Jumat, 16 Desember 2016

Resolusi Agama Hindu



Resolusi Tripitama

I  W a y a n  S u k a r m a

Resolusi adalah kesadaran tentang masa depan dan upaya mewujudkannya pada masa kini. Kekuatan yang paling utama untuk mewujudkan kesadaran tentang tripitama agama Hindu adalah semangat yang datang dari Sang Diri. Semangat bentuk lain adalah Ilusi, karena itu berubah-ubah sehingga tidak layak dijadikan pondasi resolusi. Seperti disebutkan dalam Svetasvatara Upanisad, “Pengetahuan suci, perbuatan suci, nyanyian pujaan, dan tradisi luhur untuk masa depan dikatakan Veda. Semua itu datang dari Sang Diri, yang lainnya diselubungi maya.  

Tripitama itu semacam akromin dari Tri Pilar Utama, tiga pilar utama agama Hindu yang dalam Upadesa (1968) disebut tiga kerangka agama Hindu meliputi Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (Ritual). Diumpamakan, Tattwa sebagai kepala agama Hindu; Susila sebagai hati agama Hindu; Upacara sebagai kaki dan tangan agama Hindu. Seperti sebutir telor, kuningnya adalah Tattwa; putihnya adalah Susila; kulitnya adalah Upacara. Sebutir telor akan menetas secara sempurna, bila bagian-bagiannya sempurna. Ketiga kerangka agama Hindu ini dalam Swastikarana (2014) disebut Tri Jnana Sandhi meliputi Tattwa, Susila, dan Acara. Tattwa adalah ajaran ketuhanan; Susila adalah ajaran moral; dan Acara adalah upacara dan upakara.    
Tiga kerangka itu dapat diduga merupakan penyederhanaan dari tujuh kerangka agama Hindu Bali yang dirumuskan Ida Pedanda Made Kemenuh dalam Kerangka Agama Hindu Bali (1964). Dalam rangka memenuhi peraturan dan perundang-undangan negara disebutkan, agama Hindu Bali disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas tujuh bilik, seperti berikut (1) nama agama, (2) nama Tuhan, (3 sradha, (4) orang suci, (5) kitab suci, (6) pelaksanaan, dan (7) hari raya. Tujuh kerangka ini barangkali terinspirasi dari dua sendi utama agama Hindu Bali yang dikemukakan Nand Lal Punj (1956) meliputi hukum karma dan hidup bersama-sama dengan setiap manusia termasuk dengan makhluk yang melebihi manusia.    
Perubahan kerangka agama Hindu itu sejalan dengan perubahan nama agama yang dipeluk orang Bali, yaitu masyarakat suku Bali, baik karena kebutuhan internal maupun eksternal. Mula-mula nama agama Hindu Bali ditetapkan tahun 1952 di Tampak Siring untuk menggantikan nama agama Siwa-Buddha yang kemudian, berubah menjadi agama Hindu Dharma hingga sekarang bernama agama Hindu. Perhatikanlah Ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma ke II No. II/Kep/PHDP/68 tentang Resolusi I, Tanggal 4 Desember 1968 berikut. ”Memutuskan: Mendesak kepada Pemerintah cq. Presiden R.I agar memerintahkan Menteri Agama R.I untuk menyesuaikan nama-nama instansi Hindu Bali menjadi Hindu dari tingkat Pusat sampai ke Daerah-daerah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Resolusi tersebut merupakan kebulatan pendapat, berupa tuntutan yang ditetapkan oleh sabha, yakni keinginan dan harapan – menurut Aristoteles, harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga; dan Edgar Cayce mengatakan, mimpi adalah jawaban hari ini atas pertanyaan-pertanyaan esok. Sadar pada keinginan sudah merupakan anugerah. Keinginan adalah dasar pokok dari resolusi, baik individu maupun lembaga. Keinginan adalah sumber tenaga dan tempat menyimpan tenaga yang dihasilkan oleh tindakan, karma. Mengetahui keinginan berarti memahami harapan (masa depan). Memahami keinginan berarti melekatkan nilai dan makna pada harapan. Mengapresiasi keinginan berarti upaya mewujudkan harapan. Itulah resolusi: kesadaran tentang masa depan, kekuatan kesadaran atas kesempurnaan dan upaya penyempurnaan.
Kesempurnaan keinginan (kama) adalah kesejahteraan bendani (arthani jagadhita) dan kebahagiaan jiwani (atmanah moksartham): Itulah Dharma. Selain Brahman, Semua adalah Dharma. Masa depan kehidupan beragama umat Hindu dan upaya mewujudkannya adalah Dharma. Inilah Resolusi Tripitama. Untuk mengapresiasi Dharma itu umat Hindu membutuhkan keyakinan (pengetahuan dharma) dan kepercayaan (pengalaman dharma). Kepercayaan kepada dharma itulah dasar utama agama Hindu yang disebut Sraddha. Oleh karena jumlahnya lima kepercayaan sehingga disebut Panca Sraddha, yaitu Widhi Sraddha, Atman Sraddha, Karmaphala Sraddha, Punarbhawa Sraddha, dan Moksa Sraddha. Lima kepercayaan dan empat tujuan hidup itu sekiranya, layak dan pantas menjadi pertimbangan dalam membangun semangat penyempurnaan ajaran agama Hindu.               
Penyempurnaan pernah terjadi berkaitan dengan perubahan nama agama Hindu dan lembaganya. Pada waktu pembentukannya bernama Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) kemudian, berkembang hingga sekarang disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Berdasarkan tanggung jawabnya untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman kehidupan beragama sehingga PHDI memiliki kewajiban mengatur hubungan antarumat Hindu dan menata hubungan umat Hindu dengan pandita dan pinandita dalam rangka penghayatan agama secara bersama-sama. Semangat hidup tertib dan tenteram, baik inter maupun antarumat agama memang perlu disempurnakan seturut dengan pasang-surut kehidupan. Apalagi agama Hindu dipraktikkan dalam masyarakat yang budaya dan tradisinya beragam sehingga tampak berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya.
Perbedaan ekspresi keagamaan yang ditampilkan masyarakat menunjukkan bahwa agama Hindu mewadahi pertemuan Yang Sakral (Niskala) dengan Yang Profan (Sakala). Masyarakat Hindu menyadari di balik dunia-yang-sakala terdapat dunia-yang-niskala dan mereka dapat berhubungan dengan realitas-nisakala itu. Kalau bertumpu pada komponen dalam agama yang berlaku universal (seperti prinsip-prinsip agama yang dikemukakan Mircea Eliade), maka Yang Sakral adalah penyataan dan/atau pengungkapan Yang Suci meliputi Orang Suci, Tempat Suci, dan Kitab Suci. Kemudian, Yang Profan merupakan respons umat agama sebagai ungkapan beragama meliputi Komunitas Umat Agama, Jalan Keselamatan, dan Upacara beserta Etik pelaksanaannya. Komponen-komponen agama itu sesungguhnya sudah terangkum dalam tripitama, tiga kerangka agama Hindu.
Rangkuman itu barangkali dapat dijadikan zonasi dalam merumuskan resolusi akan kesempurnaan penghayatan atas kesadaran mengenai hubungan dan ikatan kembali dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Pertama, Tattwa berarti hakikat tentang Tat, hakikat tentang Sang Hyang Widhi yang dalam Upadesa disebut Widhitattwa (Filsafat tentang Sang Hyang Widhi). Hanya saja patut disadari bahwa filsafat menyelidiki Tuhan melalui cabang khusus yang disebut dengan filsafat agama. Filsafat agama membahas Tuhan dari segi argumentasi tentang eksistensi-Nya, argumentasi yang meragukan eksistensi-Nya, dan argumentasi yang menolak eksistensi-Nya. Filsafat agama membahas tentang Tuhan secara menyeluruh, rasional, radikal, objektif, kritis, sistematis, dan bebas, karena itu juga dikenal dengan filsafat ketuhanan.  
Tujuan puncak filsafat agama, antara lain untuk menguatkan kembali keyakinan umat agama, baik yang meragukan sebagian ataupun keseluruhan ajaran ketuhanan dari agama yang dipeluknya. Berbeda dengan filsafat agama itu barangkali Widhitattwa dapat disebut sebagai ajaran ketuhanan atau ajaran tentang Sang Hyang Widhi Wasa yang lazim dalam komponen agama disebut dogma agama. Dogma agama sebagai ajaran ketuhanan bersifat mutlak dan ablosut, karena itu mengandung doktrin berupa perintah dan anjuran yang wajib ditaati umat agama. Untuk menguatkan doktrin inilah dibutuhkan teologi, yaitu ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan. Teologi mempelajari Tuhan secara mendalam, rasional, menyeluruh, sistematis, dan bebas berdasarkan kitab suci agama.
Sederhananya, filsafat menyediakan pengetahuan kodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan; teologi menyediakan pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang wahyu Tuhan; dan dogma menyediakan wahyu Tuhan. Filsafat dijiwai oleh kritik rasional; teologi dijiwai oleh wahyu Tuhan; dan dogma dijiwai oleh iman (sraddha) kepada Tuhan. Filsafat membahas ketuhanan berdasarkan pencarian rasional tentang wahyu Tuhan; teologi membahas ketuhanan sesuai dengan petunjuk wahyu Tuhan; dan dogma mempercayai wahyu Tuhan. Filsafat menggunakan pedekatan induktif; teologi menggunakan pendekatan deduktif; dan dogma menggunakan pendekatan emotif-konatif. Filsafat membahas Tuhan yang tidak mempribadi; teologi membahas Tuhan yang mempribadi; dan dogma membahas Tuhan yang alami.
Keterangan ringkas itu sekiranya, dapat menjernihkan pandangan tentang Tattwa, baik sebagai dogma agama Hindu maupun cakupannnya dalam khazanah kajian tentang Tuhan. Tattwa adalah ajaran ketuhanan yang menyediakan pengetahuan ketuhanan atau pengetahuan mengenai Sang Hyang Widhi yang bersumber pada Kitab Suci. Dalam Siwatattwa (2003) disebutkan umat Hindu di Indonesia sudah turun-temurun memuja Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa. Kitab Suci, berupa sastra agama Hindu, baik Jawa Kuna maupun Sanskerta yang memuat ajaran Bhatara Siwa disebut Saivasiddhanta. Dalam masyarakat Hindu di Bali misalnya, ajaran Bhatara Siwa dimplementasikan dalam bentuk teologi Tri Murti yang menjadi landasan struktur dan kultur masyarakat desa pakraman.
Kedua, Susila berarti dasar atau prinsip-prinsip tingkah laku yang baik. Lebih luas, susila berarti baik budi bahasanya, sopan, beradab; adat istiadat yang baik, kesopanan, sopan santun, dan keadaban (KBBI). Cabang filsafat yang membahas tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk atau benar dan salah disebut etika. Etika mempunyai tiga arti, yaitu “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai tentang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat” (KBBI). Dalam arti ini etika adalah ilmu tentang moral, kode etik, dan sistem nilai.  
Moralitas sebagai ciri khas manusia merupakan fenomena manusiawi universal. Ini sebabnya, hukum moral mewajibkan manusia sehingga keharusan moral adalah kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengendalikan diri sehingga mengatur tingkah lakunya berdasarkan norma dan aturan. Untuk itu, manusia memerlukan etika sebagai filsafat terapan, yaitu filsafat moral dan ilmu tentang moral. Etika sebagai ilmu tentang moral menyelidiki moralitas dalam tiga pendekatan: etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika. Etika deskriptif melukiskan perbuatan moral; Etika normatif menentukan baik dan buruknya perbuatan yang menjadi petunjuk atau penuntun dalam memutuskan perbuatan moral; dan Metaetika membahas bahasa etis: mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Seringkasnya, etika mewadahi filsafat moral, ilmu tentang moral, dan ajaran moral. Ajaran moral, sebagaimana dirumuskan etika normatif bersifat preskriptif, memberikan argumentasi dan alasan terhadap perbuatan. Ajaran moral merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipraktikkan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Begitu juga Susila yang berarti dasar atau prinsip-prinsip tingkah laku yang baik merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipraktikkan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Dengan begitu, Susila adalah ajaran moral. Apalagi dalam Etika disebutkan, selain interaksi sosial, hukum,  dan kebudayaan, juga agama adalah sumber moral. Serupa dengan etika normatif, juga Susila merumuskan prinsip-prinsip etis yang berlaku khusus dalam kehidupan beragama dan berlaku umum dalam bermasyarakat.   
Susila merumuskan dan mengajarkan prinsip-prinsip etis berkenaan dengan tingkah laku pikiran, perkataan, dan perbuatan, trikaya parisudha. “Maka yang harus diperhatikan, jika ada hal-hal yang ditimbulkan oleh perkataan, perbuatan, dan pikiran yang tidak menyenangkan bagi dirimu sendiri, malahan menimbulkan duka dan sakit hati; perbuatan itu jangan hendaknya Anda lakukan pada orang lain” (Sarasamuccaya). Perhatikanlah nasehat Sri Swami Siwananda, “Jangan meninggalkan jalan moralitas, walaupun hidupmu dalam bahaya. Jangan meninggalkan kejujuran demi beberapa perolehan materi. Mintalah nasehat pada sastra dan mahatma apabila ragu-ragu. Jagalah cita-citamu selalu dalam pikiranmu, tancapkan pada sadacara atau perilaku benar dan laksanakan. Kamu segera akan mencapai kebahagiaan abadi, kekekalan”.
Ketiga, Acara berarti peraturan dan pelaksanaan agama Hindu, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi keagamaan. Pada prinsipnya tradisi keagamaan merupakan penyataan dan/atau pengungkapan ajaran agama Hindu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab suci dan yang disampaikan orang-orang suci. Dari kitab-kitab suci dan sabda orang-orang suci itu umat Hindu menggali dan mengungkap pokok-pokok ajaran ketuhanan (Tattwa) dan pedoman tingkah laku (Susila), baik pedoman yang berlaku khusus dalam hidup keagamaan maupun kemasyarakatan. Penyataan atau pengungkapan ajaran ketuhanan tampak pada kebiasaan, seperti tri sandya dan mabhakti. Kebiasaan ini semakin jelas saat umat Hindu menyatakan hubungannya dengan Sang Hyang Widhi Wasa di tempat suci, seperti Merajan dan Pura.             
Dalam kehidupan beragama pengungkapan Susila tampak pada kebiasaan, seperti pengendalian indra (brata), pengendalian nafsu (upawasa), pengendalian pikiran (yoga), derma kemanusiaan (dana), derma kedewataan (punia), dan kebiasaan yadnya lainnya. Dalam bermasyarakat Susila tampak pada kebiasaan, seperti kepatuhan pada empat guru (catur guru), ketaatan pada tiga perbuatan suci (tri kaya parisudha), harmoni dengan tiga pusat kehidupan (tri hita karana), dan kebiasaan swadharma lainnya. Kebiasaan-kebiasaan ini semakin jelas ketika umat Hindu melaksanakan kewajibannya sebagai krama banjar atau krama desa pakraman. Kewajiban itu tampak sebagai kebiasaan berkenaan dengan adat dan dinas yang tanggung jawabnya diatur berdasarkan awig-awig dan hukum formal serta kode-kode moral universal.                     
Acara sebagai tradisi keagamaan, juga menggambarkan keakraban komunitas umat Hindu dalam rangka penghayatan dan pengalaman agama secara bersama-sama. Kegiatan ini dilakukan bersama dengan tuntunan pandita atau pinandita dalam upacara yadnya pada hari suci dan di tempat suci tertentu sesuai dengan aturannya. Misalnya, upacara-upacara yadnya yang dilaksanakan oleh keluarga, banjar, desa pakraman, dan lembaga-lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Upacara yadnya itu, selain sebagai upaya umat Hindu menyatakan, membangun, dan menata hubungannya dengan dunia-niskala, juga sebagai upaya membangun dan mempererat ikatan sosial keagamaan. Upaya membangun hubungan dengan dunia-nikala ini sekaligus menunjukkan bahwa upacara yadnya menjadi jalan keselamatan untuk mencapai Yang Suci.  
Tradisi keagamaan dapat dipahami sebagai representasi dunia-niskala dalam dunia-sekala atau lebih tepatnya sebagai hubungan yang tidak terputus-putus antara Yang Profan dan Yang Suci. Tradisi keagamaan sebagai bentuk penyataan atau pengungkapan Yang Suci telah menunjukkan, Acara meliputi ajaran agama Hindu yang menerangkan tentang Kitab Suci, Orang Suci, Tempat Suci, Hari Suci, Upacara Yadnya, dan Jalan Keselamatan. Acara menyediakan petunjuk dan memberikan tuntunan mengenai sumber-sumber ajaran agama, aturan, tata cara, tempat, dan waktu yang tepat untuk membangun dan menata hubungan dengan Sang Hyang Widhi. Acara itulah inti pengungkapan Sang Hyang Widhi karena pada hakikatnya fungsi agama adalah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Acara adalah praktik keagamaan sebagai penyataan ajaran ketuhanan (Tattwa) dan pengungkapan ajaran moral (Susila), karena itu memunculkan gejala-gejala atau fenomena keagamaan. Fenomena inilah yang dapat dicermati dari beragam perspektif. Acara, antara lain mengungkapkan hubungan umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi dalam beragam paham ketuhanan; hubungan umat Hindu dengan sesama: umat Hindu, umat agama, umat manusia, dan makhluk, bahkan melebihi manusia dalam beragam interaksi; dan hubungan umat Hindu dengan alam dalam beragam lingkungan, bahkan melebihi lingkungan duniawi. Hubungan-hubungan tersebut mengingatkan pada kemuliaan ikatan-hidup dalam beragam satuan waktu hingga pengulangan masa kelahiran. Ikatan sakala-niskala itulah merupakan fungsi tripitama sebagai tiga pita utama.
Fenomena keagamaan itu menunjukkan bahwa pada masa depan akan dibutuhkan kajian agama Hindu dari segi filsafat, teologi, etika, dan sains. Kajian ini dibutuhkan untuk menguatkan tiga pilar utama agama Hindu dan praktiknya dalam kehidupan beragama. Filsafat dan teologi dibutuhkan untuk menguatkan ajaran ketuhanan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu tentang Tuhan. Perhatikanlah tidak sedikit teori-teori sosial, baik klasik maupun kontemporer yang mendasarkan pandangannya pada agama dan ketuhanan. Kenyataannya, agama sudah ikut ambil bagian pada hampir seluruh bidang kehidupan manusia. Artinya, kebutuhan tentang kajian agama Hindu dari segi sains sudah semakin nyata misalnya, psikologi, sosiologi, antropologi, seni, sejarah, hukum, politik, ekonomi, dan kesehatan.   
Kajian-kajian itu barangkali dapat melengkapi semangat resolusi terhadap tiga pilar utama agama Hindu ataupun tiga pita utama pengikat hidup keagamaan. Apalagi tujuan menguasai pengetahuan agama untuk dipraktikkan sehingga tripitama mesti kokoh saling mengikat menjadi kesatuan yang utuh dan padu. Seperti perumpamaan dalam Upadesa dan rumusan Veda dalam Svetasvatara Upanisad: Tattwa sebagai kepala agama Hindu adalah pengetahuan suci. Susila sebagai hati agama Hindu adalah perbuatan suci. Acara sebagai kaki dan tangan agama Hindu adalah praktik keagamaan, yaitu nyanyian pujaan dan tradisi luhur. Pengetahuan suci, perbuatan suci, nyanyian pujaan, dan tradisi luhur yang datang dari Sang Diri untuk masa depan: Itulah Veda.   
   Majalah Wartam, Edisi 22/Desember/2016

    
        

  
     
                    


          

Pemimpin Hindu



Manggala Baru, Paradigma Baru
I  W a y a n  S u k a r m a
Pemimpin lahir dari proses politik inheren dalam kebutuhan dan kepentingan sejarah. Hanya saja kebutuhan dan kepetingan tidak pernah muncul dengan wajah tunggal sehingga pemimpin pun tampil dengan beragam sebutan, seperti manggala, kepala, komandan, senopati, dan ketua. Setiap nama-rupa pemimpin mempunyai daya-upaya mencerminkan wawasan kepemimpinan lazimnya disebut paradigma. Idealnya memang manggala baru tampil dengan paradigma baru seiring dengan harapan-harapan baru. Spesial untuk ketua Parisada ditawarkan paradigma kepemimpinan religius dengan mangadopsi dan mengadaptasi sifat-sifat dewata.            
Mahasabha PHDI XI 21-24 Oktober 2016 di Surabaya sudah berakhir dan berhasil: memilih dan menetapkan Wisnu Bawa Temaja menjadi Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia. Umat Hindu pun menyambut gembira keberhasilan Mahasabha PHDI dengan menyampaikan ucapan selamat dan doa sukses kepada Ketua Baru, Manggala Baru. Ucapan selamat dan doa sukses itu tanpa disadari telah menganulir dan menyingkirkan peran Sang Nyoman Suwisma sebagai Ketua Lama dari keberagamaan umat Hindu. Perubahan dan pergantian itulah hukum alam yang mengikat dunia-kehidupan sehingga tak seorang pun sanggup melawan dan menghindarinya. Segalanya dipaksa terikat dan tergantung pada masanya: yang lama berganti dengan yang baru.           
Pengurus PHDI yang lama berganti dengan pengurus PHDI yang baru sebab setiap pengurus PHDI terikat dan tergantung pada masanya: lima tahun. Seperti pergantian musim – membawa perubahan dalam dunia-kehidupan, bahkan menggambarkan pola tindakan dan alternatif tindakan yang paling efektif dan produktif – begitu juga pergantian pengurus PHDI tentu membawa perubahan dalam keberagamaan umat Hindu. Selain sudah dirancang secara matang dalam Mahasabha, juga perubahan itu sudah tersirat dalam ucapan selamat dan doa sukses untuk Ketua beserta Pengurus Baru, yaitu berupa harapan-harapan baru. Harapan itulah peran-peran yang mesti dan harus ditampilkan pengurus baru di bawah arahan sang sutradara baru: Ketua Baru dengan Paradigma Baru.     
Paradigma baru (seorang) ketua baru sebuah lembaga agama tentu tidak lepas dari kewajiban keagamaan, sebagaimana ajaran ketuhanan, moral, dan ritual dalam kitab-kitab suci (Tattwa). Selain kewajiban utama itu, juga ketua mempunyai dua kewajiban pokok berdasarkan fungsi dan perannya. Pertama, kewajiban pokok disebabkan oleh fungsinya bersifat memaksa (Rta), seperti mata berfungsi melihat dan telinga berfungsi mendengar. Kedua, kewajiban pokok oleh karena perannya bersifat memerintah (Dharma), seperti suami berperan melindungi istri dan ayah berperan memelihara anak. Kewajiban-kewajiban itu barangkali dapat dijadikan landasan ideal, moral, dan operasional dalam merumuskan paradigma kepemimpinan. Dengan begitu, paradigma dapat menjamin kebebasan pengurus dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.          
Kewajiban sebagai landasan tanggung jawab yang menyatakan kebebasan berpikir, bersikap, dan bertindak tidak cukup hanya merumuskan paradigma sebagai asumsi teoretis, tetapi juga asumsi filosofis dan strategi aksi. Misalnya, meliputi pandangan-dunia berupa cara melihat dan memelihara dunia-kehidupan; pandangan dasar tentang pokok masalah dan pemecahannya; keyakinan dasar yang membimbing tindakan; dan prinsip dasar berupa pedoman penilaian terhadap dunia-kehidupan. Begitulah paradigma merupakan keyakinan dasar, landasan berpikir, dan pola pikir dalam memahami diri dan lingkungan. Pemahaman diri dan lingkungan yang memadai akan membantu pemimpin dalam merumuskan konsep diri dan nilai diri, bahkan mengadaptasikan dan menyesuaikan dengan praktiknya seiring dengan perkembangan pengetahuan dan perubahan kebutuhan.  
Perkembangan dan perubahan yang menandai dunia-kehidupan, juga berlangsung dalam keberagamaan umat Hindu sehingga paradigma kepemimpinan tidak akan memadai, bila dibakukan pada suatu arti dan dibekukan pada makna tertentu. Apalagi berkaitan dengan pemimpin, memimpin, pimpinan, dan kepemimpinan terdapat beragam terminologi beserta nilai yang menyertainya. Sederhananya, ketika mendengarkan ucapan “pemimpin” kemudian, yang terbayang adalah “orang besar”: mereka yang bisa dan biasa menjaga kehormatan diri dan lingkungannya sehingga dipanggil sebagai “yang terhormat”. Predikat terhormat memberikannya kedudukan tertinggi, karena itu pemimpin mempunyai kebiasaan melindungi harga dirinya sehingga dipanggil “yang mulia”. Bukan hanya “terhormat” dan “mulia”, bahkan dalam lingkup religius biasanya pemimpin dipanggil “yang suci”.    
Predikat-predikat tersebut menunjukkan pemimpin adalah manggala yang berperan mengantarkan niat, membimbing keyakinan, dan mendorong semangat keberagamaan. Bila keberagamaan dapat dianalogikan sebagai cerita tentang hidup keagamaan, barangkali manggala dapat berperan sebagai prolog, dialog ataupun monolog, dan epilog. Pada bagian prolog manggala sebagai pengantar yang menjelaskan latar, maksud, tujuan, dan lingkup naskah cerita serta penilaiannya atas naskah tersebut. Pada bagian dialog ataupun monolog manggala sebagai moderator yang mengatur lalu lintas percakapan keagamaan pada setiap pragmennya sekaligus sebagai notulen yang mencatat percakapan tersebut menjadi pola-pola keberagamaan. Pada bagian epilog manggala menyarikan inti hidup keagamaan dan menafsirkannya demi keberlanjutan cerita dan masa depan keberagamaan.
Peran manggala agama yang begitu kompleks tanpa disadari telah mendesaknya menguasai wawasan berpikir dan strategi tindakan yang selalu terbarukan sejalan dengan perkembangan harapan-harapan masyarakat agama. Apalagi kompleksitas dunia-kehidupan tidak tegas memisahkan bidang kehidupan agama dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Demontrasi umat Islam di Ibukota Negara, 4 Nopember 2016 misalnya, telah menunjukkan betapa tidak sederhananya hubungan agama dengan negara. Peristiwa tersebut tidak hanya mempunyai konsekuensi serius terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga berimplikasi terhadap bidang kehidupan lainnya, seperti politik, hukum, dan ekonomi. Artinya, peran manggala agama tidak terbatas hanya pada bidang kehidupan agama, tetapi juga pada jalinannya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.              
Pentingnya peran manggala pada setiap babak cerita keberagamaan menunjukkan pemimpin adalah kepala: pemikir. Mengingat kepala adalah tempat sistem saraf pusat yang memproduksi pikiran dan mendistribusikannya melalui kekuatan mengatur, mengontrol, dan mengendalikan aktivitas organ-organ (badan). Selain berfungsi mekanis, juga pikiran berperan organis dalam membangun kesadaran mental dan spiritual. Pikiran merupakan jembatan penghubung antara badan, tubuh, dan jiwa, seperti penjelasan Sankhya tentang kerja sama manas dengan ahamkara dan budi serta kerja samanya dengan indra-indra dan alat-alat bertindak. Kebenaran yang diproduksi pikiran didistribusikan kepada alat bertindak menjadi kebaikan sehingga hidup menampilkan keindahan. Begitulah kepala sebagai pusat kebenaran mendapat perlakuan yang istimewa, bahkan sakral.
Sakralitas kepala dapat dicermati dalam keseharian melalui perlakukan terhadap kepala misalnya, memegang kepala orang lain dipandang sebagai perbuatan tidak sopan, apalagi memegang kepala orang yang usianya lebih tua. Bukan hanya kepala, bahkan segala properti yang berkaitan dengan kepala dipandang sakral, seperti tampak pada kebiasaan memperlakukan topi, peci, udeng, apalagi mahkota. Menaruh properti kepala tersebut, apalagi mahkota di bawah tempat sepatu misalnya, dipandang sebagai perbuatan tidak sopan. Kesopanan semacam ini mencerminkan bahwa (seorang) kepala selayaknya duduk tenang di deretan paling depan dan berdiri kokoh di ujung barisan pasukan-tindakan: “berpikir dulu baru bertindak”. Begitulah kepala berfungsi sebagai komandan pasukan yang memberikan komando.
Ketenangan dan keteguhan pendirian seorang komandan pernah didemonstrasikan oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai dalam Perang Kemerdekaan Indonesia pada 20 Nopember 1946 di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Dalam suratnya kepada Overste Termeulen, antara lain I Gusti Ngurah Rai menulis sebagai berikut. “Soal peroendingan kami serahkan kepada kebidjaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnja peroendingan diplomatik. Dan saja boekan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki lenjapnja Belanda dari poelau Bali ataoe kami sanggoep dan berdjandji bertempoer teroes sampai tjita2 kita tertjapai”. Artinya, bertempur merupakan kewajiban komandan pasukan, sedangkan berunding merupakan kewajiban panglima atau pemimpin perang: senopati.
Senopati sebagai panglima perang merupakan istilah serapan dari bahasa Sanskerta terdiri atas kata “sena” berarti prajurit dan “pati” berarti pemimpin. Penggunaan kata “senopati” barangkali dapat dipahami melalui kisah Barathayuddha, seperti Senopati Salya, Senopati Dorna, dan Senopati Karna beserta divisi dan formasi perangnya masing-masing. Dari sini dapat dipahami perbedaan ekspresi antara senopati sebagai pemimpin perang dan komandan sebagai pemimpin pasukan. Namun kedua ekspresi itu sama-sama mengandung semangat perjuangan yang penuh dengan strategi dan sasaran dalam rangka mewujudkan misi kelahiran seiring dengan visi hidup: pandangan tentang masa depan. Semangat itulah jiwa yang membentuk karakter pemimpin, apalagi pemimpin agama dengan visi: penyatuan manusia-tuhan-alam.
Visi itulah melingkupi dan menyusupi pandangan pemimpin sehingga pemimpin disebut Ketua: “orang yang tertua dan banyak pengalaman” (KBBI). Barangkali selain karena usia, bahkan yang terpenting ketua adalah orang yang tertua karena wawasan, baik kognitif, emotif maupun konatif. Artinya, ketua adalah orang dewasa dan matang. Dewasa berarti dapat melihat masalah dan matang bisa memecahkan masalah. Melihat masalah berarti mampu membangi dan membedakan realitas kehidupan berdasarkan nilai, norma, dan aturan hidup menjadi fakta-fakta kehidupan. Memecahkan masalah berarti sanggup menghubungkan antarfakta kehidupan menjadi kesatuan pengetahuan kehidupan. Begitulah ketua adalah orang yang tahu diri: mampu bertanggung jawab dan sanggup mengapresiasi tanggung jawabnya dalam kehidupan.
Ketua dengan kepemimpinan intelektual dan moral semacam itu dalam tradisi Bali disebut Kelihan. Kelihan adalah pemimpin organisasi tradisional, seperti Banjar, Subak, dan sekaa-sekaa fungsional lainnya. Dalam menjalankan kepemimpinannya, kelihan tidak mengutamakan pendekatan kekuasaan, tetapi lebih bertumpu pada kewajiban yang disebut ayah-ayahan. Ayah-ayahan inilah tangung jawab adat yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat dalam rangka mewujudkan kasukertan meliputi palemahan, parhyangan, dan pawongan. Itu sebabnya, kosmologi, teologi, dan antropologi merupakan konsep strategis dalam masyarakat adat. Biasanya kelihan “dipaksa” memenuhi kebutuhan masyarakat akan pengetahuan terapan, seperti tata ruang (trimandala, astabumi, dan astakosala-kosali), perhitungan waktu (wariga dan ala-ayuning dewasa lainnya) termasuk panca yadnya dan rerahinan.
Kelihan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menangani alam, interaksi manusia dengan sesama, dan tata cara hubungan manusia dengan Tuhan. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, bahkan kelihan “dipaksa” menguasai bahasa dan tata krama pergaulan, baik lokal maupun global. Begitulah kelihan ataupun ketua sebagai yang tertua dan dituakan serta banyak pengalaman adalah “orang bermental baja”. Keyakinan dasarnya yang kuat menyebabkan ketua tidak membiarkan pikiran dan emosi negatif berkembang dan menguasai dirinya karena disadari akan merusak hubungan dengan orang lain. Penting baginya menjalankan kehidupan berdasarkan segala kebaikan dunia, mengandalkan diri pada kebaikan itu, dan menghargainya dengan rasa terima kasih.    
Sikap bersyukur itulah membuat ketua mampu merumuskan konsep dan harga diri serta sukses yang hendak dicapainya. Konsep ini membantunya dalam melaksanakan fungsi dan perannya, yaitu melakukan dan mengontrol perubahan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan. Kontrol yang ketat terhadap perubahan menyebabkannya berani dan tidak ragu-ragu melakukan perubahan seiring dengan kehendak zaman. Kepercayaan diri tersebut mengimbaunya, agar merumuskan perubahan beserta tahapannya sejak praperancanaan, perencanaan, persiapan, tindakan hingga meneruskan. Tahapan perubahan itu dibutuhkan agar perubahan tidak menimbulkan guncangan budaya dan kekacauan sosial. Ketua pun akan tetap merasa aman, nyaman, bekerja lebih menyenangkan, dan percaya diri karena tidak tergantung pada penilaian orang ataupun pihak lain.   
Percaya diri itu merupakan landasan berpikir untuk menghitung resiko dari setiap tindakan. Setiap tindakan niscaya menimbulkan resiko, seperti kepercayaan karmaphala. Kepercayaan ini dapat mencegah kegagalan seorang ketua karena ketakutan mengambil resiko, baik fisik, finansial, maupun sosial. Ketakutan mengambil resiko lebih sering disebabkan oleh pola pikir yang masih terikat pada masa lalu misalnya, pengalaman yang menyakitkan. Padahal pengalaman itu sudah berlalu sehingga tidak dapat diubah menjadi pengalaman yang menyenangkan. Ketua memang tidak sanggup mengubah yang terjadi, tetapi dapat menikmati masa kini sembari memikirkan dan merencanakan perubahan untuk masa depan. Tugasnya memikirkan fakta kehidupan dan melihat situasi kehidupan dari sudut pandang baru.
Pola pikir semacam itu dapat mencegah ketua mengulangi kesalahan dan kegagalan yang sama pada suatu masa kepemimpinan. Pandangan baru sebagai pola berpikir reflektif merupakan upaya meninjau penyebab kegagalan, menemukan revisi yang dapat dilakukan, dan menentukan cara melakukan yang paling tepat. Mengingat ketua sebagai pemimpin yang handal menerima tanggung jawab atas kesalahannya dengan membuat rencana baru untuk mencegah kesalahan yang sama. Keberhasilan memang tidak mudah diraih, karena itu ketua dituntut memiliki mental petarung: menyadari kegagalan adalah halangan yang harus dilalui sehingga tidak mudah menyerah setelah gagal. Ketua dengan mental petarung selalu mengajak pengurus tetap pada jalur kebenaran, kejujuran, dan integritas tinggi.
Seorang ketua tetap bertanggung jawab, bahkan ketika pengurus terjerumus dalam kesusahan, kesulitan, dan masalah-masalah lainnya dengan secepatnya berusaha mencari jalan keluarnya. Ketua menyadari kewajibannya tidaklah mudah, karena itu memandangnya sebagai tantangan untuk meraih sukses. Dunia-kehidupan memang tidak sempurna, namun ketua tidak mengajak pengurusnya hanya memperhatikan keburukan dan menutup mata terhadap kebaikan. Ini sebabnya, ketua dituntut memiliki kepekaaan akan isu-isu tentang kebaruan dan kesadaran akan mengimbangi keburukan dengan mengembangkan kebaikan. Upaya mengembangkan kebaikan biasanya dimulai dengan membuka hati, bersikap ramah, bergaul, dan percaya setiap orang memiliki sisi kebaikan. Dengan luasnya jaringan, ketua pun terhindar dari kekuatiran, kecemasan, keraguan, dan kebiasaan mengeluh.
Sikap terbuka memang penting bagi ketua karena beragam situasi sosial dan susana budaya yang berlansung begitu dinamis memaksanya. Bukan hanya dimanis, bahkan tidak jarang ketua berhadapan dengan situasi dan suasana yang dialektis dan dilematis: “cara taluh apit batu”. Misalnya, tidak jarang seorang ketua dipaksa menerima suatu pandangan yang tidak disetujuinya sebaliknya, harus menolak suatu pandangan yang disetujuinya. Kadang-kadang ketua dipaksa melakukan sesuatu yang menyakiti dirinya demi kesenangan dan keselamatan banyak orang. Ketua dipaksa tetap menyejukkan dalam situasi panas dan tetap bersikap lembut manis dalam situasi keras yang begitu pahit. Ketua pun dipaksa tetap tenang dalam situasi yang bergejolak dan membadai.     
Situasi dilematis dapat muncul karena antara fungsi dan peran pemimpin tidak mesti memiliki hubungan korelasional. Perbedaan antara fungsi dan peran pemimpin disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan, kepentingan, dan keperluan. Misalnya, kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi seringkali berlawanan dengan keperluan pengembangan nilai budaya dan kepentingan politik mengutamakan demokrasi. Untuk menetapkan pilihan yang sulit itulah letak relevansi bagi pemimpin mengembangkan paradigma yang dapat memacu semakin mekarnya sikap terbuka, kesehatan mental, dan semangat perjuangan. Paradigma ini barangkali dapat mengadopsi dan mengadapatasi prinsip ideal dewata. Paradigma dewa-raja itu, bahkan sejalan dengan predikat yang disematkan kepada pemimpin sebagai “yang terhormat”, “yang mulia”, dan “yang suci”.              
Paradigma kepemimpinan dengan mengadopsi sifat dewata teristimewa ditawarkan kepada Ketua Parisada mengingat dalam kitab-kitab suci agama Hindu banyak disarankan meninggalkan sifat-sifat raksasa dan meningkatkan sifat manusia menuju sifat-sifat dewata. Rumusan paradigma yang dimaksudkan dapat mengikuti konsep teologi Tri Murti, Panca Korsika, Panca Dewata, Asta Dewata, Dewata Nawa Sanga, bahkan tiga puluh tiga dewata (Bhrihadaranyaka Upanisad) meliputi delapan Vasu, sebelas Rudra, serta dua belas Aditya, Indra, dan Prajapati. Paradigma kepemimpinan religius ini lebih sempurna, bila dibingkai dengan Panca Sraddha dan Panca Yadnya serta dilengkapi Kidung Aji Kembang. Denganya barangkali lebih mudah meletakkan dasar-dasar hubungan antarumat Hindu dan bersama-sama melakukan penghayatan agama. 
Majalah Wartam, Edisi 21/Nopember 2016.