penelitian pendidikan Hindu

Penulisan Karya Ilmiah Bidang Pendidikan Hindu

I Wayan Sukarma

Pendahuluan
Membaca dan menulis merupakan kegiatan yang sulit dipisahkan karena menulis itu suatu cara mengapresiasi hasil bacaan. Membaca adalah upaya mengetahui suatu ide. Menghubungkan ide yang sedang dibaca dengan ide yang sudah dimiliki merupakan upaya memahami ide yang sedang dibaca. Kemudian, memaknai pemahaman tentang ide tersebut merupakan suatu apresiasi dan menulis merupakan salah satu bentuknya. Jadi, tanpa membaca kecil kemungkinannya menulis. Artinya, menulis tidak mendahului membaca atau sebelum menulis terlebih dahulu harus membaca. Ini sebabnya seorang penulis adalah sekaligus seorang pembaca. Kegiatan membaca memang begitu penting dalam rangka mengembangkan wawasan kritis, seperti diungkapkan oleh Freeman (2004:vii) bahwa langkah pertama dalam mengembangkan wawasan kritis adalah belajar membaca dengan apresiasi. Apresiasi dan pemahaman itu berkaitan erat. Memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaksudkan, sedangkan mengapresiasi suatu ide berarti mengetahui nilainya. Jadi, memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaknai, mengapresiasi sebuah ide berarti mengetahui signifikansinya.
Walaupun kelihatannya membaca itu tenang, tetapi pikiran seorang pembaca selalu keruh dan gelisah. Seorang pembaca, selain melihat pada permukaan untuk mengerti keluasan, tetapi juga berhasrat melihat pada kedalaman sebuah teks untuk memahaminya (Trublood, 1986; Jacob, 2006). Pemahaman inilah yang sering diapresiasi dalam bentuk tulisan, baik fiksi maupun ilmiah. Ilmiah itu sifat ilmu dan karenanya tulisan ilmiah atau juga sering disebut karya ilmiah sekurang-kurangnya bersifat keilmuan. Sifat ilmu itu, antara lain objektif, metodis, sistematis, dan universal. Ilmu itu bersifat objektif karena kebenaran yang hendak diungkap dan dicapai merupakan persesuaian antara yang diketahui dengan objeknya. Metodis karena untuk mencapai kebenaran yang objektif diperlukan cara yang tepat dan konsisten. Sistematik karena kebenaran yang dideskripsikan harus teratur dalam keseluruhannya. Kemudian, ilmu bersifat universal karena kebenaran yang dideskripsikan mengenai sesuatu yang bersifat khusus harus berlaku umum (Mulyana, 2002; Nawawi, 2007; Moleong, 2009).
Demikian juga dengan karya ilmiah pada bidang agama juga dituntut memenuhi persayaratan ilmiah tersebut misalnya, memiliki objek, yaitu material dan formal; metode keilmuan, yaitu cara kerja yang tepat, terarah, dan benar; sistematis, yaitu bulat bersistem; dan universal, yaitu berlaku umum bagi populasi (Nawawi, 2007:11—12). Agama sebagai objek material dapat dilihat dan diungkap dalam berbagai perspektif sebagai objek formal. Ini sebabnya penulisan bidang agama dapat dilakukan, seperti dalam perspektif filsafat, teologi, sejarah, hukum, antropologi, psikologi, sosiologi, dan pendidikan (Suprayogo dan Tobrani, 2001:54—55). Kalau setiap kajian menghasilkan satu bidang keilmuan masing-masing, maka agama Hindu bila dilihat dalam perspektif seperti contoh itu, maka akan menghasilkan bidang filsafat Hindu, teologi Hindu, sejarah Hindu, hukum Hindu, antropologi Hindu, psikologi Hindu, sosiologi Hindu, dan pendidikan Hindu.
Artinya, kajian tentang agama dalam perspektif pendidikan berarti melihat agama dari sudut pandang pendidikan. Dalam hal ini agama menjadi objek material, sedangkan pendidikan menjadi objek formal. Kajian semacam ini akan menghasilkan pendidikan agama. Artinya, kalau melihat agama Hindu dari sudut pandang pendidikan, maka akan menghasilkan ‘pendidikan agama Hindu’ atau lebih sering disebut ‘pendidikan Hindu’. Pendidikan Hindu terdiri atas dua unsur, yaitu pendidikan dan Hindu. Walaupun demikian, bukan berarti untuk memperoleh makna kedua unsur tersebut secara keseluruhan harus dilakukan berdasarkan arti dari unsur masing-masing. Malahan dengan menjelaskan arti secara terpisah cenderung akan menimbulkan pemahaman yang semakin jauh (bias) dari makna yang sesungguhnya.
Pendidikan merupakan persoalan yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Pendidikan tersebar dalam seluruh kegiatan kehidupan masyarakat manusia dan karenanya seluruh kegiatan kehidupan manusia selalu mengandung makna pendidikan. Pendidikan begitu jelas, ketika manusia mulat-sarira tafakur dalam permenungannya; ketika manusia bersama-sama melakukan kegiatan kemasyarakatan; ketika manusia menjalin hubungan berimbang dengan alam; bahkan pendidikan semakin jelas, ketika manusia dalam ibadat mengakui dan menyatakan hubungannya dengan Tuhan. Mengingat pengalaman manusia sepanjang eksistensi kehidupannya bermakna pendidikan sehingga seluruh kegiatan pendidikan berada dalam proses hidup dan perkembangan kehidupan manusia. Jika seluruh pendidikan merupakan persoalan kehidupan manusia, maka persoalan pendidikan juga mencakup seluruh persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Ini menegaskan bahwa tujuan pendidikan juga menjadi tujuan kehidupan manusia (Suhartono, 2007; Djumransjah, 2007; Sadulloh, 2007).
Ini berarti kajian tentang pendidikan Hindu mencakup seluruh persoalan kehidupan umat Hindu itu sendiri. Selain karena terlalu luasnya bidang kajian, juga para peminat yang hendak membaca dan mengungkap bidang ini mengalami kesulitan berkaitan dengan pemilihan tema, merumuskan masalah, dan metode pengungkapannya. Pada kenyataannya kajian-kajian tentang Hindu khususnya dalam perspektif pendidikan begitu terbatas, padahal perguruan tinggi yang berbasis Hindu juga menyelenggarakan fakultas ilmu pendidikan. Rupanya, hasil kajian yang dilakukan oleh lembaga ini belum cukup memadai untuk disosialisasikan. Selain itu, praktisi pendidikan, seperti dosen dan guru Pendidikan Agama Hindu termasuk kepala sekolah belum bersedia mengungkapkan dan berbagi pengalaman. Mengingat pengamatan sepintas memberitahukan bahwa begitu terbatasnya buku-buku tentang pendidikan agama Hindu, baik di toko-toko buku maupun perpustakaan sekitar Kota Denpasar.
Ini sebabnya pembicaraan tentang pendidikan Hindu termasuk penulisannya menjadi tema penting dan relevan bagi guru-guru mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu di Kota Denpasar. Diskusi ini diharapkan mampu mendorong mereka agar lebih proaktif untuk produktif berkaitan dengan pengungkapan fenomena pendidikan Hindu yang memang merupakan tanggung jawab kesehariannya. Selain itu, juga tuntutan profesi bahwa seorang guru wajib mengikuti sertifikasi jabatan pendidikan dan di dalamnya terdapat persyaratan membuat karya tulis. Persyaratan ini sekaligus berarti instruksi, selain mengajar juga seorang guru wajib mengembangkan bidang tugasnya melalui penelitian. Ini merupakan suatu upaya untuk pengembangan profesi, karena itu tidaklah bijaksana kalau seorang guru meminalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Malahan fakta menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak mungkin dibekukan pada satu titik tertentu karena sejarah pemikiran memperlihatkan pergerakannya yang dinamis dan dialektis (Salam, 1997; Muslih, 2004; Seimawan, 2007).
Artinya, guru Pendidikan Agama Hindu perlu melakukan penyegaran mengenai bidang tugasnya, seperti diskusi dan penelitian tentang pendidikan Hindu. Mengingat penulisan karya ilmiah bidang pendidikan Hindu merupakan hasil diskusi dan penelitian pada bidang tersebut. Walaupun demikian, penulisan karya ilmiah tentang pendidikan Hindu tidaklah mungkin mendiskusikan tentang objek, pendekatan, paradigma, teori, dan metodenya secara keseluruhan dalam ruang dan waktu yang terbatas ini. Akan tetapi, berdasarkan kenyataan dalam pengalaman empiris sehari-hari mengenai kesulitan menulis dan juga permintaan panitia penyelenggara bahwa diskusi ini dibatasi pada tiga topik berikut. Pertama, tentang langkah-langkah berpikir dan penelitian ilmiah; kedua, tentang tema dan sifat penelitian pendidikan Hindu; dan ketiga, bentuk laporan hasil penelitian. Topik pertama diarahkan pada pembentukan wawasan kritis agar dapat meningkatkan kemampuan membaca untuk pengungkap gejala-gejala pendidikan Hindu. Topik kedua ditekankan pada pengenalan tentang tema dan sifat karya ilmiah bidang pendidikan Hindu. Kemudian, topik yang ketiga lebih ditekankan pengenalan tentang bentuk karya ilmiah.

Langkah-Langkah Berpikir dan Penelitian Ilmiah
Berpikir merupakan kemampuan manusia untuk menghasilkan kebenaran, baik yang betolak dari pengalaman maupun melampaui pengalaman. Dengan berpikir logis, rasional, dan kritis kebenaran diungkap ke permukaan. Menurut Nawawi (2002:18--19) dalam proses berpikir terjadi dialog antara pengetahuan dan pengalaman pada satu sisi dan masalah yang sedang dihadapi pada sisi lain. Untuk memecahkan masalah pada awalnya digunakan dua cara berpikir, yaitu analitik dan sintetik. Berpikir dengan cara analitik bertolak dari dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum dan berlaku umum untuk memikirkan tentang sesuatu yang bersifat khusus. Ini sebabnya cara berpikir analitik juga disebut berpikir deduktif yang dalam prosesnya menggunakan silogisme. Silogisme itu suatu argumentasi yang terdiri atas tiga proposisi berupa pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu perkara. Proposisi pertama disebut premis mayor, proposisi kedua disebut premis minor, dan proposisi ketiga disebut konklusi. Konklusi atau simpulan pada prinsipnya merupakan konsekuensi dari hubungan antara premis mayor dan premis minor. Sekurang-kurangnya ada empat jenis silogisme, yaitu kategoris (semua X adalah Y; X1 adalah X, maka X1 adalah Y); kondisional (bersyarat) (jika X dalam keadaan Z maka akan Y, X1 sekarang dalam keadaan Z, maka X1 akan Y); alternatif (pilihan) (X harus memilih Y atau Z, X memilih Z, maka X tidak mungkin memilih Y); dan disjungtif (melerai) (tidak mungkin X dalam keadaan Z akan Y, X dalam keadaan Z, maka tidak mungkin X akan Y).
Sementara itu, berpikir dengan cara sintetik bertolak dari pengetahuan yang bersifat khusus untuk sampai pada simpulan yang bersifat umum. Ini sebabnya cara berpikir sintetik juga disebut berpikir induktif. Dalam menarik simpulan yang berlaku umum untuk suatu kelompok secara keseluruhan berdasarkan peristiwa yang bersifat khusus dalam kelompok tersebut (Nawawi, 2002:20--21). Cara berpikir induktif ada tiga jenis, yaitu induksi komplit (A sampai dengan Z adalah penduduk desa X menjadi pedagang, maka semua penduduk desa X menjadi pedagang), induksi sistem Bacom (mencatat hasil observasi dengan ciri-ciri positif dan negatif serta variasi gejala), dan induksi tidak komplit (simpulan untuk keseluruhan dirumuskan berdasarkan sebagian dari hasil observasi). Kemudian, dari kedua cara berpikir tersebut dapat disimpulkan bahwa cara berpikir deduktif pada prinsipnya menuntut bukti-bukti kebenaran yang bersifat apriori, sedangkan cara berpikir induktif lebih menekankan pada bukti-bukti kebenaran yang bersifat aposteri.
Pada tahapan berikutnya usaha menemukan kebenaran melalui proses berpikir rasional dan kritis berkembang menjadi proses berpikir analitis dengan mengikuti proses berpikir ilmiah. Menurut John Dewey (Nawawi, 2002:22--23) langkah-langkah berpikir ilmiah sebagai berikut.
(1) Adanya suatu kebutuhan akan keserasian antara harapan dan kenyataan.
(2) Menetapkan masalah dalam bentuk rumusan jelas tentang ketakserasian antara harapan dan kenyataan.
(3) Menyusun hipotesis berupa perkiraan pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang dianggap relevan. Dugaan sementara tentang pemecahan masalah ini diuji kebenaran agar sampai pada simpulan akhir.
(4) Pengumpulan data untuk pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang telah dirumuskan.
(5) Menarik simpulan yang diyakini kebenaran menjadi pendapat atau teori sebagai pemecahan masalah untuk mengatasi kebutuhan.
(6) Menetapkan manfaat dari simpulan yang berlaku secara umum. Bertolak dari simpulan yang telah dirumuskan sebagai pendapat diusahakan implikasinya untuk menghadapi masalah yang sama.
Proses berpikir ilmiah seperti langkah-langkah berpikir di atas disebut proses berpikir reflektif. Disebut demikian karena proses berpikir tersebut bermaksud hendak memberikan manfaat bagi suatu simpulan melalui proses berpikir tentang pengalaman masa lalu dihubungkan dengan pendapat yang diterima kebenarannya untuk memecahkan masalah masa kini dan masa datang. Proses berpikir reflektif ini telah menjadi dasar bagi cara menemukan kebenaran yang bersifat objektif yang dalam perkembangannya terakhir disebut penelitian (Nawawi, 2002:23--24). Selanjutnya, langkah-langkah penelitian ilmiah menurut Nawawi (2002:24--25) dijelaskan sebagai berikut.
(1) Perumusan dan pembatasan masalah serta tujuan penelitian. Masalah penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk dipecahkan. Peneliti memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang diteliti. Masalah yang memang menarik dipecahkan dan sedapat mungkin menghasilkan sesuatu yang baru. Peneliti yakin mampu menghimpun data yang cukup dan relevan. Masalah tidak boleh terlalu luas atau terlalu sempit.
(2) Menetapkan kerangka teori sebagai titik tolak pemikiran dalam rangka memecahkan masalah melalui kajian pustaka. Di dalamnya memuat poko-pokok pikiran yang menggambarkan sudut pandang terhadap masalah yang akan disoroti.
(3) Merumuskan konsep sebagai gambaran umum kemungkinan pemecahan masalah.
(4) Merumuskan hipotesis sebagai pemecahan masalah yang bersifat sementara berdasarkan deskripsi konsep yang jug amerupakan simpulan umum yang akan dirumuskan, bila ternyata benar.
(5) Memilih dan menetapkan metode sebagai cara kerja lengkap dengan teknik dan alat pengumpulan data.
(6) Pengumpulan data dilakukan secara objektif dan adil, sedangkan analisis data dilakukan secara sistematis.
(7) Menguji hipotesis untuk merumuskan simpulan sebagai hasil penelitian.
(8) Publikasi hasil penelitian dalam bentuk tulisan tulisan ilmiah agar lebih mudah dikomunikasikan dengan berbagai pihak yang memerlukan.

Pendidikan Hindu: Sebuah Penelitian Sosiohistoris
Penelitian bidang pendidikan Hindu pada dasarnya hendak mengeksplorasi agama Hindu dalam konteks pendidikan sehingga agama Hindu fungsional bagi pengembangan potensi umat secara optimal. Ini sejalan dengan pendangan Groome (Santoso, 2001) bahwa pendidikan agama adalah suatu proses yang mengatur umat untuk memasuki suatu kehidupan yang tidak mapan sehingga harus dibentuk oleh umat sendiri. Bila tujuan akhir dari pendidikan agama adalah perubahan pengetahuan, perilaku, dan keterampilan, maka pendidikan tidak berlangsung hanya sekadar memberi informasi, tetapi menyangkut dimensi intelektual, emosional, dan spiritual, bahkan kecakapan hidup. Ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, ditegaskan dalam tujuan pendidikan nasional bahwa peserta didik berkembang menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuham Yang Maha Esa; berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berkaitan dengan pengembangan akhlak mulia bahwa agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai, dan bermartabat. Menyadari bahwa peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia, maka internalisasi agama dalam kehidupan pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat (BSNP, 2006). Ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat penting dalam pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Seperti dijelaskan dalam Badan Standar Nasional Pendidikan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan (BSNP, 2006).
Pengembangan kurikulum dimaksudkan agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik, antara lain (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Kesempatan belajar ini pada dasarnya hendak memberi pengalaman-pengalaman kepada peserta didik sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya. Mengingat pendekatan yang digunakan adalah idealis-realis sehingga pengalaman empiris juga menjadi sumber pengetahuan utama. Peserta didik bukan hanya belajar pengetahuan tentang objek-objek yang berada di luar dirinya, melainkan juga pengetahuan mengenai objek-objek yang dialaminya. Oleh karena itu, pada dasarnya kesempatan belajar memberikan (a) pengetahuan mengenai religiusitas dan spiritualitas; (b) pengetahuan mengenai kemampuan mengapresiasi dan memeribadikan perolehan; (c) pengetahuan mengenai melakukan melalui disiplin tindakan; (d) pengetahuan mengenai kehidupan sosial dan budaya sehingga norma dan nilai menjadi panduan utama setiap tindakan; dan (e) pengetahuan mengenai kehadiran diri (sendiri) bersama orang lain.
Artinya, pendidikan agama pada prinsipnya hendak menjadikan peserta didik sebagai insan Tuhan, yakni makhluk yang berbudi pekerti. Kenyataannya, budi pekerti merupakan suatu dimensi yang paling penting dalam dunia manusia, sebagaimana dikatakan Herbert N. Casson (1966:7--8) bahwa budi pekerti manusia bukanlah nama yang dapat memberikan macam benda apa manusia itu. Akan tetapi, itulah nama terbaik yang ada pada manusia yang kiranya lebih baik daripada Pikiran atau Jiwa atau Pribadi atau “Aku” (Ego) atau Kehendak. Dalam pengertian Budi Pekerti terkandung sifat-sifat manusia seluruhnya – pikiran, perasaan, dan kehendak. Nama itu meliputi segala-galanya, seperti yang baik, yang buruk, dan yang baik tidak burukpun tidak. Jadi, tidak ada suatu kata tersendiri untuk menunjukkan substansi manusia ini, kumpulan yang mengherankan yang meliputi pikiran, perasaan, kecemasan, harapan, kebiasaan, dan kesadaran.
Pendidikan Agama Hindu merupakan satu mata pelajaran dalam pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu (BSNP, 2006 dan Depdiknas, 2007). Kurikulum Pendidikan Agama Hindu yang berbasis standar kompetensi dan kompetensi dasar mencerminkan kebutuhan keragaman kompetensi secara nasional. Standar ini diharapkan dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam mengembangkan Kurikulum Pendidikan Agama Hindu sesuai dengan kebutuhan daerah ataupun sekolah (BSNP, 2006 dan Depdiknas, 2007). Penjelasan ini menunjukkan bahwa KTSP pendidikan agama Hindu merupakan cermin kebutuhan sekolah yang pada dasarnya ditentukan oleh guru-guru termasuk guru pendidikan agama Hindu.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan, antara lain menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama; dan membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya (BSNP, 2006 dan Depdiknas, 2007). Meningkatkan sradha dan bhakti dalam pembangunan insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai moksartham jagadhita dalam kehidupan memerlukan penjabaran lebih lanjut, agar dapat dilaksanakan dalam dunia praktik sebagai proses pembelajaran. Sradha merupakan lima keyakinan Hindu, brahman, atman, karma phala, punarbhawa, dan moksa, karena itu lebih dikenal panca sradha. Bhakti merupakan basis pelayanan yang diekspresikan dalam bentuk panca yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, resi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya. Dengan demikian, Insan Hindu adalah mereka yang memiliki keyakinan panca sradha yang dipraktikkan dalam dunia kehidupan empiris sebagai bakti pelayanan dalam rangka mewujudkan keselarasan dan keharmonisan, baik horizontal (jagadhita) maupun vertikal (moksartham). Artinya, kayakinan sradha yang diajarkan melalui tattwa agama dan bakti pelayanan yang diajarkan melalui acara agama pada dasarnya merupakan landasan bagi pembangunan manusia susila. Manusia susila inilah yang dimaksudkan dengan manusia yang memiliki kualitas sradha dan bhakti yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan moksartham. Jadi, manusia susila inilah tujuan pendidikan agama Hindu di Sekolah.
Kembali kepada tujuan pertama disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama Hindu di sekolah adalah “menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama”. Rumusan tujuan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan menumbuhkembangkan kualitas sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan agama Hindu disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu merupakan suatu kualitas dalam bentuk benih sehingga dapat ditumbuhkembangkan. Penumbuhkembangannya dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu. Ini merupakan cara-cara yang paling mungkin yang dapat dilakukan, walaupun bukan berarti cara-cara lain sama sekali tertutup. Melainkan cara-cara lain dapat ditempuh sesuai dengan kebutuhan nyata pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, sebagaimana teridentifikasi oleh guru-guru pendidikan agama Hindu dalam pengalaman praksisnya.
Sebaliknya, meningkatkan sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan agama Hindu juga disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu merupakan suatu kualitas yang berada pada posisi rendah sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatannya dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu. Jadi, sradha dan bhakti menjadi tumpuan pengembangan kurikulum pendidikan agama Hindu dan karenanya kedua aspek ini merupakan dimensi ontologis pendidikan agama Hindu.
Selanjutnya, kata “pemberian”, “pemupukan”, “penghayatan”, dan “pengamalan” (ajaran agama Hindu) merupakan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan sradha dan bhakti. Ini merupakan landasan pendidikan agama Hindu dari dimensi epistemologis. Dengan kata “pemberian” yang dimaksudkan adalah proses tranformasi pengetahuan agama dari guru kepada peserta didik dalam suasana belajar dan proses pembelajaran. Pilihan metode yang mendekati tepat untuk pembelajaran ini adalah ceramah atau dharma wacana. Dengan kata “pemupukan” dimaksudkan adalah memberikan zat penyubur agar benih dapat tumbuh dan berkembang dengan normal. Pilihan metode pembelajaran yang mendekati tepat adalah pemberian tugas yang juga dimaksudkan sebagai upaya pengayaan dan perbaikan. Dengan kata “penghayatan” dimaksudkan adalah penginternalisasian materi ajar, agar menjadi pribadi peserta didik yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari (sosial dan budaya). Metode pembelajaran yang mendekati tepat dapat digunakan perenungan dan demonstrasi sebagai disiplin tindakan dalam praktik-praktik kehidupan keagamaan. Selain itu, juga dapat digunakan metode diskusi dan tanya-jawab (dharma tula). Kemudian, dengan kata “pengamalan” dimaksudkan adalah sebagai upaya pengembangan diri dalam pengalaman kehidupan keagamaan. Pengalaman keberagamaan yang memungkinkan peserta didik menjadi insan-insan Hindu dengan kualitas sradha dan bhakti yang secara nyata dapat didemontrasikan dalam kehidupan sosial dan budaya. Metode pembelajaran yang mungkin mendekati tepat dapat digunakan pemberian tugas mandiri dan kerja kelompok dalam pelaksanaan upacara keagamaan (misalnya, tirtha-yatra).
Pada tujuan kedua disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama Hindu adalah membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam kehidupannya. Mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam kehidupan merupakan dimensi aksiologis pendidikan agama Hindu. Dimensi ini lebih menekankan pentingnya kegunaan nilai-nilai pendidikan agama Hindu dalam praktik kehidupan empiris sehari-hari. Seperti telah dijelaskan di atas moksartham merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara vertikal, yakni dengan Tuhan sebagaimana kayakinan sradha dan bhakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu. Sebaliknya, jagadhita merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara horizontal, yakni hubungan antara manusia dengan sesama sebagaimana kayakinan sradha dan bakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu.
Kedua dimensi ini pada gilirannya akan bermuara pada pembangunan manusia susila sebagai dimensi ketiga. Dikatakan demikian karena hanya manusia susila yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan moksartham, baik dalam kehidupan individual maupun sosial secara normal dan sempurna. Walaupun demikian, ketiga dimensi ini (tattwa, susila, dan acara) merupakan satu-kesatuan yang bulat dan utuh atau ketiganya merupakan dimensi teratur-setimbang dalam tatanan holistik dan komprehensif. Dari tattwa mengalir nilai kebenaran (sathyam); dari susila mengalir nilai kebajikan dan kebijaksanaan (siwam); dan acara mengalirkan nilai keindahan dan kebahagiaan (sundaram). Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan insan Hindu adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian, yaitu integrasi holistik dan komprehensip kebenaran-kebijaksanaan-kebahagiaan. Dalam kehidupan empiris teridentifikasi menjadi manusia susila, yaitu manusia bijaksana, manusia berkesadaran Dharma.
Pada dasarnya penjelasan di atas telah memberikan tema-tema penelitian bidang pendidikan Hindu terutama hubungan agama Hindu dengan jenis pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui proses pembelajaran seperti tabel berikut.
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JENIS PENGETAHUAN TATTWA SUSILA ACARA LEMBAGA
pengetahuan mengenai religiusitas dan spiritualitas. Dogma
(normatif) Moral (empiris) Ibadat (empiris) -
pengetahuan mengenai kemampuan mengapresiasi dan memeribadikan perolehan. - Moral
(empiris) - -
pengetahuan mengenai melakukan melalui disiplin tindakan. - Moral
(empiris) - -
pengetahuan mengenai kehidupan sosial dan budaya. - Moral
(empiris) - PHDI & ADAT
(empiris)
pengetahuan mengenai kehadiran diri sendiri bersama orang lain. - Moral
(empiris) - PHDI & ADAT
(empiris)

Bila disesuaikan dengan taksonomi pendidikan dan unsus pokok agama Hindu, maka tema penelitian bidang pendidikan agama Hindu dapat disajikan pada tabel berikut.


ASPEK PENDIDIKAN ASPEK AGAMA HINDU
TATTWA SUSILA ACARA LEMBAGA
Kognitif Pengetahuan tentang religiusitas dan spiritual. Pengetahuan tentang moral, sosial, dan budaya. Pengetahuan tentang ibadah. Pengetahuan tentang organisasi.
Afektif Sikap terhadap Tuhan. Sikap terhadap sesama umat manusia dan alam. Sikap terhadap sesama umat Hindu dan Tuhan. Sikap terhadap organisasi.
Psikomotor Kemampuan menata dan meneguhkan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan kehendakNya. Kemampuan menata dan mempererat hubungan dengan sesama umat Hindu dan umat manusia sesuai dengan aturan dan norma moral menurut agama Hindu. Kemampuan mengapresiasi upacara agama. Kemampuan manata dan mempererat hubungan dengan sesama umat Hindu dan umat lain.

Kedua tabel di atas menunjukkan bahwa penelitian bidang pendidikan Hindu dominan pada aspek susila daripada aspek tattwa, acara, dan lembaga agama. Selain penelitian terhadap aspek tattwa merupakan penelitian yang bersifat normatif atau teologis, penelitian terhadap aspek susila, acara, dan lembaga agama merupakan penelitian yang bersifat empiris (Suprayogo dan Tobrani, 2001:21). Artinya, penelitian tentang pendidikan agama Hindu merupakan jenis penelitian empiris atau sosiohistoris. Hal ini juga seperti dijelaskan oleh Robertson (1988:xvii) bahwa pendekatan dalam penelitian agama dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendekatan yang bersifat teoposentris dan pendekatan yang bersifat sosiohistoris. Pertama, pendekatan yang bersifat teoposentris menelaah agama sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci. Agama dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang sakral dan mutlak mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam lingkungannya. Studi agama seperti ini bersifat normatif atau dengan kata lain menggunakan pendekatan yang bersifat tekstual. Kedua, pendekatan yang bersifat sosiohistoris menelaah agama sebagai kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam pengalaman empiris tingkah laku para pemeluknya, seperti penelitian pendidikan agama Hindu.

Bentuk Karya Ilmiah
Bentuk-bentuk karya ilmiah, berupa laporan hasil penelitian (Alwasilah, 2002; Nawawi, 2002; Arikunto, 2002) seperti berikut.
(1) Paper ditulis untuk memenuhi syarat menyelesaikan suatu mata kuliah. Isinya tentang pengetahuan seseorang yang berkenaan dengan topik masalah yang berhubungan dengan mata kuliah tersebut. Diselesaikan dalam batas waktu tertentu sesuai dengan waktu yang tersdia untuk mata kuliah tersebut. Berisi rangkaian hasil berpikir yang dilakukan secara rasional dalam bentuk pembahasan yang cukup mendalam.
(2) Artikel ditulis untuk kepentingan jurnal dan majalah ilmiah, baik diterbitkan oleh perguruan tinggi, instansi pemerintah, maupun perusahan.
(3) Laporan kerja lapangan ditulis dengan mengemukakan data hasil observasi mengenai suatu objek. Bidang tulisan tidak terbatas pada suatu mata kuliah, tetapi menyangkut aspek-aspek spesialisasi, karena itu bisa meliputi beberapa mata kuliah.
(4) Skripsi ditulis untuk memperoleh gelar kesarjaan pada program studi S1, tesis untuk S2, dan disertasi untuk S3. Pada tingkat ini berdasarkan tujuannya penelitian dapat dibedakan, antara lain penelitian eksploratif untuk menemukan masalah baru, penelitian verifikatif untuk menguji kebenaran pengetahuan, dan penelitian development untuk mengembangkan pengetahuan.
Penutup
Penulisan karya ilmiah bidang pendidikan Hindu memerlukan pengembangan wawasan kritis melalui membaca dengan apresiasi, seperti berpikir dan penelitian ilmiah. Berpikir ilmiah sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bentuk analitis (deduktif) dan sintesis (induktif). Sementara itu, penelitian ilmiah dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain perumusan masalah, menetapkan kerangka teori dan konsep, merumuskan hipotesis, memilih dan menetapkan metode, pengumpulan data, menguji hipotesis, dan publikasi hasil penelitian.
Penelitian bidang pendidikan Hindu termasuk jenis penelitian empiris atau lebih bersifat sosiohistoris. Tema-tema yang dapat dijadikan objek penelitian, antara lain aspek tattwa, susila, acara, dan lembaga agama yang ditujukan bagi pengembangan pengetahuan religiusitas dan spiritualitas; kemampuan mengapresiasi dan memeribadikan perolehan; melakukan melalui disiplin tindakan; kehidupan sosial dan budaya; kehadiran diri bersama orang lain.
Bentuk-bentuk karya ilmiah bidang pendidikan Hindu, antara lain paper, makalah, artikel, kertas kerja lapangan, skripsi, tesis, dan disertasi. Setiap jenis tulisan ini memiliki dasar dan tujuan tersendiri, seperti untuk menyelesaikan satu tugas mata kuliah, jurnal atau majalah ilmiah, bahan diskusi atau seminar, dan penyelesaian suatu program studi tertentu. Dalam hal ini skripsi untuk sarjana strata 1, tesis untuk sarjana strata 2, dan disertasi untuk sarjana strata 3.

Daftar Kepustakaan
Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif (Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif). Jakarta: PT. Kiblat Buku Utama.
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menegah, Jakarta: Diknas.
Barnardib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta.
Black. James A. dan Dean J. Champion. 1999. Metode Dan Masalah Penelitian Sosial, Bandung: Pt Refika Aditama.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius.
Casson, Herbert N. 1966. Achlak Manusia. Bandung: Sumur Bandung.
Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing.
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2009. Hanbook of Qualitattive Reseach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Himsworth, Harold. 1997. Pengetahuan Keilmuan & Pemikiran Filosofi. Bandung, ITB.
Ibrahim, Abd. Syukur & Machrus Syamsudin. 1985. Penemuan Teori Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Jacob, Teuku. 2006. Manusia Makhluk Gelisah: Melalui Lensa Bioantropologi, Surakarta: Muhammadyah University Press.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualititif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar. Pradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengatahuan. Yogyakarta: Belukar.
Kahmad, Dadang, H. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Kerlinger, N. Fred. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Knight, George. 2007. Filsafat Pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.
Leahy, Louis. 2005. Sanis dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius.
Maman, KH, Deden Ridwan, M. Ali Mustofa, dan Ahmad Gaus. 2006. Metode Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif Telaahan Positivistik Rasionalistik dan Phenomenologik. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Nawawi, H. Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yagyakarta: Gadjah Mada University Press.
Permen Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Materi penataran dan Sosialisasi KTSP).
Permen Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Materi Penataran dan Sosialisasi KTSP).
Permen Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permen Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah; dan Permen Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Materi Penataran dan Sosialisasi KTSP).
Popper, Karl. 2003. Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Qalam.
Robertson, Roland, 1988, Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali.
Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.Pelajar.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Tekhnologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Siahaan, Hotman, M. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia.
Seimawan, Canny, dkk. 2007. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju.
Smith, Wilfred C. 2004. Memburu Makna Agama. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Soetrisno dan Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu Dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarto, 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sugiarto, Bambang, Agus Rachmat W. 2000. Wajah Baru Etika & Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Suparno, Paul. 2008. Riset Tindakan untuk Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Suyanto, Bagong, dan Sutinah (editor). 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media. Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.
Trublood, David. 1986. Philosophy of Religion (Filsafat Agama). Jakarta: Bulan Bintang.
Turner, Brian S. 2003. Agama & Teori Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...