PERAN TRANSFORMATIF AGAMA
DALAM PROSES KULTURAL DAN EKONOMI
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk religius (Eliade, 2002) sehingga agama menjadi penting dalam kehidupannya. Dalam hal ini agama dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, mengatur hubungan antara manusia dan sesama, dan mengatur hubungan antara manusia dan lingkungan (Suparlan dalam Robertson, 1998:v; Kahmad, 2000:12). Ini berarti agama bukan hanya urusan antara manusia dan Tuhan yang diekspresikan melalui berbagai bentuk upacara dan ritus. Agama bukan semata-mata urusan kehidupan setelah kematian yang diorientasikan pada tujuan surga dan menghindari neraka.
Oleh karena itu agama bukan sebagaimana pandangan Feuerbach yang menyatakan bahwa pada dasarnya agama adalah “tanda keterasingan manusia dari dirinya”. Pandangan feuerbach tersebut dilengkapi oleh Marx bahwa agama pada dasarnya kepuasan semu dari hakikat diri manusia. Dalam hal ini agama dikatakan sebagai bentuk pelarian dari penderitaan inderawi, wujud ketidakmampuan menguasai alat-alat produksi, dan ekspresi ketertindasan dalam hubungan produksi. Jadi, manusia yang mengasingkan dirinya ke dalam agama hanyalah cermin yang menunjukkan keterasingan manusia yang lebih dasariah karena ketidakberdayaannya terhadap tekanan kapital. Berdasarkan hal itu, maka agama adalah candu bagi masyarakat (Johnson, 1986).
Akan tetapi agama berurusan dengan permasalahan duniawi yang meterialistis dan karenanya agama perduli kepada lingkungan, baik alam maupun sosial. Artinya, agama merupakan sesuatu yang bersifat budaya karena agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan penjelasan yang paling holistik tentang seluruh realitas. Misalnya, manusia dalam upayanya memahami lingkungan alam dan sosial senantiasa berdasarkan kebudayaannya. Kebudayaan diartikan sebagai sistem pengetahuan yang digunakan untuk mengkategorisasi, menyortir, dan mengklasifikasikan pengalaman, agar manusia dapat mewujudkan kelakuannya secara tepat dan teratur (Spradley, 1972:4). Dengan kata lain, sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan pada simbol-simbol tertentu. Dengan demikian agama dalam kaitannya dengan kebudayaan dan praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan oleh masyarakat.
Pada gilirannya dapat diterima bahwa agama memang memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan hidup masyarakat terutama dalam masyarakat yang menerima dan mengakui keberadaan nilai dan norma agama itu (Kahmad, 2000:66). Boleh jadi, ini alasan kuat bagi Maman, dkk. (2006:2) mengatakan bahwa pembangunan agama, pembinaan, pengembangan, dan pelestariannya menjadi agenda penting dan niscaya. Paling tidak agama dapat diterima dan diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan. Walaupun demikian, tulisan ini dibatasi hanya pada peran transformatif agama dalam proses kultural dan ekonomi.
Peran Agama dalam Proses Kultural
Dalam proses kultural, agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaaan diposisikan sebagai inti kebudayaan karena kebudayaan dimengerti sebagai suatu sistem atau organisasi makna yang dikonsepsi tersusun secara berlapis-lapis. Lapisan luar berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya; lapisan tengah berupa norma dan nilai; dan lapisan inti berupa kepercayaan atau anggapan dasar tentang eksistensi manusia itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Spradley (1972:4) ketika merumuskan kebudayaan sebagai kategori berdasarkan simbol-simbol dan dengannya manusia memperoleh peta kognitif agar dapat menafsirkan kelakuan dan peristiwa yang dilihatnya.
Pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan hal yang subjektif, sedangkan tindakan sosial dan benda material yang objektif merupakan hasil kebudayaan. Artinya, terdapat pemisahan yang tegas antara kebudayaan dan hasil kebudayaan. Pengertian pertama bersifat subjektif dan yang kedua bersifat objektif teramati. Dengan pernyataan lain, kebudayaan adalah jagat makna dan nilai yang dikomunikasikan melalui simbol (Triguna, 2002).
Makna atau arti, yaitu pandangan hidup penghayat serta pelaku kebudayaan tertentu. Sementara itu, nilai dalam konteks kebudayaan Bali bisa diartikan sebagai isi pandangan yang dianggap paling berharga oleh masyarakat Bali atau sekelompok komunitas Hindu tertentu sehingga layak diyakini dan dipegang sebagai acuan tingkah laku. Mulai dari fisik yang ekspresif sampai dengan ke yang inti berwujud konstruktif atau dari yang instrumental dan semata-mata berfungsi sebagai sarana sampai dengan ke hal yang bernilai tujuan. Kemudian, simbol adalah seperangkat perlambang yang disepakati oleh konsensus pemakainya, yaitu dalam hal ini masyarakat Bali untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu.
Secara sosiologis-humanistis sistem kebudayaan yang terdiri atas simbol, nilai, dan makna diasumsikan sebagai pengetahuan dasar (basic term). Atas dasar itu orang Hindu memandang dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Berlandaskan pengetahuan dasar itu pula orang Hindu membangun suatu cara (mode) kehidupan untuk dirinya. Orang Hindu bertindak berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, dan kesadaran tentang dunia, dirinya sendiri, dan tindakan mereka sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Pengetahuan, keyakinan, dan kesadaran yang dimiliki setiap orang Hindu membentuk sistem mengenai dunia (kosmos). Malahan dalam perkembangan selanjutnya digunakan untuk mengungkapkan dirinya sendiri dan menjadi abstraksi dalam hubungan dengan manusia lainnya. Abstraksi yang ada sifatnya bisa sangat spesifik tentang Tuhan, dunia sosial manusia, dan tindakannya terhadap lingkungan yang disebut domain. Bisa jadi, domain mempunyai perbedaan-perbedaan di antara bidang kekuasaannya.
Kehidupan sosial sebagaimana terefleksi dalam konsep pawongan merupakan gambaran tentang pengetahuan, kepercayaan, dan kesadaran terhadap lingkungan tempat mereka tinggal atau dunia sosial manusia – objektivasi dari sejumlah subjektivasi pribadi. Untuk memahaminya diperlukan pemahaman terhadap makna subjektif yang melekat pada pandangan kosmos dan perlambang yang bermakna baginya. Dengan demikian, kajian terhadap berbagai konsepsi kebudayaan yang sarat makna, nilai, dan simbol menjadi penting dan strategis terutama untuk dapat mengerti makna dunia sosial manusia. Jadi, agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga agama dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan anggota masyarakat agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Malahan O'Dea (1992) secara rinci merumuskan enam fungsi agama dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut.
(1) Sebagai dukungan, pelipur lara, dan rekonsiliasi ketika manusia menghadapi ketidakpastian, kekecewaan, dan keterasingan dari tujuan dan norma-norma yang menatanya.
(2) Agama menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, karenanya agama memberikan landasan penguat emosional dan identitas dalam situasi ketidakpastian. Melalui ajaran yang mutlak, agama dapat pula mewujudkan keteraturan dan ketertiban, yang pada dasarnya suatu usaha untuk mendukung kelestarian status dan peranan.
(3) Agama berfungsi meligitimasi pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu acapkali 'diampuni' melalui mekanisme ritual sehingga individu yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial. Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai dan norma-norma masyarakat yang telah terbentuk dan terpelihara.
(4) Melalui agama dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang memungkinkan suatu nilai dan norma yang telah melembaga dikaji secara kritis.
(5) Agama juga berfungsi sebagai pemberi identitas. Peranserta manusia dalam suatu ritual, doa, dan ritus lainnya pada dasarnya telah membedakan dirinya dari orang lain yang melakukan ritual dan doa secara berbeda. Melalui ritus agama dengan mudah seseorang diidentifikasi siapa dia serta apa ia.
(6) Agama berhubungan dengan proses pendewasaan melalui stages along the life cycle. Sebagaimana para psikolog menggambarkan masa-masa krisis yang dialami setiap individu dalam proses pendewasaan, agama berfungsi melibatkan individu dalam proses belajar.
Fungsi agama tersebut menegaskan bahwa agama bukan semata-mata hanya menggambarkan dunia idealistis yang terpisah dari dunia materialiatis. Melainkan agama yang semula dipahami hanya fungsional dalam dunia idealistis, ternyata mencerahi dunia materialistis, yakni dunia sosial manusia itu sendiri. Agama merupakan sesuatu yang bersifat sosial karena representasi religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif. Mengingat keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Dalam hal ini tentu termasuk kehidupan manusia yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri, yakni bidang ekonomi.
Peran Agama dalam Proses Ekonomi
Agama tidak lagi semata-mata hanya berhubungan dengan hal yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada hal yang gaib (nominous). Melainkan juga agama menjadi penting terutama dalam konteks situasi ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Dalam keadaan seperti ini agama menyediakan pandangan tentang dunia yang tidak terjangkau (beyond) (Triguna, 2002). Bukan hanya itu, bahkan sebaliknya dalam dunia sosial manusia bahwa keterjalinan antarabidang kehidupan tidak dapat dihindari, walaupun setiap bidang kehidupan memiliki karakteristik dan orientasi nilai masing-masing misalnya, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama. Dalam bidang ekonomi misalnya, khususnya bisnis memiliki tujuan keuntungan sehingga ukuran orang yang berhasil dalam bisnis, kalau ia memperoleh keuntungan. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bukan diperoleh tanpa berlandaskan moral-agama.
Dalam agama Hindu misalnya, sejak zaman dahulu telah dikenal konsepsi tentang tujuan manusia yang diklasifikasikan menjadi empat, yakni Dharma, Artha, Kama, Moksha, yang berarti Kebenaran, Kekayaan, Kesenangan Duniawi, dan Kebebasan Hakiki (Sudharta dan Punyatmadja, 2001). Dari tujuan kehidupan manusia ini dapat dipahami bahwa terdapat keseimbangan antara tujuan ideal dan material, yakni moksa berdimensi ideal, sedangkan kama dan artha berdimensi material. Sementara itu, Dharma dalam pengertian lebih luas bukan hanya berarti Kebenaran, namun juga Kewajiban. Kewajiban tiap manusia terhadap manusia lain, terhadap leluhur, masyarakat, dan ketertiban dunia. Dharma adalah hukum dalam arti yang seluas-luasnya – spiritual, moral, etis, dan temporal. Setiap orang diatur oleh dharmanya masing-masing. Menurut Arthasastra (Radendra, 2005) bahwa dharma harus diwujudkan dengan empat ilmu berikut secara holistik yang disebut Catur Widya, yaitu seperti berikut.
(1) Anwiksaki, dapat merumuskan maksud dan tujuan sesuai dengan keadaan objektif di sekeliling kita.
(2) Wedatrayi, tiga weda utama yakni Rg Weda, Sama Weda, dan Yayur Weda.
(3) Vartta, yaitu kemakmuran ekonomi.
(4) Danda Niti, perlakuan yang sama di depan hukum.
Tujuan kehidupan dalam bidang ekonomi adalah kemakmuran yang dalam Arthasastra dapat diwujudkan melalui beberapa komponen, antara lain pertanian, peternakan, dan perdagangan. Inilah yang disebut sebagai sumber utama dari kekayaan atau kemakmuran, yakni tanaman, hewan, dan hasil hutan. Tugas negara adalah melindungi kesejahteraan, mendorong kemajuan ekonomi, dan menegakkan dharma. Peran negara dititikberatkan pada upaya menjaga stabilitas sosial-politik. Mengingat stabilitas ini yang memungkinkan suatu negara untuk tidak hanya adil dalam mendistribusikan kemakmuran, tetapi termasuk melipatgandakan kemakmuran.
Apabila memperhatikan sumber utama kemakmuran tersebut dan upacara tumpek dalam keberagamaan umat Hindu di Bali maka tampak bahwa tujuan bidang kehidupan agama dan ekonomi saling mendukung. Misalnya, tumpek bubuh melindungi sumber kemakmuran dari tanaman dan tumpek kandang melindungi sumber kemakmuran dari peternakan. Malahan dalam usaha perdagangan dikenal pura melanting yang setidak-tidaknya dimaksudkan untuk melindungi sumber kemakmuran dari sektor bisnis. Dengan demikian, tujuan ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan, bukan sesuatu yang ditabukan agama, bahkan keduanya dapat saling mendukung dan melindungi. Malahan agama dapat menjadi sumber moral bagi kegiatan dalam bidang ekonomi itu sendiri.
Simpulan
Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman hidup manusia. Agama bukan hanya mengikat individu dengan yang ilahi, melainkan juga manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial. Agama merupakan satu bentuk legitimasi yang efektif dalam kehidupan sosial dan budaya. Agama dalam konteks sosial dan kebudayaan telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu atau masyarakat. Selain itu, juga agama mencerahi kehidupan manusia dalam bidang ekonomi terutama dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Di samping agama memberikan landasan moral bagi aktivitas dalam bidang ekonomi, juga tujuan bidang kehidupan agama dan ekonomi sama-sama mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang dalam agama Hindu disebut jagadhita.
Sumber Bacaan
Eliade, Mircea. 2002. Mitos: Gerakan Kembali Yang Abadi; Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kahmad, Dadang, H. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Maman, KH, Deden Ridwan, M. Ali Mustofa, dan Ahmad Gaus, 2006, Metode Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
O’dea, Thomas F. 1992. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: CV. Rajawali.
Radendra S. I.B. 2005. Ekonomi dan Politik dalam Arthasastra. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudharta, Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa: tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Poloma, Margaret M. 1992. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers bekerja sama dengan Yayasan Solidaritas Gadjah Mada.
Triguna, IBG Yudha. 2002. “Memahami dan memfungsikan lingkungan sosial-Budaya Sebagai Strategi Inovasi” (makalah).
Sabtu, 09 April 2011
senni tradisi
SENI TRADISI INDONESIA
SEBAGAI KOMPONEN BELA NEGARA DAN PERTAHANAN NASIONAL
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
“Suatu kenyataan bahwa di sekitar kita masih hidup dengan segar berbagai karya seni warisan masa lampau, yang biasa kita sebut seni tradisi. ... Pada kita, karya seni warisan masa lampau itu tetap hidup, berkembang, dan dipelihara sebagai bagian dari konteks sosio-budaya masyarakat. Masyarakat Indonesia sekarang ini merupakan campur-aduk tata nilai dari berbagai konteks sejarahnya” (Sumardjo, 2000:388).
Eksistensi seni tradisi Indonesia yang diungkapkan oleh Sumardjo ini merupakan undangan untuk memahaminya secara lebih mendalam dan mengapresiasikannya dalam bentuk kelakuan. Ini mengandaikan bahwa seniman adalah manusia yang ‘bebas nilai’ sehingga sudah sepantasnya perduli terhadap konteks nilai yang melahirkan seni tradisi tersebut. Artinya, seorang seniman senyatanya memang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan kemampuannya dalam wujud kreativitas. Akan tetapi juga penting dibangun kesadaran agar kreativitas tersebut menjadi kreativitas konstruktif dan memberi peranan bagi kemaslahatan hidup manusia, alam, dan lingkungan. Mengingat kreativitas yang tanpa pertimbangan nilai dapat berakibat destruktif bagi kemanusiaan itu sendiri. Dalam rumusan lain bahwa kesempurnaan kreativitas seni berkaitan erat dengan unsur kesempurnaan duniawi, seperti logika, etika, dan estetika.
Seni, sejak peradaban manusia hadir bagi manusia untuk kepentingan sosial, memperhalus budhi pencipta dan penikmatnya. Seni sebagai ekspresi manusia diwujudkan melalui berbagai media dalam wilayah yang sangat luas yang memungkinkan menjadi bahasa ekspresi yang tanpa batas (Sastra, 2004:233). Seni sebagai teks dan juga sebagai salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986; Bandem, 1996; Triguna, 2002) yang dapat dibaca secara etik ataupun emik, tergantung pada interpretasi pembacanya. Ada beberapa konsep dasar yang biasa digunakan untuk menilai karya seni, antara lain ‘nilai seni’, ‘keindahan’, ‘kualitas’, ‘taksu’, dan ‘orisinalitas’ (Harjana, 2003:252-253). Namun konsep-konsep ini juga semakin kabur ketika kreativitas seni berkembang begitu bebas dan tanpa keajegan misalnya, muncul dalam seni pop maupun kontemporer. Seni berkembang sebagai aksi maupun reaksi, tumbuh dalam suasana tanpa batas, dan untuk semuanya di zaman yang terus berubah dan penuh kontroversi, karena itu tidak ada satupun tanda-tanda yang mempersatukan wajahnya. Dengan demikian evaluasi terhadap kreativitas seni penting dilakukan tanpa bermaksud mengingkari kebebasan berkreativitas, tetapi untuk menyadari kembali makna seni bagi kehidupan manusia.
Menyadari makna seni tradisi Indonesia dan menghidupkannya dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukanlah sutau wacana mengada-ada tanpa makna produktivitas. Kenyataannya, seni tradisi masih segar di masyarakat pedesaan dan perkauman etnik yang memiliki konteks tata nilainya sendiri. Malahan seni tradisi masih hidup segar dalam konteks ideologi masyarakat pedesaan harus didekati secara objektif berdasarkan tata nilai mereka (Sumardjo, 2000:338--339). Artinya, seni tradisi, baik jenis seni statis maupun dinamis mengandung nilai tersendiri yang secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat pemiliknya. Malahan juga seni tradisi mengalami perubahan, bahkan mengalami signifikansi bagi kepentingan masyarakat itu sendiri, yakni sejalan dengan perubahan struktur sosialnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni tradisi Indonesia memiliki peran dan fungsi dalam kehidupan sosial dan kebudayaan, karena itu dapat menjadi salah satu komponen bela negara dan pertahanan nasional.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multidimensional, multikultural, dan multibentuk, nilai-nilai seni tradisi perlu dikedepankan. Seni tradisi diharapkan mampu menjadi perekat persaudaraan, persahabatan, dan persatuan, baik secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan seni tradisi dijadikan alat kekuasaan, politik, bahkan ekonomi dapat menyeretnya ke dalam ruang sempit dan parsial. Sementara itu, pemahamaan seni tradisi yang semata-mata berdasarkan kedaerahan (lokalitas) juga akan semakin menjauhkan masyarakat pemiliknya dari cita-cita hidup rukun dan toleran. Dalam kerangka ini penting menumbuhkan daya kreatif masyarakat dalam berkebudayaan terutama untuk merespon gejala kehidupan berbangsa dan bernegara yang cederung mengarah pada terjadinya diisintegrasi. Seni tradisi sebagai salah satu unsur kebudayaan perlu direinterpretasi dan direposisi untuk membangkitkan semangat bela negara demi kokohnya pertahanan nasional. Fakta bahwa kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah, ternyata memang memiliki daya bangkit terhadap jiwa nasionalisme, seperti ketika terjadi klaim atas Tari Reog, Pendet, Batik, dan sebagainya oleh negara tetangga.
Seni Tradisi sebagai Komponen Bela Negara
Bela negara pada dasarnya berarti Warga Negara Indonesia yang memiliki tekad, sikap, dan perilaku yang dijiwai cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang rela berkorban demi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Kemudian, syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang(http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009). Artinya, semua warga negara memiliki kewajiban membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Adapun kriteria warga negara yang memiliki kesadaran bela negara adalah mereka yang bersikap dan bertindak senantiasa berorientasi pada nilai-nilai bela negara.
Nilai-nilai bela negara yang dikembangkan dalam rangka pertahanan nasional, antara lain pertama, cinta tanah air, yaitu mengenal, memahami, dan mencintai wilayah nasional; menjaga tanah dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia; melestarikan dan mencintai lingkungan hidup; memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara; menjaga nama baik bangsa dan negara serta bangga sebagai bangsa Indonesia dengan cara waspada dan siap membela tanah air terhadap ancaman tantangan, hambatan, dan gangguan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa serta negara dari manapun dan siapapun. Nilai yang kedua adalah sadar akan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membina kerukunan menjaga persatuan dan kesatuan dari lingkungan terkecil atau keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja; mencintai budaya bangsa dan produksi dalam negeri; mengakui, menghargai, dan menghormati bendera merah putih, lambang negara dan lagu kebangsaan indonesia raya; menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan
pribadi, keluarga dan golongan (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai ketiga adalah yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu memahami hakikat atau nilai Pancasila, melaksanakan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara, serta yakin pada kebenaran Pancasila sebagai ideologi negara. Nilai keempat rela adalah berkorban untuk bangsa dan negara, yaitu bersedia mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, siap mengorbankan jiwa dan raga demi membela bangsa dan negara dari berbagai ancaman, berpastisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, gemar membantu sesama warga negara yg mengalami kesulitan, serta yakin dan percaya bahwa pengorbanan untuk bangsa dan negara tidak sia-sia (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai-nilai bela negara ini sejalan dengan kemampuan manusia sebagai makhluk multidimensional dalam berkebudayaan. Dalam konsep manusia sebagai makhluk multidimensional ditemukan beberapa faktor utama yang membuat manusia mampu berbudaya, antara lain karena manusia merespons alam; manusia mengembangkan intelegensi; manusia melakukan inovasi, menerapkannya, dan menyebarkan ke lingkungan masyarakat lain (Harsojo, 1988; Kusumohamidjojo, 2000). Ini menunjukkan secara fenomenologis bahwa kemampuan manusia menangkap gejala merupakan kemampuan jiwa yang inheren dalam dirinya dan sekaligus membedakannnya dari makhluk lain. Kemampuan ini yang menempatkan manusia pada kedudukan untuk mau atau tidak mau, atau bisa atau tidak bisa, memberi atau tidak memberi arti pada gejala yang dihadapinya. Dengan cara demikian Bakker (1984) menempatkan faktor kebudayaan menjadi unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan. Jadi, jika tidak terdapat unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan maka manusia tidak akan bergerak menghasilkan kebudayaan. Konsekuensinya, manusia betul-betul bisa dipisahkan dari kebudayaannya dan hal itu sebenarnya sukar dijumpai dalam kenyataan sebenarnya.
Mengingat kebudayaan yang tiada lain adalah tatan nilai dan makna yang membatasi tindakan masyarakat penganutnya yang dalam terminologi Koentjaraningrat (1974) disebut tata kelakuan atau tradisi yang dalam bentuk jamak adat istiadat. Jadi, adat dan tradisi adalah sebuah konsepsi yang dianggap bernilai dalam suatu komunitas tertentu pada zamannya. Selain berupa nilai, konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Adat dan tradisi acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral para anggota komunitas pendukungnya untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran nilai mereka. Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai tradisi itu, membuka peluang adanya polarisasi cara sehingga dapat dan/atau telah menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004).
Komitmen moral ini tidak jarang disampaikan melalui berbagai bentuk seni tradisi, baik dalam jenis seni statis maupun dinamis. Seni statis misalnya, seni rupa, arsitektur, sastra tulis, sedangkan seni dinamis, antara lain seni musik, seni tari, seni teater, dan sastra lisan. Menurut Sumardjo (2000:339) seni tradisi ini telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan. Ditegaskan, pada dasarnya terdapat tiga perubahan besar dalam sejarah budaya Indonesia, yakni masuknya pengaruh seni India, masuknya agama Islam, dan masuknya pengaruh Belanda. Artinya, hubungan antara pusat kekuasaan dan pusat kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pedesaan tergantung pada sistem komunikasi antarlembaga pemerintahan.
Berbeda dengan pusat kekuasaan sebagai pusat kebudayaan yang melek huruf, lebih individual, lebih profesional, dan terdidik sebaliknya, kebudayaan masyarakat pedesaan bertumpu pada tata nilai asli yang komunal, seragam, lisan, sambil melanjutkan pendidikan tradisional mereka. Oleh karena itu, Sumardjo (2000:341) menilai bahwa masyarakat pedesaan relatif setia pada tata nilai konteks asli sehingga setiap pengaruh budaya asing dari pusat budaya kota akan diserap menjadi bagian budaya mereka. Artinya, tradisi sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukanlah sesuatu yang a-historis dan tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul yang dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama.
Pada kenyataan dalam pengalaman kehidupan sehari-hari terdapat pula komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik dalam implementasinya dewasa ini telah mengalami benturan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses perubahan. Perubahan semakin terasa kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu modernisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, pengenalan terhadap nilai baru memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi seni tradisi agar tetap dan selalu dapat menciptakan harmoni dan peradaban.
Menciptakan harmoni sosial inilah salah satu peran seni tradisi dalam konteks bela negara karena negara senantiasa memerlukan kehidupan sosial masyarakat yang teratur dan seimbang. Dalam mewujudkan keteraturan dan keseimbangan sosial inilah seni tradisi yang dilandasi spirit komune memiliki peran penting dan relevan dengan perkembangan sosial kekinian. Seni tradisi yang sarat simbol sebagai ekspresi religiusitas, etika, dan estetika memang relevan dijadikan pondasi sosial. Malahan seni tradisi tidak jarang terlahir karena terinspirasi oleh religi lokal yang juga merupakan ekspresi untuk memahami Realitas Tertinggi. Konsep Siwanataraja misalnya, yang begitu populer pada masyarakat Hindu adalah penggambaran Siwa sebagai penari kosmis, sekaligus merupakan visualisasi dari filsafat Saiwa Siddhanta. Siwa diyakini sebagai pencipta seni dan sekaligus menjadi tujuan kerativitas yang dipersembahkan (Suamba, 2003:5). Kehadiran Yang Illahi dalam kreativitas seni menegaskan orientasi kesenian sebagai media persembahan kepada Tuhan. Di sinilah seni menjadi tradisi religius yang dibangun di atas kerangka ketuhanan, keseimbangan hidup, kalangwan (kelangenan), tuntunan, dan taksu. Malahan Sedyawati (2006) menegaskan karya seni itu menggugah rasa, yang berkisar pada rasa indah, rasa haru, rasa hormat, kagum, dan empati terhadap perikehidupan di alam ini. Dengan demikian, kehadiran spirit ketuhanan, kemanusiaan, estetika, dan etika telah menjadi keutamaan dari seni tradisional nusantara pada setiap zamannya.
Ketika seni tradisi Indonesia telah melingkupi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam pada setiap zamannya, maka seni tradisi ini tetap relevan untuk membangun dan mengembangkan sistem nilai pada zaman kini. Dalam hal ini seni tradisi menjadi penting dan relevan dalam pengembangan nilai-nilai kebangsaan termasuk dalam pengembangan spirit bela negara sebagai salah satu komponen pertahanan nasional. Pemahaman mengenai seni tradisi yang berkelanjutan dalam perubahan (continuity in change) semestinya disandarkan pada nilai-nilai keutamaan di atas. Kepekaan pada pertanda zaman menjadi inspirasi lahirnya produk-produk kreatif dalam berkesenian baik, klasik maupun kreasi baru hingga kontemporer. Melalui pengalaman, kepekaan, imajinasi, dan kekayaan batin para seniman diharapkan mampu melahirkan karya yang mencerahkan masyarakat. Arah pengembangan seni menuju “pencerahan” inilah yang mesti diupayakan oleh para seniman, kritikus seni, dan pemerintah demi terbentuknya jati diri bangsa yang kuat dan tangguh. Dengan demikian seni tradisi Indonesia dapat menjadi komponen yang relevan dan signifikan dalam upaya membangun semangat bela negara.
Artinya, seni tradisi Indonesia fungsional dalam membangun identitas bangsa dan jati diri bangsa merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan sebagai modal untuk menghadapi penetrasi budaya global yang berlangsung begitu cepat. Mengingat kegagalan dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain akan melahirkan “penjajahan” dalam bentuk lain terhadap bangsa ini. Pada gilirannya melalui proses glokalisasi dan lokalisasi diharapkan, seni tradisi Indonesia dapat mendorong kesanggupan bangsa untuk bersaing dalam dunia internasional. Hal ini setidak-tidaknya telah ditunjukkan oleh panitia seminar bahwa ide-ide dan karya-karya Rahayu Supanggah yang bersandar pada seni tradisi Indonesia telah diapresiasi secara internsional.
Seni Tradisi sebagai Komponen Pertahanan Nasional
Pertahanan nasional merupakan tema penting diwacanakan karena heterogenitas masyarakat indonesia memang dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks keanekaragaman budaya. Akan tetapi dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi jika kenyataan itu dieksploitasikan secara sengaja dan struktural (Kusumohamidjojo, 2000:49). Fakta menunjukkan bahwa selain keragaman ras, juga masyarakat Indonesia berkeragaman secara etnisitas atau kesukubangsaan.
Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) mementukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narroll dalam Leliweri, 2005:9).
Keberagaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia memang dapat menjadi ancaman bagi pertahanan nasional, tetapi secara eksternal bukan berarti ketahanan nasional bebas dari ancaman dan gangguan. Ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional bangsa Indonesia merupakan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala kemungkinan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan nasional ini meliputi tri gatra dan panca gatra. Tri gatra merupakan aspek statis, yaitu geografi, demografi, dan sumberdaya nasional, sedangkan panca gatra merupakan aspek dinamis yang selalu berkembang dan berinteraksi, baik dalam kehidupan nasional, regional, dan internasional (Lemhanas, 1981). Aspek dinamis ini meliputi, antara lain ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Aspek ini sejalan dengan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan nasional mengandaikan bahwa kondisi demikian bukan hanya berkaitan dengan hal-hal fisikal. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan psiko-mental bangsa yang sebagian berada pada wilayah sosial dan budaya. Dalam kebudayaan inilah eksistensi seni tradisi berstandar sehingga antara seni tradisi dan ketahanan nasional memang erat saling ketergantungan. Mengingat dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai tradisi yang relatif tidak dapat dipengaruhi oleh budaya asing. Dengannya seni tradisi yang merupakan unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat pada gilirannya berpartisipasi dalam membentuk kebudayaan nasional.
Ini berarti seni tradisi sebagai sumberdaya budaya dapat merekatkan kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Keanekaragaman sumber daya budaya dengan ciri-ciri lokal yang didukung oleh etnis masing-masing bukan merupakan perbedaan yang dipertentangkan, tetapi sebagai sintesis yang memperkaya makna persatuan (Laksmi dalam Sutaba, dkk. (ed.), 2002:51). Kesatuan dalam keberagaman inilah merupakan wujud ideal dari pertahanan nasional sehingga pemberdayaan budaya lokal termasuk seni tradisi menjadi penting yang layak diupayakan. Terwujudnya pemberdayaan seni tradisi sebagai kekayaan budaya nasional melalui pengembangan dan peningkatan mutu akan mendorong berkembangnya kehidupan masyarakat fluralis yang menghormati perbedaan. Selain itu, mengingat seni tradisi yang lazimnya berkaitan erat dengan aktivitas keagamaan dalam suatu wilayah etnis sehingga pembinaan terhadap seni tradisi akan mendorong peningkatan penghayatan, pengamalan, dan peribadatan. Religiusitas masyarakat juga dapat menjadi potensi besar dalam pembangunan dan pengembangan pertahanan nasional. Upaya pembinaan terhadap seni tradisi dalam bentuk lainnya yang juga strategis misalnya, mengakulturasikan antarbudaya daerah. Misalnya, dalam Dharma Shanti Nyepi 28 April 2007 di Ardha Candra Denpasar, dipertunjukan kesenian berjudul Tari Nusantara mengusung tema Bhinneka Tungal Ika. Model ini dapat memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Replubik Indonesia.
Simpulan
Secara implisit telah dikemukakan bahwa modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi sehingga perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap seni tradisi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tradisi. Sebagai komponen bela negara, seni tradisi yang dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkrit pada dasarnya dapat membentuk identitas bangsa. Dalam konteks ini, seni tradisi digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai kearifan lokal yang pada prinsipnya berpartisipasi dalam membentuk nilai nasional. Memang semangat kejuangan dan kebangsaan sebagaimana ditunjukkan sejarah nasional misalnya, tidak jarang lebih bergema melalui seni tradisi. Dengan demikian, sesungguhnya seni tradisi yang hidup dalam suatu etnis, bukan hanya menjadi milik etnis tersebut misalnya, ketika salah satu atau beberapa seni tradisi diklaim oleh negara tetangga yang melakukan perlawanan bukan hanya etnis pemiliknya.
Selain mempererat emosi kebangsaan, juga seni tradisi merupakan kearifan lokal yang memiliki kesanggupan memperkaya kebajikan bangsa yang memang sungguh sulit bila hendak dirumuskan dalam sebuah konsep. Oleh karena seni tradisi, sebagaimana umumnya kesenian merupakan suatu nilai yang hadir lebih memenuhi pengalaman batin daripada pikiran objektif. Pengalaman batin, apalagi pengalaman batin sebuah bangsa yang terdiri atas banyak etnis dan budaya tentu merupakan kompleksitas pengalaman unik yang di luar kesadaran telah membangun jiwa kebangsaan itu sendiri. Di sini seni tradisi telah merasuki semangat kebangsaan sekaligus telah turut serta membangun pertahanan nasional.
Bacaan
Bandem, I Made. 1996. Evolusi tari Bali, Yogyakarta: Kanisius.
Bleeker, C.J. 2004. Pertemuan Agama-Agama Dunia, Menuju Humanisme Relejius dan Perdamaianan Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: P.T. Gramedia.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problimatik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Leliweri, A. 2001. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS.
Lemhanas. 1981. Kewiraan untuk Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia.
Sastra, Andar Indra. 2004. “Nyanyian Religius dalam Ratik Saman”, dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai), Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press.
Sedyawati, Edi. 2000. “Agama dan Kesenian: Permasalahan Data dan Interpretasinya”. (Tulisan ini disampaikan pada pameran “Temuan Satu Abad (1900-1999): Perjalanan Sejarah Kebudayaan Indonesia” Museum Nasional bekerjasama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jakarta. Jakarta, 20-21 Oktober 2000.
Soedarso, Sp. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi Dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Sutaba, dkk. 2002. Manfaat Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar: Upada Sastra.
Triguna, IBG Yudha. 2002. “Hubungan Agama dan Adat Dengan Perkembangan Kesenian Bali” (Makalah disampaikan dalam Sarasehan Budaya di Jakarta, 2002)
____________. 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.
SEBAGAI KOMPONEN BELA NEGARA DAN PERTAHANAN NASIONAL
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
“Suatu kenyataan bahwa di sekitar kita masih hidup dengan segar berbagai karya seni warisan masa lampau, yang biasa kita sebut seni tradisi. ... Pada kita, karya seni warisan masa lampau itu tetap hidup, berkembang, dan dipelihara sebagai bagian dari konteks sosio-budaya masyarakat. Masyarakat Indonesia sekarang ini merupakan campur-aduk tata nilai dari berbagai konteks sejarahnya” (Sumardjo, 2000:388).
Eksistensi seni tradisi Indonesia yang diungkapkan oleh Sumardjo ini merupakan undangan untuk memahaminya secara lebih mendalam dan mengapresiasikannya dalam bentuk kelakuan. Ini mengandaikan bahwa seniman adalah manusia yang ‘bebas nilai’ sehingga sudah sepantasnya perduli terhadap konteks nilai yang melahirkan seni tradisi tersebut. Artinya, seorang seniman senyatanya memang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan kemampuannya dalam wujud kreativitas. Akan tetapi juga penting dibangun kesadaran agar kreativitas tersebut menjadi kreativitas konstruktif dan memberi peranan bagi kemaslahatan hidup manusia, alam, dan lingkungan. Mengingat kreativitas yang tanpa pertimbangan nilai dapat berakibat destruktif bagi kemanusiaan itu sendiri. Dalam rumusan lain bahwa kesempurnaan kreativitas seni berkaitan erat dengan unsur kesempurnaan duniawi, seperti logika, etika, dan estetika.
Seni, sejak peradaban manusia hadir bagi manusia untuk kepentingan sosial, memperhalus budhi pencipta dan penikmatnya. Seni sebagai ekspresi manusia diwujudkan melalui berbagai media dalam wilayah yang sangat luas yang memungkinkan menjadi bahasa ekspresi yang tanpa batas (Sastra, 2004:233). Seni sebagai teks dan juga sebagai salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986; Bandem, 1996; Triguna, 2002) yang dapat dibaca secara etik ataupun emik, tergantung pada interpretasi pembacanya. Ada beberapa konsep dasar yang biasa digunakan untuk menilai karya seni, antara lain ‘nilai seni’, ‘keindahan’, ‘kualitas’, ‘taksu’, dan ‘orisinalitas’ (Harjana, 2003:252-253). Namun konsep-konsep ini juga semakin kabur ketika kreativitas seni berkembang begitu bebas dan tanpa keajegan misalnya, muncul dalam seni pop maupun kontemporer. Seni berkembang sebagai aksi maupun reaksi, tumbuh dalam suasana tanpa batas, dan untuk semuanya di zaman yang terus berubah dan penuh kontroversi, karena itu tidak ada satupun tanda-tanda yang mempersatukan wajahnya. Dengan demikian evaluasi terhadap kreativitas seni penting dilakukan tanpa bermaksud mengingkari kebebasan berkreativitas, tetapi untuk menyadari kembali makna seni bagi kehidupan manusia.
Menyadari makna seni tradisi Indonesia dan menghidupkannya dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukanlah sutau wacana mengada-ada tanpa makna produktivitas. Kenyataannya, seni tradisi masih segar di masyarakat pedesaan dan perkauman etnik yang memiliki konteks tata nilainya sendiri. Malahan seni tradisi masih hidup segar dalam konteks ideologi masyarakat pedesaan harus didekati secara objektif berdasarkan tata nilai mereka (Sumardjo, 2000:338--339). Artinya, seni tradisi, baik jenis seni statis maupun dinamis mengandung nilai tersendiri yang secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat pemiliknya. Malahan juga seni tradisi mengalami perubahan, bahkan mengalami signifikansi bagi kepentingan masyarakat itu sendiri, yakni sejalan dengan perubahan struktur sosialnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni tradisi Indonesia memiliki peran dan fungsi dalam kehidupan sosial dan kebudayaan, karena itu dapat menjadi salah satu komponen bela negara dan pertahanan nasional.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multidimensional, multikultural, dan multibentuk, nilai-nilai seni tradisi perlu dikedepankan. Seni tradisi diharapkan mampu menjadi perekat persaudaraan, persahabatan, dan persatuan, baik secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan seni tradisi dijadikan alat kekuasaan, politik, bahkan ekonomi dapat menyeretnya ke dalam ruang sempit dan parsial. Sementara itu, pemahamaan seni tradisi yang semata-mata berdasarkan kedaerahan (lokalitas) juga akan semakin menjauhkan masyarakat pemiliknya dari cita-cita hidup rukun dan toleran. Dalam kerangka ini penting menumbuhkan daya kreatif masyarakat dalam berkebudayaan terutama untuk merespon gejala kehidupan berbangsa dan bernegara yang cederung mengarah pada terjadinya diisintegrasi. Seni tradisi sebagai salah satu unsur kebudayaan perlu direinterpretasi dan direposisi untuk membangkitkan semangat bela negara demi kokohnya pertahanan nasional. Fakta bahwa kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah, ternyata memang memiliki daya bangkit terhadap jiwa nasionalisme, seperti ketika terjadi klaim atas Tari Reog, Pendet, Batik, dan sebagainya oleh negara tetangga.
Seni Tradisi sebagai Komponen Bela Negara
Bela negara pada dasarnya berarti Warga Negara Indonesia yang memiliki tekad, sikap, dan perilaku yang dijiwai cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang rela berkorban demi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Kemudian, syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang(http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009). Artinya, semua warga negara memiliki kewajiban membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Adapun kriteria warga negara yang memiliki kesadaran bela negara adalah mereka yang bersikap dan bertindak senantiasa berorientasi pada nilai-nilai bela negara.
Nilai-nilai bela negara yang dikembangkan dalam rangka pertahanan nasional, antara lain pertama, cinta tanah air, yaitu mengenal, memahami, dan mencintai wilayah nasional; menjaga tanah dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia; melestarikan dan mencintai lingkungan hidup; memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara; menjaga nama baik bangsa dan negara serta bangga sebagai bangsa Indonesia dengan cara waspada dan siap membela tanah air terhadap ancaman tantangan, hambatan, dan gangguan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa serta negara dari manapun dan siapapun. Nilai yang kedua adalah sadar akan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membina kerukunan menjaga persatuan dan kesatuan dari lingkungan terkecil atau keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja; mencintai budaya bangsa dan produksi dalam negeri; mengakui, menghargai, dan menghormati bendera merah putih, lambang negara dan lagu kebangsaan indonesia raya; menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan
pribadi, keluarga dan golongan (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai ketiga adalah yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu memahami hakikat atau nilai Pancasila, melaksanakan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara, serta yakin pada kebenaran Pancasila sebagai ideologi negara. Nilai keempat rela adalah berkorban untuk bangsa dan negara, yaitu bersedia mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, siap mengorbankan jiwa dan raga demi membela bangsa dan negara dari berbagai ancaman, berpastisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, gemar membantu sesama warga negara yg mengalami kesulitan, serta yakin dan percaya bahwa pengorbanan untuk bangsa dan negara tidak sia-sia (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai-nilai bela negara ini sejalan dengan kemampuan manusia sebagai makhluk multidimensional dalam berkebudayaan. Dalam konsep manusia sebagai makhluk multidimensional ditemukan beberapa faktor utama yang membuat manusia mampu berbudaya, antara lain karena manusia merespons alam; manusia mengembangkan intelegensi; manusia melakukan inovasi, menerapkannya, dan menyebarkan ke lingkungan masyarakat lain (Harsojo, 1988; Kusumohamidjojo, 2000). Ini menunjukkan secara fenomenologis bahwa kemampuan manusia menangkap gejala merupakan kemampuan jiwa yang inheren dalam dirinya dan sekaligus membedakannnya dari makhluk lain. Kemampuan ini yang menempatkan manusia pada kedudukan untuk mau atau tidak mau, atau bisa atau tidak bisa, memberi atau tidak memberi arti pada gejala yang dihadapinya. Dengan cara demikian Bakker (1984) menempatkan faktor kebudayaan menjadi unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan. Jadi, jika tidak terdapat unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan maka manusia tidak akan bergerak menghasilkan kebudayaan. Konsekuensinya, manusia betul-betul bisa dipisahkan dari kebudayaannya dan hal itu sebenarnya sukar dijumpai dalam kenyataan sebenarnya.
Mengingat kebudayaan yang tiada lain adalah tatan nilai dan makna yang membatasi tindakan masyarakat penganutnya yang dalam terminologi Koentjaraningrat (1974) disebut tata kelakuan atau tradisi yang dalam bentuk jamak adat istiadat. Jadi, adat dan tradisi adalah sebuah konsepsi yang dianggap bernilai dalam suatu komunitas tertentu pada zamannya. Selain berupa nilai, konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Adat dan tradisi acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral para anggota komunitas pendukungnya untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran nilai mereka. Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai tradisi itu, membuka peluang adanya polarisasi cara sehingga dapat dan/atau telah menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004).
Komitmen moral ini tidak jarang disampaikan melalui berbagai bentuk seni tradisi, baik dalam jenis seni statis maupun dinamis. Seni statis misalnya, seni rupa, arsitektur, sastra tulis, sedangkan seni dinamis, antara lain seni musik, seni tari, seni teater, dan sastra lisan. Menurut Sumardjo (2000:339) seni tradisi ini telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan. Ditegaskan, pada dasarnya terdapat tiga perubahan besar dalam sejarah budaya Indonesia, yakni masuknya pengaruh seni India, masuknya agama Islam, dan masuknya pengaruh Belanda. Artinya, hubungan antara pusat kekuasaan dan pusat kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pedesaan tergantung pada sistem komunikasi antarlembaga pemerintahan.
Berbeda dengan pusat kekuasaan sebagai pusat kebudayaan yang melek huruf, lebih individual, lebih profesional, dan terdidik sebaliknya, kebudayaan masyarakat pedesaan bertumpu pada tata nilai asli yang komunal, seragam, lisan, sambil melanjutkan pendidikan tradisional mereka. Oleh karena itu, Sumardjo (2000:341) menilai bahwa masyarakat pedesaan relatif setia pada tata nilai konteks asli sehingga setiap pengaruh budaya asing dari pusat budaya kota akan diserap menjadi bagian budaya mereka. Artinya, tradisi sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukanlah sesuatu yang a-historis dan tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul yang dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama.
Pada kenyataan dalam pengalaman kehidupan sehari-hari terdapat pula komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik dalam implementasinya dewasa ini telah mengalami benturan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses perubahan. Perubahan semakin terasa kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu modernisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, pengenalan terhadap nilai baru memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi seni tradisi agar tetap dan selalu dapat menciptakan harmoni dan peradaban.
Menciptakan harmoni sosial inilah salah satu peran seni tradisi dalam konteks bela negara karena negara senantiasa memerlukan kehidupan sosial masyarakat yang teratur dan seimbang. Dalam mewujudkan keteraturan dan keseimbangan sosial inilah seni tradisi yang dilandasi spirit komune memiliki peran penting dan relevan dengan perkembangan sosial kekinian. Seni tradisi yang sarat simbol sebagai ekspresi religiusitas, etika, dan estetika memang relevan dijadikan pondasi sosial. Malahan seni tradisi tidak jarang terlahir karena terinspirasi oleh religi lokal yang juga merupakan ekspresi untuk memahami Realitas Tertinggi. Konsep Siwanataraja misalnya, yang begitu populer pada masyarakat Hindu adalah penggambaran Siwa sebagai penari kosmis, sekaligus merupakan visualisasi dari filsafat Saiwa Siddhanta. Siwa diyakini sebagai pencipta seni dan sekaligus menjadi tujuan kerativitas yang dipersembahkan (Suamba, 2003:5). Kehadiran Yang Illahi dalam kreativitas seni menegaskan orientasi kesenian sebagai media persembahan kepada Tuhan. Di sinilah seni menjadi tradisi religius yang dibangun di atas kerangka ketuhanan, keseimbangan hidup, kalangwan (kelangenan), tuntunan, dan taksu. Malahan Sedyawati (2006) menegaskan karya seni itu menggugah rasa, yang berkisar pada rasa indah, rasa haru, rasa hormat, kagum, dan empati terhadap perikehidupan di alam ini. Dengan demikian, kehadiran spirit ketuhanan, kemanusiaan, estetika, dan etika telah menjadi keutamaan dari seni tradisional nusantara pada setiap zamannya.
Ketika seni tradisi Indonesia telah melingkupi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam pada setiap zamannya, maka seni tradisi ini tetap relevan untuk membangun dan mengembangkan sistem nilai pada zaman kini. Dalam hal ini seni tradisi menjadi penting dan relevan dalam pengembangan nilai-nilai kebangsaan termasuk dalam pengembangan spirit bela negara sebagai salah satu komponen pertahanan nasional. Pemahaman mengenai seni tradisi yang berkelanjutan dalam perubahan (continuity in change) semestinya disandarkan pada nilai-nilai keutamaan di atas. Kepekaan pada pertanda zaman menjadi inspirasi lahirnya produk-produk kreatif dalam berkesenian baik, klasik maupun kreasi baru hingga kontemporer. Melalui pengalaman, kepekaan, imajinasi, dan kekayaan batin para seniman diharapkan mampu melahirkan karya yang mencerahkan masyarakat. Arah pengembangan seni menuju “pencerahan” inilah yang mesti diupayakan oleh para seniman, kritikus seni, dan pemerintah demi terbentuknya jati diri bangsa yang kuat dan tangguh. Dengan demikian seni tradisi Indonesia dapat menjadi komponen yang relevan dan signifikan dalam upaya membangun semangat bela negara.
Artinya, seni tradisi Indonesia fungsional dalam membangun identitas bangsa dan jati diri bangsa merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan sebagai modal untuk menghadapi penetrasi budaya global yang berlangsung begitu cepat. Mengingat kegagalan dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain akan melahirkan “penjajahan” dalam bentuk lain terhadap bangsa ini. Pada gilirannya melalui proses glokalisasi dan lokalisasi diharapkan, seni tradisi Indonesia dapat mendorong kesanggupan bangsa untuk bersaing dalam dunia internasional. Hal ini setidak-tidaknya telah ditunjukkan oleh panitia seminar bahwa ide-ide dan karya-karya Rahayu Supanggah yang bersandar pada seni tradisi Indonesia telah diapresiasi secara internsional.
Seni Tradisi sebagai Komponen Pertahanan Nasional
Pertahanan nasional merupakan tema penting diwacanakan karena heterogenitas masyarakat indonesia memang dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks keanekaragaman budaya. Akan tetapi dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi jika kenyataan itu dieksploitasikan secara sengaja dan struktural (Kusumohamidjojo, 2000:49). Fakta menunjukkan bahwa selain keragaman ras, juga masyarakat Indonesia berkeragaman secara etnisitas atau kesukubangsaan.
Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) mementukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narroll dalam Leliweri, 2005:9).
Keberagaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia memang dapat menjadi ancaman bagi pertahanan nasional, tetapi secara eksternal bukan berarti ketahanan nasional bebas dari ancaman dan gangguan. Ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional bangsa Indonesia merupakan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala kemungkinan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan nasional ini meliputi tri gatra dan panca gatra. Tri gatra merupakan aspek statis, yaitu geografi, demografi, dan sumberdaya nasional, sedangkan panca gatra merupakan aspek dinamis yang selalu berkembang dan berinteraksi, baik dalam kehidupan nasional, regional, dan internasional (Lemhanas, 1981). Aspek dinamis ini meliputi, antara lain ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Aspek ini sejalan dengan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan nasional mengandaikan bahwa kondisi demikian bukan hanya berkaitan dengan hal-hal fisikal. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan psiko-mental bangsa yang sebagian berada pada wilayah sosial dan budaya. Dalam kebudayaan inilah eksistensi seni tradisi berstandar sehingga antara seni tradisi dan ketahanan nasional memang erat saling ketergantungan. Mengingat dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai tradisi yang relatif tidak dapat dipengaruhi oleh budaya asing. Dengannya seni tradisi yang merupakan unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat pada gilirannya berpartisipasi dalam membentuk kebudayaan nasional.
Ini berarti seni tradisi sebagai sumberdaya budaya dapat merekatkan kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Keanekaragaman sumber daya budaya dengan ciri-ciri lokal yang didukung oleh etnis masing-masing bukan merupakan perbedaan yang dipertentangkan, tetapi sebagai sintesis yang memperkaya makna persatuan (Laksmi dalam Sutaba, dkk. (ed.), 2002:51). Kesatuan dalam keberagaman inilah merupakan wujud ideal dari pertahanan nasional sehingga pemberdayaan budaya lokal termasuk seni tradisi menjadi penting yang layak diupayakan. Terwujudnya pemberdayaan seni tradisi sebagai kekayaan budaya nasional melalui pengembangan dan peningkatan mutu akan mendorong berkembangnya kehidupan masyarakat fluralis yang menghormati perbedaan. Selain itu, mengingat seni tradisi yang lazimnya berkaitan erat dengan aktivitas keagamaan dalam suatu wilayah etnis sehingga pembinaan terhadap seni tradisi akan mendorong peningkatan penghayatan, pengamalan, dan peribadatan. Religiusitas masyarakat juga dapat menjadi potensi besar dalam pembangunan dan pengembangan pertahanan nasional. Upaya pembinaan terhadap seni tradisi dalam bentuk lainnya yang juga strategis misalnya, mengakulturasikan antarbudaya daerah. Misalnya, dalam Dharma Shanti Nyepi 28 April 2007 di Ardha Candra Denpasar, dipertunjukan kesenian berjudul Tari Nusantara mengusung tema Bhinneka Tungal Ika. Model ini dapat memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Replubik Indonesia.
Simpulan
Secara implisit telah dikemukakan bahwa modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi sehingga perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap seni tradisi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tradisi. Sebagai komponen bela negara, seni tradisi yang dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkrit pada dasarnya dapat membentuk identitas bangsa. Dalam konteks ini, seni tradisi digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai kearifan lokal yang pada prinsipnya berpartisipasi dalam membentuk nilai nasional. Memang semangat kejuangan dan kebangsaan sebagaimana ditunjukkan sejarah nasional misalnya, tidak jarang lebih bergema melalui seni tradisi. Dengan demikian, sesungguhnya seni tradisi yang hidup dalam suatu etnis, bukan hanya menjadi milik etnis tersebut misalnya, ketika salah satu atau beberapa seni tradisi diklaim oleh negara tetangga yang melakukan perlawanan bukan hanya etnis pemiliknya.
Selain mempererat emosi kebangsaan, juga seni tradisi merupakan kearifan lokal yang memiliki kesanggupan memperkaya kebajikan bangsa yang memang sungguh sulit bila hendak dirumuskan dalam sebuah konsep. Oleh karena seni tradisi, sebagaimana umumnya kesenian merupakan suatu nilai yang hadir lebih memenuhi pengalaman batin daripada pikiran objektif. Pengalaman batin, apalagi pengalaman batin sebuah bangsa yang terdiri atas banyak etnis dan budaya tentu merupakan kompleksitas pengalaman unik yang di luar kesadaran telah membangun jiwa kebangsaan itu sendiri. Di sini seni tradisi telah merasuki semangat kebangsaan sekaligus telah turut serta membangun pertahanan nasional.
Bacaan
Bandem, I Made. 1996. Evolusi tari Bali, Yogyakarta: Kanisius.
Bleeker, C.J. 2004. Pertemuan Agama-Agama Dunia, Menuju Humanisme Relejius dan Perdamaianan Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: P.T. Gramedia.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problimatik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Leliweri, A. 2001. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS.
Lemhanas. 1981. Kewiraan untuk Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia.
Sastra, Andar Indra. 2004. “Nyanyian Religius dalam Ratik Saman”, dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai), Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press.
Sedyawati, Edi. 2000. “Agama dan Kesenian: Permasalahan Data dan Interpretasinya”. (Tulisan ini disampaikan pada pameran “Temuan Satu Abad (1900-1999): Perjalanan Sejarah Kebudayaan Indonesia” Museum Nasional bekerjasama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jakarta. Jakarta, 20-21 Oktober 2000.
Soedarso, Sp. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi Dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Sutaba, dkk. 2002. Manfaat Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar: Upada Sastra.
Triguna, IBG Yudha. 2002. “Hubungan Agama dan Adat Dengan Perkembangan Kesenian Bali” (Makalah disampaikan dalam Sarasehan Budaya di Jakarta, 2002)
____________. 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.
kehidupan manusia
PERJALANAN HIDUP MANUSIA
Antara Macapat dan Psikologi Perkembangan
I Wayan Sukarma
1. Pendahuluan
Manusia itu makhluk multidimensional (Hartoko, 1985). Akan tetapi, menurut Suhartono (2008:51), apabila manusia dipandang sebagai realitas, maka ia bukan hanya merupakan realitas kuantitatif, tetapi juga realitas kualitatif. Hal-hal yang fisis-kuantitatif umumnya sudah jelas, tetapi yang spiritual-kualitatif tetap tertinggal menjadi misteri misalnya, misteri tentang asal-mula dan tujuan kehidupannya. Walaupun umat beragama mungkin sepakat mengatakan bahwa asal-mula kehidupan manusia adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi tampaknya hampir semua orang, bila kesempatan memungkinkan cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Artinya, pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari. Menurut Suhartono (2008:52) dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku muncullah pendidikan. Artinya, manusia memerlukan pendidikan untuk mengatasi kemunafikan dan sifat hipokritnya, yaitu menyelaraskan antara pengetahuan dan perilaku.
Misteri dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap merupakan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ketika hendak memahami manusia secara holistik dan komprehensif. Upaya ini semakin tidak mudah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia semakin terpuruk jauh ke dalam lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonisme-materialistik. Akibatnya, dunia sipritual-transendental terabaikan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kekinian dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok. Padahal sifat hakikat manusia selalu bergerak menuju ke masa depan. Dengan demikian, kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segala-galanya. Dengan begitu, manusia memiliki kekuasan untuk memanfaatkan potensi alam dan sesama. Di bawah kekuasaan manusia rupanya, kehidupan berlangsung menjadi ”antroposentristik” (Djumransjah, 2006:86; Sudiarja, 2006:298; Knight, 2007:21; dan Suhartono, 2008:52).
Menurut Suhartono (2008:53) dalam konteks kehidupan yang demikian, manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan sikap dan perilakunya. Inilah hakikat tujuan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran kehidupan. Tujuan pendidikan pada hakikatnya mencerdaskan potensi spiritual, intelektual, dan emosional. Kemudian, masa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai kegiatan kehidupan dalam lingkungan sosial dan budaya. Pendidikan menjadi semakin penting ketika manusia menyadari sedang menjalani kehidupan pada zaman edan, suatu zaman kekacauan yang sedang melanda masyarakat. Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha (Purwadi dan Djoko Dwiyanto, 2006:193) menggambarkan zaman edan seperti berikut.
Amenangi zaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
dilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahan:
Mengalami zaman gila,
serba sulit dalam pikiran,
ikut gila tak tahan,
kalau tidak ikut,
tidak dapat bagian,
akhirnya kelaparan,
untungnya takdir Allah,
seuntung-untungnya orang lupa,
masih untung yang sadar dan waspada.
Gambaran tersebut merupakan tuntutan, agar manusia lebih intensif melibat diri dalam kegiatan pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai kedewasaan dan kematangannya. Manusia sebagai makhluk berpendidikan dapat dicermati dalam pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir pendidikan telah berlangsung sehingga sejak itu manusia terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan. Dia dijaga, dirawat, dididik, diajar, dan dilatih oleh orang tua di dalam keluarga dan masyarakatnya termasuk pendidikan kelembagaan menuju taraf kedewasaan hingga terbentuk kemandirian mengelola kelangsungan hidupnya. Setelah kedewasaan dicapai kemudian, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan dirinya. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian alam, yakni tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan. Artinya, pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Dengan demikian, persoalan pendidikan adalah persoalan yang cakupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Kegiatan kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak senantiasa mengandung makna kependidikan (Jalaluddin, 2002:243; Tilaar, 2002:188; Suhartono, 2008:54--56). Ini sebabnya pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis begitu penting dan relevan dipahami seiring dengan keberadaan manusia sebagai makhluk berkebudayaan.
Manusia sebagai makhluk berkebudayaan ditunjukkan dengan kegiatan pewarisan nilai-nilai kehidupan dari generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan ini berkaitan dengan keberadaan manusia secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada taraf ini manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani berupa akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas fakta-fakta ke dalam nama dan rupa. Dengan budinya manusia melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia mengatur dan mengontrol tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam lingkungannya. Pada taraf ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”, antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14; Jalaluddin, 2002:240; Sukarma, 2007:12).
Dengan demikian, kualitas suatu masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan merupakan presentasi dari tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu masyarakat) memiliki korelasi positif dengan kemajuan kebudayaan. Ini sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran, bukan secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial. Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan hingga mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pikiran, perasaan, dan kehendak dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses internalisasi. Mengingat manusia juga bagian dari suatu sistem sosial sehingga setiap individu selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan (Purwanto, 2000:43; Sudiarja, 2006:276; Sukarma, 2007:14). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan dan pembudayaan merupakan dua sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan. Inilah yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun masyarakat.
Dikatakan demikian karena melalui kegiatan pendidikan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai kebenaran, baik universal-abstrak dan teoretis maupun praktis (Suhartono, 2008:56--58). Nilai kebenaran ini mendorong terbentuknya sikap dan perilaku arif-berkeadilan dan dengannya manusia membangun kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan, baik material maupun spiritual merupakan upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya untuk senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan sesama termasuk dengan alam secara arif-berkeadilan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia wajib membangun moral, yaitu pengendalian diri dalam berperilaku. Dengan begitu, manusia mampu menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan. Untuk itu juga diperlukan pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis sejak lahir hingga meninggal, sebagaimana digambarkan dalam macapat dan psikologi perkembangan.
Perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dunia digambarkan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat, yakni dari tembang mijil sampai dengan tembang pucung (Susteya, 2007). Malahan para pujangga, bukan hanya sekadar memotret perjalanan hidup atau tahapan-tahapan perkembangan manusia, tetapi juga memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang mungkin dihadapi pada setiap tahapan perkembangan. Artinya, makna dan hikmah hidup termasuk cara pemecahan masalah yang timbul pada setiap tahapan perkembangan manusia dikemas begitu sublim secara simbolik dalam macapat. Sementara itu, psikologi perkembangan menggambarkan proses pekembangan psikis manusia dari lahir hingga tua (menjelang meninggal dunia) (Sujanto, 1980; Monks dkk, 1984). Apabila gambaran tentang perjalanan hidup manusia menurut macapat dapat diasumsikan relevan dengan tahapan perkembangan psikis manusia menurut psikologi perkembangan, maka untuk melihat relevansi antara perjalanan hidup manusia menurut macapat dan psikologi perkembangan inilah yang menjadi tujuan tulisan ini.
Dalam tradisi Jawa tahapan-tahapan perkembangan psikis ditandai dengan ritual-ritual yang menunjukan tahapan-tahapan yang disebut Monks (1984:3) suatu proses yang di dalamnya individu dan sifat lingkungan akhirnya menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi. Tahapan-tahapan ritual itu di antaranya berupa upacara selamatan sejak manusia lahir hingga meninggal dunia. Secara etis ritual-ritual itu mengarah pada pemahaman inividu tentang orientasi tempat dibandingkan dengan pertimbangan rasional. Tindakan ini dilakukan berdasarkan status dan peran yang tepat, seperti dikatakan Magnis-Suseno (1999:150) bahwa seluruh kebijaksanaan hidup-Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat dirancang agar kehidupan terus berjalan serta sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi pandangan ini merupakan penerimaan orang Jawa terhadap dimensi misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa bahwa sikap penerimaan misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila”. Nrima berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagai-mana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan melepaskan sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999: 143-144; Pitana, 2010).
Akhirnya, dapat dipahami bahwa secara teologis perjalanan kehidupan manusia dan perkembangan psikisnya berujung pada pemahaman yang sinkretik Hindu-Jawa, yaitu konsep kemanunggalan. Ini sebabnya sangat menarik memperbincangkan paham ngelmu makrifat dalam tradisi Jawa dan memperbandingkannya dengan psikologi perkembangan. Dengan demikian, makalah ini merupakan satu alternatif perbandingan kedua konsep itu yang pengungkapannya diharapkan saling mempertajam pemaknaan keduanya.
2. Perjalanan Hidup Manusia
Potret perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia dalam tradisi Jawa digambarkan begitu jelas dan tegas melalui tembang mijil hingga pucung (Susetya, 2007:5—24). Bukan hanya itu, bahkan juga digambarkan berbagai jalan keluar terhadap permasalahan yang mungkin muncul pada setiap tahapan perjalan hidup. Walaupun pujangga Jawa memberikan gambaran ini dalam bentuk simbolik berupa metafor-metafor, lazimnya pujangga menangkap fenomena alam dan sosial. Perjalanan hidup manusia yang terekam dalam macapat ini akan dilihat relevansinya dengan psikologi perkembangan seperti dijelaskan berikut di bawah ini.
(1) Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, yaitu bayi yang baru lahir (Susetya, 2007:5). Bayi yang baru lahir tentu masih dalam keadaan fitrah, suci, murni tanpa dosa, seperti kertas putih-bersih. Agar anak dapat berkembang normal, menurut Susetya (2007:6) orang tua memiliki kewajiban memberikan nama kepada anaknya, memenuhi kebutuhannya, memberikan pendidikan, dan agama. Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam tradisi jawa ayah dan ibu wajib memberikan anaknya kasih sayang, mendidik budi pakertinya, dan melatih kecakapannya dengan mulat (mengetahui), milolo (membombong), miluta (membimbing), palidarma (memberikan tauladan atau contoh), dan palimarma (memaafkan kepada anak-anak).
Sejalan dengan hal tersebut Sujanto (1980:23) menjelaskan bahwa kecakapan yang perlu dikembangkan pada anak usia tahun pertama, antara lain kecakapan instinktif, kecakapan umum, dan cara belajar. Kecakapan instinktif berhubungan dengan upaya mempertahankan hidup, seperti makan dan minum. Dalam hal ini termasuk gerakan sederhana misalnya, memalingkan kepala dengan mengarahkan mata atau telinga, bila menerima getaran atau cahaya. Kecakapan umum anak usia tahun pertama yang perlu dikembangkan, antara lain penguasaan badan (berlajar berdiri dan berjalan), pergaulan anak dengan benda (memandang termangu-mangu, memegang mainan, bermain-main dengan menggunakan benda-benda), dan pergaluan anak dengan manusia (dapat tersenyum, tertawa, menangis, dapat mereaksi wajah yang berlainan, mulai bersuara, dan mencoba menarik perhatian). Kemudian, menurut Monks dkk. (1984:86—87) pada usia empat tahun anak dapat mengadakan orientasi dalam situasi yang asing dan tidak asing, dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah dan komunikasi dengan teman sebayanya, sedikit sudah mengerti ruang dan waktu (seperti siang-malam, di sana dan di sini), sudah mulai mengenal norma (seperti jangan dan silahkan), dan anak sudah dapat membuat rencana termasuk sudah dapat memikirkan yang akan dilakukan. Begitulah perkembangan anak hingga mencapai usia enam tahun ia sudah memiliki pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis keseimbangan, bahkan kekuatan badan dan tangan pada anak laki-laki mengalami pertumbuhan yang pesat pada usia antara enam dan dua belas tahun (Monks dkk., 1984:153).
(2) Sinom
Sinom berarti muda, yaitu suatu tahapan perkembangan manusia yang masih dalam nom-noman, anom atau remaja (Susetya, 2007:9). Inilah tahapan perkembangan manusia untuk meniti cita-cita, karena itu remaja menempuh pendidikan, seperti SMP (Sekolah Mengenah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Melalui pendidikan mereka mengembangkan diri menuju kedewasaan hingga terbentuk kemandiran mengelola kehidupannya sendiri. Jadi, yang terpenting pada usia anom (remaja) adalah menuntut ilmu sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti ungkapan berikut, ‘senyampang masih muda, tuntutlah ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk persiapan masa tua’ atau ‘gantungkanlah cita-citamu setinggi langit’. Senyampang (mumpung) masih muda memang hendaknya memanfaatkan masa muda seoptimal mungkin sebelum tua. Begitu juga ketika masa sehat sebelum waktu sakit, masa kaya sebelum miskin, masa hidup sebelum mati, dan masa waktu luang sebelum sempit (Susetya, 2007:10).
Sejalan dengan hal tersebut, Monks dkk. (1984:215) menegaskan bahwa masa remaja (dari usia 12 hingga 18 tahun) merupakan waktu yang sebaik-baiknya pergi ke sekolah untuk memperoleh pengertian dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan yang semakin maju. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju dewasa, karena itu tugas-tugas perkembangan remaja, antara lain perkembangan aspek biologik, menerima peranan dewasa berdasarkan kebiasaan masyarakat, mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mendapatkan pandangan hidup sendiri, dan merealisasikan identitas sendiri serta dapat berpartisipasi dalam kebudayaan. Anak masih banyak belajar melalui enkulturasi, sosialisasi, dan adaftasi untuk memperoleh tempat dalam masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
(3) Asmarandana
Asmarandana artinya cinta, cinta kepada lawan jenis, yaitu cinta seorang pria kepada wanita (Susetya, 2007:10). Suatu tahapan kehidupan, masa seseorang telah berhubungan asmara dengan lawan jenisnya, yakni kira-kira pada usia belasan dan dua puluhan tahun. Misalnya, dalam budaya Jawa diungkapkan, ”witing tresna jalaran saka kulina” (cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulannya antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan percintaan, tetapi lama-kelamaan bisa menumbuhkan cinta, lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Begitulah cinta merupakan tema abadi dalam kehidupan manusia pada setiap bangsa dan setiap zaman. Banyak orang beranggapan bahwa percintaan merupakan peristiwa penting dari tiga hal terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Orang yang terlibat cinta bisa menimbulkan semangat gairah hidup, tetapi juga bisa frustrasi, bahkan bunuh diri karena kegagalan cinta. Untuk itu, Purwadi (2005) menyarakan, agar asmara disalurkan sesuai dengan moral agama sehingga berbuah kebajikan, menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, seseorang yang bermain-main dalam cinta dan percintaan akan menyebabkan masalah sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, seseorang diharapkan menjalani masa asmarandana secara proporsional.
Fase perjalan hidup tersebut dalam psikologi perkembangan disebut masa pemuda, antara lain terdiri atas fase pueral, fase negatif, dan fase puber (Sujanto, 1980:205). Pada fase pueral anak laki-laki mulai memisahkan diri dari perempuan. Anak laki-laki memandang anak perempuan sebagai menjijikkan dan anak perempuan memandang anak laki-laki sebagai tukang bual. Pada fase negatif ini anak bersikap serba menolak terhadap segala sesuatu, serba ragu, tidak pasti, tidak senang, dan tidak setuju, bahkan sering murung dan sedih tanpa sebab yang jelas, serta sering melamun tak menentu dan kadang-kadang putus asa. Fase puber merupakan inti dari seluruh masa pemuda yang ditandai oleh berkembangnya kelamin primer (pertumbuhan yang secat sehingga tubuh tampak tidak seimbang), kelamin skunder (mulai tumbuh rambut baru), dan kelamin tersier (perkembangan tubuh mencapai kesempurnaan dan harmonis). Lebih jauh dijelaskan bahwa pada fase pemuda, anak-anak akan mengalami perkembangan pesat dalam hal seksualitas, fantasi, emosi, kemauan, pikiran, estetika, dan religi.
(4) Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga ia memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya, yakni kehidupan berumah tangga (Susetya, 2007:12). Berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, pujangga Jawa memberikan rambu-rambu melalui tembang berikut.
Gegarane wong akrami.
Dudu bandha dudu rupa.
Among ati pawitane.
Luput pisan kena pisan.
Yen angel angel kalangkung.
Tan kena tinumbas arta.
Terjemahan:
Rambu-rambu dalam perkawinan
Bukan karena harta, bukan karena wajah
Hanya hati modalnya
Gagal sekali, tepat sekali
Jika terlanjur sulit, sulit sekali
Jika benar/tepat ibaratnya tak bisa dibeli harta.
Dari tembang di atas dapat dipahami bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi dan kedewasan termasuk keyakinanya. Ini berarti seseorang memiliki modal agama, budaya, dan sosial yang memadai. Pada umumnya setelah memasuki perkawinan, sesepuh, ulama, dan orang tua mendoakan, agar suami-istri dapat mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah, yakni kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Tuhan. Untuk itu kepala keluarga dituntut menguasai berbagai kecakapan dan keterampilan hidup, seperti kegiatan pragmatis tanpa keahlian (pekerjaan tukang), kegiatan rutin dan monoton (pegawai negeri), kegiatan pengembangan (peneliti), dan mampu menangani bidang usaha secara proporsional (profesional). Oleh karena itu pujangga Jawa menggambarkan fase ini adalah kinanthi (dibekali), yaitu sepasang pengantin yang dibekali tanggung jawab untuk membina kehidupan bersama dalam keluarga.
Walaupun demikian, masa awal berumah tangga tetap harus dipahami sebagai masa yang sulit bagi setiap manusia. Ini merupakan kondisi kritis kehidupan karena terjadi loncatan kehidupan, baik secara sosial maupun psikis – dari semula hidup sendiri, menentukan keputusan sendiri secara bebas, sekarang harus hidup bersama dan mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, perkawinan selalu dilegitimasi melalui ritual sakral dalam berbagai tradisi. Setidak-tidaknya, ritual ini menegaskan kalau keputusan untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga merupakan pilihan hidup yang memerlukan keyakinan, kesiapan mental, dan kecakapan yang luar biasa karena idealnya perkawinan hanya terjadi satu kali selama hidup (kena pisan, luput pisan). Jadi, benar atau salah pasangan hidup yang dipilih, dan juga pilihan untuk menikah itu sendiri harus benar-benar merupakan pilihan yang meyakinkan, penuh pertimbangan, dan untuk itulah diperlukan kedewasaan.
(5) Dhandhanggula
Dhandhanggula terdiri atas dua kata, yaitu “dhandhang” berarti pait (pahit) dan “gula” berarti manis (Susetya, 2007:17). Dengan demikian, dhandhanggula berarti gambaran pahit-manis atau suka-duka kehidupan setelah berumah tangga. Pada tahapan ini suami-istri, selain mengalami kenikmatan hidup misalnya, mendapatkan momongan (putra) dan penghasilan yang cukup, tetapi juga mereka semakin bertanggung jawab sehingga mereka menjalani kehidupan dengan lara lapa (prihatin). Dhandhanggula bermakna rasa optimis terhadap masa depan yang manis, cerah, dan gemilang setelah melewati masa pahit. Oleh karena itu, masa depan yang cerah harus dilewati dengan agenda hidup yang jelas dan tegas, seperti dikatakan oleh Purwadi (2005), lumampah anut wirama (berjalan sesuai aturan yang berlaku).
Pengalaman mengenai pahit-manis kehidupan merupakan salah satu faktor yang turut membangun kedewasaan diri seseorang. Secara psikologis, orang yang dewasa ditandai dengan beberapa ciri, antara lain: (1) adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan, yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan; (2) kemampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional; (3) suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri; (4) pengamatan, pikiran, dan tingkah laku menujukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativitasnya juga; (5) dapat melihat diri sendiri seperti adanya, dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan; dan (6) menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan menjadi suatu kesatuan (Monks, dkk., 1984:266).
Fase dhandanggula ini menunjukkan pentingnya beguru pada pengalaman hidup. Tempaan hidup yang dialami selama masa-masa awal perkawinan harusnya bisa membentuk diri yang kuat dan tangguh untuk menatap masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, perilaku-perilaku yang menimbulkan kesenangan dalam keluarga dapat dipertahankan melalui pengulangan-pengulangan, bahkan dapat ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Hal ini penting mengingat dalam realitas empiris, tanggung jawab untuk membangun kebahagiaan keluarga semakin besar dari masa ke masa. Dari semula hanya hidup berdua (suami-istri), kini juga harus memikul tanggung jawab baru sebagai orang tua. Untuk itu pendewasaan diri melalui kerja reflektif pada pengalaman hidup harus terus menerus diupayakan.
(6) Maskumambang
Maskumambang atau maskentar merupakan gambaran kepalsuan (kehidupan). Adakah emas yang kumambang (mengapung) atau kentar/kentir (terapung)? Jadi, kata “maskumambang” berarti emas yang terapung atau mengapung (Susetya, 2007:18). Malahan Purwadi (2005) menganalogikan maskumambang sebagai seorang pemuda setelah memasuki perkawinan yang penuh perjuangan sehingga tampak gagah seperti emas mengapung (maskumambang). Yang terpenting pada masa ini adalah jembatan emas yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mengingat pada masa ini seseorang setelah memasuki perkawinan, ibaratnya berada pada puncak karier kira-kira mereka berusia 31--45 tahun, yaitu usia produktif dan usia yang paling kokoh dan tangguh. Pada masa ini ada dua pilihan besar, yaitu kesuksesan dan kegagalan. Jika mau berusaha sungguh-sungguh, maka mereka akan bahagia pada masa tuanya. Sebaliknya, jika bermalas-malasan, maka mereka akan gagal hingga masa akhirnya. Ini sebabnya pujangga Jawa juga menyindir (nyemoni) dengan maskumambang yang ditujukan kepada mereka yang enggan berjuang keras, yakni dalam arti kotoran manusia yang mengapung di air.
Dalam psikologi perkembangan, fase ini dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi humanistik. Psikologi humanistik bertitik tolak pada pendirian bahwa manusia ikut menentukan hidupnya secara aktif dan tidak hanya pasif menerima konflik-konflik yang belum terselesaikan maupun proses-proses belajar dari luar saja (Monks, 1984:1984:270). Artinya, manusia dewasa harus berani menentukan arah dan tujuan kehidupannya secara aktif. Hal ini merupakan tingkat pendewasaan lebih lanjut dari sejak orang mulai berumah tangga. Pada masa-masa awal perkawinan kehidupan rumah tangga lebih banyak diarahkan untuk menanggulangi masalah-masalah seperti, pemenuhan kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, papan), mendapatkan keturunan, dan penyesuaian perbedaan karakter, sifat, dan sikap antara suami-istri. Pada masa berikutnya, proses pendewasaan dilakukan melalui pembelajaran pada pengalaman-pengalaman hidup. Namun pada masa ini, pendewasaan dimulai dengan keberanian untuk menentukan pilihan-pilihan hidup dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan tersebut. Dari sinilah proses pematangan diri dimulai, yakni dengan ditetapkannya pilihan-pilihan hidup, baik bagi kebaikan diri sendiri maupun kebaikan bagi lingkungannya.
(7) Durma
Durma berasal dari kata “dur” berarti mundur dan “ma” berarti maju. Jadi, durma berarti maju-mundur atau keragu-raguan, was-was atau tidha-tidha dalam kehidupannya (Susetya, 2007:19). Keraguan ini disebabkan oleh semakin berat tanggung jawab yang harus dipikul, karena itu menyebabkan orang frustasi. Kehidupan dirasakan penuh dengan kekhawatiran dan keraguan, sanggupkah saya menjalani kehidupan yang berat ini? Keraguan dan kekhawatiran ini lazimnya berkaitan dengan masalah ekonomi dan kelangsungan hidup keluarga termasuk masa depan anak. Inilah batu sandungan yang cenderung mendorong pasangan suami-istri tergelincir ke jalan pintas yang memberikan kemapanan dan kenikmatan lahiriah. Tidak jarang dijumpai karena masalah ekonomi dijadikan alasan oleh suami untuk merelakan istrinya melakukan perbuatan immoral, seperti menjajakan kemolekan tubuhnya kepada pria hidung belang. Fase ini dapat dipandang sebagai tantangan dalam proses pematangan diri.
Padahal tahapan durma ini merupakan saat untuk mempersiapkan fase kehidupan berikutnya, yakni kehidupan di akhirat yang kekal. Sayang sekali, masalah kehidupan dunia menggoyahkan keyakinan menapaki jalan kesejatian. Hal ini sejalan dengan pendapat Swami Rama (2005) bahwa ketakutan dan keragu-raguan adalah penghambat bagi kemajuan spiritual. Secara psikologis, gejala ini merupakan hal yang umum terjadi pada orang yang menjelang tua. Ketakutan akan fisik yang semakin melemah, kehilangan pekerjaan karena datangnya masa pensiun, dan ketakutan akan hilangnya fasilitas-fasilitas yang pernah dinikmati sebelumnya merupakan alasan terjadinya post power syndrom. Padahal di sisi lain, tanggung jawab yang harus dipikul untuk membahagiakan keluarga dan anak-anak dirasakan masih belum selesai. Kontradiksi ini kerapkali menimbulkan keraguan untuk menapaki dunia spiritual. Oleh karena itu, Swami Rama (2005) juga menganjurkan agar menghilangkan seluruh keraguan dan ketakutan itu karena keberanian adalah tangga pertama untuk memasuki dunia spiritual.
(8) Pangkur
Pangkur berarti sudah mungkur atau ngungkurake (membelakangi) dari keglamoran atau kemewahan keduniawian (Susetya, 2007:21). Mengingat harta, tahta, dan wanita merupakan jebakan yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan menjadi hijab (penghalang) menuju kesejatian. Begitulah kemewahan hidup biasanya menyebabkan hati manusia semakin tidak peka dan cepat lupa diri atau sombong. Untuk itu disarankan, agar manusia menjalani religius dan spiritual karena telah masuk fase pangkur, seperti menjalaninya kehidupan dengan sak madya (hidup sederhana), sebagaimana dituturkan Ki Ageng Suryomentaram dengan konsep kawruh begja, kawruh jiwa atau pengawikan pribadi.
Orang tua umumnya mengalami kerentaan secara fisik, namun tidak pada psikisnya. Malahan orang tua diharapkan menjadi semakin matang dalam caranya berpikir dan bersikap. Kematangan ini hanya mungkin dicapai bila ia mampu mencapai realisasi diri yang sempurna (kawruh jiwa). Oleh karena itu, penting untuk melepaskan segala ikatan keduniawian yang oleh para pakar psikologi perkembangan disebut teori pelepasan (disengagement). Orang tua mulai melepaskan diri dari berbagai ikatan, baik emosional maupun sosialnya (Monks, 1984:1984:271). Secara psikologis, pelepasan ini penting untuk menghindarkan orang tua pada pengalaman mengenai kematian teman-temannya, dunia sosial yang semakin kecil karena pergaulan yang semakin terbatas, serta mobilitas yang semakin lemah karena kerentaan fisik yang dialami. Pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan frustasi yang berlebihan sehingga akan menurunkan kualitas kesehatannya secara drastis. Sebagai solusi atas gejala ini, psikologi perkembangan juga menawarkan teori aktivitas, yaitu pentingnya orang tua terlibat pada aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, sekaligus juga menyehatkan (Monks, 1984:1984:272). Pada dasarnya, kedua teori ini menghendaki agar setiap orang tua tetap bisa menikmati masa tuanya dengan senang, nyaman, dan sehat.
Namun demikian, orang Jawa (juga Hindu-Buddha) lebih menekankan pada proses pematangan diri sehingg orang tua bisa benar-benar menjadi “wong tuwa”. Orang tua dalam khazanah kebudayaan Jawa (Bali: anak lingsir) adalah istilah untuk orang yang memiliki kemapanan rohani dan kematangan spiritual. Ini merupakan fase di mana orang tua harus lebih banyak belajar mengenai pengetahuan rohani (pangawikan pribadi). Dalam tradisi Jawa juga, pengetahuan rohani ini diwujudkan melalui laku sehingga ia menjadi ngelmu, seperti dalam tembah Pucung Wedhatama berikut ini.
Ngelmu iku, (yang disebut ngelmu)
Kelakone kanti laku, (terwujudnya harus dengan laku)
Lekase lawan kas, (dilakukan untuk mencapai kasantosan)
Tegese kas nyantosani, (yang dimaksud kas adalah membuat sentosa)
Setya budya, (kejujuran dan keberadaban)
pangekesing dur angkara. (menghilangkan angkara murka)
Tembang pucung tersebut mensyaratkan bahwa pengetahuan rohani harus diwujudkan dalam ngelmu dan laku. Artinya, pengetahuan saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan tindakan nyata (laku), baik laku spiritual maupun laku etis. Pada prinsipnya bahwa pada tahapan ini orang tua harus mampu mengembangkan kebijaksanaan dalam dirinya sehingga bisa menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.
(9) Gambuh
Gambuh artinya identik dengan jumbuh, ketemu, seolah-olah sama, tidak bisa dibedakan (Susetya, 2007:21). Dalam perspektif macapat bahwa gambuh bermakna ketika seseorang dalam fase tuanya memperdalam ‘ngelmu sangkan paraning dumadi’ dari mana ia berasal dan akan menuju ke mana perjalanannya. Seseorang yang berada pada tahapan gambuh ini berarti sudah mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya (makrifat). Ia pun tahu bahwa kehidupan yang langgeng (abadi) berada di alam akhirat, bukan di dunia yang penuh suka-duka. Dalam perspektif lain ia telah mencapai ‘manunggaling kawula-Gusti’ atau ‘pamoring kawula-Gusti’. Sastrowardojo (1982) menjelaskan, kata pamor berasal dari kata wor, amor artinya campur, gaul atau ada hubungan. Sementara itu, kawula berarti abdi atau hamba dan Gusti menunjuk pada Tuhan. Dengan demikian, ‘pamoring kawula Gusti’ bermakna adanya percampuran, pergaulan antara abdi atau hamba dengan Tuhan. Dalam perspektif kejawen (kebatinan), jelas Sastrowadojo, yang dimaksud kawula (abdi, hamba), yaitu badan atau jasmani, sedangkan Gusti yaitu rohaniah. Keduanya sering disebut juga sebagai ‘Loro-loroning atunggal’, ‘dua bersatu’ atau ‘dwi tunggal’. Keduanya diharapkan sedemikian rupa bisa terus berhubungan sehingga terjadi saling asah-asih-asuh. Terjadi keseimbangan antara keduanya, tidak boleh saling memenangkan yang satu bagian dengan yang lainnya.
Boleh dibilang bahwa fase ini merupakan puncak dari seluruh proses perkembangan struktur psikis manusia yang dibangun melalui pendidikan dan pembudayaan. Dalam tahap ini, manusia telah berada dalam fase kematangan yang sempurna. Dikatakan demikian karena ia telah memahami hakikat dirinya secara utuh sebagai jasmani dan rohani. Jasmani memang bersifat tidak kekal dan rohanilah yang kekal. Namun eksistensi jasmani yang sehat penting untuk mendukung perjalanan rohani menuju tahap kesempurnaannya. Tubuh ini ibarat kendaraan yang ikut mengantarkan jiwa sebagai penumpangnya ke tujuan yang dicita-citakan. Apabila kendaraan ini rusak sebelum sampai ke tujuan, maka bencanalah namanya. Dalam pandangan filsafat Jawa inilah pentingnya keseimbangan dalam olah raga (mengolah fisik) dan olah rasa (mengolah rasa). Dengan fisik yang sehat, pikiran juga menjadi tenang sehingga bisa khusuk dalam kontemplasi untuk mencapai ngelmu sejati atau ngelmu manunggaling kawula-gusti.
Bagi yang telah mencapai kesadaran ini, Kakawin Arjunawiwaha I.1, menjelaskan tentang “sang paramartha pandita, huwus limpat sakeng sunyata” (Pandita utama yang telah melampaui alam kesunyataan). Dikatakan bahwa orang yang telah mencapai kesadaran rohani tertinggi, sesunguhnya ia hanya berbatasan tipis (heletan kelir) dengan Sang Pencipta (Sanghyang Jagat Karana). Kehidupannya sentosa, kesadaran illahi telah direngkuh, tetapi tetap menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Namun segala yang dilakukan tiada lain hanyalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan, orang tua yang telah memiliki kesadaran rohani seperti ini harus bisa menjadikan dirinya sebagai guru loka (guru masyarakat), tempat bersandar masyarakat untuk meminta pertimbangan, saran-saran, pendapat, demi kebaikan bersama.
(10) Megatruh
Megatruh terdiri atas dua suku kata, yaitu megat berarti memutuskan dan ruh berarti roh sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia (Susetya, 2007:23). Ini adalah suatu fase terakhir manusia; yakni menghadapi kematian alias ajalnya. Purwadi menyatakan bahwa pada tingkat ‘megatruh’ ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir-batin, sehingga ia mencapai ‘mati sajroning urip’ hingga mencapai akhir hidup yang khusnul khatimah (bahasa Jawa: emate pati patitis). Keikhlasan dalam menghadapi kematian memerlukan kesadaran yang sempurna mengenai sangkan paraning dumadi. Seperti pujangga Jawa menuliskannya dalam tembang “umpamane manuk mabur, mesti bakal mulih marang kurunganeki” (ibarat burung yang terbang, pasti akan kembali ke sangkarnya).
Kematian pada umumnya memang menjadi momok yang menakutkan bagi manusia yang hidup. Ketakutan ini tercermin dari beragamnya cara dan upaya manusia untuk bertahan hidup lebih lama. Sebut saja perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan yang semakin pesat pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat sehingga memiliki usia hidup lebih panjang. Demikian juga dengan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh kerabat terdekatnya. Fenomena kematian secara psikologis memang dianggap menakutkan bagi kebanyakan orang. Walaupun manusia tidak dapat menolaknya, namun manusia juga sulit menerimanya dengan lapang dada. Oleh karena itu, spiritualitas dalam agama apapun mengajarkan betapa pentingnya mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang bisa menjemput kapan saja. Apabila diyakini bahwa hanya amal yang bisa mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik di akhirat, maka meningkatkan kuantitas dan kualitas amal adalah syarat mudah untuk tetap tersenyum menghadapi kematian.
(11) Pucung
Pucung berarti sudah menjadi pocongan, fase ketika manusia meninggal dunia sehingga menjadi jenazah (Susetya, 2007:23). Dalam Islam ada kewajiban bagi ahli warisnya dan masyarakat terhadap orang yang telah meninggal dunia. Pertama, memandikan. Kedua, mengafaninya dengan tujuh lapisan kain. Ketiga, mensalatkan, yakni salat jenasah atau salat gaib dengan empat takbir dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Keempat, menguburkan atau memakamkan jenasah. Purwadi (2002) mengartikan makna pucung ini sebagai peninggalan ilmu yang telah diamalkan dalam kehidupan ketika masih hidup di dunia sehingga membuahkan kesejahteraan bagi dirinya di akhirat kelak. Dalam Islam dijelaskan semua amal orang yang telah mati terputus, kecuali tiga perkara. Pertama, ilmu yang bermanfaat. Kedua, amal jariyah (amal saleh) ketika ia masih hidup di dunia. Ketiga, anak yang saleh, yakni seorang anak yang mau mendoakan kepada kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.
3. Penutup
Macapat dalam tradisi Jawa merupakan potret kehidupan manusia dari sejak lahir hingga kematiannya. Fase-fase kehidupan yang dilukiskan melalui rangkaian judul macapat tersebut pada dasarnya dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi perkembangan. Setiap tahapan perkembangan di dalamnya terkandung makna pendidikan yang diarahkan bagi terbentuknya manusia dewasa dan matang. Pendidikan yang dikehendaki di sini adalah pendidikan seumur hidup sehingga perkembangan dari satu fase ke fase berikutnya berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam konteks kesusasteran Jawa Kuno, konsep pendidikan semacam ini dapat ditemukan dalam Kakawin Nitisastra, IV.1, berikut ini.
“Taki-takining sewaka guna widya,
Smara wisaya rwang puluh ayusa,
Tengahing tuwuh sang wacana gagonta,
Patilareng atmeng tanu paguroakena”
Artinya:
Belajarlah seumur hidup tentang guna widya (pengetahuan yang berguna),
Setelah berumur duapuluh tahunan mulai mengenal asmara,
Kalau sudah setengah umur, berpeganglah pada kata-kata bijak,
Lepasnya roh dari badan, juga pelajarilah.
Tanpa terlepas dari konteks di atas setiap manusia harus selalu meningkatkan kualitas dirinya melalui belajar terus-menerus tentang pengetahuan yang berguna (guna widya). Guna Widya dalam konteks ini bisa disejajarkan dengan konsep kawruh begja dan kawruh jiwa yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Selanjutnya, setelah melepas masa remaja dan menginjak dewasa orang mulai mengenal cinta. Cinta ini kemudian diikatkan dalam perkawinan sehingga mulailah memasuki fase kehidupan yang baru, yakni masa berumah tangga yang sekaligus juga menjadi penanda memasuki masa dewasa. Perkawinan memberikan banyak pengalaman mengenai kehidupan yang daripadanya pengembangan diri bergerak menuju kedewasaan. Apabila usia sudah mulai mendekati ajal, manusia perlu belajar kepada kata-kata bijak. Di sini yang dimaksud adalah ujaran-ujaran kitab suci, guru kerohanian, dan teladan-teladan lainnya yang berguna bagi transformasi diri menuju kematangan yang lebih baik. Dalam tradisi spiritual di Jawa, pendakian spiritual ini diwujudkan dengan mengedepankan kesatuan antara ngelmu dan laku. Dengan demikian ia bukan hanya menjadi pengetahuan, melainkan pengalaman. Demikian juga mengenai kesempurnaan hidup dan kesiapan dalam menghadapi kematian merupakan puncak dari perkembangan spiritualitas manusia.
Kepustakaan
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing.
Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Jalaluddin, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Knight, George, 2007, Filsafat pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.
Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Monks, F.J, dkk. 1984. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Mulder, Neils. 2007. Di Jawa: Petualngan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Pakasi, Supartinah. 1981. Anak dan Perkembangannya: Pendekatan Psiko-Pedagogis Terhadap Generasi Muda. Jakarta: Gramedia.
Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwadi. 2005. Manunggaling Kawula Gusti: Ilmu Tingkat Tinggi Untuk Memperoleh Derajat Kasampurnaan. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
___________ dan Joko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebajikan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Sadulloh. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sjarkawi,. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Akasara.
Sudiarja, A., G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT.Gramedia.
Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.
___________. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen.Yogyakarta: Narasi.
Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Antara Macapat dan Psikologi Perkembangan
I Wayan Sukarma
1. Pendahuluan
Manusia itu makhluk multidimensional (Hartoko, 1985). Akan tetapi, menurut Suhartono (2008:51), apabila manusia dipandang sebagai realitas, maka ia bukan hanya merupakan realitas kuantitatif, tetapi juga realitas kualitatif. Hal-hal yang fisis-kuantitatif umumnya sudah jelas, tetapi yang spiritual-kualitatif tetap tertinggal menjadi misteri misalnya, misteri tentang asal-mula dan tujuan kehidupannya. Walaupun umat beragama mungkin sepakat mengatakan bahwa asal-mula kehidupan manusia adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi tampaknya hampir semua orang, bila kesempatan memungkinkan cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Artinya, pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari. Menurut Suhartono (2008:52) dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku muncullah pendidikan. Artinya, manusia memerlukan pendidikan untuk mengatasi kemunafikan dan sifat hipokritnya, yaitu menyelaraskan antara pengetahuan dan perilaku.
Misteri dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap merupakan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ketika hendak memahami manusia secara holistik dan komprehensif. Upaya ini semakin tidak mudah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia semakin terpuruk jauh ke dalam lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonisme-materialistik. Akibatnya, dunia sipritual-transendental terabaikan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kekinian dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok. Padahal sifat hakikat manusia selalu bergerak menuju ke masa depan. Dengan demikian, kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segala-galanya. Dengan begitu, manusia memiliki kekuasan untuk memanfaatkan potensi alam dan sesama. Di bawah kekuasaan manusia rupanya, kehidupan berlangsung menjadi ”antroposentristik” (Djumransjah, 2006:86; Sudiarja, 2006:298; Knight, 2007:21; dan Suhartono, 2008:52).
Menurut Suhartono (2008:53) dalam konteks kehidupan yang demikian, manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan sikap dan perilakunya. Inilah hakikat tujuan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran kehidupan. Tujuan pendidikan pada hakikatnya mencerdaskan potensi spiritual, intelektual, dan emosional. Kemudian, masa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai kegiatan kehidupan dalam lingkungan sosial dan budaya. Pendidikan menjadi semakin penting ketika manusia menyadari sedang menjalani kehidupan pada zaman edan, suatu zaman kekacauan yang sedang melanda masyarakat. Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha (Purwadi dan Djoko Dwiyanto, 2006:193) menggambarkan zaman edan seperti berikut.
Amenangi zaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
dilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahan:
Mengalami zaman gila,
serba sulit dalam pikiran,
ikut gila tak tahan,
kalau tidak ikut,
tidak dapat bagian,
akhirnya kelaparan,
untungnya takdir Allah,
seuntung-untungnya orang lupa,
masih untung yang sadar dan waspada.
Gambaran tersebut merupakan tuntutan, agar manusia lebih intensif melibat diri dalam kegiatan pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai kedewasaan dan kematangannya. Manusia sebagai makhluk berpendidikan dapat dicermati dalam pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir pendidikan telah berlangsung sehingga sejak itu manusia terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan. Dia dijaga, dirawat, dididik, diajar, dan dilatih oleh orang tua di dalam keluarga dan masyarakatnya termasuk pendidikan kelembagaan menuju taraf kedewasaan hingga terbentuk kemandirian mengelola kelangsungan hidupnya. Setelah kedewasaan dicapai kemudian, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan dirinya. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian alam, yakni tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan. Artinya, pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Dengan demikian, persoalan pendidikan adalah persoalan yang cakupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Kegiatan kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak senantiasa mengandung makna kependidikan (Jalaluddin, 2002:243; Tilaar, 2002:188; Suhartono, 2008:54--56). Ini sebabnya pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis begitu penting dan relevan dipahami seiring dengan keberadaan manusia sebagai makhluk berkebudayaan.
Manusia sebagai makhluk berkebudayaan ditunjukkan dengan kegiatan pewarisan nilai-nilai kehidupan dari generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan ini berkaitan dengan keberadaan manusia secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada taraf ini manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani berupa akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas fakta-fakta ke dalam nama dan rupa. Dengan budinya manusia melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia mengatur dan mengontrol tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam lingkungannya. Pada taraf ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”, antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14; Jalaluddin, 2002:240; Sukarma, 2007:12).
Dengan demikian, kualitas suatu masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan merupakan presentasi dari tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu masyarakat) memiliki korelasi positif dengan kemajuan kebudayaan. Ini sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran, bukan secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial. Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan hingga mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pikiran, perasaan, dan kehendak dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses internalisasi. Mengingat manusia juga bagian dari suatu sistem sosial sehingga setiap individu selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan (Purwanto, 2000:43; Sudiarja, 2006:276; Sukarma, 2007:14). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan dan pembudayaan merupakan dua sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan. Inilah yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun masyarakat.
Dikatakan demikian karena melalui kegiatan pendidikan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai kebenaran, baik universal-abstrak dan teoretis maupun praktis (Suhartono, 2008:56--58). Nilai kebenaran ini mendorong terbentuknya sikap dan perilaku arif-berkeadilan dan dengannya manusia membangun kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan, baik material maupun spiritual merupakan upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya untuk senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan sesama termasuk dengan alam secara arif-berkeadilan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia wajib membangun moral, yaitu pengendalian diri dalam berperilaku. Dengan begitu, manusia mampu menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan. Untuk itu juga diperlukan pengetahuan tentang perjalanan hidup dan/atau tahapan-tahapan perkembangan psikis sejak lahir hingga meninggal, sebagaimana digambarkan dalam macapat dan psikologi perkembangan.
Perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dunia digambarkan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat, yakni dari tembang mijil sampai dengan tembang pucung (Susteya, 2007). Malahan para pujangga, bukan hanya sekadar memotret perjalanan hidup atau tahapan-tahapan perkembangan manusia, tetapi juga memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang mungkin dihadapi pada setiap tahapan perkembangan. Artinya, makna dan hikmah hidup termasuk cara pemecahan masalah yang timbul pada setiap tahapan perkembangan manusia dikemas begitu sublim secara simbolik dalam macapat. Sementara itu, psikologi perkembangan menggambarkan proses pekembangan psikis manusia dari lahir hingga tua (menjelang meninggal dunia) (Sujanto, 1980; Monks dkk, 1984). Apabila gambaran tentang perjalanan hidup manusia menurut macapat dapat diasumsikan relevan dengan tahapan perkembangan psikis manusia menurut psikologi perkembangan, maka untuk melihat relevansi antara perjalanan hidup manusia menurut macapat dan psikologi perkembangan inilah yang menjadi tujuan tulisan ini.
Dalam tradisi Jawa tahapan-tahapan perkembangan psikis ditandai dengan ritual-ritual yang menunjukan tahapan-tahapan yang disebut Monks (1984:3) suatu proses yang di dalamnya individu dan sifat lingkungan akhirnya menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi. Tahapan-tahapan ritual itu di antaranya berupa upacara selamatan sejak manusia lahir hingga meninggal dunia. Secara etis ritual-ritual itu mengarah pada pemahaman inividu tentang orientasi tempat dibandingkan dengan pertimbangan rasional. Tindakan ini dilakukan berdasarkan status dan peran yang tepat, seperti dikatakan Magnis-Suseno (1999:150) bahwa seluruh kebijaksanaan hidup-Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat dirancang agar kehidupan terus berjalan serta sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi pandangan ini merupakan penerimaan orang Jawa terhadap dimensi misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa bahwa sikap penerimaan misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila”. Nrima berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagai-mana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan melepaskan sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999: 143-144; Pitana, 2010).
Akhirnya, dapat dipahami bahwa secara teologis perjalanan kehidupan manusia dan perkembangan psikisnya berujung pada pemahaman yang sinkretik Hindu-Jawa, yaitu konsep kemanunggalan. Ini sebabnya sangat menarik memperbincangkan paham ngelmu makrifat dalam tradisi Jawa dan memperbandingkannya dengan psikologi perkembangan. Dengan demikian, makalah ini merupakan satu alternatif perbandingan kedua konsep itu yang pengungkapannya diharapkan saling mempertajam pemaknaan keduanya.
2. Perjalanan Hidup Manusia
Potret perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia dalam tradisi Jawa digambarkan begitu jelas dan tegas melalui tembang mijil hingga pucung (Susetya, 2007:5—24). Bukan hanya itu, bahkan juga digambarkan berbagai jalan keluar terhadap permasalahan yang mungkin muncul pada setiap tahapan perjalan hidup. Walaupun pujangga Jawa memberikan gambaran ini dalam bentuk simbolik berupa metafor-metafor, lazimnya pujangga menangkap fenomena alam dan sosial. Perjalanan hidup manusia yang terekam dalam macapat ini akan dilihat relevansinya dengan psikologi perkembangan seperti dijelaskan berikut di bawah ini.
(1) Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, yaitu bayi yang baru lahir (Susetya, 2007:5). Bayi yang baru lahir tentu masih dalam keadaan fitrah, suci, murni tanpa dosa, seperti kertas putih-bersih. Agar anak dapat berkembang normal, menurut Susetya (2007:6) orang tua memiliki kewajiban memberikan nama kepada anaknya, memenuhi kebutuhannya, memberikan pendidikan, dan agama. Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam tradisi jawa ayah dan ibu wajib memberikan anaknya kasih sayang, mendidik budi pakertinya, dan melatih kecakapannya dengan mulat (mengetahui), milolo (membombong), miluta (membimbing), palidarma (memberikan tauladan atau contoh), dan palimarma (memaafkan kepada anak-anak).
Sejalan dengan hal tersebut Sujanto (1980:23) menjelaskan bahwa kecakapan yang perlu dikembangkan pada anak usia tahun pertama, antara lain kecakapan instinktif, kecakapan umum, dan cara belajar. Kecakapan instinktif berhubungan dengan upaya mempertahankan hidup, seperti makan dan minum. Dalam hal ini termasuk gerakan sederhana misalnya, memalingkan kepala dengan mengarahkan mata atau telinga, bila menerima getaran atau cahaya. Kecakapan umum anak usia tahun pertama yang perlu dikembangkan, antara lain penguasaan badan (berlajar berdiri dan berjalan), pergaulan anak dengan benda (memandang termangu-mangu, memegang mainan, bermain-main dengan menggunakan benda-benda), dan pergaluan anak dengan manusia (dapat tersenyum, tertawa, menangis, dapat mereaksi wajah yang berlainan, mulai bersuara, dan mencoba menarik perhatian). Kemudian, menurut Monks dkk. (1984:86—87) pada usia empat tahun anak dapat mengadakan orientasi dalam situasi yang asing dan tidak asing, dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah dan komunikasi dengan teman sebayanya, sedikit sudah mengerti ruang dan waktu (seperti siang-malam, di sana dan di sini), sudah mulai mengenal norma (seperti jangan dan silahkan), dan anak sudah dapat membuat rencana termasuk sudah dapat memikirkan yang akan dilakukan. Begitulah perkembangan anak hingga mencapai usia enam tahun ia sudah memiliki pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis keseimbangan, bahkan kekuatan badan dan tangan pada anak laki-laki mengalami pertumbuhan yang pesat pada usia antara enam dan dua belas tahun (Monks dkk., 1984:153).
(2) Sinom
Sinom berarti muda, yaitu suatu tahapan perkembangan manusia yang masih dalam nom-noman, anom atau remaja (Susetya, 2007:9). Inilah tahapan perkembangan manusia untuk meniti cita-cita, karena itu remaja menempuh pendidikan, seperti SMP (Sekolah Mengenah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Melalui pendidikan mereka mengembangkan diri menuju kedewasaan hingga terbentuk kemandiran mengelola kehidupannya sendiri. Jadi, yang terpenting pada usia anom (remaja) adalah menuntut ilmu sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti ungkapan berikut, ‘senyampang masih muda, tuntutlah ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk persiapan masa tua’ atau ‘gantungkanlah cita-citamu setinggi langit’. Senyampang (mumpung) masih muda memang hendaknya memanfaatkan masa muda seoptimal mungkin sebelum tua. Begitu juga ketika masa sehat sebelum waktu sakit, masa kaya sebelum miskin, masa hidup sebelum mati, dan masa waktu luang sebelum sempit (Susetya, 2007:10).
Sejalan dengan hal tersebut, Monks dkk. (1984:215) menegaskan bahwa masa remaja (dari usia 12 hingga 18 tahun) merupakan waktu yang sebaik-baiknya pergi ke sekolah untuk memperoleh pengertian dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan yang semakin maju. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju dewasa, karena itu tugas-tugas perkembangan remaja, antara lain perkembangan aspek biologik, menerima peranan dewasa berdasarkan kebiasaan masyarakat, mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mendapatkan pandangan hidup sendiri, dan merealisasikan identitas sendiri serta dapat berpartisipasi dalam kebudayaan. Anak masih banyak belajar melalui enkulturasi, sosialisasi, dan adaftasi untuk memperoleh tempat dalam masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
(3) Asmarandana
Asmarandana artinya cinta, cinta kepada lawan jenis, yaitu cinta seorang pria kepada wanita (Susetya, 2007:10). Suatu tahapan kehidupan, masa seseorang telah berhubungan asmara dengan lawan jenisnya, yakni kira-kira pada usia belasan dan dua puluhan tahun. Misalnya, dalam budaya Jawa diungkapkan, ”witing tresna jalaran saka kulina” (cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulannya antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan percintaan, tetapi lama-kelamaan bisa menumbuhkan cinta, lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Begitulah cinta merupakan tema abadi dalam kehidupan manusia pada setiap bangsa dan setiap zaman. Banyak orang beranggapan bahwa percintaan merupakan peristiwa penting dari tiga hal terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Orang yang terlibat cinta bisa menimbulkan semangat gairah hidup, tetapi juga bisa frustrasi, bahkan bunuh diri karena kegagalan cinta. Untuk itu, Purwadi (2005) menyarakan, agar asmara disalurkan sesuai dengan moral agama sehingga berbuah kebajikan, menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, seseorang yang bermain-main dalam cinta dan percintaan akan menyebabkan masalah sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, seseorang diharapkan menjalani masa asmarandana secara proporsional.
Fase perjalan hidup tersebut dalam psikologi perkembangan disebut masa pemuda, antara lain terdiri atas fase pueral, fase negatif, dan fase puber (Sujanto, 1980:205). Pada fase pueral anak laki-laki mulai memisahkan diri dari perempuan. Anak laki-laki memandang anak perempuan sebagai menjijikkan dan anak perempuan memandang anak laki-laki sebagai tukang bual. Pada fase negatif ini anak bersikap serba menolak terhadap segala sesuatu, serba ragu, tidak pasti, tidak senang, dan tidak setuju, bahkan sering murung dan sedih tanpa sebab yang jelas, serta sering melamun tak menentu dan kadang-kadang putus asa. Fase puber merupakan inti dari seluruh masa pemuda yang ditandai oleh berkembangnya kelamin primer (pertumbuhan yang secat sehingga tubuh tampak tidak seimbang), kelamin skunder (mulai tumbuh rambut baru), dan kelamin tersier (perkembangan tubuh mencapai kesempurnaan dan harmonis). Lebih jauh dijelaskan bahwa pada fase pemuda, anak-anak akan mengalami perkembangan pesat dalam hal seksualitas, fantasi, emosi, kemauan, pikiran, estetika, dan religi.
(4) Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga ia memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya, yakni kehidupan berumah tangga (Susetya, 2007:12). Berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, pujangga Jawa memberikan rambu-rambu melalui tembang berikut.
Gegarane wong akrami.
Dudu bandha dudu rupa.
Among ati pawitane.
Luput pisan kena pisan.
Yen angel angel kalangkung.
Tan kena tinumbas arta.
Terjemahan:
Rambu-rambu dalam perkawinan
Bukan karena harta, bukan karena wajah
Hanya hati modalnya
Gagal sekali, tepat sekali
Jika terlanjur sulit, sulit sekali
Jika benar/tepat ibaratnya tak bisa dibeli harta.
Dari tembang di atas dapat dipahami bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi dan kedewasan termasuk keyakinanya. Ini berarti seseorang memiliki modal agama, budaya, dan sosial yang memadai. Pada umumnya setelah memasuki perkawinan, sesepuh, ulama, dan orang tua mendoakan, agar suami-istri dapat mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah, yakni kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Tuhan. Untuk itu kepala keluarga dituntut menguasai berbagai kecakapan dan keterampilan hidup, seperti kegiatan pragmatis tanpa keahlian (pekerjaan tukang), kegiatan rutin dan monoton (pegawai negeri), kegiatan pengembangan (peneliti), dan mampu menangani bidang usaha secara proporsional (profesional). Oleh karena itu pujangga Jawa menggambarkan fase ini adalah kinanthi (dibekali), yaitu sepasang pengantin yang dibekali tanggung jawab untuk membina kehidupan bersama dalam keluarga.
Walaupun demikian, masa awal berumah tangga tetap harus dipahami sebagai masa yang sulit bagi setiap manusia. Ini merupakan kondisi kritis kehidupan karena terjadi loncatan kehidupan, baik secara sosial maupun psikis – dari semula hidup sendiri, menentukan keputusan sendiri secara bebas, sekarang harus hidup bersama dan mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, perkawinan selalu dilegitimasi melalui ritual sakral dalam berbagai tradisi. Setidak-tidaknya, ritual ini menegaskan kalau keputusan untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga merupakan pilihan hidup yang memerlukan keyakinan, kesiapan mental, dan kecakapan yang luar biasa karena idealnya perkawinan hanya terjadi satu kali selama hidup (kena pisan, luput pisan). Jadi, benar atau salah pasangan hidup yang dipilih, dan juga pilihan untuk menikah itu sendiri harus benar-benar merupakan pilihan yang meyakinkan, penuh pertimbangan, dan untuk itulah diperlukan kedewasaan.
(5) Dhandhanggula
Dhandhanggula terdiri atas dua kata, yaitu “dhandhang” berarti pait (pahit) dan “gula” berarti manis (Susetya, 2007:17). Dengan demikian, dhandhanggula berarti gambaran pahit-manis atau suka-duka kehidupan setelah berumah tangga. Pada tahapan ini suami-istri, selain mengalami kenikmatan hidup misalnya, mendapatkan momongan (putra) dan penghasilan yang cukup, tetapi juga mereka semakin bertanggung jawab sehingga mereka menjalani kehidupan dengan lara lapa (prihatin). Dhandhanggula bermakna rasa optimis terhadap masa depan yang manis, cerah, dan gemilang setelah melewati masa pahit. Oleh karena itu, masa depan yang cerah harus dilewati dengan agenda hidup yang jelas dan tegas, seperti dikatakan oleh Purwadi (2005), lumampah anut wirama (berjalan sesuai aturan yang berlaku).
Pengalaman mengenai pahit-manis kehidupan merupakan salah satu faktor yang turut membangun kedewasaan diri seseorang. Secara psikologis, orang yang dewasa ditandai dengan beberapa ciri, antara lain: (1) adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan, yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan; (2) kemampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional; (3) suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri; (4) pengamatan, pikiran, dan tingkah laku menujukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativitasnya juga; (5) dapat melihat diri sendiri seperti adanya, dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan; dan (6) menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan menjadi suatu kesatuan (Monks, dkk., 1984:266).
Fase dhandanggula ini menunjukkan pentingnya beguru pada pengalaman hidup. Tempaan hidup yang dialami selama masa-masa awal perkawinan harusnya bisa membentuk diri yang kuat dan tangguh untuk menatap masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, perilaku-perilaku yang menimbulkan kesenangan dalam keluarga dapat dipertahankan melalui pengulangan-pengulangan, bahkan dapat ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Hal ini penting mengingat dalam realitas empiris, tanggung jawab untuk membangun kebahagiaan keluarga semakin besar dari masa ke masa. Dari semula hanya hidup berdua (suami-istri), kini juga harus memikul tanggung jawab baru sebagai orang tua. Untuk itu pendewasaan diri melalui kerja reflektif pada pengalaman hidup harus terus menerus diupayakan.
(6) Maskumambang
Maskumambang atau maskentar merupakan gambaran kepalsuan (kehidupan). Adakah emas yang kumambang (mengapung) atau kentar/kentir (terapung)? Jadi, kata “maskumambang” berarti emas yang terapung atau mengapung (Susetya, 2007:18). Malahan Purwadi (2005) menganalogikan maskumambang sebagai seorang pemuda setelah memasuki perkawinan yang penuh perjuangan sehingga tampak gagah seperti emas mengapung (maskumambang). Yang terpenting pada masa ini adalah jembatan emas yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mengingat pada masa ini seseorang setelah memasuki perkawinan, ibaratnya berada pada puncak karier kira-kira mereka berusia 31--45 tahun, yaitu usia produktif dan usia yang paling kokoh dan tangguh. Pada masa ini ada dua pilihan besar, yaitu kesuksesan dan kegagalan. Jika mau berusaha sungguh-sungguh, maka mereka akan bahagia pada masa tuanya. Sebaliknya, jika bermalas-malasan, maka mereka akan gagal hingga masa akhirnya. Ini sebabnya pujangga Jawa juga menyindir (nyemoni) dengan maskumambang yang ditujukan kepada mereka yang enggan berjuang keras, yakni dalam arti kotoran manusia yang mengapung di air.
Dalam psikologi perkembangan, fase ini dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi humanistik. Psikologi humanistik bertitik tolak pada pendirian bahwa manusia ikut menentukan hidupnya secara aktif dan tidak hanya pasif menerima konflik-konflik yang belum terselesaikan maupun proses-proses belajar dari luar saja (Monks, 1984:1984:270). Artinya, manusia dewasa harus berani menentukan arah dan tujuan kehidupannya secara aktif. Hal ini merupakan tingkat pendewasaan lebih lanjut dari sejak orang mulai berumah tangga. Pada masa-masa awal perkawinan kehidupan rumah tangga lebih banyak diarahkan untuk menanggulangi masalah-masalah seperti, pemenuhan kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, papan), mendapatkan keturunan, dan penyesuaian perbedaan karakter, sifat, dan sikap antara suami-istri. Pada masa berikutnya, proses pendewasaan dilakukan melalui pembelajaran pada pengalaman-pengalaman hidup. Namun pada masa ini, pendewasaan dimulai dengan keberanian untuk menentukan pilihan-pilihan hidup dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan tersebut. Dari sinilah proses pematangan diri dimulai, yakni dengan ditetapkannya pilihan-pilihan hidup, baik bagi kebaikan diri sendiri maupun kebaikan bagi lingkungannya.
(7) Durma
Durma berasal dari kata “dur” berarti mundur dan “ma” berarti maju. Jadi, durma berarti maju-mundur atau keragu-raguan, was-was atau tidha-tidha dalam kehidupannya (Susetya, 2007:19). Keraguan ini disebabkan oleh semakin berat tanggung jawab yang harus dipikul, karena itu menyebabkan orang frustasi. Kehidupan dirasakan penuh dengan kekhawatiran dan keraguan, sanggupkah saya menjalani kehidupan yang berat ini? Keraguan dan kekhawatiran ini lazimnya berkaitan dengan masalah ekonomi dan kelangsungan hidup keluarga termasuk masa depan anak. Inilah batu sandungan yang cenderung mendorong pasangan suami-istri tergelincir ke jalan pintas yang memberikan kemapanan dan kenikmatan lahiriah. Tidak jarang dijumpai karena masalah ekonomi dijadikan alasan oleh suami untuk merelakan istrinya melakukan perbuatan immoral, seperti menjajakan kemolekan tubuhnya kepada pria hidung belang. Fase ini dapat dipandang sebagai tantangan dalam proses pematangan diri.
Padahal tahapan durma ini merupakan saat untuk mempersiapkan fase kehidupan berikutnya, yakni kehidupan di akhirat yang kekal. Sayang sekali, masalah kehidupan dunia menggoyahkan keyakinan menapaki jalan kesejatian. Hal ini sejalan dengan pendapat Swami Rama (2005) bahwa ketakutan dan keragu-raguan adalah penghambat bagi kemajuan spiritual. Secara psikologis, gejala ini merupakan hal yang umum terjadi pada orang yang menjelang tua. Ketakutan akan fisik yang semakin melemah, kehilangan pekerjaan karena datangnya masa pensiun, dan ketakutan akan hilangnya fasilitas-fasilitas yang pernah dinikmati sebelumnya merupakan alasan terjadinya post power syndrom. Padahal di sisi lain, tanggung jawab yang harus dipikul untuk membahagiakan keluarga dan anak-anak dirasakan masih belum selesai. Kontradiksi ini kerapkali menimbulkan keraguan untuk menapaki dunia spiritual. Oleh karena itu, Swami Rama (2005) juga menganjurkan agar menghilangkan seluruh keraguan dan ketakutan itu karena keberanian adalah tangga pertama untuk memasuki dunia spiritual.
(8) Pangkur
Pangkur berarti sudah mungkur atau ngungkurake (membelakangi) dari keglamoran atau kemewahan keduniawian (Susetya, 2007:21). Mengingat harta, tahta, dan wanita merupakan jebakan yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan menjadi hijab (penghalang) menuju kesejatian. Begitulah kemewahan hidup biasanya menyebabkan hati manusia semakin tidak peka dan cepat lupa diri atau sombong. Untuk itu disarankan, agar manusia menjalani religius dan spiritual karena telah masuk fase pangkur, seperti menjalaninya kehidupan dengan sak madya (hidup sederhana), sebagaimana dituturkan Ki Ageng Suryomentaram dengan konsep kawruh begja, kawruh jiwa atau pengawikan pribadi.
Orang tua umumnya mengalami kerentaan secara fisik, namun tidak pada psikisnya. Malahan orang tua diharapkan menjadi semakin matang dalam caranya berpikir dan bersikap. Kematangan ini hanya mungkin dicapai bila ia mampu mencapai realisasi diri yang sempurna (kawruh jiwa). Oleh karena itu, penting untuk melepaskan segala ikatan keduniawian yang oleh para pakar psikologi perkembangan disebut teori pelepasan (disengagement). Orang tua mulai melepaskan diri dari berbagai ikatan, baik emosional maupun sosialnya (Monks, 1984:1984:271). Secara psikologis, pelepasan ini penting untuk menghindarkan orang tua pada pengalaman mengenai kematian teman-temannya, dunia sosial yang semakin kecil karena pergaulan yang semakin terbatas, serta mobilitas yang semakin lemah karena kerentaan fisik yang dialami. Pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan frustasi yang berlebihan sehingga akan menurunkan kualitas kesehatannya secara drastis. Sebagai solusi atas gejala ini, psikologi perkembangan juga menawarkan teori aktivitas, yaitu pentingnya orang tua terlibat pada aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, sekaligus juga menyehatkan (Monks, 1984:1984:272). Pada dasarnya, kedua teori ini menghendaki agar setiap orang tua tetap bisa menikmati masa tuanya dengan senang, nyaman, dan sehat.
Namun demikian, orang Jawa (juga Hindu-Buddha) lebih menekankan pada proses pematangan diri sehingg orang tua bisa benar-benar menjadi “wong tuwa”. Orang tua dalam khazanah kebudayaan Jawa (Bali: anak lingsir) adalah istilah untuk orang yang memiliki kemapanan rohani dan kematangan spiritual. Ini merupakan fase di mana orang tua harus lebih banyak belajar mengenai pengetahuan rohani (pangawikan pribadi). Dalam tradisi Jawa juga, pengetahuan rohani ini diwujudkan melalui laku sehingga ia menjadi ngelmu, seperti dalam tembah Pucung Wedhatama berikut ini.
Ngelmu iku, (yang disebut ngelmu)
Kelakone kanti laku, (terwujudnya harus dengan laku)
Lekase lawan kas, (dilakukan untuk mencapai kasantosan)
Tegese kas nyantosani, (yang dimaksud kas adalah membuat sentosa)
Setya budya, (kejujuran dan keberadaban)
pangekesing dur angkara. (menghilangkan angkara murka)
Tembang pucung tersebut mensyaratkan bahwa pengetahuan rohani harus diwujudkan dalam ngelmu dan laku. Artinya, pengetahuan saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan tindakan nyata (laku), baik laku spiritual maupun laku etis. Pada prinsipnya bahwa pada tahapan ini orang tua harus mampu mengembangkan kebijaksanaan dalam dirinya sehingga bisa menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.
(9) Gambuh
Gambuh artinya identik dengan jumbuh, ketemu, seolah-olah sama, tidak bisa dibedakan (Susetya, 2007:21). Dalam perspektif macapat bahwa gambuh bermakna ketika seseorang dalam fase tuanya memperdalam ‘ngelmu sangkan paraning dumadi’ dari mana ia berasal dan akan menuju ke mana perjalanannya. Seseorang yang berada pada tahapan gambuh ini berarti sudah mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya (makrifat). Ia pun tahu bahwa kehidupan yang langgeng (abadi) berada di alam akhirat, bukan di dunia yang penuh suka-duka. Dalam perspektif lain ia telah mencapai ‘manunggaling kawula-Gusti’ atau ‘pamoring kawula-Gusti’. Sastrowardojo (1982) menjelaskan, kata pamor berasal dari kata wor, amor artinya campur, gaul atau ada hubungan. Sementara itu, kawula berarti abdi atau hamba dan Gusti menunjuk pada Tuhan. Dengan demikian, ‘pamoring kawula Gusti’ bermakna adanya percampuran, pergaulan antara abdi atau hamba dengan Tuhan. Dalam perspektif kejawen (kebatinan), jelas Sastrowadojo, yang dimaksud kawula (abdi, hamba), yaitu badan atau jasmani, sedangkan Gusti yaitu rohaniah. Keduanya sering disebut juga sebagai ‘Loro-loroning atunggal’, ‘dua bersatu’ atau ‘dwi tunggal’. Keduanya diharapkan sedemikian rupa bisa terus berhubungan sehingga terjadi saling asah-asih-asuh. Terjadi keseimbangan antara keduanya, tidak boleh saling memenangkan yang satu bagian dengan yang lainnya.
Boleh dibilang bahwa fase ini merupakan puncak dari seluruh proses perkembangan struktur psikis manusia yang dibangun melalui pendidikan dan pembudayaan. Dalam tahap ini, manusia telah berada dalam fase kematangan yang sempurna. Dikatakan demikian karena ia telah memahami hakikat dirinya secara utuh sebagai jasmani dan rohani. Jasmani memang bersifat tidak kekal dan rohanilah yang kekal. Namun eksistensi jasmani yang sehat penting untuk mendukung perjalanan rohani menuju tahap kesempurnaannya. Tubuh ini ibarat kendaraan yang ikut mengantarkan jiwa sebagai penumpangnya ke tujuan yang dicita-citakan. Apabila kendaraan ini rusak sebelum sampai ke tujuan, maka bencanalah namanya. Dalam pandangan filsafat Jawa inilah pentingnya keseimbangan dalam olah raga (mengolah fisik) dan olah rasa (mengolah rasa). Dengan fisik yang sehat, pikiran juga menjadi tenang sehingga bisa khusuk dalam kontemplasi untuk mencapai ngelmu sejati atau ngelmu manunggaling kawula-gusti.
Bagi yang telah mencapai kesadaran ini, Kakawin Arjunawiwaha I.1, menjelaskan tentang “sang paramartha pandita, huwus limpat sakeng sunyata” (Pandita utama yang telah melampaui alam kesunyataan). Dikatakan bahwa orang yang telah mencapai kesadaran rohani tertinggi, sesunguhnya ia hanya berbatasan tipis (heletan kelir) dengan Sang Pencipta (Sanghyang Jagat Karana). Kehidupannya sentosa, kesadaran illahi telah direngkuh, tetapi tetap menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Namun segala yang dilakukan tiada lain hanyalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan, orang tua yang telah memiliki kesadaran rohani seperti ini harus bisa menjadikan dirinya sebagai guru loka (guru masyarakat), tempat bersandar masyarakat untuk meminta pertimbangan, saran-saran, pendapat, demi kebaikan bersama.
(10) Megatruh
Megatruh terdiri atas dua suku kata, yaitu megat berarti memutuskan dan ruh berarti roh sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia (Susetya, 2007:23). Ini adalah suatu fase terakhir manusia; yakni menghadapi kematian alias ajalnya. Purwadi menyatakan bahwa pada tingkat ‘megatruh’ ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir-batin, sehingga ia mencapai ‘mati sajroning urip’ hingga mencapai akhir hidup yang khusnul khatimah (bahasa Jawa: emate pati patitis). Keikhlasan dalam menghadapi kematian memerlukan kesadaran yang sempurna mengenai sangkan paraning dumadi. Seperti pujangga Jawa menuliskannya dalam tembang “umpamane manuk mabur, mesti bakal mulih marang kurunganeki” (ibarat burung yang terbang, pasti akan kembali ke sangkarnya).
Kematian pada umumnya memang menjadi momok yang menakutkan bagi manusia yang hidup. Ketakutan ini tercermin dari beragamnya cara dan upaya manusia untuk bertahan hidup lebih lama. Sebut saja perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan yang semakin pesat pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat sehingga memiliki usia hidup lebih panjang. Demikian juga dengan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh kerabat terdekatnya. Fenomena kematian secara psikologis memang dianggap menakutkan bagi kebanyakan orang. Walaupun manusia tidak dapat menolaknya, namun manusia juga sulit menerimanya dengan lapang dada. Oleh karena itu, spiritualitas dalam agama apapun mengajarkan betapa pentingnya mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang bisa menjemput kapan saja. Apabila diyakini bahwa hanya amal yang bisa mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik di akhirat, maka meningkatkan kuantitas dan kualitas amal adalah syarat mudah untuk tetap tersenyum menghadapi kematian.
(11) Pucung
Pucung berarti sudah menjadi pocongan, fase ketika manusia meninggal dunia sehingga menjadi jenazah (Susetya, 2007:23). Dalam Islam ada kewajiban bagi ahli warisnya dan masyarakat terhadap orang yang telah meninggal dunia. Pertama, memandikan. Kedua, mengafaninya dengan tujuh lapisan kain. Ketiga, mensalatkan, yakni salat jenasah atau salat gaib dengan empat takbir dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Keempat, menguburkan atau memakamkan jenasah. Purwadi (2002) mengartikan makna pucung ini sebagai peninggalan ilmu yang telah diamalkan dalam kehidupan ketika masih hidup di dunia sehingga membuahkan kesejahteraan bagi dirinya di akhirat kelak. Dalam Islam dijelaskan semua amal orang yang telah mati terputus, kecuali tiga perkara. Pertama, ilmu yang bermanfaat. Kedua, amal jariyah (amal saleh) ketika ia masih hidup di dunia. Ketiga, anak yang saleh, yakni seorang anak yang mau mendoakan kepada kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.
3. Penutup
Macapat dalam tradisi Jawa merupakan potret kehidupan manusia dari sejak lahir hingga kematiannya. Fase-fase kehidupan yang dilukiskan melalui rangkaian judul macapat tersebut pada dasarnya dapat dijelaskan dalam kerangka psikologi perkembangan. Setiap tahapan perkembangan di dalamnya terkandung makna pendidikan yang diarahkan bagi terbentuknya manusia dewasa dan matang. Pendidikan yang dikehendaki di sini adalah pendidikan seumur hidup sehingga perkembangan dari satu fase ke fase berikutnya berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam konteks kesusasteran Jawa Kuno, konsep pendidikan semacam ini dapat ditemukan dalam Kakawin Nitisastra, IV.1, berikut ini.
“Taki-takining sewaka guna widya,
Smara wisaya rwang puluh ayusa,
Tengahing tuwuh sang wacana gagonta,
Patilareng atmeng tanu paguroakena”
Artinya:
Belajarlah seumur hidup tentang guna widya (pengetahuan yang berguna),
Setelah berumur duapuluh tahunan mulai mengenal asmara,
Kalau sudah setengah umur, berpeganglah pada kata-kata bijak,
Lepasnya roh dari badan, juga pelajarilah.
Tanpa terlepas dari konteks di atas setiap manusia harus selalu meningkatkan kualitas dirinya melalui belajar terus-menerus tentang pengetahuan yang berguna (guna widya). Guna Widya dalam konteks ini bisa disejajarkan dengan konsep kawruh begja dan kawruh jiwa yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Selanjutnya, setelah melepas masa remaja dan menginjak dewasa orang mulai mengenal cinta. Cinta ini kemudian diikatkan dalam perkawinan sehingga mulailah memasuki fase kehidupan yang baru, yakni masa berumah tangga yang sekaligus juga menjadi penanda memasuki masa dewasa. Perkawinan memberikan banyak pengalaman mengenai kehidupan yang daripadanya pengembangan diri bergerak menuju kedewasaan. Apabila usia sudah mulai mendekati ajal, manusia perlu belajar kepada kata-kata bijak. Di sini yang dimaksud adalah ujaran-ujaran kitab suci, guru kerohanian, dan teladan-teladan lainnya yang berguna bagi transformasi diri menuju kematangan yang lebih baik. Dalam tradisi spiritual di Jawa, pendakian spiritual ini diwujudkan dengan mengedepankan kesatuan antara ngelmu dan laku. Dengan demikian ia bukan hanya menjadi pengetahuan, melainkan pengalaman. Demikian juga mengenai kesempurnaan hidup dan kesiapan dalam menghadapi kematian merupakan puncak dari perkembangan spiritualitas manusia.
Kepustakaan
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing.
Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Jalaluddin, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Knight, George, 2007, Filsafat pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.
Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Monks, F.J, dkk. 1984. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Mulder, Neils. 2007. Di Jawa: Petualngan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Pakasi, Supartinah. 1981. Anak dan Perkembangannya: Pendekatan Psiko-Pedagogis Terhadap Generasi Muda. Jakarta: Gramedia.
Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwadi. 2005. Manunggaling Kawula Gusti: Ilmu Tingkat Tinggi Untuk Memperoleh Derajat Kasampurnaan. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
___________ dan Joko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebajikan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Sadulloh. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sjarkawi,. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Akasara.
Sudiarja, A., G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT.Gramedia.
Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.
___________. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen.Yogyakarta: Narasi.
Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
phdi 2
Hindu: antara Kerinduan dan Kecemasan
I Wayan Sukarma
Pembangunan, pembinaan, dan pengembangan agama menjadi agenda penting karena agama diakui memiliki peran transformatif dalam proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan. Oleh karena itu kajian terhadap agama perlu dilakukan oleh lembaga agama dalam berbagai perspektif melalui berbagai institusi akademik yang menjadi basisnya. Kajian terhadap Hindu (agama dan keberagamaan) dapat didekati dari berbagai disiplin, seperti filsafat, teologi, filologi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Hal ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh Universitas Hindu Indonesia (UNHI) – yang kelahirannya terinspirasi oleh Piagam Campuhan (Mahasabha PHDI II) – melalui diskusi meja bundar yang dilaksanakan dalam rangka memperingati kebangkitan Hindu dan setengah abad Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Rekomendasi hasil diskusi meja bundar yang dilaksanakan UNHI seputar “Kebangkitan Hindu Indonesia: Memperingati Setengah Abad Parisada Hindu Dharma Indonesia” boleh jadi, semacam kerinduan pada masa lalu dan kecemasan pada masa depan Hindu. Kerinduan pada masa lalu setidak-tidaknya tampak dari bentuk rekomendasi yang masih konvensional mengikuti format bidang dharma agama, dharma negara, kawidanaan, dan sumber daya manusia. Kecemasan pada masa depan tampak dari isi rekomendasi yang mengandung begitu banyak harapan kepada PHDI mengenai eksistensi Hindu dalam tantangan global. Kerinduan dan kecemasan tersebut juga ditandai dengan munculnya wacana pluralisme dan multikulturalisme (pemuliaan terhadap perbedaan dan keberadaan berbagai ideologi – agama) dalam diskusi yang diselenggarakan dari 20--30 Maret 2009 di Jakarta, Palangkaraya, Surabaya, Palu, dan Denpasar yang menampilkan pembicara kunci, Ida Pedanda Gede Made Gunung, Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, dan Ida Bagus Doshter, serta ratusan tokoh umat Hindu.
Kerinduan pada masa lalu, seperti semangat perjuangan para pendahulu melalui berbagai bentuk negosiasi pada tataran sosial-politik untuk mewujudkan eksistensi Hindu menjadi agama formal merupakan catatan peristiwa yang mungkin dapat dijadikan benang merah oleh PHDI dalam membangun agama pada masa kini untuk menatap wajah Hindu pada masa depan. Kerinduan pada semangat penyatuan perbedaan ideologi agama dalam spirit pluralitas dan multikultural yang telah melahirkan Parisada Dharma Hindu Bali (pada 23 Februari 1959) mungkin dapat dijadikan rujukan oleh PHDI dalam menata keberagamaan pada masa kini untuk menjamin kesinambungan masa depan Hindu. Kerinduan pada semangat semacam ini mungkin dapat mendorong PHDI dalam membangun karakteristik kebijakan sehingga bhisama yang dilahirkan dapat fungsional bagi perkembangan Hindu sejalan dengan semangat zaman.
Kecemasan menghadapi masa depan, seperti pengaruh budaya Barat melalui modernisasi, globalisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi, karena itu untuk mengatasinya diperlukan upaya sistematis yang bisa membuka kesadaran umat Hindu bahwa dalam keberagamaan tidak cukup hanya bersandar pada wacana Ajeg Bali. Seperti kebanggaan terhadap pembangunan mall dan super-market di perkotaan, ternyata telah mendorong munculnya perilaku konsumtif dalam masyarakat sehingga tanpa disadari kebijaksanaan tersebut telah menanamkan budaya konsumerisme. Kerja sama tersamar antara kapitalis sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen berlangsung dalam relasi nikmat-kenikmatan, yang pada gilirannya akan memunculkan perubahan perilaku keberagamaan. Kecemasan terhadap dunia materialistis ini paling tidak, dapat dijadikan pijakan oleh PHDI dalam merencanakan strategi adaptasi keberagamaan untuk menghadapi tatangan Hindu pada masa depan.
Kerinduan dan kecemasan tersebut setidak-setidaknya dapat dimaknai sebagai himbauan moral kepada PHDI untuk menciptakan suasana keberagamaan yang medorong para ahli dan pakar agama lebih meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan agama, antara lain dengan melakukan kajian terhadap Hindu (ajaran agama dan keberagamaan) dalam berbagai perspektif. Mengingat fakta membuktikan bahwa teks Hindu (ajaran agama) dalam berbagai varian dan variasi tafsirnya, baik dalam bentuk sastra Jawa-Kuna maupun sastra klasik India lebih mudah ditemukan dibandingkan dengan Hindu dalam konteksnya (keberagamaan), seperti sejarah, psikologi, sosiologi, dan antropologi Hindu. Fenomena ini merupakan penegasan mengenai perlunya perluasan dan pentingnya pendalaman terhadap kajian tentang keberagamaan umat Hindu. Boleh jadi, ini “pekerjaan rumah” PHDI pada masa mendatang, seperti kerinduan dan kecemasan yang diungkapkan oleh Universitas Hindu Indonesia.
I Wayan Sukarma
Pembangunan, pembinaan, dan pengembangan agama menjadi agenda penting karena agama diakui memiliki peran transformatif dalam proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan. Oleh karena itu kajian terhadap agama perlu dilakukan oleh lembaga agama dalam berbagai perspektif melalui berbagai institusi akademik yang menjadi basisnya. Kajian terhadap Hindu (agama dan keberagamaan) dapat didekati dari berbagai disiplin, seperti filsafat, teologi, filologi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Hal ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh Universitas Hindu Indonesia (UNHI) – yang kelahirannya terinspirasi oleh Piagam Campuhan (Mahasabha PHDI II) – melalui diskusi meja bundar yang dilaksanakan dalam rangka memperingati kebangkitan Hindu dan setengah abad Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Rekomendasi hasil diskusi meja bundar yang dilaksanakan UNHI seputar “Kebangkitan Hindu Indonesia: Memperingati Setengah Abad Parisada Hindu Dharma Indonesia” boleh jadi, semacam kerinduan pada masa lalu dan kecemasan pada masa depan Hindu. Kerinduan pada masa lalu setidak-tidaknya tampak dari bentuk rekomendasi yang masih konvensional mengikuti format bidang dharma agama, dharma negara, kawidanaan, dan sumber daya manusia. Kecemasan pada masa depan tampak dari isi rekomendasi yang mengandung begitu banyak harapan kepada PHDI mengenai eksistensi Hindu dalam tantangan global. Kerinduan dan kecemasan tersebut juga ditandai dengan munculnya wacana pluralisme dan multikulturalisme (pemuliaan terhadap perbedaan dan keberadaan berbagai ideologi – agama) dalam diskusi yang diselenggarakan dari 20--30 Maret 2009 di Jakarta, Palangkaraya, Surabaya, Palu, dan Denpasar yang menampilkan pembicara kunci, Ida Pedanda Gede Made Gunung, Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, dan Ida Bagus Doshter, serta ratusan tokoh umat Hindu.
Kerinduan pada masa lalu, seperti semangat perjuangan para pendahulu melalui berbagai bentuk negosiasi pada tataran sosial-politik untuk mewujudkan eksistensi Hindu menjadi agama formal merupakan catatan peristiwa yang mungkin dapat dijadikan benang merah oleh PHDI dalam membangun agama pada masa kini untuk menatap wajah Hindu pada masa depan. Kerinduan pada semangat penyatuan perbedaan ideologi agama dalam spirit pluralitas dan multikultural yang telah melahirkan Parisada Dharma Hindu Bali (pada 23 Februari 1959) mungkin dapat dijadikan rujukan oleh PHDI dalam menata keberagamaan pada masa kini untuk menjamin kesinambungan masa depan Hindu. Kerinduan pada semangat semacam ini mungkin dapat mendorong PHDI dalam membangun karakteristik kebijakan sehingga bhisama yang dilahirkan dapat fungsional bagi perkembangan Hindu sejalan dengan semangat zaman.
Kecemasan menghadapi masa depan, seperti pengaruh budaya Barat melalui modernisasi, globalisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi, karena itu untuk mengatasinya diperlukan upaya sistematis yang bisa membuka kesadaran umat Hindu bahwa dalam keberagamaan tidak cukup hanya bersandar pada wacana Ajeg Bali. Seperti kebanggaan terhadap pembangunan mall dan super-market di perkotaan, ternyata telah mendorong munculnya perilaku konsumtif dalam masyarakat sehingga tanpa disadari kebijaksanaan tersebut telah menanamkan budaya konsumerisme. Kerja sama tersamar antara kapitalis sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen berlangsung dalam relasi nikmat-kenikmatan, yang pada gilirannya akan memunculkan perubahan perilaku keberagamaan. Kecemasan terhadap dunia materialistis ini paling tidak, dapat dijadikan pijakan oleh PHDI dalam merencanakan strategi adaptasi keberagamaan untuk menghadapi tatangan Hindu pada masa depan.
Kerinduan dan kecemasan tersebut setidak-setidaknya dapat dimaknai sebagai himbauan moral kepada PHDI untuk menciptakan suasana keberagamaan yang medorong para ahli dan pakar agama lebih meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan agama, antara lain dengan melakukan kajian terhadap Hindu (ajaran agama dan keberagamaan) dalam berbagai perspektif. Mengingat fakta membuktikan bahwa teks Hindu (ajaran agama) dalam berbagai varian dan variasi tafsirnya, baik dalam bentuk sastra Jawa-Kuna maupun sastra klasik India lebih mudah ditemukan dibandingkan dengan Hindu dalam konteksnya (keberagamaan), seperti sejarah, psikologi, sosiologi, dan antropologi Hindu. Fenomena ini merupakan penegasan mengenai perlunya perluasan dan pentingnya pendalaman terhadap kajian tentang keberagamaan umat Hindu. Boleh jadi, ini “pekerjaan rumah” PHDI pada masa mendatang, seperti kerinduan dan kecemasan yang diungkapkan oleh Universitas Hindu Indonesia.
phdi
Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu Di Indonesia
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
Menutup rangkaian pemikiran di atas, walaupun bukan sebagai wujud keraguan, tetapi untuk penegasan saja diketengahkan satu pertanyaan, apakah manusia itu memang makhluk religius? Menerima konsepsi manusia adalah makhluk religius (homo regious) berarti menyetujui bahwa agama setua usia manusia. Penerimaan ini tidak membuktikan apapun mengenai keberagaman seseorang karena perkembangan kesadaran agama tidak selalu seiring-sejalan dengan bertambahnya usia. Padahal mereka yang berpengetahuan harus berkesadaran, karena itu mereka yang berpengetahuan agama harus berkesadaran agama. Mereka yang berkesadaran agama harus merefleksikan pengetahuan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tidak maka mereka telah merusak keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan itu sendiri. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari begitu mudah ditemukan ketakutan dan kengerian yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan, tetapi tidak berkesadaran. Demikian juga tidak sedikit kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama.
Krisis kesadaran semacam ini merupakan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal, bahkan pada dimensi moralitas terjadi pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan kehidupan lainnya yang telah mapan pada taraf mencengangkan. Kondisi ini digambarkan dengan jelas oleh Pritjop Capra (2004:3) dalam Titik Balik Peradaban dan dikatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh manusia menemukan dirinya berada dalam suatu krisis global serius, suatu krisis kompleks dan multidimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Seperti, aspek kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yakni suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam catatan sejarah umat manusia.
Ini refleksi kegelisahan intelektual dan moralitas yang mengerikan, manusia lebih dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sehingga pengetahuan mengatasi kesadarannya (Leahy, 2001:95). Radhakrishnan (2003:5) menyebut krisis kesadaran intelektual dan moral ini sebagai era kegelapan intelektual dan barbarisme etik. Dalam konteks ini diperlukan pembangunan agama dan keagamaan bagi kemanusiaan yang menyatukan umat manusia dalam menyesaikan pergumulan kehidupan. Agama harus menjadi sumber moral sehingga kebaikan yang diajarkannya selalu menjadi landasan kebenaran dalam kehidupan sosial. Memosisikan agama menjadi sumber nilai moral dan kemanusiaan dalam rekontruksi sosial pada dasarnya sejalan dengan Hinduisme.
Hinduisme sebagaimana diungkapkan Zaehner (1992:98) merupakan paham keagamaan yang mewadahi subagama berbeda-beda karena di India ada beragam agama dan subagama yang berkembang memiliki akar tradisi dan dasar religiusitas yang sama. Menurutnya kebanyakan agama dan subagama itu memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi panteon para dewa di dalam Weda dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, kelompok dewa dari angkasa, dan kelompok dewa dari bumi. Hal ini sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India, yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan Dewa Agni (Api), Dewa Indra (Dewa Perang), dan Visva Deva (Dewa Semesta). Akan tetapi semua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa Tertinggi, Brahman. Ini membuktikan bahwa Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik yang percaya hanya pada satu Tuhan.
Dalam konteks kebudayaan Radhakrishnan (2003:98) mengatakan hinduisme merupakan warisan pemikiran dan aspirasi hidup yang selalu bergerak seiring dengan pergerakan kehidupan itu sendiri. Dikatakan budaya Hindu mempunyai persatuan tertentu, meskipun budaya itu terbagi ke dalam aneka ragam corak dan warna. Perbedaan-perbedaan itu belum terpecahkan dengan tuntas, walaupun impian persatuan sudah menggema ke permukaan dan menghantui imajinasi para pemimpin. Untuk memperbaiki kondisi masyarakat India dikatakan, “kita harus menemukan kembali sukma Hindu, apa yang kita miliki dalam darah warisan kita, cita-cita tidak terungkap, hal-hal yang bermukim di relung terdalam hati kita sebagai kekuatan-kekuatan permanen. Nilai-nilai kita tidak berubah, tetapi cara mengekspresikannya berubah. India menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi yang lebih tinggi daripada hal-hal lainnya”.
Mungkin tidak jauh berbeda dengan Hinduisme di India, juga agama Hindu di Indonesia dipraktikkan dalam dunia sosial yang berbeda-beda inheren dengan kultur masyarakat pemeluknya. Kontekstualisasi ini mengakibatkan agama Hindu hadir dengan wajah yang berbeda-beda karena bahasa sebagai satuan budaya mengalirkannya ke dalam tradisi sosial yang beragam sesuai dengan tempatnya dipraktikkan. Agama Hindu seperti umumnya agama-agama lainnya dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, hubungan antara manusia dan sesama, serta hubungan antara manusia dan lingkungan (Suparlan dalam Robertson, 1998:v; dan Kahmad, 2000:12). Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan praktik-praktik sosial agama Hindu dipandang menjadi kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan masyarakat pemeluknya. Dalam kondisi demikian tentu lembaga umat dan adat tidak dapat menghindarkan diri melakukan penyesuaian persepsi berkaitan dengan kebijakan sosial. Apabila tidak maka dapat diasumsikan akan terjadi kerancuan tindakan sosial keagamaan. Misalnya, satu tindakan dikatakan baik dan benar menurut agama sekaligus buruk dan salah menurut adat atau sebaliknya, tindakan yang dibolehkan adat adalah tindakan yang dilarang agama.
Menghindari pertumpangtindihan kebijakan antara lembaga umat dan adat dalam perubahan sosial-budaya merupakan agenda penting yang layak diwacanakan dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Komunitas Hindu sebagai bagian integral dari suatu masyarakat memiliki tradisi dan pola perubahan sosial tersendiri. Menghadapi struktur dan sistem sosial-budaya yang beragam dalam cepatnya arus perubahan sosial-budaya yang sedang melanda dunia global dapat diasumsikan diperlukan kejelasan mengenai sistem keyakinan dan kepercayaaan. Agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaaan diposisikan sebagai inti kebudayaan karena kebudayaan dimengerti sebagai suatu sistem atau organisasi makna yang dikonsepsi tersusun secara berlapis-lapis. Lapisan luar berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya; lapisan tengah berupa norma-norma dan nilai-nilai; dan lapisan inti berupa kepercayaan atau anggapan-anggapan dasar tentang eksistensi manusia itu sendiri (Sanapiah Faisal dalam Bungin (ed), 2006:8). Dengan mengikuti konsep ini menjadi jelas perbedaan antara sistem agama dan sistem sosial sehingga menjadi terang pula perbedaan peran antara lembaga agama dan adat.
Peran pemimpin kedua lembaga ini yang mungkin dapat dipandang sebagai representasi pemimpin dan kepemimpinan Hindu merupakan minat yang hendak diungkap dengan bungkus: Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia. Dikatakan “sepotong” karena memang sangat kecil kemungkinannya atau, bahkan tidak mungkin mengungkap keseluruhan harapan umat Hindu di Indonesia dan, juga sangat mustahil tulisan ini mewakili harapan mereka yang begitu beragam dari latar sosial dan budaya berbeda-beda, tanpa pengamatan serius dan sungguh-sungguh. Kemudian yang dimaksudkan dengan “harapan” adalah peran yang harus dijalankan sesuai dengan status seorang aktor dalam struktur komunitas Hindu. Menjadi jelaslah yang dimaksud dengan pemimpin Hindu adalah mereka yang berada dalam struktur komunitas Hindu yang harus menjalankan peran sesuai dengan harapan umat Hindu di Indonesia. Tentu dalam usianya yang sekarang ini telah mencapai 50 tahun, pemimpin Hindu teristimewa PHDI telah menunjukkan ledewasaan dalam melihat persoalan-persoalan keberagamaan umat Hindu dan matang menyelesaikannya.
Minat yang lahir dari perhatian terbatas ini diharapakan dapat menjadi bentuk partisipasi dalam mencermati satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi umat Hindu di Indonesia khususnya kepemimpinan. Setidak-tidaknya diharapkan dapat memberikan gambaran tentang porsi otoritas terhadap agen yang berbeda-beda secara proporsional dalam keberagamaan. Persoalan munculnya peristiwa aneh-nyeleneh, “colek pamor” misalnya, menjadi jelas otentisitas dan otoritas penyelesaiannya. Patut disadari bahwa agen yang berbeda-beda dapat mengomentari persoalan keumatan dalam berbagai perspektif berdasarkan otoritas lapangan kerjanya masing-masing tanpa harus mengganggu otentisitas lapangan sang otoritatif. Ketegasan otoritas lembaga umat dan lembaga adat dalam keberagamaan umat Hindu setidak-tidaknya dapat meminimalisir munculnya kecenderungan saling mendominasi peran antaragen.
Kejelasan status dan peran pemimpin Hindu di Indonesia juga diharapkan tidak memunculkan ungkapan pemimpin yang mungkin dapat dikatakan ironis dan ambigu, seperti “Mau Mahasabha Luar Biasa? Silahkan! (Media Hindu, Juni 2009:hal.24--26). Padahal untuk menguatkan sistem yang mungkin belum mapan masih dan selalu tersedia ruang dan waktu melakukan diskursus untuk membangun konsensus (“dari hati ke hati”), sebagaimana citra umat Hindu di Indonesia yang mendahulukan persahabatan. Zaman telah membuktikan persahabatan merupakan kekuatan besar dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan pada setiap bangsa. Oleh karena itu persahabatan para pemimpin Hindu di Indonesia mungkin dapat menjadi spirit dalam menghadapi tantangan keberagamaan umat Hindu di Indonesia.
Perubahan Keberagamaan dan Tantangan Pemimpin Agama
Masyarakat global dewasa ini tengah menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang semakin tinggi dan bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan maupun agama (Snow, 2007). Akibatnya, agama bukan lagi menjadi wilayah eksklusif yang steril dari bidang kehidupan nonagama, bahkan agama berpartisipasi aktif dalam kehidupan nonagama. Agama masuk ke dalam wilayah yang pada prinsipnya di luar jangkauannya, bahkan terlibat dalam pergumulan kehidupan sosial dan budaya termasuk menentukan sistem dunia. Casanova (2003:xvii) menggambarkan bahwa agama-agama di seluruh dunia telah memasuki wilayah publik dan kancah politik tidak hanya untuk mempertahankan budaya tradisional mereka sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lalu. Akan tetapi, juga agama-agama berpartisipasi dalam pergumulan itu sendiri, antara lain mendefinisikan dan menentukan batas-batas modern; antara wilayah privat dan publik; antara kehidupan dan sistem dunia; antara legalitas dan moralitas; antara individu dan masyarakat; antara keluarga, masyarakat sipil, dan negara; dan antara bangsa-bangsa, negara-negara, peradaban, dan sistem dunia.
Ini berarti agama memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat (Kahmad, 2000:66). Malahan agama diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik (Maman, 2006:2). Akan tetapi, fakta keberagamaan menunjukkan fenomena sebaliknya, nilai-nilai agama terhempas dalam ruang hampa agama, bahkan baur dengan nilai-nilai nonagama. Nilai-nilai yang sering dikategorikan sebagai nonagama, seperti nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Inilah tantangan bagi pemimpin agama karena nilai-nilai nonagama begitu perkasa menjelajahi sendi kehidupan sehingga nilai-nilai agama semakin terjepit di sudut kegelapan dengan kebingungannya sendiri (Hadi, 2007:102). Ini gambaran wajah zaman kemajuan yang telah berhasil mendemontrasikan semakin tingginya upaya saling mendominasi dan menundukkan antara bidang kehidupan. Malahan antara mereka cenderung saling memperalat dan agama cenderung dimanfaatkan untuk melegitamasi dan mencapai tujuan-tujuan kehidupan nonagama.
Tradisi Pencerahan memang berhasil mewarisi spesifikasi kehidupan secara meyakinkan, tetapi semakin jelas identitas bidang-bidang kehidupan, semakin tinggi kemungkinan untuk saling menundukkan. Kata “saling” memang dimaksudkan untuk menunjukkan keberjarakan antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan lainnya. Akan tetapi semakin intensifnya komunikasi dan interaksi telah membuat sekat-sekat yang memisahkan bidang-bidang kehidupan semakin melentur, bahkan seolah-olah semuanya lebur tanpa tanda pengenal. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moral menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara mengurainya. Agama seolah-olah dilumat oleh berbagai kepentingan nonreligius, seperti sosial, politik, dan ekonomi. Agama telah menjadi korban dari sistem dunia global yang melumat segalanya karena dominasi bidang-bidang kehidupan nonreligius bukan hanya pada permukaannya saja, melainkan memasuki kedalaman pikiran, perasaan, dan kehendak manusia (Hardjana, 1993:55; Hadi, 2007:3; Jamil, 2008:13). Ini berarti nilai-nilai nonreligius bukan saja menjadi ancaman dari luar saja, tetapi juga telah mewabah di dalam hati sanubari umat. Akibatnya, muncul sikap keberagamaan yang berbeda-beda, bahkan cenderung berlawanan, seperti apatisme, fundamentalisme, relativisme, bahkan radikalisme (Bruce, 2000:28; Hadi, 2007:102).
Dalam pergeseran semacam ini simbol-simbol kebudayaan tidak lagi menjadi pengarah yang menentukan dalam masyarakat yang dipatuhi karena memiliki daya paksa. Akan tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun institusi. Simbol-simbol agama tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu praktik religiusitas, tetapi juga telah menjadi alat legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang boleh jadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili realitas keagamaan itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bagian dari pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian diri dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan otentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam (Kato, 2002:79; Abdullah, 2006:9).
Ini menunjukkan modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi telah menjadi kekuatan penting dalam kehidupan beragama. Selain memperkenalkan pola organisasi produksi baru, juga telah memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Dinamisasi nilai dan norma ini merupakan proses perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Proses ini dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu masuknya pasar ke dalam masyarakat petani; terjadinya integrasi pasar; dan ekspansi pasar (Abdullah, 2006:16). Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik keagamaan dengan pemaknaan berbeda-beda dalam konteks general. Konstruksi nilai dilakukan dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, bahkan para penggagas teori modernisasi menegaskan bahwa dunia sedang berubah dalam cara-cara yang mengkikis nilai-nilai tradisional. Pembangunan ekonomi hampir tidak terhindarkan membawa implikasi bagi kemunduran agama, kepicikan dan perbedaan agama (Ronald Inglehart dalam Harrison dan Samuel P. Huntington (ed), 2006:132).
Modernisasi dan globalisasi memang secara nyata telah membawa perubahan dalam keberagamaan, antara lain ditandai dengan transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan (Abdullah, 2006:110--111). Pertama, transformasi sistem pengetahuan keagamaan tampak dari perkembangan jenis pengetahuan yang beragam dan kualitas yang bertingkat-tingkat. Kedua, perbedaan dalam sistem nilai keagamaan tampak terjadi secara meluas ditandai oleh perbedaan alat ukur dan penilaian terhadap dimensi keberagamaan yang sama karena setiap kelompok memiliki relativitas nilainya sendiri. Ketiga, berbagai praktik keagamaan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan muncul dalam kehidupan secara bersamaan sehingga totalitas menjadi tidak penting dalam kehidupan aktual. Melemahnya tata nilai dominan menyebabkan perbedaan-perbedaan praktik menjadi kekuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu sendiri. Kekuatan pusat-pusat kekuasaan berkurang sehingga tidak memiliki otoritas dalam penataan sosial keagaman.
Perbedaan-perbedaan praktik agama sebagai diakibat dari budaya modernitas ditunjukkan dengan munculnya gerakan agama-agama baru dan bentuk-bentuk quasi agama serta sinkretisme agama yang dalam perkembangan gerakannya secara bersama-sama membawa berbagai elemen tradisi agama ke dalam makna baru (Lester Kurt dalam Jamil, 2008:9). Melemahnya referensi tradisional dan munculnya fenomena redefinisi agama dalam keberagamaan umat Hindu digambarkan melalui “Pemujaan Leluhur versus Bhagavad Gita” (Raditya, Edisi 127, Pebruari 2008). Edisi ini dalam kolom Bahasan Utama juga menyajikan artikel yang pada intinya mempertanyakan tradisi Hindu Bali dalam beragam judul, antara lain Dogmatisme Kitab Suci versus Ketakutan Pada Magi; Benarkah Roh Leluhur Bisa Diajak Bicara?; Mitos Gaib: Menyuburkan Ritual, Menghacurkan Hindu; Mitos Magi Masih Kuat Karena Budaya; Dari Kesadaran Magis ke Kesadaran Kritis; Takut Teror Magis, tapi berani Pada Sastra; dan Perlindungan Gaib dalam Lemahnya Brahma Tattwa. Menyudutkan praktik keagamaan, bukanlah kemuliaan karena secara konseptual jalan menghubungkan diri dengan yang transenden bisa dilakukan melalui bermacam-macam jalan, seperti tindakan yang benar, kebaktian, mistik, penyelidikan rasional, ritus sakral, dan mediasi shaman.
Rupanya, redefinisi agama terus-menerus dalam longgarnya praktik sosial menjadi ciri khas fenomena keberagamaan masyarakat masa kini. Agama bukan lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih menjadi instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Agama seperti barang-barang seni telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa. Modernisasi dan globalisasi mengakibatkan transformasi tradisi sosial yang ditandai dengan semakin tingginya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan (Kato, 2002:76; Abdullah, 2006:16; Jamil, 2008:4). Fenomena semakin berkembangnya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama sebagai bagian dari tradisi yang harus berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan semakin tampak nyata. Fakta menunjukkan bahwa dalam wilayah perkotaan pura (fungsi keagamaan) dan pertokoan (fungsi ekonomis) hadir berdekatan dan diterima tanpa prasangka merupakan suatu bentuk hegemoni modernitas yang tidak dapat dihindari.
Artinya, sekularitas sebagai salah satu bentuk modernitas telah mewarnai pembentukan citra bagi kehadiran umat Hindu dalam dunia sosialnya karena akal sehat telah mengatasi kesadarannya. Hal ini sebagaimana keyakinan Berger (1967) mempertahankan teori sekularisasinya dalam tatanan dunia tanpa agama aktif dan berkurangnya signifikansi agama dalam kehidupan publik seiring dengan proses sekularisasi dan privatisasi. Sekularisasi telah mengantarkan pada demonopolisasi tradisi keagamaan dan meningkatnya peran orang-orang awam, karena itu berbagai pandangan keagamaan berabur dan bersaing dengan pandangan-dunia nonagama. Akibatnya, organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan debirokratisasi.
Pada kenyataannya modernitas telah mendorong kebangkitan kembali agama bukan kepada agama konvensional atau formal. Muncul kecenderungan masyarakat untuk menghindari agama utama yang dianggap mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian spiritual mereka. Kemudian, mereka masuk ke dalam aliran-aliran spiritual, sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang menawarkan ritus kontemplatif ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan spiritual mereka (Robertson, 1998:65; Kahmad, 2000:65). Ini membuktikan bahwa pada era modern kehidupan agama tidak mati. Dengan mengacu pada hasil penelitian Greely di Amerika Serikat, Jamil (2008:8) menunjukkan bahwa pada era modern kehidupan agama, baik sebagai sistem keyakinan maupun praktik mengalami reformulasi dengan berbagai cara yang bervariasi. Bentuk reformulasi kehidupan agama di Amerika Serikat cukup beragam, antara lain ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (gerakan new age).
Reformulasi kehidupan agama yang sejenis ditunjukkan Geertz (1992:132) ketika mengamati rasionalisasi agama Bali bahwa orang Bali merasionalisasikan sistem religius mereka melalui proses peralihan batiniah (internal conversion). Fenomena ini oleh O’Dea (1992:118) disebut konversi kontemporer sebagai dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang melanda aspek-aspek kehidupan terutama dalam keberagamaan. Munculnya gerakan agama-agama baru atau aliran keagamaan, seperti sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia juga semakin nyata. Misalnya, sebagaimana ditunjukkan dalam “Sampradaya Marakkan Bali” merupakan tema utama Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9 – 22 Nopember 2007).
Fenomena yang sama juga dipresentasikan melalui kolom Editorial sebagai Tajuk Wacana dalam Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9--22 Nopember 2007) lebih -kurang seperti berikut. Pelaku spiritual yang sebagian besar dari India dikatakan menyebarkan misi pada setiap orang atau kelompok warga yang ditemui. Umumnya ajaran cinta kasih universal menjadi spirit utamanya dan pengikutnya disarankan bersahaja berdasarkan ajaran ahimsa dan tat twam asi. Jumlah penganut kelompok spiritual ini juga terus bertambah termasuk pendirian pusat-pusat pembinaan, ashram. Melayani masyarakat dikatakan panggilan mulia sehingga pada tataran tattwa tidak terdapat hal yang bertentangan dengan umat Hindu Bali. Namun ketika bersinggungan dengan adat, kehadiran kelompok sampradaya di Bali sering mengundang perdebatan. Sebab, kelompok penganut vegetarian ini menentang pembunuhan hewan termasuk untuk kepentingan yadnya. Mereka juga menggugat besarnya biaya yang dikeluarkan masyarakat Bali demi kepentingan upacara yadnya.
Kehadiran sampradaya dalam keberagamaan umat Hindu diungkap Widiana (2006) melalui sebuah penelitian tentang “Fenomena Sampradaya Dalam Dinamika Agama Hindu di Bali”. Ditemukan bahwa kehadiran sampradaya di Bali disambut antusias oleh sebagian masyarakat Hindu di Bali yang sedang mengalami “kehausan” spiritual, sedangkan sebagian lainnya menanggapi dengan kecurigaan dan kekawatiran bahwa sampradaya dapat mengganggu tatanan religius masyarakat Hindu di Bali. Selain itu, kehadiran sampradaya di Bali kurang berdampak terhadap lembaga Desa Pakraman yang merupakan media sesungguhnya bagi ekspresi religius masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, kehadiran sampradaya di Bali memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang berujung pada hubungan kurang harmonis antara Parisada Hindu Dharma Indonesia Propinsi Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Malahan perkembangan berikutnya telah mendorong lahirnya Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yakni kembali pada masa awal pembentukannya berdasarkan Piagam Parisada.
Demikian juga Azis dan Sudjanggi (2006) menemukan adanya keresahan dan kegelisahan dalam keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan kehadiran kelompok sampradaya terutama Sai Studi Grup. Keberadaan kelompok penganut Sai Studi Grup di Bali sejak 1993 dikatakan sangat kontroversial, baik terhadap lembaga dan elite agama maupun masyarakat lokal. Perbedaan yang mencolok dengan agama Hindu, antara lain menyangkut konsep awatara, yaitu penganut Sai Studi Grup mengganggap Sai Baba sebagai awatara yang patut dipuja sebagaimana orang telah memuja Rama atau Sri Krisna. Sementara itu, menurut penentang ajaran Sai Baba bahwa tokoh Rama dan Krisna bersifat simbolik sehingga berada di dalam ide. Setiap manusia pada dasarnya adalah awatara karena memperoleh pancaran sinar Tuhan dan diharapkan berusaha mencapai kondisi spiritual sebagaimana disimbolkan pribadi Rama dan Krisna.
Perubahan keberagamaan umat Hindu juga menjadi perhatian Pradnya (Taksu:Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 22-23). Menurutnya manusia sering kali melakukan kesalahan atas nama agama. Fanatisme sempit telah memabukkan dan menggelapkan mereka, sedangkan agama sendiri tidak pernah mengajarkan begitu. Oleh karena itu, “jangan over acting!”, ungkap Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba yang kemudian, menjelaskan keberagamaan umat Hindu pada masa Raja Udayana hingga kehadiran Mpu Kuturan untuk menangani keresahan keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan banyaknya sekte yang saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Selengkapnya ungkapan Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba seperti berikut.
“Kalau kita tarik ke belakang, Bali pernah mengalami seperti sekarang ini (berkembangnya kelompok-kelompok spiritual). Munculnya berbagai kelompok spiritual, yakni pada zaman raja Udayana. Banyak terdapat sekte-sekte dalam pemujaan Tuhan. Inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan masyarakat satu dengan yang lainnya. Dengan keadaan seperti ini otomatis tidak efektif tatanan masyarakat karena pada saat itu semua sekte mengagung-agungkan pujaannya, bahkan saling merendahkan satu sama lainnya. Inilah yang menyebabkan pergolakan yang luar biasa di kalangan masyarakat sehingga tidak efektinya pemerintahan pada saat itu. Akhirnya, raja meminta bantuan kepada Mpu Kuturan untuk datang ke Bali menyelesaikan permasalahan yang dialami masyarakat Bali. (Taksu: Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 20-21)”.
Pada intinya fenomena ini sejalan dengan pandangan Kimball (Sindhunata, 2003:12) tentang lima tanda yang dapat membuat agama busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, bila timbul ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga, bila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya zaman sekarang. Keempat, bila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, bila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci. Apabila sejarah membuktikan bahwa banyaknya sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan telah menyebabkan terjadinya pembusukan agama maka kehadiran sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual sepatutnya menjadi perhatian umat Hindu terutama para pemimpin umat yang memang memiliki otoritas dalam keberagamaan. Inipun kalau tidak ingin sejarah berulang kembali, seperti dikatakan Haryono (2005:20), “sejarah tidak boleh berulang untuk kemanusiaan karena manusialah subjeknya dan manusia bukan binatang buas ataupun sekrup pabrik yang kaku”.
Walaupun diketengahkan fenomena keberagamaan umat Hindu di Bali, tetapi tidak tertutup kemungkinan fenomena tersebut juga terjadi dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Oleh karena itu dapat diduga bahwa umat Hindu, elite, dan pemimpin Hindu yang berpikiran jernih akan sepakat tidak membiarkan agamanya menjadi busuk dan korup. Ini sekaligus harapan kepada pemimpin agama dan adat mungkin sudah saatnya ‘duduk bersama’ memikirkan suatu upaya sistematis untuk menghadapi berbagai tantangan umat Hidu pada masa depan. Kata ‘duduk bersama’ sengaja digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi memiliki visi dan misi yang hampir sama, yakni mewujudkan keteraturan, ketertiban, dan keseimbangan sosial berdasarkan agama. Mengingat Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan merupakan dua sisi berbeda pada satu mata uang yang sebagian maknanya tergantung pada dunia sosial, yakni sebuah kehidupan yang terikat ketat pada adat.
Sepotong Harapan buat Pemimpin Hindu
Perubahan masyarakat dan kebudayaan memang tidak bisa dihindari karena pada prinsipnya manusia tidak pernah berharap masyarakat dan kebudayaannya statis tanpa mengalami perkembangan. Faktanya pada masa kini perubahan masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern telah terjadi secara meluas dan sekarang ini situasi sudah berbeda. Homogenitas agama sudah tidak lagi banyak dijumpai. Kebebasan beragama yang dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu esensi kemanusiaan telah mendorong orang untuk membedakan ruang publik dan ruang privat atau urusan publik dan urusan privat, dan agama diperlakukan sebagai urusan privat (Wattimena, 2007:xi). Fenomena ini juga tampak dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia, yakni nilai agama yang diwarisi turun-temurun telah mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan nilai ekspresi diri masyarakat modern, yakni suatu nilai yang mengandalkan kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan yang telah membawa perubahan sekaligus menunjukkan semakin besarnya kekuasaan manusia terhadap lingkungan.
Dalam dunia global yang mengalami kemungkaran lingkungan, degradasi moralitas, dan dehumanisasi, akibat dari kapitalisme yang hedonis dan materialistik, pemaknaan kesalehan sosial yang disumbangkan berbagai kitab suci agama semakin menemukan panggilannya (Abdullah, 2005:21; Mulkhan, 2007:65--69). Pemimpin Hindu melalui tim ahlinya sudah sepatutnya melakukan kajian-kajian terhadap teks-teks Hindu otoritatif. Hasil kajian ini setidak-tidaknya dapat dapat dijadikan acuan dalam membangun tatanan nilai dan norma yang berguna bagi perkembangan moral dan kemanusiaan. Pemimpin adat menerjemahkannya ke dalam dunis sosial sehingga kehidupan sosial tidak kering dari nuansa religius. Tradisi tidak melawan perubahan karena setiap generasi melalui proses pembelajaran meneruskan budayanya, yakni upaya menyatukan masa lalu dan masa depan pada masa kini. Dengannya proses perubahan masyarakat dan kebudayaan tidak meninggalkan nilai-nilai agama Hindu dan pemajuan moralitas dan kemanusiaan tidak terabaikan. Radhakrishnan (2003:32) mengingatkan, manusia harus mematuhi kemanusiaan sekalipun terhadap mereka yang tidak berperikemanusiaan, manusia harus rela membiarkan perkembangan pikiran dan moralnya menjangkau jauh ke masa depan, dan manusia tidak membiarkan kebencian menutupinya.
Mematuhi kemanusiaan, membiarkan pikiran dan moral berkembang, serta membuka kesadaran diri agar bersih dari kebencian pada prinsipnya adalah tujuan dari pembangunan agama. Pembangunan agama dan keagamaan merupakan proyek kemanusiaan yang menyatukan seluruh lapisan sosial untuk bersama-sama menang dalam pergulatan hidup (Turner, 2003:92; Mulkhan, 2007:59). Manusia sebagai subjek dalam semesta kehidupan haruslah mampu menempatkan kesadaran agama dalam bidang-bidang kehidupan nonagama. Kebaikan yang disumbangkan agama harus menjadi landasan kebenaran sosial dan bukan sebaliknya, kebenaran sosial menduhului kebaikan agama. Dengan demikian kebaikan sebagimana diajarkan agama haruslah menjadi dasar kebenaran karena agama merupakan sumber moral, selain hukum, kebudayaan, dan interaksi sosial (Bertens, 2002:22; Bleeker, 2004). Boleh jadi ini merupakan himbauan moral kepada pemimpin Hindu dan adat untuk lebih banyak merefleksikan kesusilaan melalui berbagai kajian dan perspektif. Aturan moral dalam setiap memang menjadi satu tema penting karena hampuir tidak bisa ditemukan ada agama menganjurkan perbuatan kejahatan.
Dikatakan demikian mengingat kegiatan keagamaan menjadi lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntunan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku. Kenyataan empiris juga menunjukkan dalam dunia global yang lebih mengutamakan rasionalitas, ternyata dimensi moral semakin terpinggirkan. Pada zaman kini tidak cukup hanya menjadi orang tanpa kepintaran karena tidak sedikit orang baik mejadi bahan olokan-olokan dunia sosial yang semakin tak menentu. Dalam konteks ini agama dapat memberikan sumbangan yang signifikan karena agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati senantiasa menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupannya. Agama memiliki nilai bagi kehidupan manusia, bahkan secara psikologis agama berfungsi menjadi motif bagi tindakan sosial (Ishomuddin, 2002; Jalaluddin, 2002).
Fungsi agama dalam kehidupan sosial memang memberikan sumbangan yang signifikan, tetapi pada kenyataannya dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi sebaliknya, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam aspek sosial dan kebudayaan yang dilatari oleh alasan-alasan keagamaan. Dalam konteks ini menjadi relevan ungkapan Rakhmat (2005:106) bahwa agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama selalu hadir dalam keseharian manusia dan begitu misterius karena agama sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan. Agama begitu dekat di dalam hati, tetapi semakin besar keinginan memegangnya, justru agama semakin tidak dikenali dan begitu asing. Akibatnya, tidak sedikit ditemukan umat beragama meragukan sebagian atau seluruh ajaran agamanya. Ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan agama Hindu dalam berbagai perspektif, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, telogi, dan filsafat menjadi kebutuhan yang semakin nyata. Faktanya juga menunjukkan minimnya kajian-kajian semacam itu dalam perpustakaan umat, sebagaimana tampak dalam katalog penerbit buku-buku agama Hindu.
Minimnya informasi tentang agama Hindu pada satu sisi dan melimpahnya informasi aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru pada sisi lain, mendorong munculnya privatisasi agama dan konversi internal dalam keberagamaan umat Hindu. Privatisasi agama dan konversi internal ini dimulai dari proses rasionalisasi agama yang sudah tentu berlangsung bukan dalam struktur agama konvensional. Umat Hindu dengan mudah melakukan pemutahiran pengetahuan agamanya melalui informasi keagamaan yang diperolehnya dari berbagai saluran sehingga mereka dengan mudah meracik agamanya hingga dirasakan pas dan cocok dengan dirinya. Berkembangnya pengetahuan keagamaan pada gilirannya membuat agama dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan pragmatis. Perkembangan keagamaan mununjukkan bahwa perubahan dalam keberagamaan yang dominan terjadi justru agama berubah ke arah pragmatisme. Ini suatu bentuk respons umat Hindu terhadap budaya modernitas dan globalisasi yang ditandai dengan semakin tingginya pengaruh rasionalitas dalam dunia moralitas.
Dalam dunia moral di tempat yang seharusnya agama Hindu konvensional memegang kendali, malahan semakin terpinggirkan karena sastra-sastra Hindu klasik India mendapat sambutan hangat sedemikian rupa sebagai pengisi kekosongan ruang spiritual. Di sinilah sampradaya dan kelompok spiritual menjadi objek pilihan konversi internal karena memang menawarkan praktik yang lebih kontemplatif-eksklusif daripada agama Hindu konvensional yang sarat dengan upacara. Kejenuhan terhadap agama konvensional yang sejalan dengan arus ortodoksi telah mendorong orang berbondong-bondong dan bersimpuh di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru (Ramadhan & Rusmadi dalam Jamil, 2008:xix). Sejarah pemikiran manusia memang tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur, dan selalu mengikuti azas-azas kepatutan tradisional dan konsisten berdasarkan mainstream tertentu. Ini merupakan panggilan kepada pemimpin Hindu untuk membangun sistem keberagamaan yang lebih mantap dalam arti adapatif terhadap perkembangan zaman.
Fakta bahwa zaman telah mengkreasi keberagamaan dalam berbagai model tidak dapat dipungkiri karena keinginan akan masa depan yang lebih produktif selalu memberi warna kebaruan. Kebaruan selalu menantang tradisi keberagamaan yang telah mapan sehingga umat Hindu dituntut merenovasi praktik-praktik keyakinannya pada sepanjang garis eksistensi keberagamaannya. Tradisi tidak boleh berhenti pada satu titik masa, melainkan harus berjalan terus sepanjang zaman, karena itu proses pembelajaran sebagai upaya pelestarian nilai-nilai tradisi tidak mungkin dihindari. Zaman telah mengubah cara pandang dan tindakan umat dalam merespons perkembangan zaman itu sendiri seiring dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhannya. Zaman selalu menuntut umat Hindu bersama pemimpinnya merekonstruksi sebagian atau seluruh sistemasi dan diskursus keberagamaannya. Untuk itu diperlukan kejelasan kurikulum keberagamaan dan ketegasan praktiknya dalam mekanisme kontrol sosial yang ketat sehingga para pemimpin agama dan adat tidak sepenuhnya mengandalkan kekuatan ortodoksi dan kekuasaan negara.
Walaupun dalam banyak hal ortodoksi merupakan paham yang didukung penguasa, tetapi juga sering diprotes dan dibrontaki dalam dunia praksis. Ini kondisi alamiah yang mendorong perkembangan pemikiran mainstream semakin sempurna karena tegangan antara konsep-konsep univokal dan imajinasi-imajinasi ekuivokal selalu mengandaikan irasionalitas menuntut pengakuan. Kebenaran memang dapat dilihat dalam tegangan antara medan konvensional (konsensus yang koheren) dan gejala-gejala baru yang tidak konvensional (Sugiharto, 1996:21). Ini gagasan tentang idealitas yang berfungsi sebagai ide regulatif yang senantiasa memungkinkan jarak kritis terhadapnya. Dengan begitu agama Hindu konvensional tidak mandek dalam bentuk kemapanan yang tertutup, bahkan represif dan otoriter, melainkan senantiasa berada dalam tegangan dunia praksis menuju konsep yang semakin sempurna. Pada umunya idealitas muncul sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak konvensional dalam bentuk anomali atau irasionalitas yang bukan hanya menuntut pengakuan, bahkan menggugat anggapan tentang “kenormalan” dan “kerasionalan” itu sendiri.
Kehadiran aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru dalam keberagamaan merupakan “irasionalitas” dan “keabnormalan” yang selalu menantang pemimpin agama untuk berpikir ulang dan berimajinasi untuk merumuskan anggapan-anggapan kebenaran agama konvensional secara baru. Ini berarti pemimpin Hindu harus merumuskan realitas keberagamaan umat Hindu secara baru. Dengan demikian konflik internal Hindu – antara agama Hindu maintream atau ortodoksi dan aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru – dapat dihindari dan tindakan pelarangan dengan kekuasaan negara tidak diperlukan. Selain itu, kebenaran hakiki yang diyakini oleh aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru yang dipandang sempalan belum tentu sempalan dan antiproduktif terhadap keberagamaan. Krishna sendiri tidak membeda-bedakan bhakta dan bentuk pemujaan yang dilakukannya, “apapun bentuk pemujaan yang ingin dilakukan oleh para bhakta dengan penuh keyakinan, Aku menjadikan bentuk keyakinanannya itu, menjadi mantap” (Bhagavad Gita, VII:21).
Apalagi perilaku keagamaan menurut pandangan behaviorisme berkaitan erat dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Orang berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah, yaitu menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) (Jalaluddin, 2002:211). Orang bergerak secara mekanis berdasarkan azas pemberian hukuman dan hadiah. Dalam agama dan keberagamaan keimanan umat meminta surga atau pembebasan sebagai hadiahnya. Perilaku manusia bekerja menurut atas mekanistik yang bersifat serba fisik, yakni bersifat kondisional yang dapat dibentuk dan diarahkan menurut situasi yang diberikan. Apabila yang diinginkan adalah umat Hindu berperilaku keagamaan sebagaimana ajaran agama Hindu konvensional maka lingkungan keberagamaannya harus mampu memberi respons keagamaan Hindu konvensional seperti yang diharapkan. Dengan demikian menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) bukanlah tindakan terpaksa, “bahkan orang yang bijaksana berbuat menurut sifat bijaksananya sendiri, semua makhluk juga bertindak menurut sifatnya pula, apakah yang dapat diselesaikan dengan paksa?” (Bhagavad Gita, III:33).
Memang secara humanis kebutuhan akan hadiah lebih menentukan tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Walaupun rasanya tidak mungkin menggambarkan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, tetapi Abraham Maslow (Jalaluddin, 2002; Jarvis, 2007) menjelaskan kebutuhan manusia bertingkat-tingkat dari yang paling dasar hingga yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup, seperti makan, minum, dan istirahat. Kedua, kebutuhan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan kasih sayang, berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan harga diri yang dimanifestasikan dalam bentuk aktualisasi diri, seperti berbuat sesuatu yang berguna. Kemudian, aktualisasi diri sebagai pengalaman puncak transenden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan trasedental. Ini dinilainya sebagai tingkat kesempurnaan manusia sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan untuk menyenangi yang benar, yang baik, dan yang indah.
Kecenderungan ini dalam Hindu bahwa Yang Benar (Sathyam), Yang Baik (Siwam), dan Yang Indah (Sundaram) merupakan Pribadi Sempurna yang diidolakan umat Hindu. Untuk mendekati cita-cita ini mungkin pemimpin Hindu yang ahli agama dan pendidikan dapat memadukan keahliannya menyusun kurikulum pendidikan Hindu yang, antara lain berisi nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan. Pikiran yang selalu dalam kebenaran merupakan landasan bagi tindakan dalam kebijaksanaan dan keduanya memberikan indahnya kehidupan, yaitu kebahagiaan. Jadi, umat Hindu akan menikmati kebahagiaan, bila mengerti kebenaran dan memahami kebijaksanaan. Mentransendensikan nilai-nilai ini dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan teladan terbaik, “apapun juga kebiasaan yang baik itu dilakukan, orang lain juga akan mengikutinya. Teladan apapun yang dilakukannya, dunia akan mengikutinya” (Bhagavad Gita, III:21). Memang hanya melalui pergaulan dalam persahabatan orang dapat mengasah kemanusiaannya, kualitas kesuciannya, dan memperoleh kepenuhan sempurna.
Agama memang memberikan pengalaman spiritual dan pengalaman ini selalu dimulai dengan asumsi bahwa dunia ini memang tidak memuaskan dan sifat manusia memang tidak ideal. Walaupun yuga meyakini segala sesuatu bermula dari keadaan sempurna dan dalam perkembangannya secara involusi mengalami penyusutan hingga dalam kondisi ketidaksempurnaan. Berlawanan dengan teori yuga, evolusi meyakini segala sesuatu bermula dari ketidaksempurnaan dan dalam perjalanan perkembangannya mengalami kemajuan secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan. Namun takdir manusia sebagaimana ditegaskan Radhakrishnan (2003:99) bukanlah melarikan diri dari ketidaksempurnaan ini, tetapi menggunakannya sebagai dorongan melakukan perbaikan. Ketidaksempurnaan ditegaskan, bukanlah dosa yang harus dibuang, tetapi kondisi yang diperlukan untuk manifestasi sukma. Kesadaran akan keterbatasan digunakan sebagai jalan masuk kepada suatu ketinggian, ketakterbatasan pengalaman eksistensi-diri, dan keindahan. Umat Hindu tidak perlu mencari kesempurnaan di dunia lain, seperti disarankan pihak lain karena dunia ini adalah tempat bagi kebebasan spiritual. Memang kebebasan semacam ini hanya dapat dicapai melalui kebebasan moral, yakni rasa saling menghargai dan menghormati kepada setiap eksistensi dalam dunia sosial.
Artinya, takdir manusia harus digunakan untuk lebih memahami perbedaan cara-cara kehadiran dalam dunia sosial dan budaya yang memang tidak seragam. Keyakinan dan kepercayaan yang berbeda bukanlah untuk dipertentangkan dan diperlawankan karena alam memang telah membentuk banyak ras dengan bahasa, agama, dan tradisi sosial yang berbeda-beda. Patut disadari bahwa perbedaan ini memberikan tugas kepada manusia untuk menciptakan tatanan dalam dunia manusia dan menemukan suatu jalan hidup. Melalui jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai dan mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dunia ini bukan dimaksudkan sebagai medan pertempuran, tetapi menjadi persemakmuran bersama melalui kerja sama untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua. Membangun kerja sama inilah tugas pemimpin Hindu sehingga persemakmuran bersama sampai kepada umat yang tersebar dalam sekat-sekat tradisi sosial dan budaya.
Dengan demikian diharapkan pemimpin Hindu berupaya keras mewujudkan keberagamaan dalam kondisi sosial untuk kebaikan dan kedamaian semua orang. Untuk itu diperlukan kepemimpinan religius, antara lain peran-peran yang berkaitan dengan upaya menetapkan kejelasan praktik-praktik keimanan (sradha-bhakti), menegakkan aturan moralitas (susila), menguatkan struktur komunitas (baik lembaga agama maupun adat), menyesuaikan bentuk-bentuk peribadatan (acara), dan ketegasan sistem hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Beriman kepada Tuhan berarti mengandalkan diri kepada Tuhan berdasarkan pengetahuan tentang ketuhanan, karena itu diperlukan kajian-kajian telogis, brahma widya. Aturan moral diperlukan dalam kehidupan sosial karena umat Hindu juga bagian dari masyarakat, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam bidang etika.
Agama Hindu sebagai inti nilai kebudayaan adalah pengatur tingkah laku umat untuk saling menghargai kehadirannya masing-masing, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dan huaniora serta kebudayaan. Kebudayaan yang mengkontekstualisasikan agama Hindu secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku peribatan sehingga diperlukan penyesuaian dan adaptasi dinamis sejalan dengan situasi sosial termasuk dengan perkembangan zaman. Demikian juga beragamnya cara-cara menghubungkan diri dengan yang transenden begitu misterius karena keberjarakan antara manusia dan yang transenden bukan jarak sebagaimana akal-budi memahaminya sehingga perlu dikembalikan kepada teks-teks agama otoritatif. Dengan kejelasan sistem keberagamaan, umat Hindu sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam mewujudkan dan menikmati indahnya keberagamaan di nusantara.
Penutup
Sepotong harapan yang hendak disampaikan adalah upaya melaksanakan dharma yang menurut Radhakrishnan (2003) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan empat tujuan kehidupan (catur purusha artha), empat kelompok lapisan sosial (catur varna), dan empat tingkatan kehidupan (catur asrama). Dharma sebagai realisasi kehormatan spiritualitas manusiawi, yakni tempat kehidupan sosial umat Hindu untuk mengenal hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang dalam persahabatan. Tempat umat Hindu mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian spiritual, yaitu menuju perkembangan kondisi sosial yang mengantarkan umat Hindu pada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan dan kedamaian semua orang.
Akhirnya harus diterima, manusia memang makhluk religius sehingga dapat disetujui agama memang setua usia manusia. Konsekuensinya umat Hindu haruslah berpengetahuan agama dan berkesadaran agama serta mempraktikkan agama dalam semua bidang kehidupan. Keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan merupakan surga kebebasan moral sehingga tidak dijumpai ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama. Jadi, umat Hindu harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri karena cita-cita merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan pribadi. Untuk memahami tanggung jawab inilah umat memerlukan bantuan, bimbingan, dan dukungan pemimpin religius transformatif, kepemimpinan berdasarkan pengetahuan dan kesadaran dharma. Inilah Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia: Pekerjaan Pengabdian.
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
Menutup rangkaian pemikiran di atas, walaupun bukan sebagai wujud keraguan, tetapi untuk penegasan saja diketengahkan satu pertanyaan, apakah manusia itu memang makhluk religius? Menerima konsepsi manusia adalah makhluk religius (homo regious) berarti menyetujui bahwa agama setua usia manusia. Penerimaan ini tidak membuktikan apapun mengenai keberagaman seseorang karena perkembangan kesadaran agama tidak selalu seiring-sejalan dengan bertambahnya usia. Padahal mereka yang berpengetahuan harus berkesadaran, karena itu mereka yang berpengetahuan agama harus berkesadaran agama. Mereka yang berkesadaran agama harus merefleksikan pengetahuan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tidak maka mereka telah merusak keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan itu sendiri. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari begitu mudah ditemukan ketakutan dan kengerian yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan, tetapi tidak berkesadaran. Demikian juga tidak sedikit kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama.
Krisis kesadaran semacam ini merupakan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal, bahkan pada dimensi moralitas terjadi pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan kehidupan lainnya yang telah mapan pada taraf mencengangkan. Kondisi ini digambarkan dengan jelas oleh Pritjop Capra (2004:3) dalam Titik Balik Peradaban dan dikatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh manusia menemukan dirinya berada dalam suatu krisis global serius, suatu krisis kompleks dan multidimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Seperti, aspek kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yakni suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam catatan sejarah umat manusia.
Ini refleksi kegelisahan intelektual dan moralitas yang mengerikan, manusia lebih dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sehingga pengetahuan mengatasi kesadarannya (Leahy, 2001:95). Radhakrishnan (2003:5) menyebut krisis kesadaran intelektual dan moral ini sebagai era kegelapan intelektual dan barbarisme etik. Dalam konteks ini diperlukan pembangunan agama dan keagamaan bagi kemanusiaan yang menyatukan umat manusia dalam menyesaikan pergumulan kehidupan. Agama harus menjadi sumber moral sehingga kebaikan yang diajarkannya selalu menjadi landasan kebenaran dalam kehidupan sosial. Memosisikan agama menjadi sumber nilai moral dan kemanusiaan dalam rekontruksi sosial pada dasarnya sejalan dengan Hinduisme.
Hinduisme sebagaimana diungkapkan Zaehner (1992:98) merupakan paham keagamaan yang mewadahi subagama berbeda-beda karena di India ada beragam agama dan subagama yang berkembang memiliki akar tradisi dan dasar religiusitas yang sama. Menurutnya kebanyakan agama dan subagama itu memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi panteon para dewa di dalam Weda dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, kelompok dewa dari angkasa, dan kelompok dewa dari bumi. Hal ini sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India, yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan Dewa Agni (Api), Dewa Indra (Dewa Perang), dan Visva Deva (Dewa Semesta). Akan tetapi semua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa Tertinggi, Brahman. Ini membuktikan bahwa Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik yang percaya hanya pada satu Tuhan.
Dalam konteks kebudayaan Radhakrishnan (2003:98) mengatakan hinduisme merupakan warisan pemikiran dan aspirasi hidup yang selalu bergerak seiring dengan pergerakan kehidupan itu sendiri. Dikatakan budaya Hindu mempunyai persatuan tertentu, meskipun budaya itu terbagi ke dalam aneka ragam corak dan warna. Perbedaan-perbedaan itu belum terpecahkan dengan tuntas, walaupun impian persatuan sudah menggema ke permukaan dan menghantui imajinasi para pemimpin. Untuk memperbaiki kondisi masyarakat India dikatakan, “kita harus menemukan kembali sukma Hindu, apa yang kita miliki dalam darah warisan kita, cita-cita tidak terungkap, hal-hal yang bermukim di relung terdalam hati kita sebagai kekuatan-kekuatan permanen. Nilai-nilai kita tidak berubah, tetapi cara mengekspresikannya berubah. India menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi yang lebih tinggi daripada hal-hal lainnya”.
Mungkin tidak jauh berbeda dengan Hinduisme di India, juga agama Hindu di Indonesia dipraktikkan dalam dunia sosial yang berbeda-beda inheren dengan kultur masyarakat pemeluknya. Kontekstualisasi ini mengakibatkan agama Hindu hadir dengan wajah yang berbeda-beda karena bahasa sebagai satuan budaya mengalirkannya ke dalam tradisi sosial yang beragam sesuai dengan tempatnya dipraktikkan. Agama Hindu seperti umumnya agama-agama lainnya dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, hubungan antara manusia dan sesama, serta hubungan antara manusia dan lingkungan (Suparlan dalam Robertson, 1998:v; dan Kahmad, 2000:12). Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan praktik-praktik sosial agama Hindu dipandang menjadi kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan masyarakat pemeluknya. Dalam kondisi demikian tentu lembaga umat dan adat tidak dapat menghindarkan diri melakukan penyesuaian persepsi berkaitan dengan kebijakan sosial. Apabila tidak maka dapat diasumsikan akan terjadi kerancuan tindakan sosial keagamaan. Misalnya, satu tindakan dikatakan baik dan benar menurut agama sekaligus buruk dan salah menurut adat atau sebaliknya, tindakan yang dibolehkan adat adalah tindakan yang dilarang agama.
Menghindari pertumpangtindihan kebijakan antara lembaga umat dan adat dalam perubahan sosial-budaya merupakan agenda penting yang layak diwacanakan dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Komunitas Hindu sebagai bagian integral dari suatu masyarakat memiliki tradisi dan pola perubahan sosial tersendiri. Menghadapi struktur dan sistem sosial-budaya yang beragam dalam cepatnya arus perubahan sosial-budaya yang sedang melanda dunia global dapat diasumsikan diperlukan kejelasan mengenai sistem keyakinan dan kepercayaaan. Agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaaan diposisikan sebagai inti kebudayaan karena kebudayaan dimengerti sebagai suatu sistem atau organisasi makna yang dikonsepsi tersusun secara berlapis-lapis. Lapisan luar berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya; lapisan tengah berupa norma-norma dan nilai-nilai; dan lapisan inti berupa kepercayaan atau anggapan-anggapan dasar tentang eksistensi manusia itu sendiri (Sanapiah Faisal dalam Bungin (ed), 2006:8). Dengan mengikuti konsep ini menjadi jelas perbedaan antara sistem agama dan sistem sosial sehingga menjadi terang pula perbedaan peran antara lembaga agama dan adat.
Peran pemimpin kedua lembaga ini yang mungkin dapat dipandang sebagai representasi pemimpin dan kepemimpinan Hindu merupakan minat yang hendak diungkap dengan bungkus: Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia. Dikatakan “sepotong” karena memang sangat kecil kemungkinannya atau, bahkan tidak mungkin mengungkap keseluruhan harapan umat Hindu di Indonesia dan, juga sangat mustahil tulisan ini mewakili harapan mereka yang begitu beragam dari latar sosial dan budaya berbeda-beda, tanpa pengamatan serius dan sungguh-sungguh. Kemudian yang dimaksudkan dengan “harapan” adalah peran yang harus dijalankan sesuai dengan status seorang aktor dalam struktur komunitas Hindu. Menjadi jelaslah yang dimaksud dengan pemimpin Hindu adalah mereka yang berada dalam struktur komunitas Hindu yang harus menjalankan peran sesuai dengan harapan umat Hindu di Indonesia. Tentu dalam usianya yang sekarang ini telah mencapai 50 tahun, pemimpin Hindu teristimewa PHDI telah menunjukkan ledewasaan dalam melihat persoalan-persoalan keberagamaan umat Hindu dan matang menyelesaikannya.
Minat yang lahir dari perhatian terbatas ini diharapakan dapat menjadi bentuk partisipasi dalam mencermati satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi umat Hindu di Indonesia khususnya kepemimpinan. Setidak-tidaknya diharapkan dapat memberikan gambaran tentang porsi otoritas terhadap agen yang berbeda-beda secara proporsional dalam keberagamaan. Persoalan munculnya peristiwa aneh-nyeleneh, “colek pamor” misalnya, menjadi jelas otentisitas dan otoritas penyelesaiannya. Patut disadari bahwa agen yang berbeda-beda dapat mengomentari persoalan keumatan dalam berbagai perspektif berdasarkan otoritas lapangan kerjanya masing-masing tanpa harus mengganggu otentisitas lapangan sang otoritatif. Ketegasan otoritas lembaga umat dan lembaga adat dalam keberagamaan umat Hindu setidak-tidaknya dapat meminimalisir munculnya kecenderungan saling mendominasi peran antaragen.
Kejelasan status dan peran pemimpin Hindu di Indonesia juga diharapkan tidak memunculkan ungkapan pemimpin yang mungkin dapat dikatakan ironis dan ambigu, seperti “Mau Mahasabha Luar Biasa? Silahkan! (Media Hindu, Juni 2009:hal.24--26). Padahal untuk menguatkan sistem yang mungkin belum mapan masih dan selalu tersedia ruang dan waktu melakukan diskursus untuk membangun konsensus (“dari hati ke hati”), sebagaimana citra umat Hindu di Indonesia yang mendahulukan persahabatan. Zaman telah membuktikan persahabatan merupakan kekuatan besar dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan pada setiap bangsa. Oleh karena itu persahabatan para pemimpin Hindu di Indonesia mungkin dapat menjadi spirit dalam menghadapi tantangan keberagamaan umat Hindu di Indonesia.
Perubahan Keberagamaan dan Tantangan Pemimpin Agama
Masyarakat global dewasa ini tengah menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang semakin tinggi dan bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan maupun agama (Snow, 2007). Akibatnya, agama bukan lagi menjadi wilayah eksklusif yang steril dari bidang kehidupan nonagama, bahkan agama berpartisipasi aktif dalam kehidupan nonagama. Agama masuk ke dalam wilayah yang pada prinsipnya di luar jangkauannya, bahkan terlibat dalam pergumulan kehidupan sosial dan budaya termasuk menentukan sistem dunia. Casanova (2003:xvii) menggambarkan bahwa agama-agama di seluruh dunia telah memasuki wilayah publik dan kancah politik tidak hanya untuk mempertahankan budaya tradisional mereka sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lalu. Akan tetapi, juga agama-agama berpartisipasi dalam pergumulan itu sendiri, antara lain mendefinisikan dan menentukan batas-batas modern; antara wilayah privat dan publik; antara kehidupan dan sistem dunia; antara legalitas dan moralitas; antara individu dan masyarakat; antara keluarga, masyarakat sipil, dan negara; dan antara bangsa-bangsa, negara-negara, peradaban, dan sistem dunia.
Ini berarti agama memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat (Kahmad, 2000:66). Malahan agama diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik (Maman, 2006:2). Akan tetapi, fakta keberagamaan menunjukkan fenomena sebaliknya, nilai-nilai agama terhempas dalam ruang hampa agama, bahkan baur dengan nilai-nilai nonagama. Nilai-nilai yang sering dikategorikan sebagai nonagama, seperti nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Inilah tantangan bagi pemimpin agama karena nilai-nilai nonagama begitu perkasa menjelajahi sendi kehidupan sehingga nilai-nilai agama semakin terjepit di sudut kegelapan dengan kebingungannya sendiri (Hadi, 2007:102). Ini gambaran wajah zaman kemajuan yang telah berhasil mendemontrasikan semakin tingginya upaya saling mendominasi dan menundukkan antara bidang kehidupan. Malahan antara mereka cenderung saling memperalat dan agama cenderung dimanfaatkan untuk melegitamasi dan mencapai tujuan-tujuan kehidupan nonagama.
Tradisi Pencerahan memang berhasil mewarisi spesifikasi kehidupan secara meyakinkan, tetapi semakin jelas identitas bidang-bidang kehidupan, semakin tinggi kemungkinan untuk saling menundukkan. Kata “saling” memang dimaksudkan untuk menunjukkan keberjarakan antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan lainnya. Akan tetapi semakin intensifnya komunikasi dan interaksi telah membuat sekat-sekat yang memisahkan bidang-bidang kehidupan semakin melentur, bahkan seolah-olah semuanya lebur tanpa tanda pengenal. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moral menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara mengurainya. Agama seolah-olah dilumat oleh berbagai kepentingan nonreligius, seperti sosial, politik, dan ekonomi. Agama telah menjadi korban dari sistem dunia global yang melumat segalanya karena dominasi bidang-bidang kehidupan nonreligius bukan hanya pada permukaannya saja, melainkan memasuki kedalaman pikiran, perasaan, dan kehendak manusia (Hardjana, 1993:55; Hadi, 2007:3; Jamil, 2008:13). Ini berarti nilai-nilai nonreligius bukan saja menjadi ancaman dari luar saja, tetapi juga telah mewabah di dalam hati sanubari umat. Akibatnya, muncul sikap keberagamaan yang berbeda-beda, bahkan cenderung berlawanan, seperti apatisme, fundamentalisme, relativisme, bahkan radikalisme (Bruce, 2000:28; Hadi, 2007:102).
Dalam pergeseran semacam ini simbol-simbol kebudayaan tidak lagi menjadi pengarah yang menentukan dalam masyarakat yang dipatuhi karena memiliki daya paksa. Akan tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun institusi. Simbol-simbol agama tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu praktik religiusitas, tetapi juga telah menjadi alat legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang boleh jadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili realitas keagamaan itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bagian dari pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian diri dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan otentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam (Kato, 2002:79; Abdullah, 2006:9).
Ini menunjukkan modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi telah menjadi kekuatan penting dalam kehidupan beragama. Selain memperkenalkan pola organisasi produksi baru, juga telah memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Dinamisasi nilai dan norma ini merupakan proses perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Proses ini dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu masuknya pasar ke dalam masyarakat petani; terjadinya integrasi pasar; dan ekspansi pasar (Abdullah, 2006:16). Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik keagamaan dengan pemaknaan berbeda-beda dalam konteks general. Konstruksi nilai dilakukan dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, bahkan para penggagas teori modernisasi menegaskan bahwa dunia sedang berubah dalam cara-cara yang mengkikis nilai-nilai tradisional. Pembangunan ekonomi hampir tidak terhindarkan membawa implikasi bagi kemunduran agama, kepicikan dan perbedaan agama (Ronald Inglehart dalam Harrison dan Samuel P. Huntington (ed), 2006:132).
Modernisasi dan globalisasi memang secara nyata telah membawa perubahan dalam keberagamaan, antara lain ditandai dengan transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan (Abdullah, 2006:110--111). Pertama, transformasi sistem pengetahuan keagamaan tampak dari perkembangan jenis pengetahuan yang beragam dan kualitas yang bertingkat-tingkat. Kedua, perbedaan dalam sistem nilai keagamaan tampak terjadi secara meluas ditandai oleh perbedaan alat ukur dan penilaian terhadap dimensi keberagamaan yang sama karena setiap kelompok memiliki relativitas nilainya sendiri. Ketiga, berbagai praktik keagamaan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan muncul dalam kehidupan secara bersamaan sehingga totalitas menjadi tidak penting dalam kehidupan aktual. Melemahnya tata nilai dominan menyebabkan perbedaan-perbedaan praktik menjadi kekuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu sendiri. Kekuatan pusat-pusat kekuasaan berkurang sehingga tidak memiliki otoritas dalam penataan sosial keagaman.
Perbedaan-perbedaan praktik agama sebagai diakibat dari budaya modernitas ditunjukkan dengan munculnya gerakan agama-agama baru dan bentuk-bentuk quasi agama serta sinkretisme agama yang dalam perkembangan gerakannya secara bersama-sama membawa berbagai elemen tradisi agama ke dalam makna baru (Lester Kurt dalam Jamil, 2008:9). Melemahnya referensi tradisional dan munculnya fenomena redefinisi agama dalam keberagamaan umat Hindu digambarkan melalui “Pemujaan Leluhur versus Bhagavad Gita” (Raditya, Edisi 127, Pebruari 2008). Edisi ini dalam kolom Bahasan Utama juga menyajikan artikel yang pada intinya mempertanyakan tradisi Hindu Bali dalam beragam judul, antara lain Dogmatisme Kitab Suci versus Ketakutan Pada Magi; Benarkah Roh Leluhur Bisa Diajak Bicara?; Mitos Gaib: Menyuburkan Ritual, Menghacurkan Hindu; Mitos Magi Masih Kuat Karena Budaya; Dari Kesadaran Magis ke Kesadaran Kritis; Takut Teror Magis, tapi berani Pada Sastra; dan Perlindungan Gaib dalam Lemahnya Brahma Tattwa. Menyudutkan praktik keagamaan, bukanlah kemuliaan karena secara konseptual jalan menghubungkan diri dengan yang transenden bisa dilakukan melalui bermacam-macam jalan, seperti tindakan yang benar, kebaktian, mistik, penyelidikan rasional, ritus sakral, dan mediasi shaman.
Rupanya, redefinisi agama terus-menerus dalam longgarnya praktik sosial menjadi ciri khas fenomena keberagamaan masyarakat masa kini. Agama bukan lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih menjadi instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Agama seperti barang-barang seni telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa. Modernisasi dan globalisasi mengakibatkan transformasi tradisi sosial yang ditandai dengan semakin tingginya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan (Kato, 2002:76; Abdullah, 2006:16; Jamil, 2008:4). Fenomena semakin berkembangnya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama sebagai bagian dari tradisi yang harus berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan semakin tampak nyata. Fakta menunjukkan bahwa dalam wilayah perkotaan pura (fungsi keagamaan) dan pertokoan (fungsi ekonomis) hadir berdekatan dan diterima tanpa prasangka merupakan suatu bentuk hegemoni modernitas yang tidak dapat dihindari.
Artinya, sekularitas sebagai salah satu bentuk modernitas telah mewarnai pembentukan citra bagi kehadiran umat Hindu dalam dunia sosialnya karena akal sehat telah mengatasi kesadarannya. Hal ini sebagaimana keyakinan Berger (1967) mempertahankan teori sekularisasinya dalam tatanan dunia tanpa agama aktif dan berkurangnya signifikansi agama dalam kehidupan publik seiring dengan proses sekularisasi dan privatisasi. Sekularisasi telah mengantarkan pada demonopolisasi tradisi keagamaan dan meningkatnya peran orang-orang awam, karena itu berbagai pandangan keagamaan berabur dan bersaing dengan pandangan-dunia nonagama. Akibatnya, organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan debirokratisasi.
Pada kenyataannya modernitas telah mendorong kebangkitan kembali agama bukan kepada agama konvensional atau formal. Muncul kecenderungan masyarakat untuk menghindari agama utama yang dianggap mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian spiritual mereka. Kemudian, mereka masuk ke dalam aliran-aliran spiritual, sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang menawarkan ritus kontemplatif ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan spiritual mereka (Robertson, 1998:65; Kahmad, 2000:65). Ini membuktikan bahwa pada era modern kehidupan agama tidak mati. Dengan mengacu pada hasil penelitian Greely di Amerika Serikat, Jamil (2008:8) menunjukkan bahwa pada era modern kehidupan agama, baik sebagai sistem keyakinan maupun praktik mengalami reformulasi dengan berbagai cara yang bervariasi. Bentuk reformulasi kehidupan agama di Amerika Serikat cukup beragam, antara lain ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (gerakan new age).
Reformulasi kehidupan agama yang sejenis ditunjukkan Geertz (1992:132) ketika mengamati rasionalisasi agama Bali bahwa orang Bali merasionalisasikan sistem religius mereka melalui proses peralihan batiniah (internal conversion). Fenomena ini oleh O’Dea (1992:118) disebut konversi kontemporer sebagai dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang melanda aspek-aspek kehidupan terutama dalam keberagamaan. Munculnya gerakan agama-agama baru atau aliran keagamaan, seperti sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia juga semakin nyata. Misalnya, sebagaimana ditunjukkan dalam “Sampradaya Marakkan Bali” merupakan tema utama Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9 – 22 Nopember 2007).
Fenomena yang sama juga dipresentasikan melalui kolom Editorial sebagai Tajuk Wacana dalam Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9--22 Nopember 2007) lebih -kurang seperti berikut. Pelaku spiritual yang sebagian besar dari India dikatakan menyebarkan misi pada setiap orang atau kelompok warga yang ditemui. Umumnya ajaran cinta kasih universal menjadi spirit utamanya dan pengikutnya disarankan bersahaja berdasarkan ajaran ahimsa dan tat twam asi. Jumlah penganut kelompok spiritual ini juga terus bertambah termasuk pendirian pusat-pusat pembinaan, ashram. Melayani masyarakat dikatakan panggilan mulia sehingga pada tataran tattwa tidak terdapat hal yang bertentangan dengan umat Hindu Bali. Namun ketika bersinggungan dengan adat, kehadiran kelompok sampradaya di Bali sering mengundang perdebatan. Sebab, kelompok penganut vegetarian ini menentang pembunuhan hewan termasuk untuk kepentingan yadnya. Mereka juga menggugat besarnya biaya yang dikeluarkan masyarakat Bali demi kepentingan upacara yadnya.
Kehadiran sampradaya dalam keberagamaan umat Hindu diungkap Widiana (2006) melalui sebuah penelitian tentang “Fenomena Sampradaya Dalam Dinamika Agama Hindu di Bali”. Ditemukan bahwa kehadiran sampradaya di Bali disambut antusias oleh sebagian masyarakat Hindu di Bali yang sedang mengalami “kehausan” spiritual, sedangkan sebagian lainnya menanggapi dengan kecurigaan dan kekawatiran bahwa sampradaya dapat mengganggu tatanan religius masyarakat Hindu di Bali. Selain itu, kehadiran sampradaya di Bali kurang berdampak terhadap lembaga Desa Pakraman yang merupakan media sesungguhnya bagi ekspresi religius masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, kehadiran sampradaya di Bali memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang berujung pada hubungan kurang harmonis antara Parisada Hindu Dharma Indonesia Propinsi Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Malahan perkembangan berikutnya telah mendorong lahirnya Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yakni kembali pada masa awal pembentukannya berdasarkan Piagam Parisada.
Demikian juga Azis dan Sudjanggi (2006) menemukan adanya keresahan dan kegelisahan dalam keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan kehadiran kelompok sampradaya terutama Sai Studi Grup. Keberadaan kelompok penganut Sai Studi Grup di Bali sejak 1993 dikatakan sangat kontroversial, baik terhadap lembaga dan elite agama maupun masyarakat lokal. Perbedaan yang mencolok dengan agama Hindu, antara lain menyangkut konsep awatara, yaitu penganut Sai Studi Grup mengganggap Sai Baba sebagai awatara yang patut dipuja sebagaimana orang telah memuja Rama atau Sri Krisna. Sementara itu, menurut penentang ajaran Sai Baba bahwa tokoh Rama dan Krisna bersifat simbolik sehingga berada di dalam ide. Setiap manusia pada dasarnya adalah awatara karena memperoleh pancaran sinar Tuhan dan diharapkan berusaha mencapai kondisi spiritual sebagaimana disimbolkan pribadi Rama dan Krisna.
Perubahan keberagamaan umat Hindu juga menjadi perhatian Pradnya (Taksu:Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 22-23). Menurutnya manusia sering kali melakukan kesalahan atas nama agama. Fanatisme sempit telah memabukkan dan menggelapkan mereka, sedangkan agama sendiri tidak pernah mengajarkan begitu. Oleh karena itu, “jangan over acting!”, ungkap Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba yang kemudian, menjelaskan keberagamaan umat Hindu pada masa Raja Udayana hingga kehadiran Mpu Kuturan untuk menangani keresahan keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan banyaknya sekte yang saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Selengkapnya ungkapan Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba seperti berikut.
“Kalau kita tarik ke belakang, Bali pernah mengalami seperti sekarang ini (berkembangnya kelompok-kelompok spiritual). Munculnya berbagai kelompok spiritual, yakni pada zaman raja Udayana. Banyak terdapat sekte-sekte dalam pemujaan Tuhan. Inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan masyarakat satu dengan yang lainnya. Dengan keadaan seperti ini otomatis tidak efektif tatanan masyarakat karena pada saat itu semua sekte mengagung-agungkan pujaannya, bahkan saling merendahkan satu sama lainnya. Inilah yang menyebabkan pergolakan yang luar biasa di kalangan masyarakat sehingga tidak efektinya pemerintahan pada saat itu. Akhirnya, raja meminta bantuan kepada Mpu Kuturan untuk datang ke Bali menyelesaikan permasalahan yang dialami masyarakat Bali. (Taksu: Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 20-21)”.
Pada intinya fenomena ini sejalan dengan pandangan Kimball (Sindhunata, 2003:12) tentang lima tanda yang dapat membuat agama busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, bila timbul ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga, bila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya zaman sekarang. Keempat, bila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, bila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci. Apabila sejarah membuktikan bahwa banyaknya sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan telah menyebabkan terjadinya pembusukan agama maka kehadiran sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual sepatutnya menjadi perhatian umat Hindu terutama para pemimpin umat yang memang memiliki otoritas dalam keberagamaan. Inipun kalau tidak ingin sejarah berulang kembali, seperti dikatakan Haryono (2005:20), “sejarah tidak boleh berulang untuk kemanusiaan karena manusialah subjeknya dan manusia bukan binatang buas ataupun sekrup pabrik yang kaku”.
Walaupun diketengahkan fenomena keberagamaan umat Hindu di Bali, tetapi tidak tertutup kemungkinan fenomena tersebut juga terjadi dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Oleh karena itu dapat diduga bahwa umat Hindu, elite, dan pemimpin Hindu yang berpikiran jernih akan sepakat tidak membiarkan agamanya menjadi busuk dan korup. Ini sekaligus harapan kepada pemimpin agama dan adat mungkin sudah saatnya ‘duduk bersama’ memikirkan suatu upaya sistematis untuk menghadapi berbagai tantangan umat Hidu pada masa depan. Kata ‘duduk bersama’ sengaja digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi memiliki visi dan misi yang hampir sama, yakni mewujudkan keteraturan, ketertiban, dan keseimbangan sosial berdasarkan agama. Mengingat Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan merupakan dua sisi berbeda pada satu mata uang yang sebagian maknanya tergantung pada dunia sosial, yakni sebuah kehidupan yang terikat ketat pada adat.
Sepotong Harapan buat Pemimpin Hindu
Perubahan masyarakat dan kebudayaan memang tidak bisa dihindari karena pada prinsipnya manusia tidak pernah berharap masyarakat dan kebudayaannya statis tanpa mengalami perkembangan. Faktanya pada masa kini perubahan masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern telah terjadi secara meluas dan sekarang ini situasi sudah berbeda. Homogenitas agama sudah tidak lagi banyak dijumpai. Kebebasan beragama yang dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu esensi kemanusiaan telah mendorong orang untuk membedakan ruang publik dan ruang privat atau urusan publik dan urusan privat, dan agama diperlakukan sebagai urusan privat (Wattimena, 2007:xi). Fenomena ini juga tampak dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia, yakni nilai agama yang diwarisi turun-temurun telah mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan nilai ekspresi diri masyarakat modern, yakni suatu nilai yang mengandalkan kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan yang telah membawa perubahan sekaligus menunjukkan semakin besarnya kekuasaan manusia terhadap lingkungan.
Dalam dunia global yang mengalami kemungkaran lingkungan, degradasi moralitas, dan dehumanisasi, akibat dari kapitalisme yang hedonis dan materialistik, pemaknaan kesalehan sosial yang disumbangkan berbagai kitab suci agama semakin menemukan panggilannya (Abdullah, 2005:21; Mulkhan, 2007:65--69). Pemimpin Hindu melalui tim ahlinya sudah sepatutnya melakukan kajian-kajian terhadap teks-teks Hindu otoritatif. Hasil kajian ini setidak-tidaknya dapat dapat dijadikan acuan dalam membangun tatanan nilai dan norma yang berguna bagi perkembangan moral dan kemanusiaan. Pemimpin adat menerjemahkannya ke dalam dunis sosial sehingga kehidupan sosial tidak kering dari nuansa religius. Tradisi tidak melawan perubahan karena setiap generasi melalui proses pembelajaran meneruskan budayanya, yakni upaya menyatukan masa lalu dan masa depan pada masa kini. Dengannya proses perubahan masyarakat dan kebudayaan tidak meninggalkan nilai-nilai agama Hindu dan pemajuan moralitas dan kemanusiaan tidak terabaikan. Radhakrishnan (2003:32) mengingatkan, manusia harus mematuhi kemanusiaan sekalipun terhadap mereka yang tidak berperikemanusiaan, manusia harus rela membiarkan perkembangan pikiran dan moralnya menjangkau jauh ke masa depan, dan manusia tidak membiarkan kebencian menutupinya.
Mematuhi kemanusiaan, membiarkan pikiran dan moral berkembang, serta membuka kesadaran diri agar bersih dari kebencian pada prinsipnya adalah tujuan dari pembangunan agama. Pembangunan agama dan keagamaan merupakan proyek kemanusiaan yang menyatukan seluruh lapisan sosial untuk bersama-sama menang dalam pergulatan hidup (Turner, 2003:92; Mulkhan, 2007:59). Manusia sebagai subjek dalam semesta kehidupan haruslah mampu menempatkan kesadaran agama dalam bidang-bidang kehidupan nonagama. Kebaikan yang disumbangkan agama harus menjadi landasan kebenaran sosial dan bukan sebaliknya, kebenaran sosial menduhului kebaikan agama. Dengan demikian kebaikan sebagimana diajarkan agama haruslah menjadi dasar kebenaran karena agama merupakan sumber moral, selain hukum, kebudayaan, dan interaksi sosial (Bertens, 2002:22; Bleeker, 2004). Boleh jadi ini merupakan himbauan moral kepada pemimpin Hindu dan adat untuk lebih banyak merefleksikan kesusilaan melalui berbagai kajian dan perspektif. Aturan moral dalam setiap memang menjadi satu tema penting karena hampuir tidak bisa ditemukan ada agama menganjurkan perbuatan kejahatan.
Dikatakan demikian mengingat kegiatan keagamaan menjadi lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntunan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku. Kenyataan empiris juga menunjukkan dalam dunia global yang lebih mengutamakan rasionalitas, ternyata dimensi moral semakin terpinggirkan. Pada zaman kini tidak cukup hanya menjadi orang tanpa kepintaran karena tidak sedikit orang baik mejadi bahan olokan-olokan dunia sosial yang semakin tak menentu. Dalam konteks ini agama dapat memberikan sumbangan yang signifikan karena agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati senantiasa menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupannya. Agama memiliki nilai bagi kehidupan manusia, bahkan secara psikologis agama berfungsi menjadi motif bagi tindakan sosial (Ishomuddin, 2002; Jalaluddin, 2002).
Fungsi agama dalam kehidupan sosial memang memberikan sumbangan yang signifikan, tetapi pada kenyataannya dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi sebaliknya, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam aspek sosial dan kebudayaan yang dilatari oleh alasan-alasan keagamaan. Dalam konteks ini menjadi relevan ungkapan Rakhmat (2005:106) bahwa agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama selalu hadir dalam keseharian manusia dan begitu misterius karena agama sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan. Agama begitu dekat di dalam hati, tetapi semakin besar keinginan memegangnya, justru agama semakin tidak dikenali dan begitu asing. Akibatnya, tidak sedikit ditemukan umat beragama meragukan sebagian atau seluruh ajaran agamanya. Ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan agama Hindu dalam berbagai perspektif, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, telogi, dan filsafat menjadi kebutuhan yang semakin nyata. Faktanya juga menunjukkan minimnya kajian-kajian semacam itu dalam perpustakaan umat, sebagaimana tampak dalam katalog penerbit buku-buku agama Hindu.
Minimnya informasi tentang agama Hindu pada satu sisi dan melimpahnya informasi aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru pada sisi lain, mendorong munculnya privatisasi agama dan konversi internal dalam keberagamaan umat Hindu. Privatisasi agama dan konversi internal ini dimulai dari proses rasionalisasi agama yang sudah tentu berlangsung bukan dalam struktur agama konvensional. Umat Hindu dengan mudah melakukan pemutahiran pengetahuan agamanya melalui informasi keagamaan yang diperolehnya dari berbagai saluran sehingga mereka dengan mudah meracik agamanya hingga dirasakan pas dan cocok dengan dirinya. Berkembangnya pengetahuan keagamaan pada gilirannya membuat agama dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan pragmatis. Perkembangan keagamaan mununjukkan bahwa perubahan dalam keberagamaan yang dominan terjadi justru agama berubah ke arah pragmatisme. Ini suatu bentuk respons umat Hindu terhadap budaya modernitas dan globalisasi yang ditandai dengan semakin tingginya pengaruh rasionalitas dalam dunia moralitas.
Dalam dunia moral di tempat yang seharusnya agama Hindu konvensional memegang kendali, malahan semakin terpinggirkan karena sastra-sastra Hindu klasik India mendapat sambutan hangat sedemikian rupa sebagai pengisi kekosongan ruang spiritual. Di sinilah sampradaya dan kelompok spiritual menjadi objek pilihan konversi internal karena memang menawarkan praktik yang lebih kontemplatif-eksklusif daripada agama Hindu konvensional yang sarat dengan upacara. Kejenuhan terhadap agama konvensional yang sejalan dengan arus ortodoksi telah mendorong orang berbondong-bondong dan bersimpuh di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru (Ramadhan & Rusmadi dalam Jamil, 2008:xix). Sejarah pemikiran manusia memang tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur, dan selalu mengikuti azas-azas kepatutan tradisional dan konsisten berdasarkan mainstream tertentu. Ini merupakan panggilan kepada pemimpin Hindu untuk membangun sistem keberagamaan yang lebih mantap dalam arti adapatif terhadap perkembangan zaman.
Fakta bahwa zaman telah mengkreasi keberagamaan dalam berbagai model tidak dapat dipungkiri karena keinginan akan masa depan yang lebih produktif selalu memberi warna kebaruan. Kebaruan selalu menantang tradisi keberagamaan yang telah mapan sehingga umat Hindu dituntut merenovasi praktik-praktik keyakinannya pada sepanjang garis eksistensi keberagamaannya. Tradisi tidak boleh berhenti pada satu titik masa, melainkan harus berjalan terus sepanjang zaman, karena itu proses pembelajaran sebagai upaya pelestarian nilai-nilai tradisi tidak mungkin dihindari. Zaman telah mengubah cara pandang dan tindakan umat dalam merespons perkembangan zaman itu sendiri seiring dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhannya. Zaman selalu menuntut umat Hindu bersama pemimpinnya merekonstruksi sebagian atau seluruh sistemasi dan diskursus keberagamaannya. Untuk itu diperlukan kejelasan kurikulum keberagamaan dan ketegasan praktiknya dalam mekanisme kontrol sosial yang ketat sehingga para pemimpin agama dan adat tidak sepenuhnya mengandalkan kekuatan ortodoksi dan kekuasaan negara.
Walaupun dalam banyak hal ortodoksi merupakan paham yang didukung penguasa, tetapi juga sering diprotes dan dibrontaki dalam dunia praksis. Ini kondisi alamiah yang mendorong perkembangan pemikiran mainstream semakin sempurna karena tegangan antara konsep-konsep univokal dan imajinasi-imajinasi ekuivokal selalu mengandaikan irasionalitas menuntut pengakuan. Kebenaran memang dapat dilihat dalam tegangan antara medan konvensional (konsensus yang koheren) dan gejala-gejala baru yang tidak konvensional (Sugiharto, 1996:21). Ini gagasan tentang idealitas yang berfungsi sebagai ide regulatif yang senantiasa memungkinkan jarak kritis terhadapnya. Dengan begitu agama Hindu konvensional tidak mandek dalam bentuk kemapanan yang tertutup, bahkan represif dan otoriter, melainkan senantiasa berada dalam tegangan dunia praksis menuju konsep yang semakin sempurna. Pada umunya idealitas muncul sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak konvensional dalam bentuk anomali atau irasionalitas yang bukan hanya menuntut pengakuan, bahkan menggugat anggapan tentang “kenormalan” dan “kerasionalan” itu sendiri.
Kehadiran aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru dalam keberagamaan merupakan “irasionalitas” dan “keabnormalan” yang selalu menantang pemimpin agama untuk berpikir ulang dan berimajinasi untuk merumuskan anggapan-anggapan kebenaran agama konvensional secara baru. Ini berarti pemimpin Hindu harus merumuskan realitas keberagamaan umat Hindu secara baru. Dengan demikian konflik internal Hindu – antara agama Hindu maintream atau ortodoksi dan aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru – dapat dihindari dan tindakan pelarangan dengan kekuasaan negara tidak diperlukan. Selain itu, kebenaran hakiki yang diyakini oleh aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru yang dipandang sempalan belum tentu sempalan dan antiproduktif terhadap keberagamaan. Krishna sendiri tidak membeda-bedakan bhakta dan bentuk pemujaan yang dilakukannya, “apapun bentuk pemujaan yang ingin dilakukan oleh para bhakta dengan penuh keyakinan, Aku menjadikan bentuk keyakinanannya itu, menjadi mantap” (Bhagavad Gita, VII:21).
Apalagi perilaku keagamaan menurut pandangan behaviorisme berkaitan erat dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Orang berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah, yaitu menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) (Jalaluddin, 2002:211). Orang bergerak secara mekanis berdasarkan azas pemberian hukuman dan hadiah. Dalam agama dan keberagamaan keimanan umat meminta surga atau pembebasan sebagai hadiahnya. Perilaku manusia bekerja menurut atas mekanistik yang bersifat serba fisik, yakni bersifat kondisional yang dapat dibentuk dan diarahkan menurut situasi yang diberikan. Apabila yang diinginkan adalah umat Hindu berperilaku keagamaan sebagaimana ajaran agama Hindu konvensional maka lingkungan keberagamaannya harus mampu memberi respons keagamaan Hindu konvensional seperti yang diharapkan. Dengan demikian menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) bukanlah tindakan terpaksa, “bahkan orang yang bijaksana berbuat menurut sifat bijaksananya sendiri, semua makhluk juga bertindak menurut sifatnya pula, apakah yang dapat diselesaikan dengan paksa?” (Bhagavad Gita, III:33).
Memang secara humanis kebutuhan akan hadiah lebih menentukan tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Walaupun rasanya tidak mungkin menggambarkan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, tetapi Abraham Maslow (Jalaluddin, 2002; Jarvis, 2007) menjelaskan kebutuhan manusia bertingkat-tingkat dari yang paling dasar hingga yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup, seperti makan, minum, dan istirahat. Kedua, kebutuhan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan kasih sayang, berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan harga diri yang dimanifestasikan dalam bentuk aktualisasi diri, seperti berbuat sesuatu yang berguna. Kemudian, aktualisasi diri sebagai pengalaman puncak transenden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan trasedental. Ini dinilainya sebagai tingkat kesempurnaan manusia sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan untuk menyenangi yang benar, yang baik, dan yang indah.
Kecenderungan ini dalam Hindu bahwa Yang Benar (Sathyam), Yang Baik (Siwam), dan Yang Indah (Sundaram) merupakan Pribadi Sempurna yang diidolakan umat Hindu. Untuk mendekati cita-cita ini mungkin pemimpin Hindu yang ahli agama dan pendidikan dapat memadukan keahliannya menyusun kurikulum pendidikan Hindu yang, antara lain berisi nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan. Pikiran yang selalu dalam kebenaran merupakan landasan bagi tindakan dalam kebijaksanaan dan keduanya memberikan indahnya kehidupan, yaitu kebahagiaan. Jadi, umat Hindu akan menikmati kebahagiaan, bila mengerti kebenaran dan memahami kebijaksanaan. Mentransendensikan nilai-nilai ini dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan teladan terbaik, “apapun juga kebiasaan yang baik itu dilakukan, orang lain juga akan mengikutinya. Teladan apapun yang dilakukannya, dunia akan mengikutinya” (Bhagavad Gita, III:21). Memang hanya melalui pergaulan dalam persahabatan orang dapat mengasah kemanusiaannya, kualitas kesuciannya, dan memperoleh kepenuhan sempurna.
Agama memang memberikan pengalaman spiritual dan pengalaman ini selalu dimulai dengan asumsi bahwa dunia ini memang tidak memuaskan dan sifat manusia memang tidak ideal. Walaupun yuga meyakini segala sesuatu bermula dari keadaan sempurna dan dalam perkembangannya secara involusi mengalami penyusutan hingga dalam kondisi ketidaksempurnaan. Berlawanan dengan teori yuga, evolusi meyakini segala sesuatu bermula dari ketidaksempurnaan dan dalam perjalanan perkembangannya mengalami kemajuan secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan. Namun takdir manusia sebagaimana ditegaskan Radhakrishnan (2003:99) bukanlah melarikan diri dari ketidaksempurnaan ini, tetapi menggunakannya sebagai dorongan melakukan perbaikan. Ketidaksempurnaan ditegaskan, bukanlah dosa yang harus dibuang, tetapi kondisi yang diperlukan untuk manifestasi sukma. Kesadaran akan keterbatasan digunakan sebagai jalan masuk kepada suatu ketinggian, ketakterbatasan pengalaman eksistensi-diri, dan keindahan. Umat Hindu tidak perlu mencari kesempurnaan di dunia lain, seperti disarankan pihak lain karena dunia ini adalah tempat bagi kebebasan spiritual. Memang kebebasan semacam ini hanya dapat dicapai melalui kebebasan moral, yakni rasa saling menghargai dan menghormati kepada setiap eksistensi dalam dunia sosial.
Artinya, takdir manusia harus digunakan untuk lebih memahami perbedaan cara-cara kehadiran dalam dunia sosial dan budaya yang memang tidak seragam. Keyakinan dan kepercayaan yang berbeda bukanlah untuk dipertentangkan dan diperlawankan karena alam memang telah membentuk banyak ras dengan bahasa, agama, dan tradisi sosial yang berbeda-beda. Patut disadari bahwa perbedaan ini memberikan tugas kepada manusia untuk menciptakan tatanan dalam dunia manusia dan menemukan suatu jalan hidup. Melalui jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai dan mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dunia ini bukan dimaksudkan sebagai medan pertempuran, tetapi menjadi persemakmuran bersama melalui kerja sama untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua. Membangun kerja sama inilah tugas pemimpin Hindu sehingga persemakmuran bersama sampai kepada umat yang tersebar dalam sekat-sekat tradisi sosial dan budaya.
Dengan demikian diharapkan pemimpin Hindu berupaya keras mewujudkan keberagamaan dalam kondisi sosial untuk kebaikan dan kedamaian semua orang. Untuk itu diperlukan kepemimpinan religius, antara lain peran-peran yang berkaitan dengan upaya menetapkan kejelasan praktik-praktik keimanan (sradha-bhakti), menegakkan aturan moralitas (susila), menguatkan struktur komunitas (baik lembaga agama maupun adat), menyesuaikan bentuk-bentuk peribadatan (acara), dan ketegasan sistem hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Beriman kepada Tuhan berarti mengandalkan diri kepada Tuhan berdasarkan pengetahuan tentang ketuhanan, karena itu diperlukan kajian-kajian telogis, brahma widya. Aturan moral diperlukan dalam kehidupan sosial karena umat Hindu juga bagian dari masyarakat, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam bidang etika.
Agama Hindu sebagai inti nilai kebudayaan adalah pengatur tingkah laku umat untuk saling menghargai kehadirannya masing-masing, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dan huaniora serta kebudayaan. Kebudayaan yang mengkontekstualisasikan agama Hindu secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku peribatan sehingga diperlukan penyesuaian dan adaptasi dinamis sejalan dengan situasi sosial termasuk dengan perkembangan zaman. Demikian juga beragamnya cara-cara menghubungkan diri dengan yang transenden begitu misterius karena keberjarakan antara manusia dan yang transenden bukan jarak sebagaimana akal-budi memahaminya sehingga perlu dikembalikan kepada teks-teks agama otoritatif. Dengan kejelasan sistem keberagamaan, umat Hindu sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam mewujudkan dan menikmati indahnya keberagamaan di nusantara.
Penutup
Sepotong harapan yang hendak disampaikan adalah upaya melaksanakan dharma yang menurut Radhakrishnan (2003) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan empat tujuan kehidupan (catur purusha artha), empat kelompok lapisan sosial (catur varna), dan empat tingkatan kehidupan (catur asrama). Dharma sebagai realisasi kehormatan spiritualitas manusiawi, yakni tempat kehidupan sosial umat Hindu untuk mengenal hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang dalam persahabatan. Tempat umat Hindu mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian spiritual, yaitu menuju perkembangan kondisi sosial yang mengantarkan umat Hindu pada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan dan kedamaian semua orang.
Akhirnya harus diterima, manusia memang makhluk religius sehingga dapat disetujui agama memang setua usia manusia. Konsekuensinya umat Hindu haruslah berpengetahuan agama dan berkesadaran agama serta mempraktikkan agama dalam semua bidang kehidupan. Keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan merupakan surga kebebasan moral sehingga tidak dijumpai ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama. Jadi, umat Hindu harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri karena cita-cita merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan pribadi. Untuk memahami tanggung jawab inilah umat memerlukan bantuan, bimbingan, dan dukungan pemimpin religius transformatif, kepemimpinan berdasarkan pengetahuan dan kesadaran dharma. Inilah Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia: Pekerjaan Pengabdian.