnim yaman matarisvanam ahuh”. (Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersaayap elok, Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan).
Nama-nama Bhatara Siwa diuraikan secara lebih terperinci dalam Buana Kosa. III:10, yaitu “Bhima ngaranira yang haneng akasa, kinahanan ta sira de ning asta guna, Mahadewa ngaranira yan haneng manah, tan pawak, Ugra ngaranira yan haneng panca tanmatra, Rudra ngaranira yan haneng teja, makawak ahangkara”. (Bhima namanya, bila Ia berada pada angka, Ia ditempati oleh asta guna,. Mahadewa namanya bila Ia berada pada pikiran, Ia tanpa badan. Ugra namanya bila Ia berada pada panca tanmatra. Rudra namanya bila Ia berada pada sinar, Ia berbadankan ahangkara).
Ia bersifat immanent dan transcedent, artinya Ia meresapi segala, hadir pada segala termasuk pada pikiran dan indriya (sira wyapaka). Transcedent, artinya Ia meliputi segala, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Immanent, artinya hadir di mana-mana. Dalam Buana Kosa, I:10 ditegaskan bahwa “Lwir Bhatara Siwa hane ri ya, wyapaka nitya, menget sira tan cala, maweh sira kawruhana dening nina jnana, sira tamar cala irikang jagat kabeh, sthawara janggamarawaknya”, (Keberadaan Sang Hyang Siwa di sana, selalu menyusupi segala, selalu sadar dan tak bergerak, sulit diketahui oleh orang yang tidak berilmu pengetahuan, Beliaulah menggerakkan seluruh dunia, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang). Dalam Buana Kosa. III. 8 dinyatakan bahwa “Ika ta kapasangan ikan tattwa rudradi, ya ta pinaka sarira jagat kabeh, sira wypaka ring rat, sira wisesa, sira mungguh ring tattwa akabeh”. (Itulah rangkaian tattwa Rudra dan sebagainya. Itulah dijadikan badannya bumi seluruhnya. Adapun Bhatara Siwa, Ia meresapi seluruh dunia. Ia amat utama, berada pada semua tattwa (unsur).
Meskipun Ia ini immanent dan transcedent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Oleh karena kerahasiaannya dalam kakawin Arjuna Wiwaha Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dalam Buana Kosa, II. 18 juga dinyatakan bahwa “Sang hyang Apuy hanerikang kayu-kayu, andatan katon, makanimitra suksmanira, yatha, kadyangganing akasa, mangkana ta Bhatara Mahadewa, an hana ring sarwa mawak, ndatar kapangguh sira, makanimitta ng suksmanira”. (Api itu ada pada kayu, namun tidak kelihatan, karena halusnya, ibarat angkasa. Demikianlah Sanghyang Mahadewa, hadir pada semua yang berwujud, tetapi tidak tampak, karena halusnya). Ia ada di mana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Dalam Buana Kosa II. 16 diuraikan bahwa “Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng angen-angen, kadyangga ning akasa de ning manah mwang indriya”. (Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya).
Ia adalah asal dari semua yang ada ini (sangkeng bhatara Siwa sangkanya). Alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya, dan juga manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya. Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, III:67 bahwa “Matangnyan mangkana, apan ikang satwa kabeh lingging tatwa, sangkeng Bhatara Siwa sangkanya, sira pinaka sarira tatwaning satwa kabeh, apan sira karananing dadi kabeh, yata katuturana de sang weruh ring tatwa”, (Apa sebab demikian, karena semua anazir-anasir atau unsur pada hakikatnya bersumber dari Sang Hyang Siwa. Beliaulah menjadi inti jasad anazir-anazir atau unsur, dan Beliau pula yang menyebabkan adanya semua yang ada. Hal itulah yang patut dihayati noleh orrang yang tahu akan hakikat hidup). Penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia disebutkan dalam Buana Kosa, III:76 bahwa “Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama”, (Brahma wujud-Nya waktu menciptakan dunia ini, Wisnu wujud-Nya waktu memelihara dunia ini, Rudra wujud-Nya waktu mempralina dunia ini, Demikianlah tiga wujud-Nya (Trimurti) hanya beda nama). Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu dan Rudra, dalam aksara dilambangkan sebagai Am Um Mam, kesatuan ketiganya adalah Om.
Aktivitas Bhatara Siwa pada waktu mencipta dunia disebut utpatti, pada waktu menjaga dan memeliharanya disebut sthiti, dan pada waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina. Dalam Buana Kosa, VII:25 disebutkan bahwa “Bhatara Brahma sirotpatti, Bhatara Wisnu sira sthiti, Bhatara Rudra sira pralina, nahan tang tiga pinaka sarana ring loka”, (Bhatara Brahma adalah pencipta, Bhatara Wisnu adalah yang memelihara, Rudra adalah pamralina. Demikianlah Dewa yang tiga itu sebagai pelindung). Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, VII:27, yaitu “Sang Hyang Brahma sira magawe jagat, Sang Hyang Wisnu sira rumakseng praja, Bhatara Rudra sira mralayaken rat, ikang rat mwang athawara janggama, yeka pinralinaken de sang Hyang Rudra”, (Sang Brahma menciptakan dunia, Sang Hyang Wisnu melindungi dunia, Sang Hyang Rudra melebur dunia dengan segala isinya, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak. Itu semua diatur oleh Sang Hyang Rudra).
Semua ciptaan-Nya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal. Dikatakan demikian karena segala wujud ciptaan-Nya itu dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu akan kembali kepada-Nya. Mengingat Ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini (mijil sakeng sira, lina ri sira muwah). Dalam Buana Kosa, III:80 disebutkan bahwa “Sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya”, (Seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga). Hal ini, dijelaskan pula dalam Buana Kosa, III:69 bahwa “Mangkana pwa Bhatara Siwa, irikang tattwa kabeh, ri wekasan lina ri sira muwah, nihan dretopamanya, kadyanggining wereh makweh wijilnya, tunggal ya sakeng wway”, (Demikianlah Sang Hyang Siwa pada semua unsur, pada akhirnya semuanya itu akan lenyap kembali pada Beliau. Begini ibaratnya, seperti buih banyak sekali muncul, tetapi sumbernya satu yaitu air). Mengenai peleburan dunia ini diuraikan pula dalam Buana Kosa. III. 71, yaitu “Sira Bhatara Rudra, nga, sira ta rumaksa ikang rat kabeh, yawat ri kalaniran pangraksa, tawat irika ta ya hananya nitya, anglinaken pwa sira wekasan, umantuk ta ya kabeh ri sira juga”, (Beliau Sang Hyang Rudra, Beliau menjaga seluruh dunia. Pada saat Beliau menjaga, pada saat itulah keadaannya kekal. Akhirnya, juga melebur dan akhirnya semua itu akan kembali juga pada Beliau).
III SIMPULAN
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai kerikut.
(1) Buana Kosa merupakan salah satu lontar tattwa yang bercorak siwaistik berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatara Siwa tentang Brahmarahasyam, yaitu percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara tentang Jnanarahasyam.
(2) Dalam kitab suci Hindu, ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dinamakan brahma vidya atau brahma tattva jnana. Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberikan kehidupan pada semua ciptaan-Nya, Yang Maha Kuasa. Dalam Upanisad Tuhan disebut Brahman, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman.
(3) Dalam Buana Kosa Tuhan Yang Maha Esa disebut Bhatara Siwa. Beliau tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas, tak termusnahkan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam manifestasinya sebagai Trimurti Bhatara Siwa adalah Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Rudra/Iswara sebagai pelebur.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filasafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mirsha, Rai, Gde Sura, I.B Maka, Wayan Djapa, Nyoman Sujana, I. B Sunu, 1994, Buana Kosa alih aksara dan alih bahasa (Brahma Rahasyam), Upada Sastra, Denpasar.
Panitiya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.
Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, 2003, Siwatattwa, Denpasar.
Pudja, Gede. 1979. Sama Weda. Pesanan Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu. Jakarta: Departemen Agama R.I.
....................1985. Weda (Pengantar Agama Hindu). Jakarta: Mayasari.
....................1999a. Bhagawdgita (pancama veda). Surabaya: Paramita.
....................1999b. Theologi Hindu (Brahma Vidya). Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok Rai. Punia Atmaja Oka Ida Bagus. 2001. Upadesa tentang ajaran-ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya. 2000. Studi Banding antar Agama. Surabaya: Paramita.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com