desa pakraman

DESA PAKRAMAN
Sistem Sosial Masyarakat Bali

I Wayan Sukarma

Dasar-dasar pokok sistem sosial kemasyarakatan orang Bali menurut Geria (2000:63) bertumpu pada empat landasan utama, yaitu kekerabatan, wilayah, agraris, dan kepentingan khusus. Ikatan kekerabatan telah membentuk sistem kekerabatan dan kelompok-kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat Bali umumya berlandaskan prinsip patrilineal. Kelompok-kelompok kekerabatan merentang dari unit terkecil, yaitu keluarga inti, meluas ke unit menengah keluarga luas, sampai dengan klan patrilineal. Ikatan kesatuan wilayah terwujud dalam bentuk komunitas desa adat dengan sub-sistemnya banjar-banjar. Dalam bidang kehidupan agraris berkembang organisasi subak. Selanjutnya, dalam ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus terwujud sebagai organisasi sekaa.
Ikatan kesatuan wilayah yang terwujud dalam bentuk komunitas desa pakraman lebih lanjut diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001. Dalam Perda tersebut dijelaskan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Dari Perda ini paling tidak dapat ditemukan enam unsur pokok yang membentuk desa pakraman, yaitu (1) kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun, (3) dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), (4) mempunyai wilayah tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6) berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari keenam unsur itu dapat dipahami bahwa Perda tersebut hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu. Seperti dijelaskan Sirtha (Astra,dkk. 2003:71) bahwa agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali memberikan corak yang khas bagi desa pakraman. Kegiatan masyarakat adat dijiwai oleh agama Hindu yang dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Substansi awig-awig desa pakraman, juga dikatakan dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan penjabaran dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2) pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3) palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Jadi, sistem dan struktur sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Hindu di Bali dibangun di atas kerangka Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga gatra, yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Ini berarti bahwa desa pakraman merupakan satu kesatuan yang harmonis dari tiga gatra, yaitu krama desa sebagai gatra pawongan membutuhkan ruang untuk melaksanakan aktivitasnya berupa kewajiban hidup (dharma) di wilayah desa pakraman, yaitu gatra palemahan. Kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari alam sehingga manusia mempengaruhi alam dan sebaliknya, alam juga mempengaruhi kehidupan manusia. Suriadiredja (Astra,dkk.2003:254) mengatakan bahwa untuk melangsungkan kehidupannya manusia akan selalu tergantung kepada lingkungannya, baik lingkungan alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial tempat mereka hidup berkelompok atau bermasyarakat.
Ditegaskan bahwa manusia dapat mempengaruhi, bahkan mengubah lingkungannya. Oleh karena itu antara krama desa dengan alam lingkungan desanya terdapat satu jalinan yang satu sama lain saling mempengaruhi. Krama desa sebagai makhluk sosial membutuhkan jalinan komunikasi yang harmonis untuk memenuhi kepentingan bersama dalam suasana yang nyaman dan aman. Seperti dikatakan oleh Mircea Eliade (Susanto, 1987) bahwa manusia juga merupakan makhluk religius sehingga membutuhkan kebahagiaan batin (rohaniah). Untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan akan kebahagiaan yang bersifat rohaniah ini manusia berpaling dan berlindung serta bersujud ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu manusia (krama desa) mendirikan tempat-tempat suci (Pura) untuk memuja Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), yaitu gatra parhyangan.
Desa pakraman dalam konteks tri hita karana sebagai wilayah (ruang), melalui awig-awignya dapat diketahui bahwa ada tiga hal pokok yang diatur, yaitu (1) sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; (2) sukerta tata pawongan, artinya menata hubungan harmonis antarkrama (manusia); dan (3) sukerta tata palemahan, artinya menata wilayah desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa desa pakraman ditata dalam sistem pemerintahan yang simpel dan fleksibel, sederhana. Akan tetapi sukerta tata agama, pawongan, dan palemahan merupakan refleksi dari hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Hakikat hidup dalam pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan dari tiga penyebab kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (Widhi, manusa, dan bhuwana). Tujuan hidup dirumuskan dengan kesejahteraan lahir batin (sukerta sekala dan niskala) dicapai melalui formulasi catur purusa artha, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Akan tetapi, konsep ideal ini tidak mudah diwujudkan dalam konteks praksis. Masih munculnya konflik berdimensi adat seperti, bentrokan antar-banjar atau perebutan setra, mengindikasikan bahwa desa pakraman di Bali harus mengadakan evaluasi, pembelajaran, dan pendewasaan diri. Hal ini semakin berat dengan masuknya faktor-faktor eksternal seiring dengan menguatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, desa pakraman sebagai pengawal adat, budaya, dan agama Hindu Bali harus diberdayakan keberadaannya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Jangan sampai energi desa pakraman habis untuk mengurusi konflik internal, sementara penetrasi budaya global bergerak begitu cepat dan rumit.
Tegasnya, desa pakraman (dulu disebut desa adat) yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan, dan pembangunan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Dalam perjalanannya, juga desa pakraman telah mampu menunjukkan fungsi, peranan, dan eksistensinya sebagai dinamisator dan stabilisator pada kehidupan sosial masyarakat di Bali. Namun demikian, desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat perlu mendapatkan kejelasan terkait dengan struktur dan kedudukannya dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penjelasan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, bagian Umum pasal 11 menyebutkan seperti berikut.
“Dalam pengukuhan otonomi desa pakraman, dasar desa pakraman adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dasar ini mengandung karakteristik filosofis yang membentuk nilai-nilai dasar keadilan, kebenaran, dan kepastian bagi setiap aturan yang ditetapkan dari tindakan yang dilakukan dalam lingkup tugas dan wewenang desa pakraman. Asas desa pakraman adalah kebudayaan Bali yang mengandung karakteristik hukumiah yang menjadi dasar sumber material aturan yang ditetapkan. Landasan desa pakraman adalah Tri Hita Karana yang mengandung karakteristik konstitutif yang menjadi tolok ukur spiritual etis bagi keseluruhan dasar-dasar yang disucikan dalam perikehidupan desa pakraman.

Penjelasan ini mengandung makna bahwa keberadaan desa pakraman di Bali tidak bertentangan dengan dasar negara (Pancasila) dan sumber hukum tertinggi (UUD 1945). Dalam perkembangan lebih lanjut, keberadaan desa pakraman menjadi semakin kokoh secara yuridis dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa “penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan asas desentralisasi diarahkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperlihatkan potensi dan keanekaragaman daerah yang menghormati kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa”. Dalam kerangka UU No. 22/1999, desa pakraman telah memenuhi syarat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang keberadaannya diakui dan dilindungi oleh undang-undang.
Dengan berlakunya sistem otonomi daerah, maka payung hukum yang secara tegas melindungi dan mengatur desa pakraman adalah Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perda ini merupakan pengganti dari Perda Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Tingkat I Bali, yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Apabila dicermati lebih dalam tentang pergantian Perda No. 06/1986 menjadi Perda No. 3/2001, ada beberapa hal yang perlu disikapi bersama.
Pertama, Perda desa pakraman bersifat fleksibel, yakni mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat diganti dengan Perda yang baru apabila Perda yang lama dipandang tidak sesuai lagi. Fleksibilitas Perda ini berpretensi melahirkan dualitas makna. Di satu sisi, keberadaan desa pakraman akan tetap eksis dalam segala zaman karena mampu berdaptasi dengan kondisi yang ada di setiap zaman. Namun di lain pihak, eksistensi desa pakraman akan sangat tergantung dengan produk hukum legislatif dan eksekutif yang memegang kekuasaan. Logikanya, ketika penguasa pada suatu saat memandang bahwa desa pakraman sudah tidak penting lagi, boleh jadi akan muncul Perda yang membubarkan desa pakraman. Setidak-setidaknya dapat muncul Perda yang membatasi fungsi, peranan, wewenang, dan kedudukan desa pakraman. Kedua, secara substansi desa pakraman sama dengan desa adat karena keduanya sama-sama didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Jika, persoalannya hanya perubahan nama, maka pertanyaannya adalah apakah Perda No. 3 Tahun 2001 ini juga dapat digunakan sebagai payung hukum “Desa Adat” yang tidak mau merubah diri menjadi Desa Pakraman ?. Mengingat dengan berlakunya Perda ini, maka Perda No. 6 Tahun 1986 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, Perda No. 3/2001 juga tidak secara tegas mengatur kedudukan sekaa taruna sebagai organisasi yang hidup dan berkembang di banjar adat. Kalau demikian, apa payung hukum organisasi pemuda Hindu Bali ini.
Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa payung hukum desa pakraman dalam konteks NKRI sudah cukup memadai sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Namun demikian, Perda sebagai payung hukum desa pakraman masih memungkinkan munculnya multitafsir. Oleh karena itu, Perda ini hendaknya dipandang sebagai landasan yuridis formal bagi eksistensi desa adat di Bali. Selebihnya, peranan dan fungsi desa pakraman dalam mengatur kehidupan krama adat harus dikembalikan pada otonomi desa pakraman yang meletakkan awig-awig sebagai sumber aturan yang harus diikuti di wilayah desa pakraman tersebut.
Sesuai dengan hakikat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri jelas bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti itu berlaku dalam wilayah desa yang bersangkutan. Jika diperhatikan dengan saksama mengenai kekuasaan Desa Pakraman, hingga saat ini dapat dibedakan atas 3 macam kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
1. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan (awig-awig, eka ilikita, pararem) untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam suatu rapat desa (paruman/sangkepan desa), untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan masyarakat, baik hubungan antara masyarakat sendiri (pawongan), hubungan masyarakat dengan alam lingkungan (palemahan) maupun anggota masyarakat dengan Sang Maha Pencipta (Parhyangan) yang dikenal dengan filsafat Tri Hita Karana.
2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat sosial religius, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu Bali dan kaidah adat/dresta, mengembangkan kebudayaan, kesenian, memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaa, untuk pembangunan jasmaniah maupun peningkatanan kesucian spiritual warga Desa Pekraman.
3. Kekuasaaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan adanya pertentangan kepentingan antara warga desa atau berupa tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan bermasyarakat, baik melalui perdamaian maupun dengan memberikan sanksi adat. Klian atau Bendesa kerapkali menjadi hakim perdamaian di desa.

Seiring dengan menguatnya pengaruh modernisasi dan budaya global, desa pakraman sebagai lembaga adat yang merepresentasikan tata nilai tradisional tentu akan menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menurut teori-teori modernisasi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati dari tingginya mobilitas penduduk, tingginya aktivitas pertukaran barang dan jasa, cepatnya perputaran uang, menjamurnya etalase-etalase kapitalis (seperti Mall, Ruko, Bar, Restoran, dll), dan sebagainya. Kemudian secara kultural, masyarakat modern dicirikan dengan menguatnya gaya hidup (life style) dan pencitraan diri (image). Selain itu, juga menguatnya pengarus nilai-nilai modern, seperti individualistis, materialistis, praksis (efektif dan efisien), demokratis, dan ketergantungan pada penggunaan informasi dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kultur modern ini, setidak-tidaknya akan menyebabkan terjadinya benturan antara nilai modern dan tradisional dalam kehidupan di desa pakraman, sebagai berikut.
(1) Dualitas desa (dinas dan adat) kerapkali menimbulkan masalah akibat kurang jelasnya job description masing-masing, juga tidak jarang muncul masalah dalam penarikan retribusi sumber-sumber ekonomi.
(2) Benturan antara kepentingan ekonomi (pekerjaan/matapencaharian) dengan aktivitas adat yang frekuensinya cukup tinggi. Selain itu, ketidakmampuan penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang (new comers) terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi berujung pada anggapan bahwa adat memberatkan masyarakat dan menjadi penghalang untuk maju.
(3) Munculnya pemikiran-pemikiran rasional dan radikal dari agen-agen perubahan di masyarakat, baik dari kalangan karismatik, intelektual, maupun pemilik kapital. Pemikiran ini tidak jarang bertentangan dengan pemikiran tradisional (renungan : bade/wadah menggunakan roda?; atau krematorium?).
(4) Rasionalisasi awig-awig, yakni dipandang setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang semestinya dapat diselesaikan dengan musyawarah.
(5) Fanatisme terhadap Desa Pakraman sendiri yang berlebihan sehingga mudah memicu selisih paham dengan Desa Pakraman yang lain.
(6) Masuknya kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi ke dalam Desa Pakraman.
(7) Masuknya aliran-aliran keagamaan baru yang pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu, menjadi alternatif bagi krama yang tidak mampu mengikuti padatnya aktivitas panca yadnya di desa pakraman.
(8) Dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1957, yakni dihapusnya pengadilan adat Bali (raad van kertha) semakin melemahkan posisi adat dalam hubungannya dengan sengketa hukum. Misalnya, kasus pencurian pratima, sengketa tanah pelaba pura, pelanggaran radius kawasan suci, masalah perkawinan, perceraian, pengangkatan sentana, hak waris, tanah ayahan desa dan beberapa kasus adat lainnya diposisikan sebagai kasus hukum murni yang diselesaikan dengan hukum positif. Hal ini dapat mencederai rasa keadilan, terlebih lagi rasa agama dari krama adat karena dimensi adat di Bali erat kaitannya dengan agama Hindu.

Di samping persoalan-persoalan di atas, masyarakat adat dan Hindu di Bali juga sedang mengalami tekanan dari berbagai faktor eksternal yang menyebabkan Bali berada dalam keterkepungan, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Secara ideologi, masyarakat Bali berada dalam kegamangan ideologi akibat masuk dan berkembangnya ideologi asing dengan terbukanya Bali sebagai pertemuan lintas etnis, ras, bangsa, dan agama sebagai akses langsung pengembangan kepariwisataan di Bali. Secara politik, masuknya bermacam-macam partai politik ke Bali, baik disadari maupun tidak, akan menjadi alat bagi elit politik pusat untuk menggarap Bali. Ditambah lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang nantinya akan merepresentasikan kepentingan masyarakat Bali di tingkat pusat. Bayangkan saja, bila suatu saat wajah DPD Bali dihiasi oleh orang yang bukan Bali, bahkan tidak beragama Hindu. Masyarakat Bali juga semakin terkepung dan kalah bersaing dalam bidang ekonomi, baik sektor informal maupun dalam persaingan bisnis andalan Bali, yakni industri pariwisata.
Bidang sosial, budaya, dan agama yang sesungguhnya merupakan potensi unggulan masyarakat Bali, ternyata juga tak luput dari keterkepungan. Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, sesungguhnya telah menjadi sasaran bagi para misionaris Islam maupun Kristen untuk mengkonversi keyakinan masyarakat Bali ke kedua agama tersebut. Dalam kasus Islamisasi, setidak-tidaknya terjadi empat proses penting, yaitu sosiologis  demografis  politis  konversi agama. Fenomena membanjirnya pendatang ke Bali, bukan tidak mungkin adalah bagian dari skenario ini. Dengan jumlah umat Islam di Bali yang semakin besar ini merupakan modal politik yang cukup signifikan untuk berebut kekuasaan di Bali.
Sementara itu, dalam kasus Kristenisasi, lonjakan cukup berarti terjadi ketika bencana meletusnya Gunung Agung tahun 1963. Desa-desa yang terkena dampak letusan menjadi miskin dan tentu saja sangat memerlukan pertolongan. Di sinilah para misionaris bermain dengan membawa misi damai, cinta kasih, dan persaudaraan. Melalui berbagai bantuan berupa sandang, pangan, papan, dan biaya pendidikan secara perlahan-lahan misi ini mendapat simpati oleh masyarakat. Dengan janji mendapatkan keselamatan di akhirat, maka orang-orang Hindu ini mau beralih agama ke Kristen dan meninggalkan agama leluhurnya.Lebih jauh, metode yang diterapkan oleh misionaris Kristen di Bali antara lain sebagai berikut.
(a) Metode kebudayaan misalnya, dengan menggunakan bahasa Bali dalam kebaktian, arsitektur gereja, dan yang cukup mencenggangkan adalah Injil berbahasa Bali yang salah satu ayatnya berbunyi “Ida Sanghyang Widhi maduwe putra asiki aran Sanghyang Yesus”. Metode ini cukup efektif untuk menciptakan opini masyarakat Bali bahwa Kristen tidak jauh berbeda dengan Hindu dan dengan masuk Kristen, orang Bali tidak akan kehilangan kebudayaannya.
(b) Metode pendidikan, di samping dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada anak didik, juga dengan mendirikan sekolah-sekolah yang cenderung lebih bagus mutunya dari pada sekolah umum.
(c) Metode bantuan sosial-ekonomi kepada masyarakat miskin dengan dalih kemanusiaan.
(d) Metode perkawinan lintas agama (amalgamasi), mempelai Kristen harus tetap menjadi Kristen. Sebaliknya, calon mempelai beda agama harus masuk Kristen.
(e) Metode pekerjaan, yakni memberikan kesempatan dan peluang kerja kepada umat non-Kristen untuk selanjutnya berusaha di-Kristen-kan.
(f) Metode penyiaran (cetak/elektronik), yakni pemanfaatan media massa untuk melakukan siar agama.
Metode-metode ini tampaknya cukup ampuh untuk mengkonversi umat Hindu yang kekurangan secara material, serta militansi dan pengetahuannya terhadap agama Hindu sangat lemah dan rapuh. Sementara itu, dalam menghadapi misionarisasi dari Islam dan Kristen, tampaknya umat Hindu Bali cenderung defensif. Artinya, terhindar atau tidaknya umat Hindu dari konversi ke agama lain sangat tergantung dari ketangguhannya dalam mempertahankan diri.
Berbagai tantangan yang muncul di desa pakraman, baik faktor internal maupun eksternal tak ubahnya seperti sekeping mata uang logam. Dalam hal ini, boleh dikatakan sebagai tantangan, sekaligus menjadi peluang. Sebagai tantangan, apabila Desa Pakraman tidak mampu lagi menjaga eksistensi/jati dirinya sebagai institusi adat yang mengawal kelestarian adat, budaya, dan agama Hindu Bali. Sebaliknya, perubahan tersebut akan menjadi peluang bagi Desa Pakraman, untuk menumbuhkan sikap jengah sehingga Desa Pakraman dapat lebih meningkatkan peranan dan fungsinya dalam menjaga alam Bali.
Pemaparan mengenai sketsa tantangan Desa Pakraman di atas, pada prinsipnya ingin menggugah kesadaran bahwa segala perubahan yang terjadi di masyarakat hendaknya disikapi oleh Desa Pakraman. Dalam konteks ini, Desa Pakraman perlu membuka diri untuk melihat lebih luas dan mendalam berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Desa pakraman harus berani untuk “think globally act locally” (berpikir global, bertindak lokal). Artinya, akses ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikelola untuk menunjang eksistensi Desa Pakraman. Oleh karena itu, Desa Pakraman perlu mendapatkan sentuhan manajemen modern sehingga mampu menyesuaikan diri dengan penetrasi budaya modern yang begitu cepat.

DAFTAR BACAAN

Astra, I Gde. Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Persepektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Ubiversitas Udayana, dan CV Bali Media.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”, Singaraja: Hasil Penelitian belum diterbitkan.

Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Bosch, FDK. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara.

Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.

Goris, R. 1974. Sekta-Sekta di Bali. Jakarta : Bhratara.

Koentjaraningrat. 1986. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI-Press

Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.

Noerhadi Magetsari,1986, Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta: Pustaka Jaya.

Oka, I Gusti Ngurah. 2001. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa Pakraman di Bali.. Denpasar: Majelis Pembina Lembaga Adat Provinsi Bali.

Keputusan Paruman Para Wiku dalam Loksabha V Parisada Dharma Hindu Bali 28 Januari 2007. Piagam Campuhan Tentang Identitas Agama Hindu Bali. Gianyar: Pura Samuhan Tiga.
Putra, Ida Bagus. 2005. Hilangnya Peran Masyarakat Agraris Mengamcan Ajeg Bali. Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis dan Wisuda Sarjana UNHI Denpasar.

Windia, Wayan P. 2008. Bali Mawacara: Gagasan Satu Hukum Adat (Awig-Awig) dan Pemerintahan di Bali. Denpasar: Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana bekerjasama dengan Penerbit Pelawa Sari Denpasar.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...